Share

Psalm V

Perlahan tapi pasti, seiring detak waktu yang enggan berhenti. Sang Surya menenggelamkan diri. Suasana menjadi lebih sunyi. Tidak ada lagi kelebat burung camar yang terbang ke sana ke mari. Hanya terdengar debur ombak yang memecah keheningan sesekali.

Di bawah langit malam yang jauh dari gegap gempita perkotaan. Di mana cahaya bintang adalah satu-satunya penerangan. Dua anak manusia berbaring di atas pasir pantai, berdampingan. Sesekali angin malam berhembus kencang. Sehingga membuat mereka saling menghangatkan dalam satu pelukan.

"Sepertinya Bora cemburu melihat kemesraan kita," gumam Albern.

Zenith terkekeh. "Kamu terlalu sentimentil. Kita tidak sedang berada di Krimea."

Krimea. Salah satu tonjolan kecil di Eropa Tenggara. Di sanalah mereka berkenalan dengan Bora yang dingin dan kering. Albern masih ingat betul dengan wilayah semenanjung di Laut Hitam itu. Mereka mengunjunginya dua tahun lalu.

Setelah cukup lama terdiam dalam lamunan. Albern berkata, "Apa kamu melihatnya?"

"Apa?"

"Tepat di atas sana. Bintang merah yang paling terang."

"Maksudmu Venus?" tanya Zenith naïf sambil meletakkan telunjuknya di bibir.

"Venus bukan bintang!"

"Huft... kamu ini. Baiklah akan kucari lagi."

Zenith lantas memfokuskan indera penglihatannya, membuat lensa matanya berakomodasi berkali-kali lipat tipisnya. Ia mengamati setiap sisi angkasa raya, mencari-cari bintang merah di tengah lebatnya hutan cahaya di sepanjang cakrawala. Lalu pandangannya naik semakin ke atas, coba untuk menjamah bagian lain angkasa raya. Namun, bintang merah itu tak kunjung ia temukan. Pandangannya hanya menangkap konstelasi Crux di selatan dan Ursa Mayor di utara. "Apa bintang itu bagian dari kostelasi?"

Albern mengangguk pelan. Pandangannya tetap tertuju pada cahaya bintang yang bertebaran. "Antares..."

"Apa?" seru Zenith impulsif.

Albern mengangkat tangan kanannya tepat di atas kepala, menunjuk bintang yang paling terang. "Bintang merah itu. Tepat di perut Scorpio, di sebelah barat Sagitarius. Itulah Antares. Ia adalah primadona di bulan September. Meski begitu ia bukan yang terpanas."

Zenith mengangguk takzim. Akhirnya ia bisa menemukan bintang merah itu. Tapi, ia masih penasaran dengan hal lain. "Lalu bintang apa yang terpanas?"

"Spica adalah salah satunya. Bintang berwarna kebiru-biruan pada konstelasi Virgo. Tapi sayangnya kita butuh teleskop untuk bisa melihatnya dengan jelas."

Zenith tersenyum tipis. Albern selalu membuatnya terkesan dengan segala pesona dan kecerdasan intelektualnya. "Boleh aku tanya sesuatu?"

"Katakanlah."

"Apa yang membuatmu menguasai banyak hal?"

Sesaat Albern menatap Zenith sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke langit luas. "Aku terlahir dari kebencian, tumbuh besar dalam kebohongan dan mungkin akan mati dalam keterasingan. Aku menjadikan ilmu pengetahuan sebagai pelarian. Obat dari segala duka lara dan penderitaan. Dan hanya di bawah keremangan cahaya malam, aku bisa berterus terang."

***

Malam semakin larut. Hawa dingin perlahan kian menusuk. Sisa hujan beberapa jam lalu sepertinya masih meninggalkan bekas yang terekam. Tak ada yang terdengar selain keheningan. Setiap sudut kota seperti dihantui kesenyapan. Tak terkecuali suasana di dalam rumah itu.

Usai pergulatan yang cukup melelahkan, pria itu berjalan tersaruk-saruk menuju dapur. Ia mengambil sebotol air mineral dan lekas menenggaknya. Ia kehausan, permainannya kali ini terasa sangat melelahkan. Ia lalu mengambil sekaleng coke dan berjalan menuju ruang kerja rahasianya.

Pria itu segera menyalakan komputer. Ia membuka folder berjudul 'VWV' –Very Wanted Victims–. Folder itu berisi daftar nama dan informasi para calon korbannya. Ia kemudian membuka folder lanjutan berjudul 'Ardi Mulya Lesmana'.

Di dalam folder itu terdapat foto-foto seorang anak dari berbagai sudut pandang. Selain foto, juga terdapat file-file lain berisi informasi detail tentang anak itu. Mulai dari nama keluarga, hal-hal yang dibenci dan disukai serta informasi lain yang ia butuhkan. Sambil membaca setiap file, ia membuka kaleng coke dan meminumnya.

Di tengah keheningan, ia mendengar rintihan tangis dari ruang eksekusi. 'Rupanya dia sudah bangun', pikirnya. Ia menuju ruangan itu dan memakai kembali sarung tangannya sebelum mengambil pakaian korbannya.

"Cepat pakai kembali pakaianmu, Rendy," ujarnya sembari menyodorkan pakaian itu kepada sosok kecil yang meringkuk telanjang di sudut ruang. Seberkas cahaya lampu dari ruangan sebelah menyorot senyum bengisnya. "Kamu akan segera pulang," tukasnya sambil mengusap lembut kepala bocah malang itu dan tersenyum bengis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status