Home / Romansa / Emily'S Lover / CHAPTER TWO

Share

CHAPTER TWO

Author: Kowalska
last update Last Updated: 2025-08-11 18:53:47

Sinar matahari yang mulai mengintip dari balik tirai jendela apartemennya menyelinap masuk, perlahan-lahan membelai wajah Emily yang masih terlelap. Cahaya hangat itu menyeruak di antara lipatan selimutnya, membangunkannya dari tidur nyenyak yang terasa begitu singkat. Dengan mata yang masih berat, ia menoleh ke arah jam dinding.

Pukul 11 siang. Berapa lama aku tidur? batinnya.

Pikiran pertamanya melayang ke momen sebelum ia tertidur—pillow talk yang begitu intim dengan Liam, dalam dekapan hangatnya, hingga mereka berdua terlelap. Ada banyak yang perlu mereka bicarakan setelah pesta semalam, terutama soal kelanjutan hubungan mereka. Namun, saat matanya terbuka, ranjang di sebelahnya kosong.

Tidak ada Liam.

Jantungnya berdebar. Tangannya meraba meja di samping tempat tidur, mencari ponselnya. Namun, sebelum ia menemukannya, matanya justru menangkap secarik kertas kecil dengan tulisan tangan yang begitu dikenalnya.

Emily.

Maaf aku pergi tanpa sempat berpamitan. Aku mendapat tugas pertamaku di kantor.

Hubungi aku saat kau sudah bangun.

-XoXo, Liam.

Emily menatap surat itu lama, sebelum akhirnya mengingat kembali pembicaraan mereka semalam. Hari ini adalah hari pertama Liam sebagai wakil direktur Harris Corporation. Setelah berbulan-bulan belajar mengemban tanggung jawab sebagai manajer utama, akhirnya ayahnya —sang direktur utama—mengangkatnya ke posisi yang lebih tinggi. Namun, bukan hanya itu yang mereka bicarakan.

Liam ingin membawa hubungan mereka ke tahap yang lebih serius.

Bertunangan.

Emily ingin merasa bahagia. Harusnya ia senang, bukan? Tapi jauh di lubuk hatinya, ada keraguan yang enggan sirna. Hubungan mereka baru berjalan enam bulan bahkan usia mereka terpaut 5 tahun. Apa Liam benar-benar mengenalnya? Apa ia benar-benar mengenal Liam? Ada banyak sisi dirinya yang belum Liam ketahui, termasuk kekanak-kanakan yang sering muncul tanpa sadar.

Dengan helaan napas panjang, Emily mengambil ponselnya, mulai mengetik pesan untuk Liam. Namun pikirannya kembali mengembara ke kejadian semalam. Ada sesuatu yang mengganggunya. Badannya terasa pegal, seolah baru saja melewati malam yang panjang.

Emily menurunkan pandangannya ke tubuhnya sendiri. Mata hijaunya membelalak. Apa yang Liam lakukan semalam?

Kilatan ingatan kembali—tatapan penuh gairah, desahan pelan di telinganya, sentuhan jemari yang menjelajahi setiap inci kulitnya.

Wajahnya seketika memanas. Dengan cepat, ia meraih handuk dan berjalan ke kamar mandi. Setibanya di depan cermin, ia menatap pantulannya. Oh God! Ruam kemerahan memenuhi leher dan bahunya. Seberapa mabuk dirinya semalam hingga hanya mengingat sebagian kecil dari kejadian itu?

Emily mengembuskan napas berat.

Concealer. Aku butuh concealer dalam jumlah banyak.

Bukan marah, lebih tepatnya... tersipu. Liam selalu berhasil membuatnya merasa diinginkan. Bahkan di tengah jarak dan kesibukan, kata-kata manisnya selalu menyelinap dalam setiap pesan. Dan sekarang, setelah semalam... Emily tidak bisa menahan perasaan aneh yang menghangatkan dadanya. Jantungnya berdebar. Liam benar-benar memujanya, dalam segala cara.

Ia merindukannya. Dengan Liam? Segalanya terasa berbeda.

Tanpa sadar, waktu berlalu. Dan sebelum ia benar-benar hanyut dalam pikirannya sendiri, kenyataan menamparnya—

Hari ini hari pertama semester baru.

“Oh, sial.”

Emily buru-buru melangkah ke kamar mandi, menyiram tubuhnya dengan air dingin sebelum bergegas bersiap. Ini semester terakhirnya di California Institute of the Arts.

Panas terik menyengat kulitnya saat ia tiba di terminal bus. Musim panas masih menggenggam California, meskipun kalender sudah menunjukkan bulan Februari. Emily mengusap keringat di pelipisnya. Kelasnya dimulai pukul satu, dan biasanya, perjalanan ke kampus memakan waktu dua puluh menit.

