Sore itu, semilir angin memainkan helaian rambut yang jatuh di wajah Emily, yang tengah bersiap memasuki ballroom perayaan 15 tahun Harris Corporation. Dengan sedikit gugup, Emily meraih lengan kiri Liam—kekasih yang baru dikenalnya beberapa bulan lalu—sambil menaiki tangga dan mengangkat sedikit gaun maxi berwarna peach yang membalut tubuhnya anggun.
Mereka menghadiri pesta keluarga Liam di mansion utama keluarga Harris, di jantung kota San Diego.
“Liam, aku gugup sekali.”
“It’s fine, Em. Kau terlihat cantik. Percayalah, mereka hanya akan memperhatikan aku. Pesta ini diadakan hanya demi gengsi keluargaku,” ujar Liam sambil menatap Emily dan tersenyum lembut.
“Benarkah? Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?” Emily bertanya dengan nada khawatir.
Liam hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Sejujurnya, terlalu banyak hal yang ditakutkan Emily saat ini. Mulai dari bagaimana ia harus bersikap di depan keluarga besar Liam yang belum pernah ia temui sebelumnya. Pesta ini bukan sekadar perayaan ulang tahun ke-15 Harris Corporation—perusahaan keluarga Liam yang bergerak di bidang seni dan fashion—tetapi juga momen perkenalan Liam sebagai satu-satunya penerus utama perusahaan kepada para kolega orang tuanya.
“Liam! There you are! Mommy mencarimu dari tadi. Kenapa baru datang?”
Suara lembut seorang wanita paruh baya menyadarkan Emily dari lamunannya. Camila Vergara, ibu Liam, berdiri di depannya dengan senyum hangat. Wajahnya yang begitu mirip dengan Liam—seperti versi perempuan dari putranya. Rambut coklatnya yang terurai terlihat rapi, dengan beberapa helai rambut putih yang justru menambah kesan elegan. Meski usianya sudah lima puluhan, kecantikan alaminya tetap terpancar jelas melalui mata birunya.
Dengan gerakan lembut, Camila menyapa Emily dan mengusap punggung tangannya. Sentuhannya terasa hangat dan menenangkan, seperti seorang ibu yang menyambut anak sendiri.
“Jadi ini gadis yang selalu Liam bicarakan setiap hari? No wonder he was so fascinated by you. Aku sendiri, baru pertama kali melihatmu, sudah terpesona,” ujar Camila dengan senyum hangat.
Emily merasakan dadanya menghangat, perasaan campur aduk yang sedari tadi menggelayutinya sedikit mereda. Ia tersenyum tipis, menoleh ke arah Liam. Liam membalas tatapannya, mengangkat alis dengan ekspresi yang seakan berkata, jangan dengarkan ibuku.
“Oh, Mrs. Harris, Anda terlalu baik memuji saya seperti itu,” jawab Emily sopan. Jujur saja, dibandingkan Camila yang memiliki kecantikan klasik dengan rambut brunette bercampur pirangnya yang elegan, tidak heran dari mana Liam mewarisi ketampanannya.
Camila tertawa kecil, lalu meraih lengan Emily. “Ayo, aku harus memperkenalkanmu pada teman-temanku.”
Emily terperangah, matanya meminta pertolongan pada Liam. Tapi tentu saja, Liam tak bisa berbuat apa-apa. Sekali tuan rumah sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak.
Saat Emily dibawa Camila menuju sekumpulan wanita, Liam mengalihkan perhatiannya ke sosok yang berdiri di seberang ruangan. Leonard Harris, ayahnya, tengah mengobrol dengan beberapa kolega bisnis, namun tatapan tajamnya sesekali mengarah pada Liam. Memahami isyarat itu, Liam berjalan menghampiri mereka, menjulurkan tangan untuk menyapa para rekan kerjanya.
“So this is your son, Leo? How handsome he is!” puji seorang pria tua berkacamata tebal dengan rambut putih.
“Liam, kenalkan, ini Mr. Pervey, salah satu investor utama perusahaan kita.”
“Hello, Mr. Pervey. Terima kasih sudah hadir di acara ini,” sapa Liam sopan.
