共有

CHAPTER SIX

作者: Kowalska
last update 最終更新日: 2025-09-17 03:38:42

Warning! 18+

***

Derap langkah cepat menyadarkan aktivitas Emily saat ini. Dia masih merapikan sisa makanan di meja, matanya sesekali melirik jam di dinding yang menunjukkan angka lima. Sudah dua jam sejak Lucas pergi, tetapi sisa kehadirannya masih terasa—entah dari wangi parfumnya yang samar atau kenangan obrolan siang tadi yang terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Mereka menghabiskan waktu dengan tawa dan candaan, sesuatu yang selama ini terasa mustahil terjadi antara mereka.

Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Emily. Liam masuk dengan langkah berat, wajahnya tampak lelah dan sedikit kusut, seolah beban dunia ada di pundaknya. Tanpa ragu, dia meletakkan tas, handphone, kunci, dan dompetnya di atas meja yang baru saja Emily bersihkan.

"Liam, jangan taruh barangmu di at—"

Sebelum Emily bisa menyelesaikan kalimatnya, Liam sudah menarik tengkuknya dan menyapukan bibirnya ke bibir Emily dengan penuh gairah. Emily terkejut, tetapi dia merasakan sesuatu yang lebih dalam di balik ciuman itu—sebuah kelelahan, ketegangan, dan mungkin... keinginan untuk melupakan sesuatu. Liam mendorong tubuhnya hingga ke atas meja, mendekapnya erat, seolah takut Emily akan menghilang begitu saja.

Emily bisa merasakan napasnya yang berat, tangan Liam yang mencengkeramnya dengan sedikit gemetar. Ini bukan sekadar permainan atau kebiasaan. Ini lebih dari itu.

"Liam..." gumamnya pelan di sela napas yang tersengal.

Liam menatapnya dalam, matanya menyimpan sesuatu yang sulit diartikan—sesuatu yang mentah, hampir putus asa. "I just want you, Em." Suaranya nyaris berbisik, tetapi ada ketulusan yang tak bisa diabaikan.

Emily mengangkat tangannya, menyentuh pipi Liam yang terasa sedikit hangat. "Aku tahu, tapi kamu terlihat seperti ada yang mengganggu pikiranmu. Apa yang terjadi?"

Liam menghela napas, seolah mempertimbangkan apakah dia harus berbicara atau tetap membiarkan beban itu dia tanggung sendiri. "Can we talk about it later? Untuk sekarang... aku hanya ingin kamu di sini. Hanya kamu."

Emily menatapnya sejenak, membaca ekspresi wajahnya yang penuh dengan sesuatu yang tidak terucapkan. Emily bisa merasakannya—ada seribu masalah yang menggerogoti pikirannya. Dan satu-satunya hal yang bisa menenangkannya saat ini adalah Emily.

“Okey, eat me then” bisik Emily, mencoba meredakan ketegangan.

Liam tersenyum kecil, lalu melanjutkan apa yang tadi sempat terhenti. Dengan satu tangan, dia melepaskan kaitan bra Emily, sementara tangan lainnya tetap menahan tengkuknya, memastikan tubuh Emily tetap tegak.

Saat Liam hanya meninggalkan celana dalam Emily saja, bibir Liam mulai menjelajahi setiap inci kulitnya. Dari leher, turun ke bahu, hingga ke payudaranya. Emily menghela napas panjang saat lidah Liam mulai memainkan ujung payudaranya dengan penuh keahlian. Ya Tuhan, Liam tahu persis apa yang Emily suka.

Saat Liam mulai melepas celananya, Emily menanyakan tentang pengaman yang seharusnya Liam siapkan sedari tadi.

“Liam, di mana kondommu?” tanya Emily, suaranya gemetar.

“Bisakah kali ini kita tidak memakainya? Aku ingin merasakanmu seutuhnya,” desis Liam, matanya penuh hasrat.

“Oh, Liam, c’mon. Aku tidak mau mengambil risiko,” balas Emily, mencoba tetap tenang.

Dengan sedikit frustrasi, Liam menghela napas dalam-dalam. Tangannya meraih dompetnya diatas meja, membuka lipatannya dengan gerakan yang terburu-buru namun tetap terarah. Dia mengeluarkan sebuah kondom, merobek bungkusnya dengan gigi sebelum memakainya dengan cepat. Matanya tak pernah lepas dari Emily, yang masih terbaring di atas meja, napasnya terengah-engah, dadanya naik turun dengan ritme yang semakin cepat.

Tanpa menunggu lama, Liam melangkah mendekat, tubuhnya menempel pada Emily. Dia merasakan kehangatan kulit Emily, begitu dekat, begitu nyata. Dengan gerakan perlahan namun penuh keyakinan, dia memasukkan dirinya ke dalam Emily. Gadis itu mengerang pelan, suaranya gemetar namun penuh kerinduan. Emily sudah begitu basah, begitu siap, hingga tak perlu lagi permainan yang panjang.

