Share

1. Bakunawa

Sang raja malam bertahta dengan sempurna, ditemani ribuan gemintang yang berkerlip menggoda. Suara binatang malam riuh menyuarakan rasa kepada semesta. Di tepi hutan tampak sosok pemuda dengan pakaian compang-camping. Manik birunya berubah merah begitu menatap sang purnama. Seiring biru yang berubah merah, pemuda itu merangkak dan sekujur tubuhnya mulai bermantelkan bulu keemasan. Ia berubah menjadi sosok rubah dengan ekor berjumlah sembilan.

Sang rubah mulai bergerak liar mengibas kesembilan ekornya. Akal sehatnya telah hilang tergantikan hawa nafsu untuk menghancurkan segalanya. Tiada peduli pada pekik ketakutan para binatang malam pun manusia. Nyanyian kepada semesta berubah menjadi jeritan duka yang merobek dada. Semuanya musnah dalam amukan sang rubah merah yang sekujur tubuhnya bermandikan darah semua makhluk yang dimangsa.

Hingga satu titik membelah malam. Sebuah kilat mengalihkan atensi sang rubah. Dengan langkah tergesa sang rubah menuju sungai di mana kilat itu menyambar. Di sepasang rubinya terlihat jelas sosok seorang gadis bersurai kelam yang dikelilingi kobaran api. Si gadis yang merasa diperhatikan pun menoleh. Manik kelamnya bertubukan dengan manik rubi sang rubah yang masih membeku.

"Kitsune?"

"Bangun, manusia pemalas!"

Aksa gelagapan saat merasakan dingin di sekujur tubuhnya. Napasnya tersengal dalam beberapa detik sebelum manik biru itu menatap intens pada Binar yang selalu membangunkannya dengan mengguyurkan air. Walaupun dia tampak cantik, anggun, dan menawan, tetap saja sang putri dari Dewa Naga itu memiliki etika yang buruk menurut Aksa. Hanya karena ialah pengatur jumlah air yang berhak didapatkan di wilayah itu, bukan berarti ia bisa menyiram air sembarangan kepada Aksa, kan?

"Pantas saja Dewa menghukummu, kau itu pemalas."

"Hei, siapa yang kau sebut pemalas Dewi jadi-jadian!"

Binar menghela napas sejenak, berada di dekat manusia menyebalkan semacam Aksa membuat emosinya mudah naik dan juga membuatnya kehilangan wibawa sebagai seorang Dewi baik hati yang disimbolkan sebagai harapan.

"Bergegaslah, kau harus memastikan para manusia tidak masuk ke hutan ini," gumamnya pelan sebelum meninggalkan Aksa sendirian dalam sebuah pondok sederhana.

Sudah beberapa bulan Aksa tinggal di wilayah pegunungan Britania Raya bersama para roh dan makhluk legenda di sana. Kebanyakan dari mereka adalah Dragon, tapi banyak juga peri pohon yang memberi kehidupan bagi tanaman di sana. Aksa bukannya berdiam diri, ia juga membantu para penunggu hutan untuk memastikan bahwa manusia tidak akan memasuki wilayah hutan, karena itu bisa berbahaya. Suatu kali ia pernah pergi ke kota dan para warga kota berkata jika mereka akan memburu para Dragon untuk dilelang di sebuah acara. Sejak saat itulah penjagaan di hutan semakin diperketat.

Semakin hari ia di sana, entah kenapa ia merasa semakin nyaman. Aksa sama sekali tidak merasa Dewa sedang menghukumnya, karena di tempat di mana Aksa dibangkitkan, ia bertemu dengan Binar. Dewi berwujud Dragon yang entah bagaimana caranya selalu membuatnya terpana. Suaranya adalah melodi terbaik yang pernah Aksa dengar. Segala tingkah laku menyenangkan dan menyebalkannya sekalipun selalu membuat Aksa semakin ingin berada di sisinya selamanya. Di hadapan Binar, Aksa tak ubahnya kerbau yang dicocok hidungnya. Akan ia lakukan apapun jika itu Binar yang meminta. Sangat bodoh bukan? Memangnya apa yang bisa dilakukan manusia untuk seorang Dewi sesempurna dirinya? Tentu tidak ada.

Menggeleng sejenak untuk mengusir bayangan dalam kepala, Aksa teringat pada sosok dalam mimpinya. Seorang pemuda yang berubah menjadi rubah dengan sembilan ekor dan seorang gadis yang dikelilingi kobaran api. Apa-apaan itu? Kenapa rasanya mereka berdua sangat familiar baginya?

"Aksa!"

"Ah, iya Binar tunggu."

