Share

Psalm VI

Udara siang di luar cukup terik. Tapi tidak dengan suasana di rumah itu. Terasa sangat dingin dan beku. Beberapa orang yang berkumpul di ruang tengah terdiam dan menundukkan pandangan, sementara yang lain sibuk menangis dan menyesalkan takdir buruk yang datang menghampiri. Tangis mereka terdengar hingga ke jalan sempit yang dipenuhi sepeda motor dan mobil yang terparkir.

Para pengendara yang melintas menoleh dengan pandangan sarat tanya ke rumah berhalaman sempit itu, beberapa di antaranya berhenti dan bertanya langsung kepada orang-orang yang berada di tempat tersebut.

"Ada apa ini Pak kok rame-rame?" tanya seorang pengendara motor.

"Korban sodomi, Mas," jawab lelaki tua yang menata deretan sepeda motor berpelat hitam dan merah yang terparkir di depan rumah itu.

Pengendara sepeda motor itu tercenung sebentar, melihat kerumunan orang yang hilir-mudik di rumah itu sebelum akhirnya menarik tuas gasnya.

Di dalam rumah, Zenith dan beberapa rekannya dari KPAN sedang berusaha menenangkan korban dan keluarganya. Mereka berpencar dan menempati pos masing-masing, memberikan pendampingan serta dukungan moral untuk mereka. Mereka datang bersama keluarga korban dari rumah sakit tempat korban dirawat sebelumnya.

"Rendy ..." kata Zenith dengan senyum lembut dan tatapan hangat.

Tak ada tanggapan. Bocah malang itu tetap bungkam.

Sejak ditemukan kemarin lusa di sebuah halte bus di dekat kantor Polsek Jatinegara, tak sepatah pun kata terucap dari bibir Rendy. Tatapan matanya kosong, seolah menembus batas-batas naluriah lingkungan sekitarnya.

Di lain hal, ada sesuatu yang mengusik pikiran Zenith. Tanda itu, tato tiga lingkaran sejajar berwarna hitam yang ada di kening Rendy. Ia seperti pernah melihat tato semacam itu, tapi ia lupa kapan dan di mana persisnya. Polisi yang menangani kasus itu pun masih menduga-duga apa motif pelaku meninggalkan tanda itu di kening korbannya.

Zenith menghela napas panjang, "Baiklah. Kalau Rendy memang masih belum mau bicara dengan siapapun. Termasuk dengan tante. Tante akan pergi dari sini agar Rendy bisa merasa lebih tenang. Tapi sebelum pergi, tante mau memberi sebuah puzzle, buku gambar dan juga pensil warna. Rendy bisa menggambar apa pun yang Rendy mau, suka dan benci. Apa pun itu. Dan Rendy juga boleh membuang atau mematahkan pensil warna apa pun yang tidak Rendy disukai," tutur Zenith penuh kesabaran. "Dan sekarang, tante mau pulang dulu. Kita akan ketemu lagi minggu depan."

Itu adalah untuk kali kesekian Zenith berbicara dan tidak mendapatkan respon sedikitpun. Sebuah senyum ia kembangkan sebelum meninggalkan bocah malang itu. Ia lalu berjalan ke ruang tengah, menghampiri kedua orang tua Rendy yang sudah menunggunya sejak tadi.

"Dia masih delapan tahun," kata Teresa –ibu Rendy– disertai isak tangis. Ia sama sekali tidak menyangka hal seperti bisa terjadi pada anaknya. Hatinya benar-benar hancur.

"Sudahlah, Ma," bujuk Susilo –ayah Rendy–, coba menenangkan kesedihan isterinya. Ia lalu mendekap isterinya dari samping dan mengusap-usap bagian belakang bahunya. "Kita harus tabah dan tetap kuat. Kita tidak boleh terus menerus larut dalam kesedihan. Rendy membutuhkan semangat dan kasih sayang kita untuk membuatnya bangkit dan bisa menjalani hidup seperti sedia kala."

Perbincangan sepasang suami isteri itu menohok titik terdalam nurani Zenith. Perasaannya luluh lantak. Ia tidak hanya merasa iba kepada mereka, tapi juga merasakan kedengkian yang menyeruak semena-mena. Seandainya saja dulu Jonas bisa bersikap seperti laki-laki itu. Seandainya saja mantan suaminya itu mau menerima keadaan Nayla apa adanya. Pastilah perceraian itu tidak akan terjadi. Tidak akan pernah.

