Share

Psalm V

last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-30 07:38:42

Perlahan tapi pasti, seiring detak waktu yang enggan berhenti. Sang Surya menenggelamkan diri. Suasana menjadi lebih sunyi. Tidak ada lagi kelebat burung camar yang terbang ke sana ke mari. Hanya terdengar debur ombak yang memecah keheningan sesekali.

Di bawah langit malam yang jauh dari gegap gempita perkotaan. Di mana cahaya bintang adalah satu-satunya penerangan. Dua anak manusia berbaring di atas pasir pantai, berdampingan. Sesekali angin malam berhembus kencang. Sehingga membuat mereka saling menghangatkan dalam satu pelukan.

"Sepertinya Bora cemburu melihat kemesraan kita," gumam Albern.

Zenith terkekeh. "Kamu terlalu sentimentil. Kita tidak sedang berada di Krimea."

Krimea. Salah satu tonjolan kecil di Eropa Tenggara. Di sanalah mereka berkenalan dengan Bora yang dingin dan kering. Albern masih ingat betul dengan wilayah semenanjung di Laut Hitam itu. Mereka mengunjunginya dua tahun lalu.

Setelah cukup lama terdiam dalam lamunan. Albern berkata, "Apa kamu melihatnya?"

"Apa?"

"Tepat di atas sana. Bintang merah yang paling terang."

"Maksudmu Venus?" tanya Zenith naïf sambil meletakkan telunjuknya di bibir.

"Venus bukan bintang!"

"Huft... kamu ini. Baiklah akan kucari lagi."

Zenith lantas memfokuskan indera penglihatannya, membuat lensa matanya berakomodasi berkali-kali lipat tipisnya. Ia mengamati setiap sisi angkasa raya, mencari-cari bintang merah di tengah lebatnya hutan cahaya di sepanjang cakrawala. Lalu pandangannya naik semakin ke atas, coba untuk menjamah bagian lain angkasa raya. Namun, bintang merah itu tak kunjung ia temukan. Pandangannya hanya menangkap konstelasi Crux di selatan dan Ursa Mayor di utara. "Apa bintang itu bagian dari kostelasi?"

Albern mengangguk pelan. Pandangannya tetap tertuju pada cahaya bintang yang bertebaran. "Antares..."

"Apa?" seru Zenith impulsif.

Albern mengangkat tangan kanannya tepat di atas kepala, menunjuk bintang yang paling terang. "Bintang merah itu. Tepat di perut Scorpio, di sebelah barat Sagitarius. Itulah Antares. Ia adalah primadona di bulan September. Meski begitu ia bukan yang terpanas."

Zenith mengangguk takzim. Akhirnya ia bisa menemukan bintang merah itu. Tapi, ia masih penasaran dengan hal lain. "Lalu bintang apa yang terpanas?"

"Spica adalah salah satunya. Bintang berwarna kebiru-biruan pada konstelasi Virgo. Tapi sayangnya kita butuh teleskop untuk bisa melihatnya dengan jelas."

Zenith tersenyum tipis. Albern selalu membuatnya terkesan dengan segala pesona dan kecerdasan intelektualnya. "Boleh aku tanya sesuatu?"

"Katakanlah."

"Apa yang membuatmu menguasai banyak hal?"

Sesaat Albern menatap Zenith sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke langit luas. "Aku terlahir dari kebencian, tumbuh besar dalam kebohongan dan mungkin akan mati dalam keterasingan. Aku menjadikan ilmu pengetahuan sebagai pelarian. Obat dari segala duka lara dan penderitaan. Dan hanya di bawah keremangan cahaya malam, aku bisa berterus terang."

***

Malam semakin larut. Hawa dingin perlahan kian menusuk. Sisa hujan beberapa jam lalu sepertinya masih meninggalkan bekas yang terekam. Tak ada yang terdengar selain keheningan. Setiap sudut kota seperti dihantui kesenyapan. Tak terkecuali suasana di dalam rumah itu.

Usai pergulatan yang cukup melelahkan, pria itu berjalan tersaruk-saruk menuju dapur. Ia mengambil sebotol air mineral dan lekas menenggaknya. Ia kehausan, permainannya kali ini terasa sangat melelahkan. Ia lalu mengambil sekaleng coke dan berjalan menuju ruang kerja rahasianya.

