Bip. Bip.
Catherine sedang mengambil kopi dingin dari kulkas saat mendengar ponselnya berbunyi. Bunyi pesan?
Sudah sejak hari di mana Hale diusir pulang dari apartemennya oleh Esme, pria itu tak pernah membalas pesannya dan tak pernah juga mengangkat panggilan teleponnya. Catherine rasanya ingin menyerah. Tapi dia begitu merindukan Hale.
Hampir setiap detik dia teringat akan wajah tampan Hale, canda tawa pria itu, hingga sentuhan hangat Hale padanya. Bagaimana mereka menghabiskan malam bersama waktu itu masih sangat membekas di benaknya. Dia ingin mengulangnya lagi. Dia ingin merasakannya lagi. Dia ingin bersama Hale lagi.
Jika semua itu tak bisa terulang lagi, lantas untuk apa dia berada di negara ini?
Saat ponselnya berbunyi, Catherine langsung tahu bahwa itu pesan dari Hale. Hanya Esme dan Hale yang mengetahui nomornya. Gegas dia menutup kulkas dan meraih ponsel yang tadi diletakkanny
Bunyi musik berdentam dentum, menyaingi musik di night club, terdengar dari unit yang baru disewa Hale. Bukan hanya suara musik yang memenuhi ruangan, tapi juga beberapa teman Hale yang diundang datang untuk melihat hunian barunya. Mereka berjoget, hilir mudik melihat-lihat hunian beserta furnitur berkelas itu dengan takjub, serta menyomot kue-kue kecil dan bir, yang baru dibeli Catherine tadi sore.Hale menjadi tuan rumah yang sangat bangga. Baru kali ini dia bisa menyelenggarakan pesta seperti ini. Terlebih lagi sosok Alicia di sampingnya yang terus menatapnya dengan pandangan memuja."Thank you, Baby. Karena kau, aku jadi bisa tinggal di tempat yang nyaman. Kau pun jadi bisa datang ke sini lebih sering. Tidak perlu aku yang datang ke tempatmu."Hale menarik pinggang Catherine masuk dalam pelukannya. Dicecapnya bibir wanita itu dan dilumatnya penuh gelora. Tentu saja dia senang. Sudah lama dia mengidamkan tinggal di ap
"Uhm ... Ehm ...."Jika tak ada bunyi musik yang membahana keras di apartemen Hale, desahan Catherine mungkin terdengar jelas. Tapi bunyi musik menutupinya dan hanya Hale yang mendengarnya.Bibir keduanya sedang saling berkejaran menggapai hantaran listrik yang mampu membangkitkan hasrat di dalam diri mereka. Dan saat hasrat itu sudah memuncak, Hale menarik Catherine hingga kedua kaki wanita itu melingkar di pinggangnya. Diangkatnya wanita itu berjalan memasuki kamar. Hiruk pikuk para temannya di luar kamar tak digubrisnya.Sampai di kamar, Hale menutup pintu dengan kakinya. Dia pun merebahkan tubuh Catherine di atas tempat tidur. Mereka kembali berpagutan yang saling mengejar. Seakan jika sedetik saja pagutan mereka terlepas, maka semuanya akan berakhir.Tangan Hale menjelajah tubuh Catherine dan mulai menyusup di balik kaos baju wanita itu. Dia meraih dada besar Cahterine dan membelainya dengan penuh gelora.Dengan segera, Hale mulai melep
"Menurutmu mereka di kamar?"Sesaat setelah melontarkan pertanyaan itu, Esme merutuki dirinya sendiri. Pertanyaan bodoh. Sudah tentu Catherine di kamar bersama Hale. Apa lagi yang akan mereka perbuat jika sudah bersama."Iya. Ayo, kita ketuk."Darren kembali menarik tangan Esme. Gadis itu merasakan lagi kehangatan tangan Darren. Kehangatan yang membuatnya merona.Mereka tiba di depan pintu kamar yang tertutup. Darren melirik Esme sejenak sebelum dia mengangkat tangannya dan mengetuk pintu.Tiga ketukan yang mantap dan mereka menunggu. Semenit berlalu tapi pintu tak jua dibuka.Darren mengetuk lebih keras lagi. Masih juga pintu tak dibuka."Kau akan mendobrak?" tanya Esme saat melihat Darren sudah siap mengambil kuda-kuda untuk mendobrak.Darren mengangguk, mengumpulkan tenaganya, dan mulai menghantamkan tubuhnya ke daun pintu. Pintu masih bergeming, tak sedikitpun terbuka. Darren menunggu sembari menatap Esme.