Aksa melangkah cepat menuju Sang Dewi yang selalu luar biasa tidak sabaran seperti biasa. Ia tersenyum begitu sampai di hadapan Binar, sementara sang Dewi bergegas memutar tubuh dan berjalan menuju perbatasan hutan. Ia tidak tahu kenapa tugasnya bertambah dengan mengawasi pemuda pirang yang sedang dalam masa hukuman Dewa. Bukankah tugasnya hanya mengatur alur air yang terbagi di wilayah Britania Raya?

"Hei, Binar! Kenapa kau tidak pernah tersenyum?"

"Kau pikir itu perlu?"

"Tentu sa-"

"Aku bukan manusia."

Aksa urung melanjutkan ucapannya. Benar juga, Binar bukan manusia, dia adalah seorang Dewi, jadi tersenyum atau tidak rasanya itu tidak penting.

"Hei!"

Aksa bergerak cepat, tangan kokohnya terulur demi menggapai tubuh Binar. Sang Dewi memang selalu ceroboh dalam melakukan banyak hal, dan sialnya ia sering kali tidak memerhatikan jalan hingga tersandung dan jatuh. Seperti saat ini, sebelum tangan Aksa mencapai tubuh Binar, tubuhnya telah terlilit akar pohon dengan begitu kuat.

"Ouch." Binar memekik pelan saat merasakan lututnya terluka. Berapa kalipun ia berjalan di daratan, hal seperti ini akan selalu terjadi. Istana ayahnya ada di dalam lautan, dan tempat tinggalnya sekarang adalah di daratan. Entah kenapa begitu sulit untuk berjalan tanpa sekalipun terjatuh di permukaan Bumi.

"Ah, maafkan aku Reia, aku tidak bermaksud menyentuh Binar ... maksudku, Putri Ryujin," ucap Aksa pada peri pohon yang masih melilitkan akar ke tubuhnya.

Aura di sekeliling mendadak memberat begitu sesosok roh beraura kuat mendekat. Sosok transparannya berdiri di hadapan Aksa dan wajah yang tak terlihat bentuknya itu berjarak begitu dekat dari wajah Aksa.

"Sekali lagi kau berniat menyentuh Putri Ryujin, akan kupanggilkan Beli untuk mencabut nyawamu, dan kupastikan Arawn takkan membangkitkanmu lagi agar kau ditolak oleh semesta maupun nirwana," ucapnya penuh penekanan.

"A-aku mengerti. Maafkan aku."

"Minta maaflah pada Putri Ryujin."

Aksa mengangguk dan dalam sekejap roh itu telah menghilang dari hadapannya. Akar pohon yang membelit tubuhnya pun telah sirna. Manik birunya menoleh Binar yang masih terduduk sambil mengusap lututnya. Andai ia bisa menyentuh Binar, dengan senang hati ia akan membantu Sang Dewi untuk berdiri.

"Ah." Aksa memekik begitu mendapat ide. Jemari kecokelatannya meraih ranting pohon yang jatuh. Ia lantas mengulurkan ranting pohon itu pada Binar. "Peganglah." Binar mendongak; menatap wajah Aksa begitu ranting kayu diulurkan pemuda pirang itu. "Aku ingin membantumu, tapi aku tidak bisa menyentuhmu. Jadi, izinkan aku membantumu dengan caraku."

Untuk pertama kalinya bibir ranum milik Binar melengkungkan sebuah senyuman. Syair-syair dan musik Gwydyon seolah memenuhi kepala Aksa. Manik birunya menatap penuh damba pada sosok Binar bagai sahaya yang mendamba ratunya. Jantungnya berdetak lebih cepat dan lebih keras daripada biasanya. Entah kenapa ia merasa familiar dengan perasaan yang bergolak dalam dadanya ketika berada di dekat Binar.

"Terima kasih."

Suara selembut beledu itu mengalihkan atensi Aksa. Ia hanya bisa tersenyum kikuk sebelum mulai berjalan dengan menggenggam ujung ranting di mana ujung lainnya digenggam oleh Binar. Mereka kembali menjelajahi hutan yang sebenarnya isinya hanya itu-itu saja.

"Hei, Binar! Boleh aku bertanya sesuatu?" Aksa melirik Sang Dewi yang menampilkan wajah tanpa ekspresi seperti biasanya.

"Apa itu?" tanyanya tanpa mengalihkan pandang pada pepohonan lebat di hadapannya.

"Kenapa aku tidak boleh menyentuhmu?"

Binar menoleh, manik obsidiannya bertubrukan dengan manik biru Aksa. Warna biru yang mampu menenggelamkannya begitu dalam. Biru yang begitu indah, lebih indah dari istana ayahnya di dasar lautan.

"Ikut aku."

Binar berbalik badan dan mulai berjalan ke arah selatan. Aksa mengikutinya, masih dengan ujung ranting kayu yang tergenggam di jemari masing-masing. Selama tinggal di belantara Britania Raya, Aksa belum pernah ke sana sebelumnya. Wilayah selatan yang ternyata begitu indah dengan hamparan bunga dandelion yang dikelilingi ilalang.

