Naya menundukkan wajahnya dalam, mencoba menormalkan detak jantungnya yang berdetak tidak karuan, kedua tangannya saling menggenggam erat.
"Diminum dulu," seorang perempuan memakai jas dokter membawakan segelas air hangat untuk Naya. Naya menerimannya, dan dengan segera meneguknya. "Te—terima kasih...." Perempuan di sebelahnya mengangguk. "Kami belum bisa menghubungi keluarganya, karena gadis itu tidak membawa dompet, atau handphone sama sekali, kita juga belum mengetahui identitasnya. Kita akan menunggu gadis itu siuman" Naya mengangguk, kembali meneguk air hangat yang tadi diberikan kepadanya, walaupun tidak terlalu berpengaruh untuk meredakan perasaan ketakutannya. "Hey... tenanglah," ucap si dokter menggenggam tangan Naya lembut. "A—aku... aku ingin peluk..." Perempuan itu segera membawa Naya ke dalam dekapannya, mengusap punggung Naya lembut berharap ketakutannya sedikit mereda. "Apa dia akan baik? Dia—" "Kamu coba tenangkan diri kamu dulu, ya...." Naya mengangguk dalam dekapannya. Matanya terpejam, mencoba menenangkan dirinya, saat matanya terbuka ia bisa melihat dari beberapa orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit, ada seorang lelaki jangkung yang demi Tuhan sangat ingin Naya hindari sedang berjalan menuju ke arahnya dengan senyum yang terus dia edarkan ke setiap orang yang berpapasan dengannya. Hingga... manik mata keduanya bertemu. Naya semakin mengeratkan pelukannya, air mata yang sedari tadi ia tahan, pada akhirnya jatuh juga melewati pipinya. "Kita berdo'a saja semoga gadis itu segera siuman." Naya sudah tidak lagi fokus dengan ucapan perempuan yang sedang memeluknya, fokusnya tertuju pada lelaki yang berjarak kisaran dua meter dari posisinya berdiri. "Sam? Lo udah baik-baik aja?" suara seorang lelaki membuat tatapan keduanya teralihkan. Perempuan yang sedang memeluk Naya melepaskan pelukannya, menengokkan wajahnya ke belakang. "Kamu sudah sedikit tenang?" tanyanya yang sudah kembali menatap Naya. Naya menanggapinya dengan hanya mengangguk pelan. "Aku ijin nemuin tunangan aku dulu ya," katanya. Setelah mendapat anggukkan dari Naya, perempuan itu berdiri dari duduknya. Tidak berniat memperhatikan, namun obrolan ketiga orang di sana mampu Naya dengar. Naya melirik sekilas Samudra yang juga menatapnya. Hanya beberapa detik kerena Samudra mengalihkan pandangan menatap lelaki di sampingnya. "Gue baik, Nu," jawab Samudra. "Keluarga lo, gimana keadaannya?" tanya Wisnu lagi. "Kita masih dalam suasana berduka, tapi it's oke... kita harus berusaha ikhlas." Keluarga Samudra tentu saja sedang dalam keadaan berduka, karena beberapa hari yang lalu adik, juga calon suami dari adiknya baru saja meninggal dunia. "Kamu sudah masuk kerja?" tanya Raina. Samudra kali ini menatap Raina yang berada di hadapannya. "Iya, di rumah justru malah semakin teringat dengan Ais." Raina memandang Samudra dengan raut sedih, mengulurkan tangan kanannya untuk mengusap lengan Samudra, menunjukkan bahwa ia mencoba memahami keadaan Samudra. Suara pintu ruangan yang dibuka membuat mereka mengalihkan pandangannya. Satu orang dokter dan satu perawat keluar dari dalam ruangan. Naya yang melihatnya segera berdiri, menghampiri keduanya. "Bagaimana keadaannya, Dok?" "Ada yang harus saya sampaikan