"Kenapa Nenek ngga minta gue buat jadi suami lo ya, Rai?" dumel Widi di sela menikmati makanannya. Membuat beberapa orang di meja makan terkekeh mendengar ucapan lelaki itu kecuali—Samudra.
"Nenek mau cucu menantu seorang dokter bukan artis seperti kamu, Wid!" jawab Didi asal yang semakin membuat Widi mendengus sebal. "Padahal aku lebih keren dari Samudra," ucap Widi sembari menyisir rambutnya sok keren. "Ih! Jijik!" Raina memandang Widi dengan geli, melempar kue sus yang sudah dibungkus rapih ke arah Widi, makanan itu beruntungnya bisa dengan sigap Widi tangkap. "Rai, ngga baik lempar-lempar makanan!" kata Eni memperingati. Widi menjulurkan lidahnya meledek Raina yang kena omel Tantenya. "Maaf, hehehe...." Raina terkekeh pelan. "Jadi kapan, kalian menikah?" tanya Widi menatap Samudra dan Raina bergantian. "Kita mau tunggu rumah kita bisa ditempati seratus persen, rencana kita kan setelah menikah mau langsung tinggal di Bandung." Raina menjelaskan, kedua tangannya sibuk membereskan piring kotor. Mereka baru saja selesai makan malam. Widi mengangguk. "Sam, kasih info ya kalau ngga jadi nikahin Raina," kata Widi menatap Samudra dengan kedua alis yang digerakkan naik turun. "Apaansih, Wid?" Raina kembali memanyunkan bibirnya membuat Widi langsung mengeluarkan gelak tawa. "Jangan di dengerin manusia aneh ini, Sam!" lanjut Rania. Samudra hanya menanggapinya dengan tersenyum kecil. "Ini udah malam, kamu harus berangkat biar bisa istirahat dulu di rumah, besok pagi kamu ada shift 'kan?" Besok akan ada acara peringatan satu tahun Nenek Raina yang telah meninggal. Akan ada acara di rumah Tante Raina. Samudra tidak bisa menghadiri acara itu karena urusan pekerjaan, dia hanya menyempatkan dirinya untuk mengantar Raina. "Aku pulang ya," kata Samudra mengusap bagian atas rambut Raina dengan senyum yang menghiasi bibirnya. "Iya, hati-hati. Kabarin kalau sudah nyampe rumah. Atau diperjalanan mau aku temenin?" Samudra mengernyit bingung. "Temenin gimana?" "Lewat telepon!" Raina menunjukkan handphone yang dipegangnya sambil terkekeh pelan. "Alah bucin!" sindir Widi. Samudra, Didi, dan Eni tertawa mendengar ucapan Widi. "Tidak usah, kamu juga harus istirahat," kata Samudra. Raina mengangguk. Samudra masuk ke dalam mobilnya setelah selesai berpamitan. Eni mengusap sudut matanya yang berair setelah mobil milik Samudra tidak terlihat, membuat Didi yang berada di sampingnya mengernyit bingung. "Kok nangis?" "Aku terharu aja, Mas. Samudra baik ya, dia keliatan sayang banget sama Raina, semoga Samudra memang yang terbaik buat Raina." Raina menatap Eni dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Tante..." Eni terkekeh pelan, namun air matanya tidak bisa dibendung. "Semoga Kak Ani diatas sana ngga bakalan marahin aku. Anaknya sudah aku temani sampai menemukan pasangan hidupnya," kata Eni. Raina melangkah memeluk Tantenya dengan erat. "Makasih ya, sudah menjadi pengganti Ayah dan Ibu, Rai sayang sama kalian." Oke, suasana berubah menjadi haru sekarang. Widi masih terdiam di tempat berdirinya semula, memperhatikan ketiganya—Raina, Eni, dan Didi yang sedang berpelukan. "Kalaupun calon suami Raina aku, pasti kehidupannya akan sangat bahagia." "Widi Ih!" Widi terkekeh. Lelaki itu hanya ingin merubah suasana agar tidak terlalu terharu. Apalagi posisi mereka yang masih berada di depan pintu gerbang rumah. "Baiklah! Nanti saja nangis-nangisnya di dalam, malu kalau ada Mang Jaja keliling." *** Samudra dan Raina menuruti permintaan terakhir Neneknya. Bahwa mereka akan menikah. Cincin pertunangan sudah melekat di jari manis keduanya, itu artinya mereka adalah sepasang kekasih yang sudah resmi bertunangan. Cinta? Baik Raina dan Samudra tidak pernah mengungkapkan kalimat-kalimat seperti itu. Mereka menjalani hubungan dengan seadanya. "Tadinya Nenek mau jodohin Raina sama Widi, tapi sepertinya kalau mereka berdua menikah sering sekali adu mulut, kamu tahu sendiri kan, Widi sangat suka menjahili Raina, tidak akan berhenti sampai Raina menangis kesal." Samudra terkekeh