Dari kejauhan, Emily memperhatikan Liam yang tampak begitu percaya diri berbincang dengan kolega ayahnya. Sementara itu, Camila telah tenggelam dalam obrolan dengan teman-temannya, yang bagi Emily terdengar terlalu kompleks untuk dimengerti. Perlahan, ia memundurkan langkah, lalu berjalan menuju seorang pramusaji yang membawa nampan berisi gelas-gelas sampanye. Emily mengambil satu, menyesapnya perlahan, sebelum berjalan menuju balkon di lantai atas.
Dari sana, ia menatap ballroom luas yang dipenuhi ratusan orang dengan gemerlap lampu kristal menggantung di langit-langit. Emily tidak pernah menghadiri pesta semewah ini. Satu-satunya acara besar yang pernah ia hadiri hanyalah pesta penyambutan mahasiswa di kampusnya dulu. Lahir dari keluarga berkecukupan tidak berarti ia terbiasa dengan pesta bernilai jutaan dolar seperti ini.
Emily terkejut saat merasakan sepasang tangan menyelip di pinggangnya. Jantungnya berdebar, namun segera ia sadari bahwa itu adalah Liam.
“Kenapa kamu sendiri di sini?” bisik Liam, menyandarkan wajahnya di bahu terbuka Emily.
Demi Tuhan, Liam menyukai aroma khas gadis itu. Tidak menyengat, hanya ada jejak wangi floral bercampur buah jeruk yang samar. Ia tak tahu bagaimana mendeskripsikan aroma Emily, tetapi ia menyukainya.
“Aku hanya butuh udara segar. Bagaimana kamu menemukanku?”
Liam terkekeh. “Semua orang ada di bawah, Em. Hanya kamu yang berdiri sendirian di sini.”
Emily tersenyum kecil, lalu salah satu tangannya yang kosong mengusap lembut lengan Liam di perutnya. Sebelum ia sempat menjawab, Liam kembali berbisik.
“Ayo, aku ingin mengenalkanmu pada keluarga besarku.” Ucapnya sambil menarik lengan Emily perlahan.
Tak lama kemudian, Emily sudah dikelilingi oleh beberapa orang baru. Seorang wanita muda berusia dua puluhan dengan gaun biru beraksen bunga menjulurkan tangan, mengajaknya bersalaman. Cantik, batin Emily saat pertama kali melihat wajah wanita tersebut.
“Renata Morrow,” katanya ramah. “Aku sepupunya Liam.”
Emily membalas jabatan tangannya, lalu memperkenalkan diri. Setelahnya, ia disambut oleh lebih banyak kerabat Liam yang Emily tahu bahwa mereka sudah saudara jauh Liam, diajukan berbagai pertanyaan seputar pekerjaannya, usianya, hingga latar belakang keluarganya.
Namun tiba-tiba, Renata mengalihkan obrolan dan wajahnya berubah menjadi kesal dalam sepesekian detik, matanya melotot kesal ke arah seseorang. “Lihat itu! Anak itu memang tak bisa diatur! Emily, kamu harus hati-hati dengannya kalau sudah masuk keluarga kami! Lucas!”
Emily menoleh mengikuti arah yang ditunjukkan Renata. Seorang pria muda memasuki ruangan, mengambil segelas sampanye dengan santai. Ia berbeda dari semua orang di ruangan ini—tidak mengenakan jas, hanya kaos putih dan jeans. Rambutnya sedikit berantakan, sikapnya cuek seolah tak peduli dengan pesta ini. Renata berjalan cepat dengan tatapan kesal, mengangkat clutch di tangannya seolah ingin melemparnya ke pria itu. Lucas hanya memutar matanya malas, lalu berlari kecil menghindarinya.
Liam tertawa kecil. “Itu Lucas, satu-satunya sepupu laki-lakiku.”
Emily masih mencoba melihat lebih jelas wajah pria itu. Saat akhirnya pandangan mereka bertemu, Lucas mengangkat sudut bibirnya dengan seringainya. Emily menyipitkan mata, mengernyit. Ada sesuatu yang aneh tentang pria itu. Sesuatu yang membuatnya waspada.
Freak, pikir Emily dalam hati.
“It's enough, Ren. No one can catch him,” ujar Liam sambil tersenyum dan sedikit menaikkan nada bicaranya. Tanpa sadar, di sebelah kiri bahu Liam, sudah muncul lagi kepala Renata.