Zenith segera berpamitan dan buru-buru beranjak pergi, meninggalkan rekannya yang lain di beranda. Ia tidak kuat berada lebih lama lagi di antara mereka. Ia merasakan sakit yang teramat sangat meski mereka tak bermaksud melukainya. Usai berada di dalam mobil, setelah tidak ada seorang pun yang melihatnya. Ia menangis sejadi-jadinya.

***

"Apa Mbak Hani sudah siap dengan pertanyaan berikutnya?" tanya Nayla. Ia dan Hani sedang bermain tebak kata di kamarnya

"Yap!" jawab Hani antusias.

"Lima poin. Salah satu spesies dari serangga. Burung-burung sangat menyukainya."

"Jangkrik."

Nayla tersenyum hingga terlihat gigi-giginya yang putih berbaris rapi. Dan itu pertanda jika jawaban Hani masih kurang tepat. "Empat poin. Dia adalah hama."

"Hmm ... walang sangit."

"Tiga poin. Kata sebagian orang dia adalah binatang yang menjijikkan."

"Oh ... pasti kecoak."

"No ... no ... no ...," ujar Nayla sambil menggelengkan kepalanya dengan senyum menggoda. "Dua poin. Binatang ini tidak bisa bertelur atau pun beranak."

Hani mengangkat salah satu alisnya, bingung. "Lha kok gitu, Non? Memangnya ada, ya? Terus gimana cara berkembang biaknya?"

"Ada kok. Mau tahu jawabannya?"

Hani mengangguk pelan. Ia tak lagi punya pilihan selain menyerah.

"Baiklah ... yang terakhir. Satu poin. Dia ada di tangan Nay. Sekarang buka tangan Mbak tepat di bawah kepalan tangan Nay!" perintah Nayla dengan nada sedikit menggoda.

Hani menuruti perintah Nayla tanpa rasa curiga. Walau Nayla sering berbuat usil, tapi ia tetap percaya jika gadis kecil itu kali ini tidak akan berhasil menakutinya. Paling-paling hanya mainan tiruan seperti yang pernah terjadi sebelumnya.

Hani membuka telapak tangannya tepat di bawah tangan Nayla yang masih tergenggam.

Nayla mulai menghitung. "Satu, dua, ti..ga!"

Jatuhlah sudah makhluk mungil berwarna hijau dari tangan Nayla. Menggeliat lucu dan menggoda.

"Aaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrggggggggggggghhh!" teriak Hani ketakutan. Ia melonjak-lonjak belingsatan ketika melihat seekor ulat hijau menggeliat di telapak tangannya. Meski ulat itu telah jatuh di atas sprei, ia tetap melompat-lompat tak karuan. Ia segera berlari menjauh, menghambur keluar ruangan.

Sementara Nayla, ia hanya tertawa cekikikan. Ia merasa sangat puas sebab berhasil mengerjai Hani. Lagi.

*****

Siang sudah berganti malam. Kejenuhan melanda setiap titik terang. Bagi sebagian orang, sudah waktunya untuk beranjak pulang. Beristirahat dalam dekapan selimut kegelapan. Tak terkecuali mereka, manusia-manusia terasing dan terbuang. Ratusan pengemis dan gelandangan itu saling berdesakan, berebut mencari ruang apartemen yang telah dijanjikan.

Entah mimpi apa mereka semalam. Padahal baru beberapa hari yang lalu mereka menghabiskan malam di jalanan. Tapi sekarang ... dan entah sampai kapan. Mereka bisa tidur dengan nyenyak penuh kenyamanan. Tak perlu lagi merasa risau dan khawatir dengan razia Satpol PP yang acap kali datang dengan pentungan.

"Harap antri! Tolong antri!" seru salah seorang perempuan di meja konter. Ialah yang bertugas membagikan kunci apartemen. Tapi himbauannya sama sekali tak digubris, hanyut tertelan ricuhnya kerumunan.

"Minggir!"

"Geser!"

"Gantian, woy!"

"Yang sudah dapat kunci cepat pergi!"

Pekik mereka sambil terus berusaha merangsek ke depan. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang mengumpat dan melontarkan kata-kata makian. Mereka terus berebut dan berdesakan. Tidak ada istilah antri dalam kamus hidup mereka. Yang ada di benak mereka sekarang adalah bagaimana caranya agar bisa segera mendapatkan kunci kamar apartemen itu.

Kedua orang perempuan di balik meja konter itu tampak ketakutan. Mereka tak siap dengan situasi brutal semacam ini. Ada semacam gurat penyesalan yang terukir di wajah mereka. Ternyata tugas membagi kunci tidaklah semudah yang mereka kira.