kedua tangannya masih menggenggam tangan Nenek Raina yang tidak tersemat jarum infus, mencoba mendengarkan dengan seksama setiap perkataan yang dilontarkan oleh perempuan baya itu. "Nenek juga suka sama Wisnu. Tapi kamu sama saja kaya Widi." Nenek Raina memanyunkan bibirnya menatap Wisnu yang sedang berkutat dengan laptopnya duduk di atas sofa. Tidak menjawab, Wisnu hanya mengernyit bingung. "Wisnu kalau lagi sama Raina bawaanya marah-marah mulu, kalian juga sering banget berantem, adu mulut karena hal sepele. Nenek ngga mungkin jodohin kamu sama Raina." Samudra yang mendengarnya kembali terkekeh. "Memang Nek, Wisnu kalau sama Raina bawaannya kaya lagi PMS mulu." "Sialan lo!" umpat Wisnu. "Jadi, cuman kamu yang Nenek yakin bisa bahagiain Raina, Sam." Samudra yang asyik meledek Wisnu lansung terdiam seketika, begitu juga dengan Wisnu yang langsung merubah mimik wajahnya menatap Nenek Raina. "Menikah dengan Raina, mau?" Samudra tidak menolak—lebih tepatnya lelaki itu tidak bisa menolak permintaan Nenek Raina. Raina—perempuan itu tidak sedang dekat dengan siapapun, dan memang sedari dulu Raina tidak pernah mempunyai hubungan dengan lelaki manapun. Hanya Samudra, Wisnu—teman kuliahnya dulu, dan Widi—teman masa kecilnya di Bandung—Raina dekat dengan teman lelaki hanya dengan mereka bertiga. Pun dengan Samudra, dia tidak sedang menjalani hubungan percintaan dengan perempuan manapun. Jadi, mereka berdua setuju, lagipula ini disebut-sebut sebagai keinginan terakhir Nenek Rania. Tidak ada masalah, dan tidak ada alasan untuk menolak. Hubungan mereka sudah berumur dua tahun sekarang, dan tentu ini menjadi berita baik untuk semua orang. Tapi, perasaan menerima itu berubah ketika Samudra melihat Naya di acara pernikahan Zara dan Nathan. Bagi Samudra, menyaksikan Naya yang menangis karena mantan kekasihnya menikah belum cukup, masih ada kebencian yang berkobar, dan rasanya dia ingin lagi, dan lagi, melihat Naya lebih mengenaskan di depan matanya. Menikah dengan Naya sepertinya akan menarik. ***Keduanya memang merencakan untuk bertemu, besok mereka akan membicarakan tentang hubungan mereka kepada Devan dan Disya. Tentu saja harus ada persiapan sebaik munkin—harus mengarang cerita yang sangat menyakinkan, agar dimengerti Devan maupun Disya. Akan sangat kacau jika Naya dan Samudra tidak bertemu untuk membicarakan tentang ini terlebih dahulu. Pertemuan akan dilakukan sekitar jam tiga sore, menyesuasikan dengan pekerjaan Samudra, semalam sudah disepakati akan bertemu di caffe Angkasa dekat perumahan Naya—tetapi entah kenapa Naya bisa lupa dengan janjinya. Andai saja ia tidak lupa mungkin tidak akan jadi seperti ini—Samudra tidak akan datang ke rumah. Naya sedang berada di kamarnya sekarang, berbaring di kasur menatap langit-langit kamar, berharap rasa kantuknya akan datang. Mamahnya pergi sekitar satu setengah jam yang lalu, secara mendadak ia mendapat kabar jika Ria—salah satu temannya masuk ke rumah sakit. Meninggalkan Naya dan Kai di rumah—Samudra masih ada, sedang berm
“Siapa?” “Gue kenal sama dia?” “Atau anak-anak yang lain ada yang kenal sama dia ngga?” “Lo kenal di mana?” “Kerjanya di mana?” “Anak keluarga mana? Kenalan bokap lo? Atau lo di jodohin ya, Nay?” “....” Naya hanya diam, tidak berniat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Stevani. Membuat perempuan itu terlihat kesal ketika Naya hanya diam mengabaikan pertanyaannya. “Ngga usah banyak tanya tentang dia, nanti aku kenalin dia sama kamu, sama kalian semua....” Kalimat yang jelas membuat mulut Stevani terdiam, beberapa kali perempuan itu terus memaksa Naya untuk bercerita, memintanya memberi tahu tentang calon suami yang dimaksud oleh Naya. Naya menggeleng, tetep kekeh dengan pendiriannya tidak akan memberi tahu. Akhirnya Stevani capek sendiri. Walaupun kesal karena Naya tidak memberi tahu, Stevani sangat senang mengetahui Naya sudah kembali membuka hatinya untuk seorang lelaki—Stevani berbicara seperti itu kepada Naya sebelum pergi dari kediaman Nay
