Warning! 18+
***
Derap langkah cepat menyadarkan aktivitas Emily saat ini. Dia masih merapikan sisa makanan di meja, matanya sesekali melirik jam di dinding yang menunjukkan angka lima. Sudah dua jam sejak Lucas pergi, tetapi sisa kehadirannya masih terasa—entah dari wangi parfumnya yang samar atau kenangan obrolan siang tadi yang terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Mereka menghabiskan waktu dengan tawa dan candaan, sesuatu yang selama ini terasa mustahil terjadi antara mereka.
Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Emily. Liam masuk dengan langkah berat, wajahnya tampak lelah dan sedikit kusut, seolah beban dunia ada di pundaknya. Tanpa ragu, dia meletakkan tas, handphone, kunci, dan dompetnya di atas meja yang baru saja Emily bersihkan.
"Liam, jangan taruh barangmu di at—"
Sebelum Emily bisa menyelesaikan kalimatnya, Liam sudah menarik tengkuknya dan menyapukan bibirnya ke bibir Emily dengan penuh gairah. Emily terkejut, tetapi dia merasakan sesuatu yang lebih dalam di balik ciuman itu—sebuah kelelahan, ketegangan, dan mungkin... keinginan untuk melupakan sesuatu. Liam mendorong tubuhnya hingga ke atas meja, mendekapnya erat, seolah takut Emily akan menghilang begitu saja.
Emily bisa merasakan napasnya yang berat, tangan Liam yang mencengkeramnya dengan sedikit gemetar. Ini bukan sekadar permainan atau kebiasaan. Ini lebih dari itu.
"Liam..." gumamnya pelan di sela napas yang tersengal.
Liam menatapnya dalam, matanya menyimpan sesuatu yang sulit diartikan—sesuatu yang mentah, hampir putus asa. "I just want you, Em." Suaranya nyaris berbisik, tetapi ada ketulusan yang tak bisa diabaikan.
Emily mengangkat tangannya, menyentuh pipi Liam yang terasa sedikit hangat. "Aku tahu, tapi kamu terlihat seperti ada yang mengganggu pikiranmu. Apa yang terjadi?"
Liam menghela napas, seolah mempertimbangkan apakah dia harus berbicara atau tetap membiarkan beban itu dia tanggung sendiri. "Can we talk about it later? Untuk sekarang... aku hanya ingin kamu di sini. Hanya kamu."
Emily menatapnya sejenak, membaca ekspresi wajahnya yang penuh dengan sesuatu yang tidak terucapkan. Emily bisa merasakannya—ada seribu masalah yang menggerogoti pikirannya. Dan satu-satunya hal yang bisa menenangkannya saat ini adalah Emily.
“Okey, eat me then” bisik Emily, mencoba meredakan ketegangan.
Liam tersenyum kecil, lalu melanjutkan apa yang tadi sempat terhenti. Dengan satu tangan, dia melepaskan kaitan bra Emily, sementara tangan lainnya tetap menahan tengkuknya, memastikan tubuh Emily tetap tegak.
Saat Liam hanya meninggalkan celana dalam Emily saja, bibir Liam mulai menjelajahi setiap inci kulitnya. Dari leher, turun ke bahu, hingga ke payudaranya. Emily menghela napas panjang saat lidah Liam mulai memainkan ujung payudaranya dengan penuh keahlian. Ya Tuhan, Liam tahu persis apa yang Emily suka.
Saat Liam mulai melepas celananya, Emily menanyakan tentang pengaman yang seharusnya Liam siapkan sedari tadi.
“Liam, di mana kondommu?” tanya Emily, suaranya gemetar.
“Bisakah kali ini kita tidak memakainya? Aku ingin merasakanmu seutuhnya,” desis Liam, matanya penuh hasrat.
“Oh, Liam, c’mon. Aku tidak mau mengambil risiko,” balas Emily, mencoba tetap tenang.
Dengan sedikit frustrasi, Liam menghela napas dalam-dalam. Tangannya meraih dompetnya diatas meja, membuka lipatannya dengan gerakan yang terburu-buru namun tetap terarah. Dia mengeluarkan sebuah kondom, merobek bungkusnya dengan gigi sebelum memakainya dengan cepat. Matanya tak pernah lepas dari Emily, yang masih terbaring di atas meja, napasnya terengah-engah, dadanya naik turun dengan ritme yang semakin cepat.
Tanpa menunggu lama, Liam melangkah mendekat, tubuhnya menempel pada Emily. Dia merasakan kehangatan kulit Emily, begitu dekat, begitu nyata. Dengan gerakan perlahan namun penuh keyakinan, dia memasukkan dirinya ke dalam Emily. Gadis itu mengerang pelan, suaranya gemetar namun penuh kerinduan. Emily sudah begitu basah, begitu siap, hingga tak perlu lagi permainan yang panjang.
