Share

4. Enigma

Hari-hari berlalu tanpa keberadaan Binar di belantara Britania Raya. Aksa tidak bisa berbohong, ada hampa yang merongrong rongga dadanya. Lebih dari yang ia pikirkan, lebih dari yang ia bayangkan, dan lebih dari yang ia inginkan ... Binar adalah pemilik keseluruhan jiwanya. Lelaki pirang itu menghela napas sembari menatap Purnama yang berkilauan, saat itu kesadaran menyentaknya. Bulan Purnama yang berarti peperangan para Dragon telah dimulai, namun yang tidak Aksa mengerti adalah ... ia justru berada di ranah asing yang menyerupai belantara Britania Raya, hanya terlihat lebih gelap dengan aura kelabu yang menyesakkan dada.

Manik birunya memandang ke sekeliling dengan gamang. Pepohonan di sana begitu tinggi, barangkali tingginya melebihi tinggi pepohonan di belantara Britania Raya. Suara hewan malam tak terasa bersahabat, justru membuat bulu kuduknya berdiri.

Aksa menoleh ke arah sumber suara saat mendengar suara langkah kaki. Jantungnya berdebar dua kali lebih kencang daripada biasanya saat melihat sosok lelaki yang menyerupai dirinya. Mereka begitu mirip, hanya saja surai pirang lelaki itu terlihat panjang dan terikat rapih. Yang lebih membuatnya berdebar adalah ... lelaki itu bejalan ke arahnya dan menembus tubuhnya.

Aksa meniti dirinya sendiri dengan perasaan aneh. Ia kemudian berbalik berusaha memanggil lelaki yang mirip dengannya itu, tetapi orang itu tampaknya tidak mendengar. Ini aneh, ia benar-benar tidak paham dengan semua kejanggalan ini. Ini terasa seperti ... ia sedang bertualang dengan ruhnya di sebuah dunia yang mungkin pernah ia tinggali. Apapun itu, jika ia kembali nanti, ia akan menanyakan ini pada para roh.

"Hei, kau datang lagi kemari?"

Suara lelaki itu menyadarkan Aksa dari lamunannya. Ia mendekat ke tempat lelaki yang kini tengah bersama seorang gadis bergaun merah. Aksa terus mendekat guna memanfaatkan tubuhnya yang kini tak terlihat pun tak tersentuh oleh dua sosok itu.

"Kau juga datang lagi kemari."

Jantung Aksa bertalu lebih keras saat mendengar suara itu. Aksa jelas mengenal suara yang telah ia hafal mati dalam kepala. Suara selembut beledu yang selalu ingin ia dengar, suara yang begitu ia rindukan, bahkan jika ia masih diberi kesempatan untuk meminta kepada Dewa, ia ingin suara itu yang menjadi lullaby pengantar tidur abadinya kelak.

"Binar."

Aksa menggelengkan kepala cepat-cepat. Ia menolak fakta bahwa ia mendengar suara Binar dari sosok perempuan bergaun merah itu. Maka, didekatinya sosok yang tengah berbincang dengan pemuda mirip dirinya itu, dan manik biru Aksa sukses membola begitu melihat sosok bergaun merah itu memang sosok Binar.

"Binar."

Segala rindu jelas tergambar di mata biru Aksa, tapi ia tahu ... tempat ini adalah sebuah kehidupan lain di dunia yang tidak ia dan Binar tinggali. Jujur saja Aksa merasa iri pada sosok mirip dirinya yang kini terlihat tengah menyelipkan anak rambut sosok mirip Binar itu ke belakang telinga. Aksa kembali mengamati dirinya sendiri kemudian mengamati dua sosok yang sedang terlibat perbincangan perihal semesta yang tak ia mengerti. Andai ia bukan makhluk hina dan Binar bukan Dewa, bisakah ia berbincang dengannya sebagaimana sosok mirip dirinya dan Binar yang bisa saling bersentuhan tanpa takut pada sebuah rasa bernama kehilangan?

"Kau adalah pendosa."

Aksa menoleh cepat ketika mendengar suara yang bergema dalam kepalanya. Dua sosok itu telah lenyap beserta hutan beraura kelabu. Dirinya kini berada di sebuah ruangan kosong, hanya ada warna putih sejauh mata memandang, dan Aksa dilanda kebingungan yang tak mampu ia jelaskan.

"Kau akan dihukum sampai bisa mengubah takdir."

"Siapa di sana?" tanya Aksa kepada siapapun yang memperdengarkan suara itu.

"Aku adalah ... dirimu."