Pria itu segera menyalakan komputer. Ia membuka folder berjudul 'VWV' –Very Wanted Victims–. Folder itu berisi daftar nama dan informasi para calon korbannya. Ia kemudian membuka folder lanjutan berjudul 'Ardi Mulya Lesmana'.

Di dalam folder itu terdapat foto-foto seorang anak dari berbagai sudut pandang. Selain foto, juga terdapat file-file lain berisi informasi detail tentang anak itu. Mulai dari nama keluarga, hal-hal yang dibenci dan disukai serta informasi lain yang ia butuhkan. Sambil membaca setiap file, ia membuka kaleng coke dan meminumnya.

Di tengah keheningan, ia mendengar rintihan tangis dari ruang eksekusi. 'Rupanya dia sudah bangun', pikirnya. Ia menuju ruangan itu dan memakai kembali sarung tangannya sebelum mengambil pakaian korbannya.

"Cepat pakai kembali pakaianmu, Rendy," ujarnya sembari menyodorkan pakaian itu kepada sosok kecil yang meringkuk telanjang di sudut ruang. Seberkas cahaya lampu dari ruangan sebelah menyorot senyum bengisnya. "Kamu akan segera pulang," tukasnya sambil mengusap lembut kepala bocah malang itu dan tersenyum bengis.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ellipsis   Psal XLVI

    Mbah Ran sedang duduk santai di teras rumah saat aku hendak keluar mencari udara segar. Meski ada dua buah kursi, ia memilih duduk di lantai dan bersandar pada sebuah pilar. Ia meletakkan blangkonnya pada tempurung lututnya yang terangkat. Di depannya terdapat sebuah radio antik merek National berwarna hitam yang suaranya sudah tidak lagi jernih.Sudah hampir satu minggu kami tinggal satu atap. Tapi, kebekuan di antara kami belum juga meretak. Aku tetap saja menajaga jarak terhadapnya meski ia selalu ramah dan baik terhadapku. Entah kenapa, selalu sulit buatku untuk membina hubungan dengan orang-orang baru.“Mulailah untuk membuka diri, Zaynn.” Kalimat yang Ashika lontarkan minggu lalu tiba-tiba menggema di dalam kepalaku. Membuka diri? Bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan untuk memulainya?Aku sudah siap berbalik dan memutar haluan, tapi aku urung melakukannya. Aku tidak mungkin terus menerus menghindarinya. Ya, aku harus menghadapinya.Perlahan aku melangkah ragu dan berhenti

  • Ellipsis   Psalm XLV

    Aku telah terlahir ke dalam sebuah dunia yang tak pernah aku kenal sebelumnya. Dan aneh rasanya, aku sama sekali tidak bisa mengingat apa yang aku telah alami sebelum membuka mata untuk pertama kalinya. Seandainya setiap hal yang kulalui dapat direkam oleh memori otak dan pikiranku sejak aku berada di dalam kandungan ibuku. Mungkin aku tidak akan bertanya-tanya, dari mana aku berasal? Kenapa aku dilahirkan? Dan apa tujuanku hidup di dunia ini?Semua pertanyaan-pertanyaan itu masih belum kutemukan jawabnya hingga saat ini. Dan anehnya, semakin aku berusaha menemukan jawabnya, semakin aku dibuat bingung karenanya.Alur kehidupan seperti halnya rangkaian gerbong kereta yang terus melaju dan hanya berhenti di setiap stasiun. Kadang kala ada saat-saat di mana kita harus berganti gerbong tujuan. Kita tidak bisa berhenti sembarangan. Namun bila memang itu yang kita inginkan, kita bisa melompat dari dalam kereta dan menemui kematian sebelum ia datang. Dan seandainya kita beruntung serta selam

  • Ellipsis   Psalm XLIV

    Senyap dan pekat. Hanya desahan napasku yang terdengar mengisi gelap. Mimpi yang sama kembali terulang, membuatku terjaga di penghujung malam. Aku terengah, mendesah tak karuan. Irama napasku tidak beraturan. Keteganganku mulai luruh seiring menguapnya seluruh peluh. Kerongkonganku terasa kering dan tercekat, sebab rasa haus yang melekat semakin kuat.Aku melihat sekitarku. Semua masih tampak gelap. Jam digital yang berada di sebelah kiri ranjangku menunjukkan pukul 05.38 am. Sudah pagi rupanya. Aku segera beranjak dari tempat tidurku. Area perut dan pinggangku masih terasa nyeri, tapi tidak senyeri hari-hari sebelumnya. Selain itu, sepertinya aku juga sudah mulai terbiasa dengan rasa sakitnya.Aku berjalan dengan hati-hati. Semua masih tampak samar saat ini. Aku mendekati jendela dan membuka tirainya. Sorot terang yang ada di luar sana perlahan menyusup masuk ke dalam kamar. Matahari sudah muncul di ufuk timur. Cahayanya menerangi setiap sudut tempat yang masih terasa asing buatku.