Gerakan mereka dimulai dengan perlahan, seperti irama yang saling mengikuti. Tapi tak lama kemudian, ritme itu berubah menjadi lebih cepat, lebih intens. Setiap dorongan Liam dijawab dengan lenguhan Emily, setiap sentuhan menciptakan gelombang panas yang menyebar ke seluruh tubuh mereka. Tangan Liam meraih pinggul Emily, menariknya lebih dekat, memastikan tak ada jarak yang tersisa di antara mereka.
Emily meraih punggung Liam, kukunya sedikit mencengkeram, meninggalkan bekas yang samar. Napas mereka saling beradu, panas dan berat, seolah dunia di sekitar mereka tak lagi ada. Hanya ada mereka berdua, dalam ruangan yang dipenuhi oleh desahan dan erangan yang tak terbendung.
Gairah mereka memuncak, seperti api yang membara dan tak bisa dipadamkan. Liam merasakan tekanan yang semakin kuat pada miliknya, sementara Emily mengerang lebih keras, tangannya mencengkeram erat bahu Liam. Keduanya saling mendekat, seolah tak ingin ada jarak yang memisahkan. Hingga, puncak itu datang.
Liam mengerang dalam-dalam, tubuhnya gemetar saat dia mencapai puncak kenikmatan. Emily pun tak kalah, lenguhannya pecah dalam desahan panjang, tubuhnya melengkung mengikuti gelombang kepuasan yang menerpa.
Mereka tetap terpeluk erat, napas mereka masih berat, jantung berdebar kencang. Liam menundukkan kepalanya, wajahnya tenggelam di tengkuk Emily. Aroma gadis itu begitu menenangkan, membuatnya sejenak melupakan segala beban yang menghantuinya.
Dan kemudian, di antara bisikan malam dan keheningan apartemen, Liam berucap—sebuah kalimat yang membuat waktu seakan berhenti.
"Hiduplah denganku, Em."
***
Sudah dua minggu sejak kejadian itu—Hiduplah denganku, Em.
Namun, Emily masih belum bisa melupakan kata-kata itu. Mengapa Liam mengatakannya dalam situasi seperti itu? Bukan berarti ia tidak ingin hidup dengan Liam, tapi segalanya terasa terlalu cepat. Ia belum siap. Bahkan, ia sendiri pun belum yakin apakah bisa berkomitmen dengan siapa pun.
Seharusnya sekarang ia fokus mengerjakan tugas kelompok yang diberikan oleh dosennya tadi siang. Namun, alih-alih bekerja, Emily hanya duduk diam, memainkan pulpen di jemarinya, pikirannya mengembara ke tempat lain.
Bukan hanya kata-kata Liam yang terus menghantuinya, tapi juga kebohongan Lucas.
Ya. Lucas berbohong padanya.
Segala yang pria itu katakan berbeda dengan yang dikatakan Liam. Liam tidak pernah menyuruh Lucas membelikannya makanan atau bahkan mengingatkannya untuk makan. Komunikasi terakhir mereka hanyalah Lucas yang menanyakan siapa yang sakit—dan setelah itu, tidak ada lagi.
Jadi kenapa Lucas berimprovisasi? Apa yang sebenarnya diinginkan Lucas darinya?
Pikirannya terlalu kacau. Terlalu berantakan hingga ia bahkan tidak sadar bahwa dua sahabatnya sudah berteriak-teriak memanggil namanya sejak tadi.
“Em! Apakah kupingmu cuma pajangan?” teriak Maggie tepat di telinganya.
Emily tersentak. “Mag, aku dengar semuanya, oke?” katanya seraya membuka botol minumnya dan meneguk isinya.
“Kita sudah memanggilmu berkali-kali, Em. Apa yang kau pikirkan? Pangeranmu itu melamarmu atau malah memutuskanmu?” goda Eric sambil mengoleskan lip gloss di bibirnya.
Sruutt!
Emily langsung menyemburkan minumnya ke meja batu di depan mereka.
“Dari mana kau tahu?” Emily menatap Eric dan Maggie dengan mata membelalak.
Seolah baru saja menemukan harta karun, Maggie dan Eric saling berpandangan, lalu serempak berteriak heboh.
“Kau diputuskan?!” seru Eric. “Lihat, Mag! Apa aku tidak bilang—”
“Yang satunya,” potong Emily cepat.
Hening.
Lalu—
“Oh. My. God!”
Teriakan mereka terdengar lebih kencang dari sebelumnya. Maggie bahkan sampai menjambak rambutnya sendiri sementara Eric menggenggam tangan Emily seolah ingin mengguncangnya untuk memastikan ia tidak sedang berhalusinasi.
