MasukLiam melamar Emily?
Bagaimana bisa? Mereka baru mengenal setengah tahun, bukan? Apakah Liam benar-benar mencintai Emily sampai segitunya? Lucas tidak merasa cemburu—tidak, bukan itu. Hanya saja, ia khawatir sepupunya terlalu terbawa suasana. Kalap dalam semalam dan akhirnya mengambil keputusan yang mungkin akan disesalinya nanti.
Saat mendengar kata-kata Emily barusan, kepala Lucas terasa kosong. Hampir saja dia bertanya, Apa kau yakin? Tapi yang keluar dari mulutnya justru, Selamat, sebelum ia buru-buru pergi, menjauh dari tatapan Emily.
Lucas tidak ingin wajahnya menunjukkan sesuatu yang bisa disalahartikan.
Namun, meski sudah berjalan cukup jauh, pikirannya tetap dipenuhi dengan kata-kata Emily. Ia menyesali keputusannya mendekati bangku taman tadi. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan Emily dan teman-temannya dari tatapan orang-orang sekitar yang mulai terganggu oleh teriakan mereka yang histeris. Bahkan, seorang Ms. Huang—profesor mereka—sempat bertanya pada Lucas apakah Emily dan gengnya itu waras atau tidak.
Jadi, seharusnya Lucas datang untuk meredakan situasi. Bukannya malah jadi orang yang perlu diselamatkan.
Langkahnya terhenti tiba-tiba.
Seseorang menarik tangannya dari belakang. Sentuhan itu membuyarkan lamunannya.
“Kau… tidak dengar aku memanggilmu dari tadi?” suara Emily terdengar terengah-engah. Napasnya masih berat, jelas-jelas ia baru saja berlari mengejar Lucas. Langkah kaki pria itu terlalu besar untuknya, wajar saja—tinggi mereka mungkin terpaut lebih dari dua puluh sentimeter.
Lucas menoleh perlahan. “Kau memanggilku? Ada apa, Ms. Mitchell?” tanyanya, nada suaranya netral.
Emily masih berusaha mengatur napas. “Mengapa… kau berbohong?”
Shit!
Lucas menelan ludah. Apa Emily menyadari bahwa ucapannya tadi hanyalah basa-basi?
“B-bohong? Apa maksudmu, Ms. Mitchell?” Lucas berusaha terdengar tenang, tapi ada sedikit kegagapan dalam suaranya.
Emily menatapnya tajam. “Tujuanmu mengunjungiku dua minggu lalu di apartemen Liam. Kau bilang Liam menyuruhmu, tapi nyatanya tidak. Kau berbohong, Lucas. Untuk apa?”
Lucas mengerjapkan mata, otaknya mencoba memproses.
Jadi… maksud Emily bukan soal ucapannya tadi?
Lucas menghela napas dalam hati, sedikit lega. “Kau terlalu banyak berpikir, Ms. Mitchell.” Ia mendesah pelan. “Mungkin saja Liam lupa kalau dia menyuruhku. Untuk apa aku datang kalau tidak disuruh? Lagipula…” Lucas menatap Emily santai. “…memangnya kita berteman?”
Sorot mata Emily berubah. Seperti… kecewa? Tidak yakin?
Lucas memilih untuk tidak memperpanjangnya.
“Kalau kau sudah tidak ada urusan lagi, aku harus pergi. Masih banyak yang harus kulakukan,” katanya datar. Tanpa menunggu reaksi Emily, ia berbalik dan melangkah cepat menjauh.
Kali ini, ia tidak akan berhenti lagi.
***
Langit kelabu menggantung di atas kota, mencerminkan kekacauan yang bergejolak di hati Emily. Hujan turun dengan deras, membasahi jalanan Valencia yang kini berkilauan di bawah lampu-lampu jalan. Udara dingin menusuk kulitnya, namun bukan itu yang membuatnya menggigil. Sejak Liam melamarnya sore itu, pikirannya tak pernah bisa tenang. Apa yang harus ia katakan padanya?