tentang pasien di dalam, Dokter Raina." Raina yang merasa dipanggil segera menghampiri rekannya. Meninggalkan Samudra dan Wisnu yang juga kini memperhatikan. "Pasien sudah siuman, bayi dan ibunya selamat. Sepertinya ia masih syok, gadis itu hanya diam tidak bergeming di pembaringan." "Bayi?" Naya jelas terkejut. Kakinya benar-benar lemas. *** Seharian ini yang dilakukan oleh Naya adalah duduk, menemani gadis yang sama sekali tidak mau berbicara sejak ia tersadar. Naya sudah berusaha. namun gadis itu malah bungkam, memejamkan matanya, jika sudah jam makan ia makan, jika waktunya minum obat dia meminumnya tanpa ada penolakan, setelah selesai dengan itu, ia langsung memejamkan matanya, entah serius tidur atau pura-pura, yang pasti ia mengabaikan keberadaan Naya. "Sudah mau bicara?" tanya Naya. "Ini sudah larut malam, pergilah!" Naya menampilkan senyum. Akhirnya gadis itu mengeluarkan suaranya. "Setidaknya kamu harus memberitahu nama kamu, tempat tinggal, dan beri tahu aku nomor salah satu keluargamu yang bisa aku hubungi," kata Naya panjang lebar. "Keluargaku tidak boleh ada yang tahu tentang kejadian ini." Suaranya pelan, tidak ada nada marah, kesal, dan semacamnya. Gadis itu berucap dengan sangat tenang. "Besok aku akan pulang," lanjutnya. "Kamu dilecehkan, bagaimana mungkin setenang ini?!" Gadis itu sedari tadi tidak mau menatap manik Naya, pandangannya lurus ke depan ke satu titik. "Kamu menangis tadi, menyebut nama laki-laki itu. Kamu tentu kenal dengannya 'kan? Ayo kita laporkan poli—" ucapan Naya langsung terhenti ketika gadis itu menatap tepat di manik matanya, kali ini ada kilat marah yang bisa Naya lihat. "Kamu tidak usah ikut campur dengan urusanku!" Naya menghela napasnya. "Polisi sudah ada di luar, mereka akan meminta keteranganmu." "Untuk apa memanggil polisi?!" "Supaya lelaki itu ditangkap, dia sudah melecehkanmu—" "Aku tidak dilecehkan, kau tuli!" Gadis itu melotot menatap Naya, wajahnya jelas terlihat tidak nyaman menatap ke arah pintu dan Naya bergantian. "Kamu jelas-jelas menangis memberontak—" "Itu benar-benar bukan urusanmu! Demi Tuhan jangan panggil polisi ke sini, kamu apa-apaan?" Naya menelan ludahnya gugup. "Aku—" Gadis itu menggeleng, ia menangis, air matanya mengalir melewati pipinya. "Jangan bilang kalian sudah menghubungi keluargaku? Aku akan benar-benar bunuh diri!" Gadis itu benar-benar histeris. Naya bungkam. "Kamu yang akan bertanggung jawab atas kematianku!" Dengan secepat kilat gadis itu mengambil pisau yang ada diatas nakas, dan langsung mengarahkan pisau tajam itu ke pergelangan tangannya. "Tidak!" jelas hal itu membuat Naya menjerit ketakutan. Mencoba meraih pisau itu, namun dengan cepat si gadis turun dari baringannya, melepas paksa jarum infus yang tertancap di tangannya, lalu melangkah mundur menghindari Naya yang berjalan mendekat ke arahnya dengan wajah pucat. "Kamu akan bertanggung jawab atas kematianku, aku bersungguh-sungguh!" Naya menggeleng, ia sudah menangis sekarang. "Tidak, aku mohon jangan lakukan itu!" "Tidak! Kami tidak menghubungi keluragamu, jangan lakukan itu!" Gadis itu menatap Naya dengan tatapan sendu. "Sungguh—kamu tidak bohong? Keluargaku... keluargaku tidak mengetahuinya?" Naya mengangguk cepat. Setelah itu, Naya