“Sepertinya aku perlu menyudahi perkenalan ini Liam," bisik Emily ditelinga Liam yang tanpa sadar dia sedang menahan untuk buang air kecil. Dia terkekeh sebelum akhirnya berpamitan menuju toilet setelah Liam menganggukinya.
Emily berlari kecil dengan balutan maxi dress yang mengurangi fleksibilitasnya menju bilik diujung ballroom tersebut. Segala design interior dimansion ini terlalu mewah batin Emily. Hampir saja dia tersasar menuju kamar mandi. Dan beberapa menit kemudian, Emily melangkahkan kaki keluar dari bilik. Hingga suara seseorang yang bersandar di tembok samping menyadarkan lamunan Emily.
“Emily, kan?” suara rendah seorang pria menyapanya.
Emily tersentak dan menoleh cepat. Lucas bersandar di dinding, memegang segelas sampanye, menatapnya tajam dengan mata coklat terangnya yang berkilat penuh misteri.
"Lucas?" jawab Emily sambil bertanya-tanya, apakah benar yang ia ajak ngobrol adalah lelaki itu.
“Well, I’m famous, right?” ucap Lucas sambil menyeringai. “Kau sudah tahu namaku, bahkan sebelum aku menyebutkannya.”
Emily terdiam, menatapnya lekat-lekat.
Saat itu, ia belum menyadari bahwa tatapan coklat terang itu akan mengubah hidupnya selamanya.
Angin pagi yang sejuk menyelinap melalui celah jendela, membangunkan Emily dari tidurnya. Mentari belum sepenuhnya menampakkan dirinya, namun mata Emily sudah tidak bisa kembali tertidur. Ia mengerjapkan kedua matanya perlahan. Tubuhnya terasa begitu hangat, terlindungi dalam dekapan Liam.Emily menggerakkan tangannya dan menatap cincin yang kini melingkar sempurna di jari manisnya."Cantik sekali..." gumamnya tanpa sadar, senyum kecil terukir di bibirnya.Tatapannya beralih ke wajah Liam yang tertidur tenang di sampingnya. Semalam, setelah Liam kembali melamarnya, mereka mandi bersama, dan Emily mengobati luka lebam di wajahnya. Dari cerita Liam, semuanya berawal saat ia mabuk dan tanpa sengaja menyenggol seseorang. Orang itu marah, mulai menghina Liam, dan dalam keadaan emosional, Liam tak terima—ia melayangkan tinjunya. Untungnya, ada orang yang melerai sebelum situasi semakin buruk.Emily menghela napas pelan. Ia menyentuh wajah Liam dengan lembut, jari-jarinya mengusap pipi pria
Lucas menghentikan mobilnya tepat di depan apartemen Emily. Gedungnya tidak besar, tapi tampak nyaman, dengan cahaya lampu dari beberapa jendela yang masih menyala di malam yang semakin larut.Liam memutuskan untuk mengantar ibunya pulang, sementara Emily diantar oleh Lucas. Saat Lucas melirik ke sebelah kanan, ia mendapati Emily tertidur dengan kepala sedikit miring, memeluk tote bag-nya erat-erat. Napasnya teratur, wajahnya terlihat begitu damai—sebuah ketenangan yang langka setelah hari panjang yang penuh emosi ini.Lucas ragu. Ia tidak sampai hati membangunkannya.Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Emily masih terlelap, tubuhnya hampir tidak bergerak. Lucas mulai curiga bahwa jika dibiarkan, Emily mungkin akan tidur sampai pagi di dalam mobilnya.Dengan hati-hati, ia menyentuh pundaknya, mencoba membangunkannya tanpa mengagetkannya. Kalau saja ia tahu Emily tinggal di lantai berapa, mungkin ia sudah membopongnya masuk ke dalam apartemen."Em... kita sudah sampai,”