Emily mencintai Liam. Ia tahu itu. Tapi cinta saja tidak cukup untuk membuatnya langsung mengiyakan. Hidup bersama seseorang adalah keputusan besar—dan ia masih belum siap. Ia bahkan belum lulus kuliah. Bagaimana dengan ibunya? Mom-nya pasti akan syok dan menuntut jawaban yang sempurna. Emily bisa membayangkan ibunya menatapnya tajam, menuntut penjelasan yang bahkan Emily sendiri tidak punya. Jika saja ayahnya masih hidup, ia pasti tahu harus berkata apa. Ia pasti bisa memberinya nasihat, menenangkan hatinya yang gelisah ini.
Sambil menghela napas panjang, Emily menyandarkan kepala pada tiang halte, mencoba meredakan pikirannya yang berisik. Di sekelilingnya, orang-orang berlarian mencari perlindungan dari hujan, payung-payung bermunculan seperti jamur setelah hujan. Namun Emily tetap diam di tempat, membiarkan udara dingin mengelus wajahnya.
Tiba-tiba, suara deru mesin mobil terdengar mendekat. Sebuah mobil merah berhenti di hadapannya, roda-rodanya mencipratkan air ke trotoar basah. Kaca jendela di sisi pengemudi perlahan turun, memperlihatkan wajah yang tak asing baginya.
"Emily! Masuklah!" teriak Lucas dari dalam mobilnya, nada suaranya mendesak namun juga penuh kepedulian.
Emily mengerjapkan mata, terkejut melihatnya. "Lucas? Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau bilang ada urusan di kampus?" tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar, antara dingin dan keterkejutan.
Lucas menatapnya tajam. "Itu tidak penting sekarang. Masuklah, aku akan menjelaskan nanti."
Emily ragu sejenak, menatap hujan yang semakin deras. Mungkin... mungkin ia bisa melupakan kebingungannya sebentar saja. Menghindari pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantuinya sejak sore itu. Tanpa berpikir lebih jauh, ia membuka pintu dan duduk di kursi penumpang Tesla Roadster milik Lucas. Hangatnya udara dari dalam mobil menyelimuti tubuhnya yang menggigil, namun hatinya masih tetap dingin, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Keadaan di dalam mobil begitu hening hingga Emily bisa mendengar suara gesekan kain dari kemeja Lucas saat ia menggerakkan tangannya di kemudi. Emily duduk memandangi jendela dengan tatapan kosong. Tidak ada lagu, tidak ada obrolan, hanya keheningan menyelimuti mereka.
“Kau tidak bertanya aku membawamu ke mana?” ucap Lucas, suaranya memecah keheningan yang berat.
“Bukankah kau akan menjelaskannya? Aku masih menunggu penjelasanmu itu,” balas Emily dengan nada datar, matanya masih terpaku pada kaca jendela yang dipenuhi bulir-bulir hujan.
“Liam bilang kau sulit dihubungi. Dia meneleponmu sejak pagi, tapi kau tidak menjawabnya.”
Sesaat itu pun Emily merogoh tasnya, mencari ponsel yang ia abaikan sejak pagi tadi. Saat menemukannya, layar ponselnya hitam pekat. Mati. Baterainya habis.
“Ponselku mati. What’s going on?” tanyanya seraya menoleh ke arah Lucas, ekspresi cemas mulai terpancar di wajahnya.
Lucas yang sejak tadi fokus menyetir, melirik sekilas ke arahnya sebelum kembali menatap jalan.
“Mr. Harris tiba-tiba jatuh sakit, dan Liam membutuhkanmu untuk menemaninya saat ini.”
Emily terdiam. Pikirannya kosong sejenak. Mr. Harris… sakit?
Liam pasti panik. Ia tahu betapa pentingnya sosok Mr. Harris bagi Liam. Tanpa menunggu lebih lama, Emily menegakkan tubuhnya, kepalanya dipenuhi kekhawatiran yang baru. Sepanjang jalan, ia hanya bisa berdoa dalam hati—berharap bahwa Liam baik-baik saja.
***
Suasana di ruang ICU begitu mencekam. Cahaya putih keperakan dari lampu rumah sakit terasa dingin, memantulkan bayangan suram di lantai yang mengkilap. Emily berdiri di ambang pintu, dadanya terasa sesak saat melihat pemandangan di depannya.
Liam sedang memeluk ibunya—Mrs. Harris—yang menangis tersedu-sedu di ruang tunggu. Tubuhnya gemetar dalam dekapan putranya, seolah mencoba mencari kekuatan di tengah duka yang mendadak menghantam. Emily menoleh ke sisi lain, dan di balik kaca besar itu, ia melihat Mr. Harris yang terbaring lemah, tubuhnya dipenuhi kabel dan selang, mesin-mesin medis berdetak pelan, seakan-akan mereka pun berjuang untuk tetap membuatnya bertahan.