Gerakan mereka dimulai dengan perlahan, seperti irama yang saling mengikuti. Tapi tak lama kemudian, ritme itu berubah menjadi lebih cepat, lebih intens. Setiap dorongan Liam dijawab dengan lenguhan Emily, setiap sentuhan menciptakan gelombang panas yang menyebar ke seluruh tubuh mereka. Tangan Liam meraih pinggul Emily, menariknya lebih dekat, memastikan tak ada jarak yang tersisa di antara mereka.

Emily meraih punggung Liam, kukunya sedikit mencengkeram, meninggalkan bekas yang samar. Napas mereka saling beradu, panas dan berat, seolah dunia di sekitar mereka tak lagi ada. Hanya ada mereka berdua, dalam ruangan yang dipenuhi oleh desahan dan erangan yang tak terbendung.

Gairah mereka memuncak, seperti api yang membara dan tak bisa dipadamkan. Liam merasakan tekanan yang semakin kuat pada miliknya, sementara Emily mengerang lebih keras, tangannya mencengkeram erat bahu Liam. Keduanya saling mendekat, seolah tak ingin ada jarak yang memisahkan. Hingga, puncak itu datang.

Liam mengerang dalam-dalam, tubuhnya gemetar saat dia mencapai puncak kenikmatan. Emily pun tak kalah, lenguhannya pecah dalam desahan panjang, tubuhnya melengkung mengikuti gelombang kepuasan yang menerpa.

Mereka tetap terpeluk erat, napas mereka masih berat, jantung berdebar kencang. Liam menundukkan kepalanya, wajahnya tenggelam di tengkuk Emily. Aroma gadis itu begitu menenangkan, membuatnya sejenak melupakan segala beban yang menghantuinya.

Dan kemudian, di antara bisikan malam dan keheningan apartemen, Liam berucap—sebuah kalimat yang membuat waktu seakan berhenti.

"Hiduplah denganku, Em."

***

Sudah dua minggu sejak kejadian itu—Hiduplah denganku, Em.

Namun, Emily masih belum bisa melupakan kata-kata itu. Mengapa Liam mengatakannya dalam situasi seperti itu? Bukan berarti ia tidak ingin hidup dengan Liam, tapi segalanya terasa terlalu cepat. Ia belum siap. Bahkan, ia sendiri pun belum yakin apakah bisa berkomitmen dengan siapa pun.

Seharusnya sekarang ia fokus mengerjakan tugas kelompok yang diberikan oleh dosennya tadi siang. Namun, alih-alih bekerja, Emily hanya duduk diam, memainkan pulpen di jemarinya, pikirannya mengembara ke tempat lain.

Bukan hanya kata-kata Liam yang terus menghantuinya, tapi juga kebohongan Lucas.

Ya. Lucas berbohong padanya.

Segala yang pria itu katakan berbeda dengan yang dikatakan Liam. Liam tidak pernah menyuruh Lucas membelikannya makanan atau bahkan mengingatkannya untuk makan. Komunikasi terakhir mereka hanyalah Lucas yang menanyakan siapa yang sakit—dan setelah itu, tidak ada lagi.

Jadi kenapa Lucas berimprovisasi? Apa yang sebenarnya diinginkan Lucas darinya?

Pikirannya terlalu kacau. Terlalu berantakan hingga ia bahkan tidak sadar bahwa dua sahabatnya sudah berteriak-teriak memanggil namanya sejak tadi.

“Em! Apakah kupingmu cuma pajangan?” teriak Maggie tepat di telinganya.

Emily tersentak. “Mag, aku dengar semuanya, oke?” katanya seraya membuka botol minumnya dan meneguk isinya.

“Kita sudah memanggilmu berkali-kali, Em. Apa yang kau pikirkan? Pangeranmu itu melamarmu atau malah memutuskanmu?” goda Eric sambil mengoleskan lip gloss di bibirnya.

Sruutt!

Emily langsung menyemburkan minumnya ke meja batu di depan mereka.

“Dari mana kau tahu?” Emily menatap Eric dan Maggie dengan mata membelalak.

Seolah baru saja menemukan harta karun, Maggie dan Eric saling berpandangan, lalu serempak berteriak heboh.

“Kau diputuskan?!” seru Eric. “Lihat, Mag! Apa aku tidak bilang—”

“Yang satunya,” potong Emily cepat.

Hening.

Lalu—

“Oh. My. God!”

Teriakan mereka terdengar lebih kencang dari sebelumnya. Maggie bahkan sampai menjambak rambutnya sendiri sementara Eric menggenggam tangan Emily seolah ingin mengguncangnya untuk memastikan ia tidak sedang berhalusinasi.

