"Assalamu'alaikum, Bu.""Wa'alaikumsalam. Kamu lagi kerja apa di kosan? Ibu telepon dari tadi nggak kamu angkat?""Saya tadi di jalan, Bu.""Si Rini mau piknik Minggu depan. Bisa kamu kirimi uang buat uang sakunya.""Minggu depan saya belum gajian. Minta ke Roy saja dulu, Bu. Maaf, saya belum bisa ngirim uang."Entah ibu tiriku itu mengomel apa, aku tidak begitu mendengarnya karena telepon langsung di matikan. Kalau sekedar uang jajan untuk piknik, aku masih punya. Tapi kenapa semuanya harus aku? Ke mana hasil kebun selama ini?"Kamu jaga dan simpan uangmu baik-baik. Untuk masa depan dan hari tuamu, Embun. Jangan kamu turuti semua permintaan Karsi. Dia menyimpan sendiri uang hasil panen, terus diam-diam di belikan lahan untuk kedua anaknya. Nanti kamu dapat apa. Ingat pesan budhe ini. Menabunglah untuk masa depanmu." Aku jadi teringat nasehat Budhe tiap aku sambang ke rumah. Dia budhe Harni, kakaknya bapak.Sedangkan Roy adalah adik tiriku. Waktu bapakku nikah sama Bu Wanti, wanita it
Aku mengambilkan obat dan kuberikan pada Hendri. Dia juga langsung meminumnya. Kubereskan bekas perban kemudian pamitan. "Saya permisi pulang!""Di luar hujan deras. Bajumu juga basah." Dia menunjuk celana bahan, seragam yang aku pakai."Ya, nggak apa-apa," jawabku sambil tersenyum. Malam ini tidak ada adu mulut di antara kami. Meski dengan sikap yang kaku, dia bicara agak panjang tapi tanpa membantahku. Yang katanya susah minum obat pun, dia akhirnya juga mau tanpa protes seperti kemarin."Saya permisi!" Aku melangkah keluar kamar. Menyimpan obat di tempat biasanya kemudian turun ke bawah. Mencuci tangan di wastafel dapur, lantas pamitan pada Bu Atun. Wanita itu mengantarku hingga teras samping. "Tunggu, Mbak."Langkah kami terhenti ketika Pak Wahab dari arah dalam mengejar kami. Di tangannya ada kunci mobi."Mari saya antar.""Nggak usah, Pak. Saya naik motor saja, lagian sudah terlanjur basah juga," tolakku halus."Mas Hendri tadi menelepon supaya saya mengantarkan Mbak Embun pula
Dia masih diam sejenak lantas melangkah pergi. Bu Atun menghampiri dan aku membantunya membereskan meja makan. Sebenarnya aku penasaran mengenai dua pria di rumah besar itu. Orang-orang yang menurutku aneh. Namun kuurungkan niatku untuk bertanya. Setelah membantu Bu Atun mencuci piring aku segera pamit pulang.Angin pagi menyapaku ramah. Membuat tubuhku yang belum mandi ini merasakan kesegarannya. Terkadang ada keinginan untuk pulang, kangen Bapak, kangen Budhe, juga kangen suasana tenang di sana. Tenang jika ibu tiriku tidak sedang mengomel.Aku benar-benar kalut. Masa iddahku sebentar lagi habis. Aku benar-benar jadi insan yang bebas. Menyandang gelar sebagai janda, status yang tak pernah terbesit dalam benakku sebelumnya. Kupikir aku akan bahagia bersama Mas Fariq hingga kami sama-sama menua. Impian itu sekarang sia-sia."Mbak Embun!" Ada yang berteriak memanggilku. Seketika aku menoleh ke seberang jalan depan kosan, saat aku baru berhenti di depan pintu pagar. Di seberang jalan ak
Aku menoleh dan melihat Andrean yang berdiri tepat di sebelahku. "Saya menunggunya," jawabku sambil menunjuk Roy yang sedang membayar di kasir. "Dia pacarmu?"Aku menggeleng. "Dia adik saya. Oh ya, terima kasih sudah membayar belanjaan saya kemarin," ucapku sambil tersenyum.Pria itu mengangguk, menatapku lagi. "Kira-kira berapa lama luka Hendriko akan sembuh?""Sekarang sudah jauh lebih baik. Tak lama lagi akan sembuh." Sejak kemarin dia selalu menanyakan tentang luka adiknya. Tampak ada yang dikhawatirkannya, tapi bukankah luka itu akhibat dari tembakannya?Pria tegap itu Kemudian memandang lift yang terbuka tidak jauh dari tempat kami berdiri. Dari sana muncul tiga orang yang berpakaian rapi. Dua orang memakai kemeja dan seorang lagi memakai jas. Dan yang memakai jas itu, ah Mas Fariq. Kami saling berpandangan ketika dia melangkah ke arah kami. Andrean maju beberapa langkah untuk menyalami. Tampaknya mereka adalah rekan bisnis atau apalah, aku tidak tahu.Dengan hati berdebar-deba