"Aku tidak tahu ada tempat seperti ini."

Binar mengedikkan bahu tak acuh lantas duduk di atas sebuah batang pohon yang telah lama tumbang. Dalam hitungan detik manik biru Aksa telah kembali memandang wajah Binar setelah beberapa saat mengagumi padang dandelion. Ternyata percuma. Sosok Binar lebih indah dari padang dandelion sekalipun. Ia terpana, dan akan selalu terpana pada sosok Sang Dewi.

"Sebenarnya mereka hanya berlebihan," gumam Binar. Pandangannya lurus ke hamparan dandelion yang serbuknya beterbangan tertiup angin. "Kau boleh menyentuhku jika kau mau."

"Sungguh?" Binar ceria terpancar jelas dalam manik biru Aksa.

Binar mengangguk pelan. "Kau boleh menyentuhku, dan setelah itu aku akan menghilang dari dunia ini."

"Eh?" Keterkejutan tak bisa disembunyikan dari biner birunya. "Apa maksudmu dengan menghilang?"

"Aku tidak berasal dari tempat ini. Istanaku adalah lautan dan air adalah bagian dari diriku. Aku akan menghilang jika manusia menyentuhku."

"Kalau kau tidak berasal dari sini? Kenapa kau ada di sini, Binar?"

"Seratus tahun belakangan terjadi perpecahan antara para Dragon di seluruh dunia. Untuk menjaga kestabilan aku ditugaskan Dewa untuk memastikan Britania Raya tidak kekurangan air. Berdua dengan Y Ddraig Goch, kami memusnahkan Wyvern yang mulai tidak terkendali dan menyerang manusia. Titik baliknya adalah purnama beberapa waktu yang akan datang."

"Purnama?"

Binar mengangguk singkat dan mengehela napas sejenak. "Purnama yang akan datang, para Dragon akan menghadapi peperangan. Memang tidak semuanya, hanya para Dragon yang sudah dipilih sejak perpecahan para Dragon terjadi. Mereka akan melawan Bakunawa agar dia tidak bisa memakan purnama ...."

"Bakunawa? Maksudmu Dragon dari perairan Philipine?"

Binar mengangguk lagi. Tinggal dengan para penunggu hutan yang kebanyakan adalah Dragon membuat Aksa mengenal berbagai Dragon yang ada di dunia. Ia tahu ada dua jenis Dragon, yaitu Dragon bernapas api seperti Y Ddraig Goch, dan Dragon berelemen air seperti Binar. Bakunawa sendiri adalah Dragon raksasa berelemen air yang tinggal di dasar lautan Philipine.

"Apa yang akan terjadi jika Bakunawa berhasil menelan purnama?"

"Bencana besar akan datang. Bakunawa akan menjadi Raja bagi para Dragon dan para Dragon akan memangsa manusia."

Keduanya terdiam dalam kebisuan panjang setelah percakapan itu. Hanya suara angin yang berbisik-bisik pada pepohohan pun menerbangkan serbuk dandelion di hadapan mereka. Sekali lagi Aksa menoleh ke samping, perasaan yang bergejolak dalam dadanya semakin kuat. Ia bahkan tidak mampu membayangkan seandainya tiada lagi sosok Binar yang bisa ia pandangi seperti saat ini.

"Kalau begitu aku tidak akan menyentuhmu."

Binar menoleh cepat, dan untuk kesekian kalinya biru dan hitam dipertemukan dalam satu garis lurus.

"Bukankah kau selalu ingin-"

"Jika menyentuhmu berarti kehilangan, lebih baik tidak pernah kulakukan."

"Hmph, manusia." Binar mendengus sinis, tapi meski begitu entah kenapa hatinya menghangat.

"Ayo pergi, kita belum mengecek wilayah timur." Aksa berdiri dan mengulurkan ranting pohon tadi ke arah Binar.

"Hm." Binar menggenggam ujung ranting pohon itu dan mulai berjalan di samping Aksa.

Sejenak Aksa memejamkan matanya, merasakan semilir angin membelai kulit kecokelatannya. Ketika kelopak mata itu membuka kembali, ia menoleh Binar yang berada di sisinya. Ia mengerti sekarang, sangat mengerti arti dari pergolakan rasa dalam dadanya. Ia tidak ingin kehilangan Binar, apapun yang terjadi.

※※※※※※※

Beli : Dewa kematian di mitologi Inggris & Wales

Arawn : Arawn adalah Dewa penguasa Annwfn (Dunia gaib) pada cabang pertama Mabinogi (Pohon kehidupan)

Gwydyon : Dewa ilmu sihir, Dewa penyair dan pemusik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status