  • Ellipsis   Psalm XLIII

    Kopi Sudah Menjadi JelagaAku tahu bagaimana rasanyaMenjadi arang di antara intanSerupa kerikil di hamparan bacanTak pernah diperhatikanTerpinggirkanAku telah mencipratkan lumpur dan nodaDi muka pakaian merekaTanpa kataMereka pergi dengan wajah merah menyalaSendiri aku di tengah padang sabanaMenyesap penuh segala lukaMenyeruak kasar semua dukaTak ada lagi senyum tersisaDanKetika aku membuka mataAku tersadar dari mimpi segala durjaMenyatu padu semua dilemaMerobek tudung segala rasaTak ada hal lain yang kurasakanSelain sesal teramat dalamTak mungkin aku meneruskan perjalananDengan mata separuh terpejamAku berjalan memutar haluanCoba perbaiki cela yang tertinggal di belakangKuketuk setiap pintu rumah merekaNamun, tak ada satupun yang dibukaDari dalam rumah mereka berkata;Kopi sudah menjadi jelaga…Aku menundukkan pandangan dan memijat pangkal hidungku begitu Ashika selesai membaca puisiku. Aku hanya bisa menahan tawa dan malu melihat tingkahnya. Entah kenapa ia

  • Ellipsis   Psalm XLI

    Dia adalah masa lalu yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Entah sampai kapan bayang-bayangnya akan mengisi 3 hal penting dalam diriku: otak, pikiran dan hatiku. Semua terasa berbeda, penuh warna, tidak 0 tanpa rasa. Membuatku selalu teringat dengan momen-momen indah dan menyakitkan itu. Intuisiku bergejolak, mencoba meredam kerinduan yang menyeruak.Perlahan tapi pasti, rasa itu mulai berubah menjadi vaksin yang membuatku kebal terhadap semua rasa lain yang mencoba menyerang keteguhan pendirianku. Ini bukan hanya tentang cinta yang menyatukan sepasang anak manusia, tapi tentang semua rasa yang berpadu menjadi 1. Rintihan kasih yang terpendam jauh di lubuk hati yang selalu berseteru. Antara rasa dan logika, 2 hal berbeda yang saling beradu.Waktu terus mengalir, tak peduli dengan air mata yang selalu bergulir, melewati celah di pipi dan menjadi 1 dengan bibir. Asaku mulai memudar, tak ada lagi senyum yang terpancar. Tekanan datang bertubi-tubi, 99 masalah datang menghampiri. Ingin ku

  • Ellipsis   Psalm XL

    Terang. Tempat itu terlalu terang. Panas terik menyengat badan. Sesaat aku menengadahkan pandanganku ke langit lapang. Dalam termangu, aku terheran-heran. Tercengang. Bagaimana bisa dua matahari berada dalam satu jalur peredaran? Warna kedua bintang itu sama, nyaris tak ada beda. Sama-sama kuning dalam penampakannya. Mungkinkah salah satu matahari itu adalah bintang Capella dari konstelasi Auriga? Karena setahuku, cahaya Capella juga berwarna kuning serupa rona sang surya.Mungkinkah ini bisa terjadi? Atau jangan-jangan, ini semua hanyalah mimpi. Tapi, kenapa semua terasa begitu nyata? Rasa sakit, perih, panas, haus dan semuanya terasa sangat nyata. Mungkinkah sekarang aku berada di neraka? Tapi, kenapa aku tak menjumpai seorangpun di sini? Bukankah semestinya neraka itu ramai, sesak dengan para pendosa? Sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci semua agama.Aku sudah sangat lelah. Sepasang kakiku terasa lemah, seperti tak sanggup lagi melangkah. Aku melemparkan pandanganku jauh ke d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status