Mas Fariq kukenal sejak aku masih kuliah semester tiga. Dia juga yang membuatku yakin menikah di usia muda. Orang tuanya sangat menyetujui Mas Fariq menikahiku, karena berharap lekas mendapatkan cucu. Mengingat Mas Fariq adalah anak mereka satu-satunya. Justru penolakan datang dari ibu tiriku. Beliau tidak terima, karena untuk apa aku kuliah kalau wisuda langsung menikah. Dari situlah Mas Fariq berjanji akan men-support finansial keluargaku. Padahal hasil sawah dan kebun lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga. Namun ibu tiriku memang haus harta."Embun," panggil Yani membuyarkan lamunan dan membuatku menoleh."Setahun sudah cukup untuk kamu berduka. Ayo bangkit. Kamu layak bahagia, bestie," ucap Yani sambil menepuk bahuku kemudian berdiri untuk mengambil air minum. "Apa kamu nggak ingat apa yang di katakan budhe dari mantan suamimu itu?"Yani mengingatkan aku pada sesuatu yang tidak mungkin aku lupa. "Ceraikan saja si Embun, kalau memang dia yang minta. Buat apa mertahanin peremp
Mobil Andrean ikut berhenti ketika aku berhenti, karena ada dua orang pemuda yang sedang mabuk berjalan sempoyongan beberapa meter di depan kami. Pria itu turun dan menghampiriku.Dua pemuda yang sedang mabuk itu memandang ke arah kami. Salah satu di antaranya menunjuk-nunjuk sambil meracau tak jelas. Satunya lagi berhenti dan seperti menantang dengan mengepalkan tangannya ke arah kami."Jangan diladeni, Mas. Mereka sedang mabuk. Biarkan saja mereka pergi," ucapku cemas. Aku takut pria di sebelahku ini terpancing emosi, mengingat dengan Hendri pun dia saling ribut.Namun dugaanku salah, Andrean ternyata tetap diam sambil terus mengawasi mereka. Dua pemuda itu mengeluarkan kata-kata yang memancing emosi. Tapi Andrean tetap tenang berdiri. Kami kembali ke kendaraan masing-masing setelah dua pemuda tadi berbelok di sebuah gang. Sebenarnya jarak kami berhenti dengan kosanku tinggal dua ratus meter lagi."Tiap hari ada orang mabuk di sini?" tanya Andrean setelah berhenti di depan kosan."
Aku masih mematung tak percaya. Jika aku ikut, apa yang bisa aku lakukan ketika bersamanya. Jika aku menyetujui, ah betapa murahnya diriku bisa di ajak-ajak oleh lelaki yang baru kukenal. Terlebih jika pada akhirnya mereka tahu kalau aku hanyalah seorang janda."Ayolah, Embun. Kalian bisa jadi teman, kan?""Kamu bisa mengingatkan Hendriko saat waktunya minum obat nanti." Alasan sederhana. Padahal Hendri bisa mengingatkan dirinya sendiri. Meski kenyataannya tadi siang dia juga lupa."Percayalah Hendri bukan laki-laki kurang ajar."Bu Salwa terus merayuku dan aku semakin bingung hendak menolak. Terlebih laki-laki yang mengajakku tadi hanya diam tanpa sanggahan. Aku percaya mereka orang-orang baik. Meski Hendri terlihat dingin. Jika ada konflik, mungkin hanya intern keluarga mereka saja seperti yang di ceritakan oleh Bu Atun."Lain hari jika kamu ada waktu mainlah ke butik Ibu," kata Bu Salwa lagi."Ayo, aku mau berangkat sekarang!" Kini Hendri yang bicara sambil meraih tas kerjanya.Aku
Aku bimbang, haruskah aku ceritakan kisah sebenarnya. Itu akan menyakitiku lagi dan tidak ada gunanya juga kalau Hendri tahu. Padahal ini bukanlah sebuah aib, tapi ini kenyataan hidup yang harus kuterima. Tapi selalu kurasakan sesak jika mengingatnya."Kalau itu menyakitkan bagimu, tak perlu kamu ceritakan."Aku memilih diam. Setelah itu tak ada lagi percakapan di antara kami. Dia fokus pada kemudi, sedangkan aku diam memandang sepanjang perjalanan. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Jika dia menyesal telah mengenal dan berteman denganku yang ternyata seorang janda, tak mengapa. Lebih awal tahu lebih baik. Meski kami hanya berteman, tapi juga butuh kenyamanan."Makasih, kamu mau menemaniku hari ini," ucapnya ketika mobil telah berhenti di depan kosan."Iya sama-sama," jawabku lalu turun. Masih sempat kulihat dia tersenyum.Setelah aku kembali menutup pintu pagar, Hendri baru melajukan kembali mobilnya. Langkahku gontai menuju pintu kamar. Jika dengan kenyataan ini dia engg