Cukup, Emily. Fokus.

***

Dengan langkah yang hampir otomatis, Emily tiba-tiba sudah berada di terminal bus, bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju kampus. Meski Februari masih berlangsung, matahari California tetap bersinar dengan teriknya, seolah musim panas enggan melepas cengkeramannya. Butiran keringat mulai membasahi pelipisnya, namun hari ini hal itu tidak cukup untuk mengusik konsentrasinya. Bagaimanapun, ini adalah hari pertama semester terakhirnya—sebuah awal yang tak hanya menandai akhir masa kuliahnya, tetapi juga permulaan dari sesuatu yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Dengan napas terengah-engah, Emily akhirnya berhasil mencapai pintu kelas tepat pada waktunya. Wajahnya yang memerah dan masih basah oleh keringat menjadi saksi bisu dari pagi yang kacau balau: bus yang tiba-tiba mogok, taksi yang penuh hingga nyaris tidak bisa bernapas, dan perjuangan melawan waktu yang hampir membuatnya terlambat pada hari yang sangat penting ini.

Dengan cepat, ia menduduki bangku di antara dua sahabatnya, Erik dan Maggie.

"Where have you been? Kamu hampir telat, Em!" seru Maggie.

"I know. It’s so crowded out there." Emily mengeluarkan notebooknya dengan wajah kesal.

"Dengar, Em." Erik menyenggol bahunya. "Hari ini kita kedatangan dosen baru. Aku dengar dia lulusan arsitektur dari UCLA."

"Dan biarkan aku tebak," Emily menatap Erik dengan senyum menggoda. "Kau sudah merancang rencana untuk menggoda dia, kan?"

Mereka tertawa, namun tawa itu mendadak terhenti saat suara Ms. Huang mengisi ruangan.

"Class, hari ini saya ingin memperkenalkan seseorang. Untuk perkuliahan kelas Desain dan Komposisi kali ini, kalian akan dipandu oleh Mr. Morrow."

Nama itu menghantam Emily seperti petir di siang bolong. Morrow? Apakah itu Lucas Morrow? Tidak mungkin. Ada banyak Morrow di dunia ini, kan? Namun sebelum pikirannya selesai merangkai kemungkinan lain, dua kaki panjang melangkah memasuki kelas.

Celana jeans hitam. Kemeja putih dengan dua kancing terbuka. Aura percaya diri yang memancar dari posturnya.

Dan saat pria itu mengangkat wajahnya, mata mereka bertemu.

Oh, sial.

That’s brown eyes! Mata yang sama seperti semalam.

***

"Kau sudah tahu namaku bahkan sebelum aku menyebutkannya," suaranya terdengar tajam, penuh percaya diri. Emily menatapnya, menahan tawa getir. Dia adalah pria paling narsis yang pernah Emily temui.

"Dan kau tahu apa yang membuatmu terkenal?" Emily menyilangkan tangan di dadanya.

Lucas tersenyum miring. "Kepintaranku? Ketampananku? Atau kombinasi keduanya?"

Emily mendesah. "Ironis sekali, bahkan saudara perempuanmu sendiri menyebutmu sebagai playboy nomor satu di keluargamu. Dengan sikap seperti ini, kupikir dia tidak salah."

Lucas menyeringai, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat. "Playboy, ya? Berarti aku boleh menggoda kekasih sepupuku juga, bukan?"

Emily terperangah. Demi Tuhan! Apa dia sudah gila? Bagaimana bisa seseorang berpikiran seperti ini? Tapi sebelum Emily bisa bereaksi, suara lain menyela mereka.

“Cukup, Lucas! Mau sejauh apa kau menggoda Emily? Sampai dia jijik padamu?”

Emily menoleh dan mendapati seorang wanita berdiri dengan tangan bertolak pinggang. Renata.

“Tidak semua wanita bisa luluh oleh wajah tampanmu itu,” lanjutnya, suaranya penuh kejengkelan.

Lucas menoleh dengan senyum santai. "Sist, kenapa kau selalu marah-marah setiap bertemu denganku? Bukankah ini pertama kalinya kita bertemu lagi setelah aku pulang dari UCLA? Tidak rindukah kau pada adikmu satu-satunya?"

Renata mendengus. "Bahkan dalam pertemuan pertama ini pun kau tetap menyebalkan. Dan aku bersyukur kau jauh dari rumah, mengurangi darah tinggiku."

Mereka terus berdebat, dan sebelum Renata masuk ke toilet, Lucas menatap Emily sekali lagi dan mengatakan suatu hal yang Emily tidak mengerti.