Pemandangan itu membangkitkan kenangan pahit dalam benaknya. Empat tahun lalu, ia pernah berada di posisi ini dengan ibunya—berdiri di luar ruang ICU, menatap sang daddy yang juga bertarung dengan mesin-mesin sialan itu. Ia tahu betul perasaan ketidakberdayaan yang melumpuhkan. Dan pada akhirnya, mesin-mesin itu tetap gagal menyelamatkannya.
Emily menggeleng cepat, mengusir bayangan itu. Ia meneguhkan hati, lalu berlari menghampiri Liam. Ia bisa melihat bagaimana lelaki itu berusaha sekuat tenaga untuk tetap tegar, menahan tangisnya demi sang ibu.
“Cam…” panggil Emily dengan suara pelan.
Camilla, mommy Liam, yang duduk di sudut ruangan dengan wajah basah oleh air mata, langsung berdiri dan memeluknya erat. Tangisnya semakin kencang di bahu Emily.
“Cam, it's okay... Everything is gonna be okay,” bisik Emily, mengusap punggung Camilla dengan lembut.
“I don’t know, Em” suara Camilla terdengar putus asa. “He... just fell in front of me, and I didn’t know what to do. We were just talking, but everything happened so fast...”
Suaranya bergetar, penuh kepanikan dan kesedihan yang membuncah. Emily mendengar setiap kata dengan hati yang ikut pedih. Ia tahu bagaimana rasanya. Ketika segalanya berjalan normal—dan dalam sekejap, dunia seperti merenggut segalanya darimu.
Camilla mulai menyalahkan dirinya sendiri, menangisi kemungkinan-kemungkinan yang tak bisa diubah. Emily hanya bisa terus memeluknya, mencoba menenangkan dengan kehangatan yang bisa ia berikan.
Waktu terasa berjalan lambat.
Tanpa mereka sadari, ruang tunggu itu kini hanya menyisakan mereka berdua—dua hati yang sama-sama pernah merasakan bagaimana rasanya berada di ambang kehilangan.
***
“You okay?”
Lucas menyodorkan sebatang rokok ke arah Liam, mencoba menawarkan sesuatu—apa pun—yang bisa sedikit menenangkan sepupunya itu.
Liam tidak langsung merespons. Ia hanya duduk di bangku besi rooftop rumah sakit, menundukkan kepala, sikunya bertumpu pada lutut, dan jemarinya saling bertaut. Dari ketinggian itu, matahari sore menggantung rendah di ufuk barat, menyinari langit dengan semburat jingga keemasan yang perlahan memudar.
“You can cry in front of me, Liam,” ujar Lucas, mencoba mencairkan suasana, meski hatinya sendiri terasa berat melihat sepupunya dalam keadaan seperti ini.
Sejujurnya, Lucas tidak tahu harus berbuat apa. Liam selalu menjadi sosok kuat di keluarganya, seseorang yang jarang menunjukkan kelemahan. Namun sore ini, di bawah cahaya matahari yang mulai melemah, jelas terlihat bahwa Liam sedang berusaha keras menahan segalanya.
Liam akhirnya terkekeh pelan. Suara tawanya hambar, lebih mirip napas yang tertahan terlalu lama. “Not today, Luke,” jawabnya, sebelum menerima rokok yang disodorkan Lucas dan menyalakannya.
Keheningan menyelimuti mereka, hanya ditemani tiupan angin sore yang membawa udara dingin dari ketinggian dan asap rokok yang perlahan larut dalam cahaya senja. Liam menarik napas panjang sebelum kembali bersuara, kali ini pelan, nyaris berbisik.
“Aku kira... Daddy mendapat serangan jantungnya karena aku melamar Emily.”
Lucas, yang baru saja hendak menyalakan rokoknya, terhenti seketika. Ia menoleh, menatap Liam dengan ekspresi sulit dibaca.
Itu terdengar gila. Namun melihat sorot mata Liam yang dipenuhi rasa bersalah, Lucas tahu sepupunya benar-benar percaya akan hal itu.
