Share

3. Kelindan

Binar melangkah memasuki goa di mana ia terbiasa menyendiri semenjak tinggal di belantara Britania Raya. Di sana Temaram dan Gulita sudah menunggu. Ia yakin kedua Dragon itu akan menyampaikan kabar buruk yang entah apa. Sebentar lagi purnama, sudah pasti banyak kejadian tak terduga yang disebabkan oleh Bakunawa.

"Jadi ... apa yang ingin kalian berdua bicarakan?" tanya Binar begitu melihat wajah serius Temaram dan Gulita yang kini berlutut di hadapannya.

"Kami membawa kabar buruk Yang Mulia." Binar melirik Temaram untuk menunggu lelaki itu melanjutkan ucapannya. "Yang Mulia Raja Ryujin telah tewas di tangan seorang manusia."

Manik obsidian Binar membola begitu suara Temaram merasuki indera pendengarannya. Waktu seolah berhenti detik itu bagi Binar. Ayahnya tewas di tangan para manusia, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?

"Bakunawa telah menyebar ilusi pada sebagian manusia dan memberitahukan kelemahan para Dragon di seantero jagat raya agar ia bisa memusnahkan mereka; terutama Dragon yang tinggal di dalam perairan agar memungkinkannya muncul di lautan berbeda untuk menelan Purnama."

"Mengecoh pasukan Dragon yang telah siaga untuk menghadapinya, huh?" 

"Benar Yang Mulia," sahut Gulita.

"Jadi ... tujuan kalian ke sini?" Binar melirik kedua jelmaan Dragon itu. Ruang dalam dadanya terasa menyempit dan matanya memanas, ia ingin perbincangan ini cepat selesai.

"Yang Mulia Binar harus kembali ke Istana Raja Naga di bawah lautan. Besar kemungkinan Bakunawa akan mengirimkan manusia atau pasukannya untuk menghancurkan semua istana bawah laut yang ada di alam raya."

"Aku mengerti. Kita akan kembali besok pagi."

Perbincangan singkat itu pun berakhir dengan Binar yang meninggalkan Temaram dan Gulita dalam kebisuan. Seiring langkahnya yang kian menjauh dari goa, seiring pula tetes-tetes air mata jatuh dari sudut mata Binar. Harusnya ia sudah memprediksi hal ini akan terjadi, tapi kenapa rasanya tetap menyakitkan saat mendengar langsung bahwa ayahnya tewas di tangan seorang manusia?

Semakin Binar melangkah dengan arah tak tentu, semakin ia merasa asing dengan tempatnya berdiri sekarang. Menyadari keganjilan itu, Binar lekas mengusap air matanya demi mengamati keadaan sekeliling. Tempat itu jelas bukan belantara Britania Raya, mengingat ia sudah hafal di luar kepala tentang tempat itu. Keningnya mengernyit saat melihat sungai berarus deras dengan air yang begitu jernih layaknya sebuah kaca.

"Hei, kau datang lagi kemari?"

Binar terlonjak ketika sebuah suara bariton merasuki indera pendengarannya. Ia menoleh ke samping dan mendapati seseorang yang sangat familier dalam penglihatannya, tetapi ada yang aneh. Sosok itu masih memiliki tubuh tinggi nan tegap. Berkulit kecokelatan dengan tiga goresan luka di masing-masing pipinya. Matanya masih berwarna biru seperti berlian yang menipu. Satu-satunya yang salah adalah surai keemasan yang biasanya terlihat pendek dan acak-acakan kini begitu panjang dan terikat satu ke belakang.

"Aksa?"

"Huh?" Pemuda berperawakan mirip Aksa itu mengerjap bingung. "Kau bilang apa?" tanyanya yang membuat Binar tidak mengerti.

"Kau Aksa, benar?"

"Apa yang kau bicarakan? Siapa Aksa? Kau bertemu manusia yang mirip dengan wujud manusiaku ... Phoenix?"

"Phoenix?"

"Terjadi sesuatu?" Binar mengerjap tidak paham dengan situasinya sekarang. "Kau menginginkan sesuatu?" Dalam sekejap seringai buas terlihat di bibir penuh sosok yang begitu mirip Aksa bersamaan dengan aura pekat yang mengunci pergerakan Binar. Apa yang sebenarnya terjadi?

"...nar... Binar .... Hei, kau tidak apa-apa?"

Binar mengerjap berkali-kali untuk memastikan sosok di hadapannya. Ia mengernyitkan dahi semakin dalam.

"Ke-kenapa kau menatapku begitu?"

Aksa yang mendapati tatapan aneh dari Binar lekas memundurkan tubuhnya. Ia tadi sempat diberitahu oleh Reia kalau Dewa Ryujin telah tewas di tangan seorang manusia dan Binar akan pergi dari belantara Britania Raya esok pagi, karena itu Aksa pikir ia akan menghabiskan sisa hari ini dengan Binar. Saat itu Aksa lekas melangkahkan kakinya ke hutan selatan, dan benar saja Binar ada di sana, hanya saja Dewi cantik itu terlihat tengah diam dengan tatapan kosong dalam posisi duduk bersimpuh. Naruto tidak tahu apa yang terjadi, dan kenapa Binar justru menatapnya dengan tatapan aneh seperti itu? Aksa sungguh-sungguh tidak mengerti.