Namun, histeria mereka terhenti begitu Lucas entah dari mana tiba-tiba berjalan mendekati mereka.
“Sepertinya ada hal seru yang terjadi di sini,” katanya, menatap mereka bertiga dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Emily membeku.
Alih-alih menjawab, ia hanya menatap Lucas lekat-lekat—seakan-akan ada kotoran burung yang jatuh tepat di atas kepalanya.
"Tidak ada, Pak. Hanya bercanda dengan teman-teman saya di sini," timpal Maggie cepat, menyenggol Eric agar ikut menyetujuinya.
Namun, bukannya menanggapi, Lucas justru menatap Emily—begitu juga sebaliknya. Ada sesuatu dalam sorot mata mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.
"Apakah ada sesuatu yang ingin kau ceritakan, Emily?" tanya Lucas, suaranya terdengar tenang, tapi matanya tetap terkunci pada Emily.
Sejenak, Emily ragu. Ia bisa merasakan Maggie dan Eric melirik ke arahnya, menunggu jawaban. Lalu, entah karena apa, bibirnya bergerak sendiri.
"Pacarku melamarku."
Hening.
Maggie dan Eric langsung menoleh ke arahnya dengan ekspresi kau-seriusan? terpampang jelas di wajah mereka.
Namun, Lucas tetap diam. Tidak ada reaksi terkejut, tidak ada alis yang terangkat. Ia hanya menatap Emily selama beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk pelan.
"Selamat kalau begitu. Semoga dia memang jodohmu," ucapnya singkat, lalu berbalik pergi.
Emily terpaku.
Begitu saja?
Tidak ada tanda-tanda keterkejutan, tidak ada sedikit pun emosi yang bisa ia baca dari Lucas. Seolah kata-kata yang baru saja ia ucapkan sama sekali tidak berarti baginya.
Bukankan Lucas saudara terdekat Liam? Bukankah mereka berteman dekat juga?
Emily hanya bisa menatap punggung Lucas yang semakin menjauh. Namun, sebelum benar-benar hilang dari pandangannya, ia mendadak tersadar.
"Wait!"
Ia buru-buru berdiri.
"Aku pergi dulu. Kalian kerjakan tugas ini, sisakan bagianku," katanya cepat sebelum bergegas mengejar Lucas.
***
Angin pagi yang sejuk menyelinap melalui celah jendela, membangunkan Emily dari tidurnya. Mentari belum sepenuhnya menampakkan dirinya, namun mata Emily sudah tidak bisa kembali tertidur. Ia mengerjapkan kedua matanya perlahan. Tubuhnya terasa begitu hangat, terlindungi dalam dekapan Liam.Emily menggerakkan tangannya dan menatap cincin yang kini melingkar sempurna di jari manisnya."Cantik sekali..." gumamnya tanpa sadar, senyum kecil terukir di bibirnya.Tatapannya beralih ke wajah Liam yang tertidur tenang di sampingnya. Semalam, setelah Liam kembali melamarnya, mereka mandi bersama, dan Emily mengobati luka lebam di wajahnya. Dari cerita Liam, semuanya berawal saat ia mabuk dan tanpa sengaja menyenggol seseorang. Orang itu marah, mulai menghina Liam, dan dalam keadaan emosional, Liam tak terima—ia melayangkan tinjunya. Untungnya, ada orang yang melerai sebelum situasi semakin buruk.Emily menghela napas pelan. Ia menyentuh wajah Liam dengan lembut, jari-jarinya mengusap pipi pria
Lucas menghentikan mobilnya tepat di depan apartemen Emily. Gedungnya tidak besar, tapi tampak nyaman, dengan cahaya lampu dari beberapa jendela yang masih menyala di malam yang semakin larut.Liam memutuskan untuk mengantar ibunya pulang, sementara Emily diantar oleh Lucas. Saat Lucas melirik ke sebelah kanan, ia mendapati Emily tertidur dengan kepala sedikit miring, memeluk tote bag-nya erat-erat. Napasnya teratur, wajahnya terlihat begitu damai—sebuah ketenangan yang langka setelah hari panjang yang penuh emosi ini.Lucas ragu. Ia tidak sampai hati membangunkannya.Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Emily masih terlelap, tubuhnya hampir tidak bergerak. Lucas mulai curiga bahwa jika dibiarkan, Emily mungkin akan tidur sampai pagi di dalam mobilnya.Dengan hati-hati, ia menyentuh pundaknya, mencoba membangunkannya tanpa mengagetkannya. Kalau saja ia tahu Emily tinggal di lantai berapa, mungkin ia sudah membopongnya masuk ke dalam apartemen."Em... kita sudah sampai,”