bisa melihat gadis itu terduduk di atas lantai, tangisnya pecah, pisaunya terjatuh ke lantai. Naya dengan sigap langsung menghampirinya, membawa gadis itu ke dalam pelukan. "Aku lebih baik mati jika mereka tahu semua ini. Kamu orang asing, tidak pernah mengerti bagaimana perasaanku jika ada di posisi seperti ini, kamu harusnya tidak usah ikut campur!" teriak gadis itu histeris, mencoba melepaskan diri dari pelukan Naya. "Maafkan aku... maaf... aku minta maaf...." Naya menangis mengusap punggung gadis yang ada di dekapannya. "Kamu tidak pernah tahu bagaimana perasaanku!" Gadis itu masih memberontak, namun Naya masih setia memeluknya. Menggumamkan berpuluh-puluh kata maaf. Untuk beberapa saat keduanya masih dalam posisi yang sama, tangan gadis itu yang sedari tadi memberontak untuk melepaskan pelukan Naya, kini mulai sedikit tenang. "Aku tidak akan memberitahu keluargamu." Naya mengusap air mata gadis itu dengan kedua tangannya saat pelukannya sudah terlepas. "Ayo kembali ke kasur, lihat tanganmu berdarah," ucap Naya menyentuh pergelangan tangan gadis itu. Tadi, si gadis mencabut paksa jarum infusnya, tentu saja tangannya kini berdarah. "Aku akan panggilkan dokter," kata Naya, lalu membantu si gadis untuk berdiri. Namun, belum sepenuhnya si gadis berdiri, seseorang ikut serta membantu memapah tubuh gadis itu. "Biar saya bantu," ucap Samudra. Naya jelas kembali terkejut ketika melihat Samudra. Sejak kapan lelaki itu ada di ruangan ini? ***Keduanya memang merencakan untuk bertemu, besok mereka akan membicarakan tentang hubungan mereka kepada Devan dan Disya. Tentu saja harus ada persiapan sebaik munkin—harus mengarang cerita yang sangat menyakinkan, agar dimengerti Devan maupun Disya. Akan sangat kacau jika Naya dan Samudra tidak bertemu untuk membicarakan tentang ini terlebih dahulu. Pertemuan akan dilakukan sekitar jam tiga sore, menyesuasikan dengan pekerjaan Samudra, semalam sudah disepakati akan bertemu di caffe Angkasa dekat perumahan Naya—tetapi entah kenapa Naya bisa lupa dengan janjinya. Andai saja ia tidak lupa mungkin tidak akan jadi seperti ini—Samudra tidak akan datang ke rumah. Naya sedang berada di kamarnya sekarang, berbaring di kasur menatap langit-langit kamar, berharap rasa kantuknya akan datang. Mamahnya pergi sekitar satu setengah jam yang lalu, secara mendadak ia mendapat kabar jika Ria—salah satu temannya masuk ke rumah sakit. Meninggalkan Naya dan Kai di rumah—Samudra masih ada, sedang berm
“Siapa?” “Gue kenal sama dia?” “Atau anak-anak yang lain ada yang kenal sama dia ngga?” “Lo kenal di mana?” “Kerjanya di mana?” “Anak keluarga mana? Kenalan bokap lo? Atau lo di jodohin ya, Nay?” “....” Naya hanya diam, tidak berniat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Stevani. Membuat perempuan itu terlihat kesal ketika Naya hanya diam mengabaikan pertanyaannya. “Ngga usah banyak tanya tentang dia, nanti aku kenalin dia sama kamu, sama kalian semua....” Kalimat yang jelas membuat mulut Stevani terdiam, beberapa kali perempuan itu terus memaksa Naya untuk bercerita, memintanya memberi tahu tentang calon suami yang dimaksud oleh Naya. Naya menggeleng, tetep kekeh dengan pendiriannya tidak akan memberi tahu. Akhirnya Stevani capek sendiri. Walaupun kesal karena Naya tidak memberi tahu, Stevani sangat senang mengetahui Naya sudah kembali membuka hatinya untuk seorang lelaki—Stevani berbicara seperti itu kepada Naya sebelum pergi dari kediaman Nay
