Mobil Andrean ikut berhenti ketika aku berhenti, karena ada dua orang pemuda yang sedang mabuk berjalan sempoyongan beberapa meter di depan kami. Pria itu turun dan menghampiriku.Dua pemuda yang sedang mabuk itu memandang ke arah kami. Salah satu di antaranya menunjuk-nunjuk sambil meracau tak jelas. Satunya lagi berhenti dan seperti menantang dengan mengepalkan tangannya ke arah kami."Jangan diladeni, Mas. Mereka sedang mabuk. Biarkan saja mereka pergi," ucapku cemas. Aku takut pria di sebelahku ini terpancing emosi, mengingat dengan Hendri pun dia saling ribut.Namun dugaanku salah, Andrean ternyata tetap diam sambil terus mengawasi mereka. Dua pemuda itu mengeluarkan kata-kata yang memancing emosi. Tapi Andrean tetap tenang berdiri. Kami kembali ke kendaraan masing-masing setelah dua pemuda tadi berbelok di sebuah gang. Sebenarnya jarak kami berhenti dengan kosanku tinggal dua ratus meter lagi."Tiap hari ada orang mabuk di sini?" tanya Andrean setelah berhenti di depan kosan."
Aku masih mematung tak percaya. Jika aku ikut, apa yang bisa aku lakukan ketika bersamanya. Jika aku menyetujui, ah betapa murahnya diriku bisa di ajak-ajak oleh lelaki yang baru kukenal. Terlebih jika pada akhirnya mereka tahu kalau aku hanyalah seorang janda."Ayolah, Embun. Kalian bisa jadi teman, kan?""Kamu bisa mengingatkan Hendriko saat waktunya minum obat nanti." Alasan sederhana. Padahal Hendri bisa mengingatkan dirinya sendiri. Meski kenyataannya tadi siang dia juga lupa."Percayalah Hendri bukan laki-laki kurang ajar."Bu Salwa terus merayuku dan aku semakin bingung hendak menolak. Terlebih laki-laki yang mengajakku tadi hanya diam tanpa sanggahan. Aku percaya mereka orang-orang baik. Meski Hendri terlihat dingin. Jika ada konflik, mungkin hanya intern keluarga mereka saja seperti yang di ceritakan oleh Bu Atun."Lain hari jika kamu ada waktu mainlah ke butik Ibu," kata Bu Salwa lagi."Ayo, aku mau berangkat sekarang!" Kini Hendri yang bicara sambil meraih tas kerjanya.Aku
Aku bimbang, haruskah aku ceritakan kisah sebenarnya. Itu akan menyakitiku lagi dan tidak ada gunanya juga kalau Hendri tahu. Padahal ini bukanlah sebuah aib, tapi ini kenyataan hidup yang harus kuterima. Tapi selalu kurasakan sesak jika mengingatnya."Kalau itu menyakitkan bagimu, tak perlu kamu ceritakan."Aku memilih diam. Setelah itu tak ada lagi percakapan di antara kami. Dia fokus pada kemudi, sedangkan aku diam memandang sepanjang perjalanan. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Jika dia menyesal telah mengenal dan berteman denganku yang ternyata seorang janda, tak mengapa. Lebih awal tahu lebih baik. Meski kami hanya berteman, tapi juga butuh kenyamanan."Makasih, kamu mau menemaniku hari ini," ucapnya ketika mobil telah berhenti di depan kosan."Iya sama-sama," jawabku lalu turun. Masih sempat kulihat dia tersenyum.Setelah aku kembali menutup pintu pagar, Hendri baru melajukan kembali mobilnya. Langkahku gontai menuju pintu kamar. Jika dengan kenyataan ini dia engg
Di tengah taman yang terawat ada kolam ikan hias. Airnya jernih dengan berbagai ikan warna-warni yang berenang ke sana ke mari. Bu Atun sekali lagi berteriak memanggilku tapi aku hanya melambaikan tangan tanda menolak untuk diajak sarapan.Pada panggilan yang kedua, Bu Atun bilang kalau Hendri sudah selesai sarapan dan naik ke atas. Aku masuk ke dalam rumah, terus naik ke lantai dua. Membuka laci dan menyiapkan obat serta plester. Setelah Hendri membuka pintu kamarnya, aku baru masuk. Dia hanya memakai handuk yang membelit pinggangnya, baru selesai mandi.Aku bersikap biasa saja, menghilangkan rasa canggung dengan apa yang kulihat di depan mata. Aku seorang perawat dan dia pasiennya."Mulai lusa, ganti plesternya hanya malam saja. Sebab saya kerja masuk jam sepuluh malam dan keluar dari rumah sakit jam delapan pagi. Pasti Anda sudah pergi kerja pas saya pulang. Lagian lukanya juga sudah membaik. Tinggal rajin minum obatnya saja," kataku sambil mengganti plester.Hendri memandangku. Me