Liam melamar Emily?Bagaimana bisa? Mereka baru mengenal setengah tahun, bukan? Apakah Liam benar-benar mencintai Emily sampai segitunya? Lucas tidak merasa cemburu—tidak, bukan itu. Hanya saja, ia khawatir sepupunya terlalu terbawa suasana. Kalap dalam semalam dan akhirnya mengambil keputusan yang mungkin akan disesalinya nanti.Saat mendengar kata-kata Emily barusan, kepala Lucas terasa kosong. Hampir saja dia bertanya, Apa kau yakin? Tapi yang keluar dari mulutnya justru, Selamat, sebelum ia buru-buru pergi, menjauh dari tatapan Emily.Lucas tidak ingin wajahnya menunjukkan sesuatu yang bisa disalahartikan.Namun, meski sudah berjalan cukup jauh, pikirannya tetap dipenuhi dengan kata-kata Emily. Ia menyesali keputusannya mendekati bangku taman tadi. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan Emily dan teman-temannya dari tatapan orang-orang sekitar yang mulai terganggu oleh teriakan mereka yang histeris. Bahkan, seorang Ms. Huang—profesor mereka—sempat bertanya pada Lucas apakah Emily dan
Warning! 18+***Derap langkah cepat menyadarkan aktivitas Emily saat ini. Dia masih merapikan sisa makanan di meja, matanya sesekali melirik jam di dinding yang menunjukkan angka lima. Sudah dua jam sejak Lucas pergi, tetapi sisa kehadirannya masih terasa—entah dari wangi parfumnya yang samar atau kenangan obrolan siang tadi yang terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Mereka menghabiskan waktu dengan tawa dan candaan, sesuatu yang selama ini terasa mustahil terjadi antara mereka.Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Emily. Liam masuk dengan langkah berat, wajahnya tampak lelah dan sedikit kusut, seolah beban dunia ada di pundaknya. Tanpa ragu, dia meletakkan tas, handphone, kunci, dan dompetnya di atas meja yang baru saja Emily bersihkan."Liam, jangan taruh barangmu di at—"Sebelum Emily bisa menyelesaikan kalimatnya, Liam sudah menarik tengkuknya dan menyapukan bibirnya ke bibir Emily dengan penuh gairah. Emily terkejut, tetapi dia merasakan sesua
Bunyi ketukan keyboard memenuhi ruang kerja Lucas di kampus CalArt. Di tengah kesibukannya menyusun laporan mingguan yang harus ia serahkan kepada Ms. Huang sore ini, pikirannya justru berkelana ke tempat lain.Ia masih mengingat percakapan telepon dengan Liam pagi tadi—tepat saat Lucas masih terlelap. Liam bertanya, “Makanan apa yang baik untuk orang sakit?”Lucas menjawab tanpa berpikir panjang. Bubur. Tentu saja, bukankah itu makanan standar bagi orang yang sedang sakit?Namun setelah telepon itu berakhir, pertanyaan lain mulai merayapi pikirannya. Siapa yang sakit?Liam adalah seorang workaholic kelas berat. Jika sampai ia mengambil cuti kerja, pasti orang itu bukan sembarang orang. Satu nama terlintas di benaknya.Emily.Lucas menggeleng, mencoba menepis pikiran itu. Tapi semakin ia mengusirnya, semakin kuat bayangan itu menghantuinya.Apakah Emily jatuh sakit karena dirinya kemarin? Atau memang dia sering sakit-sakitan? Tidak mungkin. Emily bukan tipe yang lemah. Ia bahkan masih
Gemericik air memenuhi dapur, berpadu dengan dentingan halus peralatan masak yang saling bersentuhan.Emily berdiri di depan wastafel, kedua tangannya sibuk mencuci teflon yang baru saja ia gunakan. Matanya sedikit sayu, tubuhnya masih lemah, tetapi setidaknya ia merasa jauh lebih baik dibanding tadi malam.Dan yang terpenting—ia lapar.Bubur yang Liam berikan sejak tadi malam memang cukup untuk membuatnya bertahan, tetapi tidak cukup untuk memuaskan perutnya yang kini menuntut lebih. Ia butuh sesuatu yang lebih mengenyangkan—protein, karbohidrat, sesuatu yang benar-benar terasa seperti makanan.Namun bukan hanya untuk dirinya sendiri.Dengan infus yang masih terpasang di tangan, Emily menggantung teflon dengan sangat hati-hati. Di balik rasa laparnya, ada perasaan lain yang menyelimutinya—rasa bersalah.Liam tidak pantas diperlakukan seperti kemarin.Laki-laki itu tidak tahu apa-apa, tetapi Emily justru mengabaikannya.Bahkan saat ia berkali-kali menolak berbicara, Liam tetap di sisi