+628xxxxxxxxxx |Disya sedang pergi ke Jogja, pertemuan akan dilakukan setelah Disya pulang dari sana. Naya mengulum bibirnya, hatinya merasa sedikit lega ketika Samudra menggiriminya pesan seperti itu. Setidaknya masih ada beberapa hari lagi untuk mempersiapkan diri sebelum pertemuannya dengan Disya dan kakak lelakinya untuk membahas hubungan mereka. Memejamkan mata, Naya manarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh hingga wajahnya. Mencoba tidak memikirkan bagaimana tanggapan Disya dan Devan saat Naya dan Samudra memberi tahu tentang hubungan mereka—apa Disya dan kakak lelakinya akan sangat marah—sudah pasti iya ‘kan? Naya frustasi, tidak bisa menghentikan pikirannya. Suara ketukan pintu terdengar, membuat Naya langsung membuka selimut yang menutupi wajahnya. “Nay?” Mamahnya memanggil. “Iya, Mah,” balas Naya yang langsung menuruni kasur untuk membuka pintu kamar. “Mamah jemput Kai ya, kamu mau ikut atau di rumah saja, Nay?” tanya Maya ketika putri bungsunya baru saja membuka p
Naya membuka matanya perlahan ketika merasa lapar, mengerjap pelan supaya penglihatannya jelas untuk melihat ke sekeliling. Menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, lalu mencoba duduk di tepi kasur sebentar untuk mengumpulkan kesadarannya. Menundukkan wajahnya, matanya terbuka lebar ketika tubuhnya dibalut dengan kemeja berwarna hitam, seingatnya ia tidak punya kemeja sebesar ini. “Pakaianmu basah, tadi.” Suara lelaki yang tentu Naya mengenalnya terdengar di telinga, dengan refleks kepalanya menengok ke arah sumber suara. Lelaki itu berjalan masuk ke dalam kamar dengan membawa dua mangkuk yang terlihat jika makanan itu masih panas, terbukti dari asap yang mengepul bersumber dari makanan itu. Naya memberengut kesal ketika tahu jika pasti Samudra sendiri yang menggantikannya pakaian. Benar-benar mesum! Seingatnya ia menangis di depan Samudra di bawah guyuran hujan, lalu entah apa yang terjadi, kenapa juga ia berada di sini sekarang? “Kamu jatuh pingsan tadi. Tidak ada cara lain se
Naya meremas permukaan dadanya kuat sekali, berharap rasa sakit yang timbul akan berangsur membaik, namun itu benar-benar tidak berpengaruh sama sekali. Naya memilih untuk memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Ia menunduk, menangis tergugu, dadanya semakin sesak rasanya. Naya sudah menahan mati-matian rasa sakit itu ketika berbicara dengan Nathan di dalam caffe. Menahan air matanya agar tidak keluar, hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja di hadapan lelaki itu. Kenyataannya tidak! Naya benar-benar hancur ketika mengatakan setiap kalimatnya. Apa yang dikatakan oleh Naya semuanya hanyalah kebohongan! Suara ketukan dari kaca mobil, membuat Naya mendongakkan wajahnya. Samudra ada dibalik pintu mobil, menatap ke arahnya. “Turun! Duduk di sana, saya yang akan mengantar kamu pulang.” Masih mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Samudra, Naya masih diam duduk di kursi kemudi. Namun, detik berikutnya, lelaki itu sudah menarik tangan Naya untuk keluar dari mobil. “Tidak!”