Lucas menghela napas, menggeleng cepat. “Itu cuma perasaanmu saja. Apa salahnya melamar Emily?”
Liam terdiam sejenak, lalu menoleh dengan raut penuh tanya. “Kau... tidak terkejut aku melamar Emily?”
“Emily sudah mengatakannya padaku hari ini.”
Liam mengangguk pelan, menggaruk tengkuknya dengan gelisah. “Padamu? Aku tidak tahu kalian sedekat itu.”
Lucas spontan menoleh. “Sebenarnya aku hanya mendengar pembicaraannya dengan teman-temannya di kampus.”
Liam kembali mengangguk singkat. “Apakah yang kulakukan ini salah? Bahkan... aku merasa Emily menghindariku setelah aku melamarnya.”
Lucas hanya melirik dari sudut matanya, tak langsung menjawab.
“Aku hanya mencintainya. Aku ingin menghabiskan waktuku bersamanya. Itu saja.” Liam menunduk, menatap rokok di tangannya yang kini hanya setengah terbakar. “Apakah itu berlebihan, Luke? Kau dosennya, kan? Apakah dia tidak mengatakan sesuatu kepadamu?”
Lucas tertawa kecil, menggeleng. “Aku dosennya, Liam. Bukan pembaca isi hatinya.”
Liam ikut tertawa kecil, meski matanya masih menyimpan kegelisahan.
Mereka terus berbicara, bertukar pikiran tanpa benar-benar mencari jawaban. Langit di atas mereka kian berubah, jingga senja berganti perlahan dengan biru gelap malam, seolah menegaskan bahwa waktu tak bisa berhenti.
Lucas dan Liam saling berpandangan.
“Harusnya kita kembali ke dalam,” ujar Lucas akhirnya.
Liam membuang sisa rokoknya dan menginjaknya dengan ujung sepatu. “Yeah... Mom dan Emily pasti masih menunggu.”
Tanpa berkata-kata lagi, keduanya bangkit, berjalan meninggalkan rooftop—turun kembali ke dunia yang penuh ketidakpastian.
***
“Liam melamarmu, bukan?”
Suara Cam memecah keheningan yang menggantung di antara mereka. Isakan tangisnya sudah mereda, meski matanya masih sembab. Lucas tadi membawa Liam keluar, memberi mereka ruang untuk berbicara berdua.
Emily terdiam, gelagapan, tidak tahu harus menjawab apa.
Cam tersenyum kecil melihat ekspresi Emily yang jelas kebingungan. “Tenang saja, aku tidak akan memaksamu menerima atau menolak lamaran anakku,” katanya dengan nada bercanda, berusaha membuat suasana lebih ringan.
Wajah Emily langsung memerah, membuat Cam tertawa kecil.
“Aku... aku masih belum tahu,” akhirnya Emily berbisik, menundukkan kepala. “Aku mencintainya, sungguh. Tapi aku juga takut mengecewakannya.”
Cam menghela napas, lalu meraih tangan Emily, menggenggamnya erat di atas pangkuannya. Sentuhannya hangat, menenangkan.
“Liam sangat-sangat mencintaimu, Emily.” Suaranya lembut, penuh keyakinan. “Sejak pertama kali dia mengenalmu, dia langsung menceritakanmu padaku. Kalian bertemu di summer camp tahun lalu, bukan? Sejak saat itu, dia tidak pernah berhenti membicarakanmu. Dia memperhatikan segala hal kecil tentangmu—caramu tertawa, caramu bertanya tentang hal-hal sepele yang bahkan dia sendiri tidak tahu jawabannya, bahkan saat kau menangis hanya karena melihat anak kucing terlantar di jalan.”
Emily tersenyum samar, membayangkan Liam menceritakan semua itu kepada ibunya.
“Tapi,” lanjut Cam, “hal yang paling dia sukai darimu adalah tawamu. Katanya, tawamu bisa menularkan kebahagiaan untuk orang lain.”
Emily tersipu, pipinya semakin memanas. “Liam melebih-lebihkan.”
Mereka tertawa bersama, sejenak melupakan kecemasan masing-masing. Cam merogoh tas kecilnya, yang berlabel Chanel, lalu mengeluarkan ponselnya.
“Lihat ini,” katanya sambil menjulurkan layar ponselnya ke arah Emily.
Di sana, terpampang foto Emily saat ia tengah berjongkok di pinggir jalan, menatap seekor anak kucing dengan mata berkaca-kaca.