Namun, histeria mereka terhenti begitu Lucas entah dari mana tiba-tiba berjalan mendekati mereka.

“Sepertinya ada hal seru yang terjadi di sini,” katanya, menatap mereka bertiga dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

Emily membeku.

Alih-alih menjawab, ia hanya menatap Lucas lekat-lekat—seakan-akan ada kotoran burung yang jatuh tepat di atas kepalanya.

"Tidak ada, Pak. Hanya bercanda dengan teman-teman saya di sini," timpal Maggie cepat, menyenggol Eric agar ikut menyetujuinya.

Namun, bukannya menanggapi, Lucas justru menatap Emily—begitu juga sebaliknya. Ada sesuatu dalam sorot mata mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.

"Apakah ada sesuatu yang ingin kau ceritakan, Emily?" tanya Lucas, suaranya terdengar tenang, tapi matanya tetap terkunci pada Emily.

Sejenak, Emily ragu. Ia bisa merasakan Maggie dan Eric melirik ke arahnya, menunggu jawaban. Lalu, entah karena apa, bibirnya bergerak sendiri.

"Pacarku melamarku."

Hening.

Maggie dan Eric langsung menoleh ke arahnya dengan ekspresi kau-seriusan? terpampang jelas di wajah mereka.

Namun, Lucas tetap diam. Tidak ada reaksi terkejut, tidak ada alis yang terangkat. Ia hanya menatap Emily selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk pelan.

"Selamat kalau begitu. Semoga dia memang jodohmu," ucapnya singkat, lalu berbalik pergi.

Emily terpaku.

Begitu saja?

Tidak ada tanda-tanda keterkejutan, tidak ada sedikit pun emosi yang bisa ia baca dari Lucas. Seolah kata-kata yang baru saja ia ucapkan sama sekali tidak berarti baginya.

Bukankan Lucas saudara terdekat Liam? Bukankah mereka berteman dekat juga?

Emily hanya bisa menatap punggung Lucas yang semakin menjauh. Namun, sebelum benar-benar hilang dari pandangannya, ia mendadak tersadar.

"Wait!"

Ia buru-buru berdiri.

"Aku pergi dulu. Kalian kerjakan tugas ini, sisakan bagianku," katanya cepat sebelum bergegas mengejar Lucas.

***

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Emily'S Lover   CHAPTER FIFTY FOUR

    Hari itu seharusnya menjadi hari paling membahagiakan dalam hidup Emily Grace Mitchell. Tapi di ruang tunggu pengantin wanita—yang terasa lebih seperti ruang isolasi daripada tempat bersiap menuju altar—Emily hanya duduk terpaku, menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun putih gading itu membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk lembut kehamilannya yang masih samar. Namun, yang terpancar dari matanya bukanlah kebahagiaan. Melainkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.Pintu ruangan terbuka perlahan. Ibunya masuk, membawa serta aroma kekhawatiran yang tak bisa disamarkan.“Emily…” ucapnya lembut, sebelum duduk di samping putrinya dan menggenggam tangannya erat. “Kamu tahu, tidak ada kata terlambat untuk mundur.”Emily menoleh, mata hazelnya membelalak pelan. “Mom, please…”“Aku serius,” lanjut sang ibu dengan suara penuh empati. “Kamu bisa membatalkan ini. Aku akan tetap di sisimu, apapun yang terjadi. Jangan merasa harus melangkah hanya karena semua orang sudah menunggu

  • Emily'S Lover   CHAPTER FIFTY THREE

    Lucas berhenti mendadak. Langkahnya membeku di tengah derasnya hujan ketika matanya menangkap sosok itu—berdiri mematung di trotoar seberang jalan. Meskipun lampu jalan hanya berpendar samar di antara kabut dan embun malam, Lucas tahu betul siapa yang ada di sana.Tanpa berpikir panjang, ia menyeberang. Air hujan memercik di sekitar kakinya, menampar wajahnya yang dingin. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun sampai akhirnya ia tiba di hadapan Emily.Tanpa sepatah kata, Lucas langsung menggenggam tangan perempuan itu—erat, hampir tergesa. Emily terperanjat.“Lucas? Why—”“Kenapa kau bertelanjang kaki?! Kau pikir kakimu terbuat dari batu?!” bentaknya tiba-tiba, suara seraknya membelah derasnya hujan.Emily terdiam. Ia menatap Lucas dengan mata membulat, terkejut sekaligus bingung. Tapi justru dari nada keras itu, sesuatu dalam dirinya runtuh perlahan. Matanya memanas. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.Lucas berlutut di hadapannya tanpa berkata apa-ap