Darren terbelalak merasakan bibir yang selama ini merupakan bagian personal tubuhnya, kini dicecap oleh bibir Esme. Rasa yang hangat, lembut, dan bagai sengatan listrik berdesir mengaliri sekujur tubuhnya. Seketika segala yang ada di benaknya menguap. Bahkan jika ditanya siapa dirinya saat ini, Darren pasti tak mampu mengingat lagi jati dirinya.Tautan bibir mereka terasa berlangsung lama. Ataukah memang waktu sengaja berhenti agar mereka bisa menyecap rasanya lebih lama?Esme sendiri merasakan jantungnya berdegup kencang menyecap bibir Darren yang terlihat begitu menggiurkan. Aliran darah yang hangat terasa mendebarkan hatinya. Dan saat telah merasakannya, semua itu tidaklah cukup. Dia menginginkan lebih.Tapi Darren tidak bergerak. Pria itu tidak membalas kecupannya. Tak juga mengejar untuk melanjutkan pagutan mereka. Hingga Esme terpaksa memundurkan wajahnya, menjauh dari Darren. Dia malu. Dan wajahnya merona merah.Pria itu pun terlihat seperti baru
Catherine merasa dadanya seakan hendak meledak setiap kali dia melihat Esme. Di benaknya terbayang-bayang pesan yang dituliskan Hale padanya kemarin. Hale mengatakan bahwa Esme dan Darren mendatangi apartemen yang baru mereka sewa siangnya. Dan kedatangan mereka sudah tentu bukan untuk bercakap ramah.Darren juga ternyata mengambil barang Hale, yang sangat mahal. Bahkan dia mengikat tangan Hale di jendela! Sedangkan Esme membawa dirinya pulang. Lancang sekali mereka berdua! Mereka pikir, mereka siapa?! Hah!Catherine kembali emosi. Rasanya dia ingin melemparkan semua barang yang ada ke wajah Esme, terlebih-lebih Darren.Akan tetapi, misteri terbesar bagi Catherine adalah bagaimana Esme dan Darren bisa mengetahui hunian baru Hale? Misteri ini juga yang membekap Hale hingga pemuda itu malah menuduh bahwa dia-lah yang membocorkannya pada Esme. Sudah tentu Catherine semakin marah.Karenanya, saat Esme masuk ke dapur, Catherine segera mengakhiri makann
Esme terbangun dengan kedua tangannya terikat ke belakang. Dia didudukkan di sebuah kursi kayu dan tangannya diikat ke bagian belakang sandaran kursi. Sedangkan kakinya tidak terikat.Gadis itu berusaha menggerak-gerakkan tangannya, tapi tak berhasil. Ikatan simpulnya sangat kencang. Yang ada malahan tangannya terasa sakit."Tidak perlu berusaha." Sebuah suara menyita perhatian Esme. Suara itu milik Brandon, yang ternyata berada di belakangnya. Saat Esme menoleh dan melihatnya, pemuda itu sedang memegang pisau, mengupas mangga dan memakannya. Sembari mengunyah, dia menatap Esme lagi dan tersenyum keji. "Kau takkan bisa melepaskannya."Setelahnya, Brandon kembali mengunyah potongan mangganya dengan nikmat."Apa mau kalian? Kenapa mengikatku seperti ini?" Esme bertanya dengan suaranya yang bergetar antara takut, marah, dan bingung.Brandon bangun dari duduknya dan menghampiri Esme. Dia meletakkan pisau dan mangganya, dan mendekatkan wajahnya pada Esm
Hari bahkan belum menyentuh sore saat Darren menyambar jaketnya dan berlari keluar dari unitnya. Saat tiba di depan lift, Darren berhenti dan teringat akan Catherine. Dia tidak melihat wanita itu di rekaman CCTV. Lagipula, Hale sempat terlambat keluar dari sana dan Catherine tidak bersama mereka. Lalu, di mana dia?Jangan-jangan ...Darren berbalik dan kembali ke unit Catherine. Dia mengetuk pintu dengan segala pikiran buruk menghantuinya. Dia takut Hale berbuat jauh lebih buruk, yaitu membunuh Catherine. Biar bagaimanapun, orang yang sudah gelap mata cenderung bertindak nekat.Sedetik kemudian, pintu unit itu terbuka dan wajah Catherine muncul di baliknya. Darren merasa lega di satu bagian. Tapi di benaknya, keadaan Esme masihlah mengkhawatirkan.Jadi, saat Catherine muncul dari balik pintu, Darren sudah menyemburkan kekhawatirannya."Pacarmu itu menculik Esme!" katanya tajam, kering, dan sangat dingin. Catherine menelan ludahnya
“Kalian pulanglah dulu. Aku ingin menenangkan diriku dulu.” Sejujurnya, hati Catherine masih terpecah menjadi dua, antara membenci Hale atas apa yang terjadi barusan, juga menginginkan Hale dan siap memaafkannya. Untuk itu, dia ingin memikirkannya dengan duduk menyendiri di kafe. Lagipula, dia teringat akan motor Darren. Tidak mungkin pria itu memboncengnya dan Esme sekaligus, bukan? Kalaupun dia ikut pulang ke apartemen, sudah pasti dia akan naik taxi. Entah Esme akan mengikutinya atau Darren.“Lebih baik kau pulang saja, Cath.” Esme memandangnya dengan wajah memelas. Setelah apa yang terjadi, dia tidak ingin berpisah dari Catherine. Esme merasa perlu membicarakannya secara personal. Dan setelah rentetan kejadian yang terjadi selama di Hawaii, Esme pun merasa perlu membicarakan rencana pelarian mereka selanjutnya. Tetap di Hawaii-kah? Pindah ke tempat lain? Atau … pulang?“Aku tidak akan lama, Little Girl. Kau pulanglah dulu dengan Darren. Dan Darren, thanks a lot sud