Naya menatap bangunan di depannya sambil menghela napas panjang, mengulum bibirnya menatap ke sekeliling gugup, tangannya melepas safety belt, lalu turun dari dalam mobil miliknya yang sudah terparkir rapih di parkiran rumah sakit. Perempuan itu turun dari mobil, dengan berusaha meredakan rasa gugup di dadanya. Terakhir kali ia mengunjungi rumah sakit ini, suasananya jelas sangat buruk. Naya diperhatikan dengan tatapan tidak bersahabat oleh beberapa pekerja di sini. Akankah tetap seperti itu hingga sekarang? "Kamu tahu tempat itu dari mana?" "Dulu, mobilku pernah mogok daerah situ. Laper banget, akhirnya mampir ke warung makan, dan ternyata enak banget." Naya bisa mendengar obrolan dua orang yang baru keluar dari mobil, satu orang perempuan dan satu lelaki. "Naya?" Naya yang merasa dirinya dipanggil langsung menengokkan wajahnya. Menatap perempuan yang memanggilnya, sebuah senyuman kecil namun jelas terkesan canggung itu Naya perlihatkan. "Ada urusan apa datang ke sini? Kamu s
'Ayo bertemu.' 'Sekali ini saja. Ayo kita bertemu, Nay.' Naya menggigit bibir bawahnya, menatap layar handhone yang menunjukkan chat room Nathan di salah satu aplikasi. Hati kecilnya tentu punya keinginan untuk membalas, dan mengiyakan ajakan Nathan. Namun, ketika mengingat jika Nathan sudah menikah, rasanya ia tidak harus membalas pesan itu. 'Demi Tuhan, Kakak ingin bertemu, Nay. Setidaknya kita akan membicarakan hubungan kita. Jika kita berpisah, jelaskan mengapa, beri Kakak penjelasan agar Kakak tidak bertanya-tanya dan kebingungan.' 'Tidak ada kesenangan menjalani pernikahan ini, Nay.' Ketika membaca tulisan itu, rasanya Naya bisa mendengar bagaimana suara Nathan yang mengatakan kalimat-kalimatnya secara langsung, terdengar frustasi. Naya setuju pada akhirnya. Hubungan mereka sudah terjalin cukup lama dulu, dan berakhir hanya lewat salah satu aplikasi chatting. Naya akan menjelaskan mengapa mereka pada akhirnya harus berpisah, dan menasihati lelaki itu agar bisa melupakannya
Setelah selesai menonton, Samudra menawarkan untuk membeli beberapa mainan untuk Kai, bahkan menyuruh Naya untuk berbelanja. Tadinya Naya menolak, namun Samudra terus berbicara sedikit memaksa, menyuruhnya untuk memilih apapun barang, atau pakaian yang ia mau. Pada akhirnya Naya setuju, bahkan sengaja memilih pakaian dengan harga cukup fantastis. Samudra tidak masalah dengan itu, Naya terlahir dari keluarga terpandang, kalau bicara selera pasti bukan main. Perempuan itu banyak diam, benar-benar tidak berinteraksi terlalu dekat dengannya, hanya jika Kai mengajak bicara baru perempuan itu membuka suaranya. Berkunjung ke restaurant korean food dulu terlebih dahulu untuk mengisi perut sebelum mengantar mereka pulang. "Kita belum membicarakan tentang hubungan—" "Nanti saja, kita bisa mencari waktu lain untuk itu." Samudra menatap Naya melalui pantulan cermin, lalu kembali fokus dengan kemudinya. "Besok—" "Tidak! Tiga atau empat hari lagi." "Itu terlalu lama, saya tidak setu
"Bagaimana kalau kita menonton hari ini?" "Menonton apa?" "Kita berangkat ke bioskop aja, nanti bisa pilih langsung filmnya di sana 'kan?" "Aku sama Om Sam, rencananya akan menonton film Spider-Man, tapi tidak tahu kapan. Om Sam sangat sibuk akhir-akhir ini." Senyum Naya yang sedari terbit kini langsung sirna ketika nama lelaki itu disebut oleh Kai. Menyebalkan, moodnya mendadak buruk. Apalagi ketika mengingat pesan yang dikirimkan oleh lelaki itu yang mengajaknya untuk bertemu hari ini. "Kita menonton film itu saja ya, Aunty Nay!" Naya kembali fokus kepada Kai yang duduk di sampingnya, kembali menampilkan senyum, lalu mengangguk setuju. "Boleh!" "Yey!" "Minta ijin dulu sama Oma, Opa dulu sana. Nanti habis itu siap-siap." Kai mengacungkan jempolnya, lalu bangun dari duduknya dan berjalan dengan setengah berlari menuju kamar Maya dan Husein. Bertepatan dengan Kai yang sudah hilang dari pandangannya, Naya mengambil ponselnya yang tergeletak di meja dengan tujuan untu