  • Emily'S Lover   CHAPTER FIFTY TWO

    Langit tampak mendung sejak pagi, seolah ikut mencerminkan kekacauan dalam kepala Emily. Sudah seminggu sejak kejadian di apartemen Liam malam itu, dan sejak itu pula mereka tak lagi saling menghubungi. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon. Emily hanya mendapat kabar dari ibu Liam atau dari ibunya sendiri, kebanyakan soal teknis pernikahan mereka.Dan hari ini—sehari sebelum hari pernikahan.Tapi yang membuat Emily gelisah bukan hanya soal Liam yang menghilang tanpa kabar. Yang membuat dadanya sesak adalah tentang janin di dalam rahimnya. Apakah ia harus memberitahu Lucas? Haruskah ia menyimpan semuanya sendiri? Atau... haruskah ia menghentikan semua sandiwara ini? Pernikahan, rencana masa depan, kebohongan yang ia tutupi dengan senyum?Sial. Kepalanya terasa seperti akan pecah.Di dalam apartemen yang sebentar lagi akan ia tinggalkan, Emily sedang sibuk mengemasi pakaiannya diatas lantai apartemenya. Jemarinya bergerak cepat, tapi pikirannya jauh. Terlalu jauh dari apa pun yang sedang i

  • Emily'S Lover   CHAPTER FIFTY ONE

    Liam dan Emily kembali ke apartemen Liam setelah makan malam keluarga yang berakhir kacau. Begitu pintu terbuka, Liam melempar jasnya ke sofa dengan gerakan tergesa. Napasnya memburu, tubuhnya dipenuhi amarah yang tertahan sejak tadi. Ia langsung jatuh duduk, wajahnya terkubur di antara kedua tangannya.Emily yang menyaksikan itu hanya berdiri beberapa detik, ragu. Ia kemudian duduk di sebelah Liam, mengangkat tangannya hendak mengusap punggung pria itu, tapi ia mengurungkannya. Hatinya terasa sesak.“Liam… maaf. Aku—aku benar-benar minta maaf karena semuanya jadi berantakan.”“It’s not your fault, Em,” ucap Liam tanpa menoleh.Emily menggigit bibir bawahnya. “Aku berharap bisa memutar waktu sebelum semua ini terjadi…”Liam mengangkat wajahnya, kemudian bangkit dan mulai berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Emily ikut berdiri dan mencoba mendekat, lalu melingkarkan lengannya ke tubuh Liam dari samping, berusaha menenangkannya.“Em… aku tidak tahu harus bagaimana.” Suara Liam terdeng

  • Emily'S Lover   CHAPTER FIFTY

    Malam itu, angin berembus cukup kencang, membawa aroma lembap dari taman di sekitar mansion keluarga Harris.Emily turun dari mobil bersama ibunya, langkahnya terasa berat saat sepatu haknya menyentuh pelataran batu yang dingin. Jantungnya berdegup cepat. Sejak tadi, ia terus mengecek ponselnya—berkali-kali—berharap ada pesan masuk dari Liam.Namun layar itu tetap kosong.Sejak pertengkaran mereka kemarin, Emily belum berhasil menghubungi Liam. Tak ada satu pun panggilan atau pesan yang dibalas. Ia menunggu sepanjang malam, tapi nihil. Yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa, berharap tidak ada hal buruk yang terjadi pada pria itu.“Em, kau siap?” suara Eleanor memecah keheningan malam ketika ia menutup pintu mobil. “Kamu menunggu kabar siapa? Sejak tadi sore, kamu terus memandangi ponselmu.”Emily tertegun sesaat, lalu tersenyum kecil. “Tidak, aku hanya gugup,” jawabnya pelan. Ia berjalan bersama ibunya menaiki tangga teras mansion.Eleanor menghela napas lembut, kemudian berbalik mengh

  • Emily'S Lover   CHAPTER FOURTY NINE

    *Lima Tahun Lalu - University of California, Open House*Siang itu matahari menyengat, namun halaman kampus tetap ramai. Musik dari panggung kecil menyatu dengan suara ramai pengunjung dan mahasiswa. Spanduk warna-warni tergantung di setiap tenda. Liam, dengan kaus fakultas dan topi terbalik di kepala, sibuk menyiapkan booth jurusan bisnis bersama beberapa teman.“Hei, Liam!” teriak kakak tingkat dari seberang. “Roll-up banner-nya ketinggalan. Can you get it from the assembly room?”“Third floor?”“Yup. Also, the brochure box. Thank you!”Liam mengangguk, menyeka keringat dari keningnya, lalu segera menuju gedung fakultas bisnis yang berdiri tak jauh dari lapangan tenis tempat open house berlangsung.Di sisi lain, Emily berjalan berdampingan dengan ayahnya, Joshua, sambil melihat-lihat brosur dari booth yang baru saja mereka kunjungi.“Kamu yakin ingin kuliah di sini?” tanya Joshua, matanya menyapu sekeliling kampus.Emily mengangguk kecil, senyum menggantung di wajahnya. “Sepertinya

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status