Liam melamar Emily?Bagaimana bisa? Mereka baru mengenal setengah tahun, bukan? Apakah Liam benar-benar mencintai Emily sampai segitunya? Lucas tidak merasa cemburu—tidak, bukan itu. Hanya saja, ia khawatir sepupunya terlalu terbawa suasana. Kalap dalam semalam dan akhirnya mengambil keputusan yang mungkin akan disesalinya nanti.Saat mendengar kata-kata Emily barusan, kepala Lucas terasa kosong. Hampir saja dia bertanya, Apa kau yakin? Tapi yang keluar dari mulutnya justru, Selamat, sebelum ia buru-buru pergi, menjauh dari tatapan Emily.Lucas tidak ingin wajahnya menunjukkan sesuatu yang bisa disalahartikan.Namun, meski sudah berjalan cukup jauh, pikirannya tetap dipenuhi dengan kata-kata Emily. Ia menyesali keputusannya mendekati bangku taman tadi. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan Emily dan teman-temannya dari tatapan orang-orang sekitar yang mulai terganggu oleh teriakan mereka yang histeris. Bahkan, seorang Ms. Huang—profesor mereka—sempat bertanya pada Lucas apakah Emily dan
Warning! 18+***Derap langkah cepat menyadarkan aktivitas Emily saat ini. Dia masih merapikan sisa makanan di meja, matanya sesekali melirik jam di dinding yang menunjukkan angka lima. Sudah dua jam sejak Lucas pergi, tetapi sisa kehadirannya masih terasa—entah dari wangi parfumnya yang samar atau kenangan obrolan siang tadi yang terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Mereka menghabiskan waktu dengan tawa dan candaan, sesuatu yang selama ini terasa mustahil terjadi antara mereka.Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Emily. Liam masuk dengan langkah berat, wajahnya tampak lelah dan sedikit kusut, seolah beban dunia ada di pundaknya. Tanpa ragu, dia meletakkan tas, handphone, kunci, dan dompetnya di atas meja yang baru saja Emily bersihkan."Liam, jangan taruh barangmu di at—"Sebelum Emily bisa menyelesaikan kalimatnya, Liam sudah menarik tengkuknya dan menyapukan bibirnya ke bibir Emily dengan penuh gairah. Emily terkejut, tetapi dia merasakan sesua
Bunyi ketukan keyboard memenuhi ruang kerja Lucas di kampus CalArt. Di tengah kesibukannya menyusun laporan mingguan yang harus ia serahkan kepada Ms. Huang sore ini, pikirannya justru berkelana ke tempat lain.Ia masih mengingat percakapan telepon dengan Liam pagi tadi—tepat saat Lucas masih terlelap. Liam bertanya, “Makanan apa yang baik untuk orang sakit?”Lucas menjawab tanpa berpikir panjang. Bubur. Tentu saja, bukankah itu makanan standar bagi orang yang sedang sakit?Namun setelah telepon itu berakhir, pertanyaan lain mulai merayapi pikirannya. Siapa yang sakit?Liam adalah seorang workaholic kelas berat. Jika sampai ia mengambil cuti kerja, pasti orang itu bukan sembarang orang. Satu nama terlintas di benaknya.Emily.Lucas menggeleng, mencoba menepis pikiran itu. Tapi semakin ia mengusirnya, semakin kuat bayangan itu menghantuinya.Apakah Emily jatuh sakit karena dirinya kemarin? Atau memang dia sering sakit-sakitan? Tidak mungkin. Emily bukan tipe yang lemah. Ia bahkan masih
Gemericik air memenuhi dapur, berpadu dengan dentingan halus peralatan masak yang saling bersentuhan.Emily berdiri di depan wastafel, kedua tangannya sibuk mencuci teflon yang baru saja ia gunakan. Matanya sedikit sayu, tubuhnya masih lemah, tetapi setidaknya ia merasa jauh lebih baik dibanding tadi malam.Dan yang terpenting—ia lapar.Bubur yang Liam berikan sejak tadi malam memang cukup untuk membuatnya bertahan, tetapi tidak cukup untuk memuaskan perutnya yang kini menuntut lebih. Ia butuh sesuatu yang lebih mengenyangkan—protein, karbohidrat, sesuatu yang benar-benar terasa seperti makanan.Namun bukan hanya untuk dirinya sendiri.Dengan infus yang masih terpasang di tangan, Emily menggantung teflon dengan sangat hati-hati. Di balik rasa laparnya, ada perasaan lain yang menyelimutinya—rasa bersalah.Liam tidak pantas diperlakukan seperti kemarin.Laki-laki itu tidak tahu apa-apa, tetapi Emily justru mengabaikannya.Bahkan saat ia berkali-kali menolak berbicara, Liam tetap di sisi