Dari kejauhan, di dalam sedan Mercedez Benz S-600 Guard berwarna hitam metalik yang terparkir di pinggir jalan, dua orang pria mengamati kerumunan itu dengan memendam seberkas harapan. Sepasang mata mereka menatap tajam, seolah tak ingin ada satu momen pun yang terlewatkan.

"Apa Anda yakin ini akan berhasil?"tanya Jeremy ragu. Ia tidak pernah bermain selembut ini sebelumnya.

"Jika tikus sulit diusir dari rumah. Maka cara terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan memenuhi rumah itu dengan kucing."

"Tapi, bukankah lebih baik dan efisien kalau dibakar saja rumahnya?"

"Dan meninggalkan banyak tanda tanya?" tanya Albern sarkastis. "Ini bukan lagi masa Orde Baru. Sekarang setiap orang bisa dengan mudah berbicara di media. Citra perusahaan Anda jadi taruhan."

Jeremy termenung dan mencerna ucapan Albern dengan seksama. "Anda benar. Sepertinya saya memang sudah harus mulai belajar meninggalkan cara-cara radikal dalam bekerja."

***

Sambil memegangi keningnya yang terasa berdenyut dan panas, anak laki-laki itu menangis sesenggukan di sudut ruangan. Ia masih tidak tahu hal buruk macam apa yang sedang ia alami. Yang ia inginkan sekarang hanyalah bisa segera pulang. Agar ia bisa lekas memeluk ibunya dan merasa aman. Ia menyesal karena tidak mengacuhkan nasehat ibunya untuk tidak berbicara dan mempercayai orang asing. Tapi, sekarang semua sudah terjadi. Sudah jauh terlambat untuk disesali.

Di dalam ruangan itu, tidak ada kesempatan baginya untuk pergi. Tidak ada sedikit pun celah untuk meloloskan diri. Semua tertutup rapat. Gelap dan senyap.

Kraaaak! Suara gagang pintu yang berderak memecah keheningan. Sisa keberanian bocah malang itu semakin berlarian. Saat pintu terbuka, ribuan atau bahkan mungkin jutaan partikel cahaya menerobos masuk ke dalam ruangan, menyorot matanya yang berbinar nanar. Dalam kengeriannya, ia melihat sosok hitam besar berdiri di depan pintu. Sosok itu berjalan mendekat, membelakangi cahaya lampu yang bersinar teramat terang. Sehingga yang bias ia lihat hanyalah sosok hitam serupa bayang-bayang.

"Tenanglah. Om tidak akan menyakiti kamu, Ardi," kata pria misterius itu. Ia membungkukkan badannya, menyejajarkan pandangan mereka. Jarak mereka hanya 5 cm jauhnya, sehingga ia dapat merasakan aroma ketakutan dari setiap hembusan napas calon korbannya. "Mungkin ini akan terasa sedikit sakit. Tapi, aku pastikan kau juga akan menikmatinya."

Ardi semakin ketakutan. Tubuh kecilnya menggigil tak karuan. Ia berusaha untuk menghindar, mencari celah untuk melarikan diri dari sergapan. Ia mengambil ancang-ancang, menumpukan pijakan di kaki kanan dan bersiap menyelinap dalam satu sentakan. Ardi mencobanya. Tapi, berhasil digagalkan. Pria itu menangkapnya hanya dengan satu tangan. Ardi meronta dan berteriak, "Lepaskan! Ardi mau pulang!"

Pria itu terkekeh. "Kamu hanya akan pulang setelah kita selesai bersenang-senang, Ardi."

Setelah dirasa cukup bermain-main, pria itu membalik tubuh kecil Ardi hanya dalam satu gerakan tangan. Ardi masih berusaha untuk terus melawan, akan tetapi tenaganya tidaklah sepadan. Ia terus memukul, menendang dan mencoba melepaskan diri dari penyekapan. Tapi, semuanya hanyalah kesia-siaan. Tenaganya tidak cukup kuat untuk melakukan perlawanan.

"Berhenti melawan!" hardik pria itu. "Rilekslah... permainan akan segera dimulai."

Ardi terus bergerak dan meronta. Meski kali ini lebih lemah karena tenaganya nyaris tak bersisa. Napasnya memburu, terengah-engah dan berseturu. Ia tak tahu perlakuan buruk macam apa lagi yang akan ia terima. Yang ia tahu saat ini hanyalah seluruh pakaiaannya telah dilucuti. Tak ingin ia pasrah, tapi keadaan memaksanya untuk menyerah.

Hingga akhirnya... sebuah lengkingan panjang dan memilukan mengoyak selaput nurani, menandai perbuatan terkutuk yang baru saja terjadi.

Sunyi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status