Mobil dari beberapa pria yang kukenal dekat warnanya hitam semua. Mas Fariq, Andrean, dan Hendriko. Bahkan beberapa teman yang seprofesi juga sebagian menggunakan mobil warna hitam. Siapa di antara mereka?Kubawa buket itu masuk kamar. Kucari-cari kartu yang biasa tergantung di sana. Di tengah-tengah bunga kutemukan juga kartu yang terbungkus amplop warna putih. Ku keluarkan isinya.[Happy birthday, Embun. Selamat ulang tahun ya. Semoga kamu sehat selalu dan panjang umur. Kesalahan terbesarku adalah kehilangan kamu. Maafkan Mas. Maaf, maaf, seribu maaf. Aku gagal memperjuangkan pernikahan kita. Maafkan Masmu ini.] Ternyata buket ini kiriman dari Mas Fariq. Aku hafal dengan tulisan tangannya. Dan di antara ketiga laki-laki itu, hanya Mas Fariq yang tahu tanggal lahirku.Sebenarnya sudah sejak pagi aku ingat kalau ini tanggal kelahiranku. Hanya saja tak ada niat untuk merayakannya. Lagian dirayakan dengan siapa? Aku sudah tak ada minat lagi untuk melakukan hal-hal semacam ini. Yang sat
"Munafik kalau saya tak ingin punya anak. Tapi saya tidak memaksa istri saya harus melahirkan anak buat saya. Saya bisa mengadopsi anak dengan kesepakatan bersama. Toh pada akhirnya kelak pun, kita hanya akan menghabiskan masa tua dengan pasangan. Anak-anak akan memiliki kehidupannya sendiri-sendiri."Pembicaraan kami terjeda ketika bapak penjual nasi goreng mengantarkan pesanan kami. Andrean menyuruhku makan. Namun rasa lapar dan nafsu makanku tiba-tiba saja hilang. Apa yang diucapkannya adalah kejutan luar biasa di malam ulang tahunku."Orang seperti Mas Andre ini bisa saja mencari gadis model kayak apapun. Sedangkan saya hanya seorang janda yang belum tentu bisa memberikan Anda keturunan.""Saya jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali melihatmu di rumah papa."Ucapannya membuat sendok yang penuh nasi dan hampir menyentuh mulutku terjatuh ke lantai. Gemeletaknya membuat tiga orang yang baru datang menatap ke arahku.Buru-buru kuambil benda itu dan mengelapnya memakai tisu. Jantungk
"Kamu nggak suka Hendriko?" Pertanyaan Bu Salwa membuatku bingung harus menjawab bagaimana. Apakah dia sudah tahu kalau aku ini seorang janda tanpa anak?"Kami berteman, Bu.""Semenjak dia bekerja di luar perusahaan keluarga, saya jarang sekali bertemu. Saya pulang dari butik, Hendri belum sampai rumah. Nanti saya dah mengantuk lantas ketiduran, dia baru nyampe. Terkadang pagi-pagi sudah berangkat ke luar kota sebelum saya bangun."Dari cerita Bu Salwa aku bisa menyimpulkan kalau perjodohan ini adalah inisiatif ibunya. Aku yakin Hendri tidak tahu. Bahkan dalam kalimatnya ketika mengirim pesan, tidak menyinggung hal begini. "Embun, kamu baik, lembut. Ibu yakin cocok dengan Hendriko yang keras kepala dan kaku."Bagaimana aku harus menjawabnya. Wanita ini harus tahu kalau aku hanya seorang janda tanpa anak. Tentunya beliau juga ingin meneruskan keturunannya, terlebih Hendriko adalah satu-satunya putra mereka.Aku menarik napas dalam-dalam. Menata hati untuk menceritakan kondisiku yang s
Dari pintu muncul seorang laki-laki bertubuh tambun. Dia tersenyum melihat Andrean. Sudah sejak beberapa hari yang lalu, dia ingin mengajak Andrean bicara."Sudah lama nunggu?" tanya Om Tino duduk di sebelah istrinya."Belum, Om.""Om sebenarnya ingin membahas project dunia fantasi itu. Kata papamu kamu menolak menjadi project manager di sana. Kenapa? Ini projek yang menjanjikan, Andrean.""Saya tahu. Tapi project itu sebenarnya di berikan pada Hendriko, Om.""Tapi adikmu itu kan sudah keluar dari perusahaan. Hak kamu dong untuk menghendelnya. Sudah bagus dia keluar.""Saya tak ingin membahas hal ini lagi, Om. Itu hak papa mau membuat keputusan yang seperti apa. Saya hanya bertanggung jawab dengan proyek yang saya pegang sekarang," bantah Andrean. Dikarenakan proyek itu hubungannya dengan Hendriko makin buruk. Perselisihan yang hampir mengancam nyawa adiknya. Dia ingat kejadian malam itu. Ketika Hendriko berselisih paham dengan Om Tino dan Tante Verra di ruangan lelaki itu. Andrean y