Sosok mirip dirinya yang bersurai panjang itu muncul tepat di hadapannya. Aksa membeku selama beberapa detik, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, tapi sebelum ia melakukan sesuatu, sosoknya yang bersurai panjang itu menunjukkan sesuatu yang membuat Aksa seperti kehilangan napasnya. Sosoknya yang lain memperlihatkan peperangan para Dragon di mana Bakunawa berhasil dikalahkan, akan tetapi peperangan itu membuat banyak Dragon kehilangan nyawanya, termasuk ... Binar.

Jantung Aksa berdenyut nyeri begitu melihat sosok itu bersimbah darah. Masih jelas dalam ingatannya tentang bagaimana Binar selalu menyiramnya dengan air ketika membangunkannya, bagaimana Binar selalu terjatuh jika berjalan, bagaimana Binar berbicara, bagaimana Binar tersenyum, Aksa ingat segala hal tentang Binar, dan dari semua hal itu yang paling Aksa ingat adalah bagaimana Binar membuatnya jatuh dan mencinta meski ia tahu hal itu hanya akan berakhir luka seperti yang sekarang terjadi padanya.

"Kau harus menebus dosamu." Aksa segera mengalihkan atensi pada sosoknya yang lain di mana eksistensinya mulai mengabur seperti bohlam lampu di pinggiran kota yang mulai kehabisan dayanya. "Kau harus mengubah takdirmu. Jangan membuang-buang waktumu, karena satu detikmu adalah selamanya untukku. Keabadian memang tidaklah kekal, tapi jika kau tidak bisa mengubah takdir selama penebusan dosamu, maka kau ... aku akan lenyap tanpa sekalipun diingat oleh semesta."

"AKSAAA!"

Aksa tersentak begitu telinganya berdenging oleh suara Reia. Peri pohon itu telah berada di hadapannya dengan menampakkan wajah cantiknya dengan rambut panjang dan bagian tubuh yang terjalin dari batang dan ranting pohon.

"Aksa ... kau menangis?" tanya Reia begitu melihat ada jejak basah dari sudut mata dan melewati pipi bergaris milik Aksa.

"Menangis?" Aksa menyentuh pipinya sendiri yang ternyata basah. Apakah yang diperlihatkan sosoknya yang lain itu nyata? Jika iya ... rasanya Aksa ingin mengutuk kenyataan.

"Kau sudah mengetahuinya?" Aksa kembali menatap Reia dengan tatapan tak terbaca membuat sang peri pohon menghela napas. "Putri Ryujin, tidak ... maksudku Binar. Dia sudah mati dalam peperangan melawan Bakunawa dan para pasukannya."

Aksa mengalihkan tatap ke arah lain saat merasakan matanya memanas. "Aku tahu," katanya singkat, yang dibalas Reia dengan tatapan sendu. Kehilangan adalah hal paling mengerikan yang pernah ada dalam segala peradaban.

Hening kemudian terjadi di antara mereka berdua. Baik Aksa maupun Reia tengah menggali kembali ingatan tentang Binar. Di tengah keheningan itulah Y Ddraig Goch datang dengan sesosok lelaki dan sesosok perempuan di punggungnya. Reia tampak menunduk sopan sebagai simbol penghormatan ketika sosok lelaki itu turun dari punggung Y Ddraig Goch dan membantu si perempuan bersanggul, Aksa sendiri hanya mengernyitkan dahi; tidak mengerti.

"Aksa, beri mereka salam."

Menuruti Reia, Aksa menunduk pada dua sosok tak dikenal itu. Setelahnya ia menatap keduanya dengan tatapan penuh tanya.

"Aksa." Atensi Aksa teralih pada sosok lelaki bersurai cokelat dengan ikat kepala putih yang baru saja memanggilnya. "Kau mungkin tidak mengenal kami, tapi kami sangat mengenalmu."

"Siapa kalian?" tanya Aksa dengan dahi mengerut.

"Kami adalah Sura, atau kau bisa juga mengartikan bahwa kami adalah Dewa. Namaku Wisnu dan dia adalah istriku, Laksmi. Semua yang terjadi padamu bukanlah sebuah kebetulan ataupun kemauan Dewa untuk menghukummu, tapi kaulah yang meminta penebusan dosa ini untuk sebuah tujuan, dan jika kau gagal mencapai tujuan itu, kau akan lenyap dari segala peradaban."

"Dan apa yang kalian lakukan di sini?"

"Membantumu."

Kali ini atensi Aksa teralih pada sosok Laksmi yang memberikan lembaran bambu yang telah dibelah pada Aksa. Dengan segala tanya dalam kepala, Aksa menerima lembaran bambu itu dan terlihat ada ukiran-ukiran huruf di lembaran bambu itu.