"Sepertinya kau butuh istirahat, Ms. Mitchell. Kau terlihat cukup lelah. Sampai jumpa esok."

Untuk apa besok, mereka bertemu?

***

Dan sekarang, semuanya masuk akal.

Emily baru tersadar alasan Lucas menggodanya semalam. Karena mulai hari ini, ia akan tunduk terhadap segala perkataan Lucas. Pria itu memiliki kewenangan atas nilai akhirnya. Bagaimana bisa pria itu berdiri didepan sana? Bukankah dia lebih cocok menjadi pria urakan daripada menjadi asisten dosen? Lihat saja rupanya itu!

"Fuck!" teriak Emily, menyadari kekacauan yang baru saja menimpanya.

“Is anything wrong, Ms. Mitchell? Apakah Anda baru saja mengumpat di kelas?” tegur Ms. Huang.

Emily langsung tersentak. Eric dan Maggie menoleh ke arahnya dengan khawatir.

"I’m so sorry, Ms. Huang. Semuanya baik-baik saja. Tapi, Ms. Huang, apakah Anda masih akan mengajar kelas ini?" tanyanya penuh harap.

"Mungkin sekitar 90%, Mr. Morrow yang akan bertanggung jawab penuh.” Jawaban Ms. Huang membuat sirna seluruh harapan Emily untuk semester ini.  Lucas menyandarkan diri ke meja di depan kelas, menatap setiap mahasiswa dengan tatapan tajam.

"Saya berharap kalian bisa proaktif di kelas ini. Dan saya tidak menoleransi kedunguan—terutama mengumpat di kelas atau bertindak seperti… orang bodoh."

Mata coklat terang itu menatap lurus ke arah Emily, senyum sinis tersungging di bibirnya.

Oh tidak.

Emily menutup wajahnya dengan tangan.

Sial. Emily benar-benar masuk ke dalam permainan Lucas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Emily'S Lover   CHAPTER NINE

    Angin pagi yang sejuk menyelinap melalui celah jendela, membangunkan Emily dari tidurnya. Mentari belum sepenuhnya menampakkan dirinya, namun mata Emily sudah tidak bisa kembali tertidur. Ia mengerjapkan kedua matanya perlahan. Tubuhnya terasa begitu hangat, terlindungi dalam dekapan Liam.Emily menggerakkan tangannya dan menatap cincin yang kini melingkar sempurna di jari manisnya."Cantik sekali..." gumamnya tanpa sadar, senyum kecil terukir di bibirnya.Tatapannya beralih ke wajah Liam yang tertidur tenang di sampingnya. Semalam, setelah Liam kembali melamarnya, mereka mandi bersama, dan Emily mengobati luka lebam di wajahnya. Dari cerita Liam, semuanya berawal saat ia mabuk dan tanpa sengaja menyenggol seseorang. Orang itu marah, mulai menghina Liam, dan dalam keadaan emosional, Liam tak terima—ia melayangkan tinjunya. Untungnya, ada orang yang melerai sebelum situasi semakin buruk.Emily menghela napas pelan. Ia menyentuh wajah Liam dengan lembut, jari-jarinya mengusap pipi pria

  • Emily'S Lover   CHAPTER EIGHT

    Lucas menghentikan mobilnya tepat di depan apartemen Emily. Gedungnya tidak besar, tapi tampak nyaman, dengan cahaya lampu dari beberapa jendela yang masih menyala di malam yang semakin larut.Liam memutuskan untuk mengantar ibunya pulang, sementara Emily diantar oleh Lucas. Saat Lucas melirik ke sebelah kanan, ia mendapati Emily tertidur dengan kepala sedikit miring, memeluk tote bag-nya erat-erat. Napasnya teratur, wajahnya terlihat begitu damai—sebuah ketenangan yang langka setelah hari panjang yang penuh emosi ini.Lucas ragu. Ia tidak sampai hati membangunkannya.Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Emily masih terlelap, tubuhnya hampir tidak bergerak. Lucas mulai curiga bahwa jika dibiarkan, Emily mungkin akan tidur sampai pagi di dalam mobilnya.Dengan hati-hati, ia menyentuh pundaknya, mencoba membangunkannya tanpa mengagetkannya. Kalau saja ia tahu Emily tinggal di lantai berapa, mungkin ia sudah membopongnya masuk ke dalam apartemen."Em... kita sudah sampai,”