+628xxxxxxxxxx |Disya sedang pergi ke Jogja, pertemuan akan dilakukan setelah Disya pulang dari sana. Naya mengulum bibirnya, hatinya merasa sedikit lega ketika Samudra menggiriminya pesan seperti itu. Setidaknya masih ada beberapa hari lagi untuk mempersiapkan diri sebelum pertemuannya dengan Disya dan kakak lelakinya untuk membahas hubungan mereka. Memejamkan mata, Naya manarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh hingga wajahnya. Mencoba tidak memikirkan bagaimana tanggapan Disya dan Devan saat Naya dan Samudra memberi tahu tentang hubungan mereka—apa Disya dan kakak lelakinya akan sangat marah—sudah pasti iya ‘kan? Naya frustasi, tidak bisa menghentikan pikirannya. Suara ketukan pintu terdengar, membuat Naya langsung membuka selimut yang menutupi wajahnya. “Nay?” Mamahnya memanggil. “Iya, Mah,” balas Naya yang langsung menuruni kasur untuk membuka pintu kamar. “Mamah jemput Kai ya, kamu mau ikut atau di rumah saja, Nay?” tanya Maya ketika putri bungsunya baru saja membuka p
Naya membuka matanya perlahan ketika merasa lapar, mengerjap pelan supaya penglihatannya jelas untuk melihat ke sekeliling. Menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, lalu mencoba duduk di tepi kasur sebentar untuk mengumpulkan kesadarannya. Menundukkan wajahnya, matanya terbuka lebar ketika tubuhnya dibalut dengan kemeja berwarna hitam, seingatnya ia tidak punya kemeja sebesar ini. “Pakaianmu basah, tadi.” Suara lelaki yang tentu Naya mengenalnya terdengar di telinga, dengan refleks kepalanya menengok ke arah sumber suara. Lelaki itu berjalan masuk ke dalam kamar dengan membawa dua mangkuk yang terlihat jika makanan itu masih panas, terbukti dari asap yang mengepul bersumber dari makanan itu. Naya memberengut kesal ketika tahu jika pasti Samudra sendiri yang menggantikannya pakaian. Benar-benar mesum! Seingatnya ia menangis di depan Samudra di bawah guyuran hujan, lalu entah apa yang terjadi, kenapa juga ia berada di sini sekarang? “Kamu jatuh pingsan tadi. Tidak ada cara lain se
Naya meremas permukaan dadanya kuat sekali, berharap rasa sakit yang timbul akan berangsur membaik, namun itu benar-benar tidak berpengaruh sama sekali. Naya memilih untuk memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Ia menunduk, menangis tergugu, dadanya semakin sesak rasanya. Naya sudah menahan mati-matian rasa sakit itu ketika berbicara dengan Nathan di dalam caffe. Menahan air matanya agar tidak keluar, hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja di hadapan lelaki itu. Kenyataannya tidak! Naya benar-benar hancur ketika mengatakan setiap kalimatnya. Apa yang dikatakan oleh Naya semuanya hanyalah kebohongan! Suara ketukan dari kaca mobil, membuat Naya mendongakkan wajahnya. Samudra ada dibalik pintu mobil, menatap ke arahnya. “Turun! Duduk di sana, saya yang akan mengantar kamu pulang.” Masih mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Samudra, Naya masih diam duduk di kursi kemudi. Namun, detik berikutnya, lelaki itu sudah menarik tangan Naya untuk keluar dari mobil. “Tidak!”
Naya menatap bangunan di depannya sambil menghela napas panjang, mengulum bibirnya menatap ke sekeliling gugup, tangannya melepas safety belt, lalu turun dari dalam mobil miliknya yang sudah terparkir rapih di parkiran rumah sakit. Perempuan itu turun dari mobil, dengan berusaha meredakan rasa gugup di dadanya. Terakhir kali ia mengunjungi rumah sakit ini, suasananya jelas sangat buruk. Naya diperhatikan dengan tatapan tidak bersahabat oleh beberapa pekerja di sini. Akankah tetap seperti itu hingga sekarang? "Kamu tahu tempat itu dari mana?" "Dulu, mobilku pernah mogok daerah situ. Laper banget, akhirnya mampir ke warung makan, dan ternyata enak banget." Naya bisa mendengar obrolan dua orang yang baru keluar dari mobil, satu orang perempuan dan satu lelaki. "Naya?" Naya yang merasa dirinya dipanggil langsung menengokkan wajahnya. Menatap perempuan yang memanggilnya, sebuah senyuman kecil namun jelas terkesan canggung itu Naya perlihatkan. "Ada urusan apa datang ke sini? Kamu s