"Apa ini?" tanyanya ketika menatap Laksmi.

"Itu adalah penebusan dosamu," jawab Sang Sura, dan Aksa lekas membaca tulisan di lembar bambu itu.

"Satu permata penghubung kedua jiwa, bagaikan mata rantai yang berkelindan sakral menandai tiga memori dalam sembilan dunia. Terpecah oleh empat arah mata angin di lima benua berbeda dengan enam musim dan tujuh samudra. Ialah afeksi terkutuk akan delapan gugusan bintang, pada keabadian yang tidak kekal." Aksa berkedip beberapa kali setelah membaca tulisan itu. Ia kemudian menatap sepasang Sura di hadapannya secara bergantian. "Apa maksud dari semua ini? Apa maksud penebusan dosa dan sebuah tujuan yang kalian bicarakan? Aku tidak mengerti."

"Kau seharusnya mengerti, Aksa."

Sebelah alis Aksa meninggi ketika mendengar suara Wisnu. Apa maksudnya ia harus mengerti?

"Kau yang membuat enigma untuk kehidupanmu sendiri, Kitsune."

"Kitsune?" Aksa menirukan nama asing yang ada di akhir kalimat Laksmi. Kerutan di dahi Aksa semakin dalam, menandakan ia benar-benar tidak paham dengan semua hal yang terjadi. Tapi jika perkataan sepasang Sura ini benar, bukankah itu berarti perkataan sosoknya yang lain juga benar? Dan jika memang begitu kenyataannya, apa mungkin sosok mirip dirinya yang bersurai panjang itu adalah Kitsune? Lalu bagaimana dengan Binar dan sosok mirip Binar yang bersama Kitsune?

"Kau harus menebus dosamu. Kau harus mengubah takdirmu. Jangan membuang-buang waktumu, karena satu detikmu adalah selamanya untukku. Keabadian memang tidaklah kekal, tapi jika kau tidak bisa mengubah takdir selama penebusan dosamu, maka kau ... aku akan lenyap tanpa sekalipun diingat oleh semesta."

Aksa mengerjap begitu teringat pada ucapan sosok yang ia anggap sebagai Kitsune. Aksa mulai berpikir tanpa memedulikan tatapan sepasang Sura, seekor Dragon, dan sang peri pohon. Harusnya ia tahu sesuatu, kalimat itu adalah petunjuk dari enigma yang menurut Laksmi, Aksa-lah yang membuatnya. Lelaki pirang itu berusaha memecah setiap angka dalam kalimat yang ia baca tadi.

Satu permata.

Dua jiwa.

Tiga memori.

Empat arah mata angin.

Lima benua.

Enam musim.

Tujuh samudra.

Delapan gugusan bintang.

Sembilan dunia.

"Mata!" Naruto memekik begitu ia mengingat bahwa penduduk miskin di pinggiran kota seringkali menjual batu permata berjenis tiger eye yang telah mereka rangkai menjadi perhiasan seperti gelang dan semacamnya. Bagi penduduk miskin permata tiger eye itu adalah sumber kehidupan mereka.

"Apa maksudmu dengan mata?" tanya Y Ddraig Goch yang sejak tadi diam dan menyimak maksud kedatangan sepasang Sura yang menunggangnya tadi.

"Katakan, katakan siapa Dewa tertinggi bermata satu yang ada di seluruh dunia," ujar Aksa.

"Kenapa kau perlu tahu tentang One Eyed Gods?" tanya Reia.

"Penduduk miskin pinggiran kota biasa berjualan permata tiger eye, ada beberapa juga yang menjual permata berjenis cat eye, dan aku yakin jika satu permata yang dimaksud dalam kalimat itu adalah seseorang bermata satu. Maksudku, di lembar bambu itu tertulis satu permata, mata yang lebih berharga dari mata seluruh makhluk di dunia ini adalah mata Dewa. Jadi katakan siapa saja One Eyed Gods yang tadi kau sebutkan Reia."

Reia menghela napas sejenak sebelum menyebutkan One Eyed Gods yang ada di dunia tanpa mengetahui bahwa sepasang Sura yang ada di sana tengah mengulum senyum. Mungkin Aksa akan berhasil mencapai tujuannya—mengubah takdir—selama penebusan dosa.

"Ada tiga One Eyed Gods di dunia, yaitu; Horus, Chaos Magno, dan Odin."

"Dan ... kenapa mereka memiliki satu mata? Aku harus bertemu Dewa yang tahu segalanya."