  • Emily'S Lover   CHAPTER SEVEN

    Liam melamar Emily?Bagaimana bisa? Mereka baru mengenal setengah tahun, bukan? Apakah Liam benar-benar mencintai Emily sampai segitunya? Lucas tidak merasa cemburu—tidak, bukan itu. Hanya saja, ia khawatir sepupunya terlalu terbawa suasana. Kalap dalam semalam dan akhirnya mengambil keputusan yang mungkin akan disesalinya nanti.Saat mendengar kata-kata Emily barusan, kepala Lucas terasa kosong. Hampir saja dia bertanya, Apa kau yakin? Tapi yang keluar dari mulutnya justru, Selamat, sebelum ia buru-buru pergi, menjauh dari tatapan Emily.Lucas tidak ingin wajahnya menunjukkan sesuatu yang bisa disalahartikan.Namun, meski sudah berjalan cukup jauh, pikirannya tetap dipenuhi dengan kata-kata Emily. Ia menyesali keputusannya mendekati bangku taman tadi. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan Emily dan teman-temannya dari tatapan orang-orang sekitar yang mulai terganggu oleh teriakan mereka yang histeris. Bahkan, seorang Ms. Huang—profesor mereka—sempat bertanya pada Lucas apakah Emily dan

  • Emily'S Lover   CHAPTER SIX

    Warning! 18+***Derap langkah cepat menyadarkan aktivitas Emily saat ini. Dia masih merapikan sisa makanan di meja, matanya sesekali melirik jam di dinding yang menunjukkan angka lima. Sudah dua jam sejak Lucas pergi, tetapi sisa kehadirannya masih terasa—entah dari wangi parfumnya yang samar atau kenangan obrolan siang tadi yang terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Mereka menghabiskan waktu dengan tawa dan candaan, sesuatu yang selama ini terasa mustahil terjadi antara mereka.Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Emily. Liam masuk dengan langkah berat, wajahnya tampak lelah dan sedikit kusut, seolah beban dunia ada di pundaknya. Tanpa ragu, dia meletakkan tas, handphone, kunci, dan dompetnya di atas meja yang baru saja Emily bersihkan."Liam, jangan taruh barangmu di at—"Sebelum Emily bisa menyelesaikan kalimatnya, Liam sudah menarik tengkuknya dan menyapukan bibirnya ke bibir Emily dengan penuh gairah. Emily terkejut, tetapi dia merasakan sesua

  • Emily'S Lover   CHAPTER FIVE

    Bunyi ketukan keyboard memenuhi ruang kerja Lucas di kampus CalArt. Di tengah kesibukannya menyusun laporan mingguan yang harus ia serahkan kepada Ms. Huang sore ini, pikirannya justru berkelana ke tempat lain.Ia masih mengingat percakapan telepon dengan Liam pagi tadi—tepat saat Lucas masih terlelap. Liam bertanya, “Makanan apa yang baik untuk orang sakit?”Lucas menjawab tanpa berpikir panjang. Bubur. Tentu saja, bukankah itu makanan standar bagi orang yang sedang sakit?Namun setelah telepon itu berakhir, pertanyaan lain mulai merayapi pikirannya. Siapa yang sakit?Liam adalah seorang workaholic kelas berat. Jika sampai ia mengambil cuti kerja, pasti orang itu bukan sembarang orang. Satu nama terlintas di benaknya.Emily.Lucas menggeleng, mencoba menepis pikiran itu. Tapi semakin ia mengusirnya, semakin kuat bayangan itu menghantuinya.Apakah Emily jatuh sakit karena dirinya kemarin? Atau memang dia sering sakit-sakitan? Tidak mungkin. Emily bukan tipe yang lemah. Ia bahkan masih

  • Emily'S Lover   CHAPTER FOUR

    Gemericik air memenuhi dapur, berpadu dengan dentingan halus peralatan masak yang saling bersentuhan.Emily berdiri di depan wastafel, kedua tangannya sibuk mencuci teflon yang baru saja ia gunakan. Matanya sedikit sayu, tubuhnya masih lemah, tetapi setidaknya ia merasa jauh lebih baik dibanding tadi malam.Dan yang terpenting—ia lapar.Bubur yang Liam berikan sejak tadi malam memang cukup untuk membuatnya bertahan, tetapi tidak cukup untuk memuaskan perutnya yang kini menuntut lebih. Ia butuh sesuatu yang lebih mengenyangkan—protein, karbohidrat, sesuatu yang benar-benar terasa seperti makanan.Namun bukan hanya untuk dirinya sendiri.Dengan infus yang masih terpasang di tangan, Emily menggantung teflon dengan sangat hati-hati. Di balik rasa laparnya, ada perasaan lain yang menyelimutinya—rasa bersalah.Liam tidak pantas diperlakukan seperti kemarin.Laki-laki itu tidak tahu apa-apa, tetapi Emily justru mengabaikannya.Bahkan saat ia berkali-kali menolak berbicara, Liam tetap di sisi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status