Emily menutup wajahnya dengan kedua tangan, tertawa kecil. “Ya Tuhan... dia bahkan mengirim foto ini padamu?”
Cam tertawa, mengangguk. “Tentu saja. Dia bilang, dia ingin aku tahu betapa berharganya gadis yang dia cintai.”
Emily menggeleng, masih tersenyum. Hatinya terasa hangat.
“Aku suka saat Liam begitu sabar menghadapi sifat kekanakanku,” katanya pelan. “Jujur saja, aku lebih childish daripada dia. Tapi dia selalu melihatnya sebagai sesuatu yang istimewa, sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak sadari.”
Cam tidak langsung menjawab. Tatapannya kini tertuju pada kasur tempat suaminya terbaring, dikelilingi mesin-mesin medis yang berbunyi pelan namun terasa begitu menusuk.
Emily ikut memandang ke arah Mr. Harris, lalu berbisik, “Aku belum mengenalnya dengan baik, Cam. Aku tidak ingin dia hanya tahu aku dari cerita orang lain.”
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Cam tiba-tiba membeku, menelan ludah dengan sulit. Suaranya bergetar saat akhirnya berkata, “Aku... aku tidak tahu apakah dia akan bangun lagi atau tidak, Em.” Matanya kembali berkaca-kaca.
Emily menggenggam tangan Cam lebih erat, berusaha menyalurkan kekuatan yang bahkan dirinya sendiri tidak yakin ia miliki.
“Dia pasti bangun kembali, Cam,” suaranya lirih, namun penuh keyakinan. “Pasti.”
***
Hari itu seharusnya menjadi hari paling membahagiakan dalam hidup Emily Grace Mitchell. Tapi di ruang tunggu pengantin wanita—yang terasa lebih seperti ruang isolasi daripada tempat bersiap menuju altar—Emily hanya duduk terpaku, menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun putih gading itu membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk lembut kehamilannya yang masih samar. Namun, yang terpancar dari matanya bukanlah kebahagiaan. Melainkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.Pintu ruangan terbuka perlahan. Ibunya masuk, membawa serta aroma kekhawatiran yang tak bisa disamarkan.“Emily…” ucapnya lembut, sebelum duduk di samping putrinya dan menggenggam tangannya erat. “Kamu tahu, tidak ada kata terlambat untuk mundur.”Emily menoleh, mata hazelnya membelalak pelan. “Mom, please…”“Aku serius,” lanjut sang ibu dengan suara penuh empati. “Kamu bisa membatalkan ini. Aku akan tetap di sisimu, apapun yang terjadi. Jangan merasa harus melangkah hanya karena semua orang sudah menunggu
Lucas berhenti mendadak. Langkahnya membeku di tengah derasnya hujan ketika matanya menangkap sosok itu—berdiri mematung di trotoar seberang jalan. Meskipun lampu jalan hanya berpendar samar di antara kabut dan embun malam, Lucas tahu betul siapa yang ada di sana.Tanpa berpikir panjang, ia menyeberang. Air hujan memercik di sekitar kakinya, menampar wajahnya yang dingin. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun sampai akhirnya ia tiba di hadapan Emily.Tanpa sepatah kata, Lucas langsung menggenggam tangan perempuan itu—erat, hampir tergesa. Emily terperanjat.“Lucas? Why—”“Kenapa kau bertelanjang kaki?! Kau pikir kakimu terbuat dari batu?!” bentaknya tiba-tiba, suara seraknya membelah derasnya hujan.Emily terdiam. Ia menatap Lucas dengan mata membulat, terkejut sekaligus bingung. Tapi justru dari nada keras itu, sesuatu dalam dirinya runtuh perlahan. Matanya memanas. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.Lucas berlutut di hadapannya tanpa berkata apa-ap