"Horus menukarkan satu matanya untuk kemenangan dalam perang melawan pamannya, Set, sedangkan Chaos Magno, aku tidak terlalu mengerti, aku hanya tahu bahwa Chaos adalah Dewi Takdir yang juga merupakan salah satu Dewi Permulaan di Yunani, dan Odin kehilangan salah satu matanya untuk ditukarkan dengan kebijaksanaan dari pengetahuan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan dari sumur mimir."

"Odin. Aku harus menemui Odin. Di mana aku bisa bertemu dengannya Ya Sura?" Aksa menatap Wisnu dan Laksmi dengan penuh permohonan.

"Kau yakin ingin bertemu Father of Aesir?" Aksa mengangguk. "Apa yang akan kau lakukan?" tanya Wisnu lagi.

"Aku hanya ingin bertanya tentang hal-hal yang tidak kumengerti. Dia pasti tahu segalanya mengingat dia memiliki pengetahuan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan."

"Kalau kau seyakin itu, tidak ada pilihan lain bagi kami selain mengantarkanmu ke Asgard."

"Kalian akan mengantarkanku?" tanya Akaa dengan mata berbinar. Sungguh, ia ingin tahu ... apakah segala hukuman, penebusan dosa, atau apalah itu berhubungan dengan sosok Binar atau tidak? Jika tidak, ia akan menjalani apapun itu dan mencari tahu tujuannya, tapi jika jawabannya adalah iya ... ia akan melakukan apapun, mengorbankan apapun, selama itu membuat Binar baik-baik saja.

"Tentu, kami di sini untuk membantumu."

"Terima kasih, Ya Sura."

Aksa bersujud di hadapan sepasang Sura itu. Wisnu lantas menyuruhnya berdiri, tidak seharusnya Aksa bersujud di kakinya, biar bagaimanapun sejak awal Aksa bukanlah seorang manusia yang harus menyembah Dewa, tapi ialah sosok yang biasa disembah manusia.

"Bersiaplah, kita akan segera pergi ke Asgard," ujar Wisnu yang ditanggapi anggukan mantap dari Aksa.

"Tunggu!"

Baik Aksa, Reia, Y Ddraig Goch, maupun sepasang Sura itu menoleh ke sumber suara. Aksa bergidik saat merasakan aura kuat dari roh transparan yang seringkali memperingatinya ketika ia mencoba—secara tidak sengaja—untuk menyentuh Binar.

"Ada apa Reyn?" tanya Reia kepada roh itu.

"Untukmu." Reyn melemparkan sebuah kotak mahoni yang langsung ditangkap oleh Aksa dengan sigap. "Dari Binar."

Belum sempat Aksa menampakkan keterkejutannya Reyn sudah pergi dari hadapan mereka. Jantung Aksa bertalu keras menggedor-gedor rongga dadanya. Ia mengatur napasnya yang mendadak tersengal dan menelan ludah dengan susah payah sebelum membuka kotak kayu itu dengan gemetaran. Sekali lagi ia mengabaikan eksistensi sepasang Sura, beserta peri pohon, dan juga sesosok Dragon ketika mendapati isi kotak itu adalah lembaran kayu aspen dengan sebuah tulisan yang begitu rapih di permukaannya.

Yang fana ialah waktu

Yang nyata ialah kau

Dan aku hanyalah ketidakpastian yang membelenggu

Air ialah diriku dan kau ialah pijar api yang menggelora

Kita hanyalah kepulan asap yang tertiup angin lalu tiada

Rindu ialah setiap denyut yang menyesakkan dada

Ia jatuh di Bumi yang tak semestinya ia tinggali

Ia bersemi di musim yang tak seharusnya ia singgahi

Cinta ialah rasa yang tak seharusnya ada di antara kita

Tetapi untukmu, aku akan tetap ada meski tiada nyata yang biasa kaupuja melalui tatapan mata ... seperti Draco yang tiada pernah tenggelam di horizon utara

Aksa merasa napasnya menghilang dalam beberapa detik, pun detak jantungnya yang berhenti ketika membaca tulisan di permukaan lembaran kayu aspen itu. Dia mencintai dan dicintai oleh Binar, tapi Binar benar, hanya karena Aksa mencintai dan dicintai olehnya bukan berarti hal itu cukup, nyatanya semesta tidak mengizinkan mereka bersama, tapi demi apapun yang ada di dunia, Aksa akan menemukan jawaban dari enigma yang menuntun jalannya, pun ia akan mencari segala cara untuk bisa bersama Binar, karena seperti yang tertulis dalam lembaran kayu aspen ... Binar adalah ketidakpastian yang membelenggu dan Aksa adalah seseorang yang dengan sadar mencintai segala ketidakpastikan juga belenggu dari sosok yang mungkin takkan pernah ia lihat lagi.

※※※※※※※

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status