"Aksa?"

"Y-ya?" Aksa menatap ke dalam mata Binar dengan penuh keraguan, dan melihat Binar tak berniat melanjutkan ucapannya, Aksa akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. "Apa yang terjadi?" tanyanya.

"Kau pernah mengatakannya bukan?" Aksa hanya mengerjap tidak mengerti saat Binar menanyakan hal yang tidak ia ketahui. "Kau bilang pernah melihatku di suatu tempat di suatu waktu yang entah kapan." Aksa mengangguk. "Dan tentang Phoenix."

Manik biru Aksa melebar saat Binar menyebutkan nama burung abadi itu. Jantungnya bertalu keras dan segala perasaan tumpah ruah hingga ia merasakan dadanya sesak. Phoenix, kenapa nama burung itu bisa membuatnya merasakan sakit tak berperi. Sebuah perasaan asing juga desir aneh yang menyesakkan dadanya. Aksa menggeleng kuat-kuat untuk mengelak dari gejolak perasaan dalam dadanya.

"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?"

Binar menghela napas sejenak sebelum berkata, "Mungkin Arawn memang memiliki rencana kenapa ia membangkitkanmu di belantara Britania Raya."

"Apa maksudmu?"

"Lupakan."

Binar memilih berdiri dan menemukan lengkung tujuh warna menghias langit senja. Ia kembali mengernyitkan dahi. Pelangi adalah pertanda petaka bagi semesta. Apa yang sebenarnya terjadi? Sementara Binar memerhatikan pelangi di senja hari, Aksa justru memerhatikan raut wajah Sang Dewi. Adatah keindahan yang lebih hakiki ketimbang sosok cantik di hadapannya yang kian menawan berlatar pelangi senja hari? Di saat tanya mengudara dari dalam kepala Aksa, saat itu Binar menolehkan pandang hingga obsidiannya bertumbukan dengan safir milik sang 'nusia. Waktu seolah dipaksa berhenti begitu mereka saling menyelami kedalaman mata masing-masing.

"Kenapa kau selalu menatapku seperti itu?" tanya Binar.

Aksa menarik napas dalam-dalam, ia tahu ini bodoh tapi mengingat besok Binar akan pergi dari tempat ini, Aksa tidak memiliki pilihan lain selain berkata, "Karena aku mencintaimu."

Dalam sekian sekon tubuh Binar membeku. Ada desir aneh yang singgah di dadanya bersama rasa sesak yang ia ketahui sebagai perasaan yang seharusnya tak ada di sana. Seharusnya tidak begini, tapi Binar tidak bisa mengelak dari sebuah fakta ... bahwa warna biru di mata Aksa telah menenggelamkannya begitu jauh dalam samudra asing yang begitu menyamankan, dan meski begitu ia tahu muara dari segala rasa yang ia dan Aksa miliki, layaknya masing-masing garis warna pelangi, mereka akan tetap sejalan, tapi tak akan pernah dipertemukan.

"Aku tahu." Binar tersentak dari lamunan kala suara bariton Aksa kembali terdengar. "Ini terdengar begitu lancang. Siapalah aku ini, tak ada bedanya dengan pungguk yang merindukan Bulan. Kau dipuja nirwana sedang aku dilepeh neraka, tapi aku sungguh tidak tahu bagaimana caranya berhenti untuk mencintaimu."

Kali ini giliran Binar yang menarik napas dalam-dalam. "Hanya karena kau mencintaiku dan aku mencintaimu, semuanya tidak akan pernah cukup Aksa. Kau harus berhenti melukai dirimu sendiri dan aku pun harus pergi."

Binar membalikkan badan demi menjauh dari Aksa. Ia akan pergi dari belantara Britania Raya dengan kemungkinan terburuk ia akan lenyap tanpa pernah bisa menyentuh sosok 'nusia yang ia cinta. Mungkin Aksa benar, nirwana memujanya, tapi lebih dari itu ... Binar hanya ingin memuja Aksa, sosok 'nusia yang telah menggenggam jiwanya. Yang tidak Binar tahu adalah ... Aksa akan tetap mencintanya, karena perasaan itu ada dan terasa begitu nyata, senyata bagaimana ia bernapas, dan jika jatuh cinta adalah dosa, Aksa siap menanggung segala hukum yang kelak dijatuhkan Dewa kepadanya ... meski itu berarti eksistensinya tiada pernah diakui oleh semesta. Tetapi baik Aksa maupun Binar tidak pernah tahu bahwa ikatan rantai tak kasat mata itu masih membelenggu mereka pada perjalanan panjang di ranah semesta fana yang melelahkan

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status