Langit tampak mendung sejak pagi, seolah ikut mencerminkan kekacauan dalam kepala Emily. Sudah seminggu sejak kejadian di apartemen Liam malam itu, dan sejak itu pula mereka tak lagi saling menghubungi. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon. Emily hanya mendapat kabar dari ibu Liam atau dari ibunya sendiri, kebanyakan soal teknis pernikahan mereka.Dan hari ini—sehari sebelum hari pernikahan.Tapi yang membuat Emily gelisah bukan hanya soal Liam yang menghilang tanpa kabar. Yang membuat dadanya sesak adalah tentang janin di dalam rahimnya. Apakah ia harus memberitahu Lucas? Haruskah ia menyimpan semuanya sendiri? Atau... haruskah ia menghentikan semua sandiwara ini? Pernikahan, rencana masa depan, kebohongan yang ia tutupi dengan senyum?Sial. Kepalanya terasa seperti akan pecah.Di dalam apartemen yang sebentar lagi akan ia tinggalkan, Emily sedang sibuk mengemasi pakaiannya diatas lantai apartemenya. Jemarinya bergerak cepat, tapi pikirannya jauh. Terlalu jauh dari apa pun yang sedang i
Liam dan Emily kembali ke apartemen Liam setelah makan malam keluarga yang berakhir kacau. Begitu pintu terbuka, Liam melempar jasnya ke sofa dengan gerakan tergesa. Napasnya memburu, tubuhnya dipenuhi amarah yang tertahan sejak tadi. Ia langsung jatuh duduk, wajahnya terkubur di antara kedua tangannya.Emily yang menyaksikan itu hanya berdiri beberapa detik, ragu. Ia kemudian duduk di sebelah Liam, mengangkat tangannya hendak mengusap punggung pria itu, tapi ia mengurungkannya. Hatinya terasa sesak.“Liam… maaf. Aku—aku benar-benar minta maaf karena semuanya jadi berantakan.”“It’s not your fault, Em,” ucap Liam tanpa menoleh.Emily menggigit bibir bawahnya. “Aku berharap bisa memutar waktu sebelum semua ini terjadi…”Liam mengangkat wajahnya, kemudian bangkit dan mulai berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Emily ikut berdiri dan mencoba mendekat, lalu melingkarkan lengannya ke tubuh Liam dari samping, berusaha menenangkannya.“Em… aku tidak tahu harus bagaimana.” Suara Liam terdeng
Malam itu, angin berembus cukup kencang, membawa aroma lembap dari taman di sekitar mansion keluarga Harris.Emily turun dari mobil bersama ibunya, langkahnya terasa berat saat sepatu haknya menyentuh pelataran batu yang dingin. Jantungnya berdegup cepat. Sejak tadi, ia terus mengecek ponselnya—berkali-kali—berharap ada pesan masuk dari Liam.Namun layar itu tetap kosong.Sejak pertengkaran mereka kemarin, Emily belum berhasil menghubungi Liam. Tak ada satu pun panggilan atau pesan yang dibalas. Ia menunggu sepanjang malam, tapi nihil. Yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa, berharap tidak ada hal buruk yang terjadi pada pria itu.“Em, kau siap?” suara Eleanor memecah keheningan malam ketika ia menutup pintu mobil. “Kamu menunggu kabar siapa? Sejak tadi sore, kamu terus memandangi ponselmu.”Emily tertegun sesaat, lalu tersenyum kecil. “Tidak, aku hanya gugup,” jawabnya pelan. Ia berjalan bersama ibunya menaiki tangga teras mansion.Eleanor menghela napas lembut, kemudian berbalik mengh
*Lima Tahun Lalu - University of California, Open House*Siang itu matahari menyengat, namun halaman kampus tetap ramai. Musik dari panggung kecil menyatu dengan suara ramai pengunjung dan mahasiswa. Spanduk warna-warni tergantung di setiap tenda. Liam, dengan kaus fakultas dan topi terbalik di kepala, sibuk menyiapkan booth jurusan bisnis bersama beberapa teman.“Hei, Liam!” teriak kakak tingkat dari seberang. “Roll-up banner-nya ketinggalan. Can you get it from the assembly room?”“Third floor?”“Yup. Also, the brochure box. Thank you!”Liam mengangguk, menyeka keringat dari keningnya, lalu segera menuju gedung fakultas bisnis yang berdiri tak jauh dari lapangan tenis tempat open house berlangsung.Di sisi lain, Emily berjalan berdampingan dengan ayahnya, Joshua, sambil melihat-lihat brosur dari booth yang baru saja mereka kunjungi.“Kamu yakin ingin kuliah di sini?” tanya Joshua, matanya menyapu sekeliling kampus.Emily mengangguk kecil, senyum menggantung di wajahnya. “Sepertinya







