Michael segera berbalik ke ruangannya kembali dan merogoh ponsel, menelepon sang asisten untuk membatalkan kerja sama dengan perusahaan Ayah Claudine.
"Tapi, Tuan," ucapan lelaki itu terpotong oleh bentakan Michael. "Gak ada tapi-tapian! Perusahaanku gak akan hancur walaupun gak bekerja sama dengan mereka. Jangan membantah! Sebenernya siapa bosnya disini," geram Michael. Pria tersebut langsung bungkam lalu menuruti perintah Michael, tunangan Emily ini mengembuskan napas kasar lalu duduk di kursi dan memukul meja dengan penuh amarah. "Sialan! Beraninya dia mengancamku!" maki Michael. Saat ia dikuasai amarah, lelaki itu menoleh ke ponsel yang ia pegang dan segera membaca pesan dan kiriman foto dari adiknya. [Send photo] [Aku sudah menjemputnya, sekarang kami lagi ngajak dia ke minimarket. Kalau bisa pulanglah lebih cepat! Kita akan berkumpul saat makan malam.] Michael menghela napas dalam, ia memandang foto yang dikirim oleh adiknya. Terlihat punggung Emily dan Ethan sedang bercanda sambil memilih sayuran. Gadis itu tampak ceria, apalagi saat disamping putra pertama Olivia. [Tolong jaga dia, aku bakal berusaha pulang secepatnya.] Setelah mengirim pesan tersebut, Michael menaruh ponsel. Senyuman kecil terukir, berita tentang Emily bagai mengikis amarah yang tadi meletup-meletup. Sedangkan di tempat lain, Owen segera memasukkan handphone ke saku kala membaca pesan balasan Kakak keduanya. "Jangan yang itu, itu gak segar." Owen bersuara kala melihat Emily hendak memasukkan pakcoy ke troli, dua manusia itu menoleh dan gadis itu mengerucutkan bibirnya. "Paman Alex ini gimana sih, aku kok beberapa kali milih selalu aja salah. Ngapain ajak aku kalau gitu," seru Emily menampilkan wajah cemberut. Pria tersebut hanya mendesah pelan, ia meraih pakcoy yang lain lalu memberikan pada Emilym "Karena kamu harus belajar, setidaknya nanti ada yang bisa disuruh beli bahan makanan," balas Owen datar. Emily memutar bola matanya, "Iya-iya belajar, tapi setiap aku ambil sesuatu pasti kamu salahkan. Ekpresi Paman Alex aku sampai hafal." Ia meniru wajah datar Owen dengan lengkap bahkan nada suara lelaki tersebut. "Jangan Vera! Ini busuk, jelek lah, dan bla, bla, bla ....," seru gadis ini. "Perkataan Paman tuh seperti alarm rusak, bunyi sama. Tau gak! Nyebelin banget," lanjutnya. Ethan yang berdiri di sisi Emily, nyaris menjatuhkann tomat yang ia pegang, tubuh gemetar akibat tawa keluar dari bibir. "Alarm rusak? Waduh, Owen. Kamu kalah telak!" ledek Ethan. Dahi Owen berkerut, alisnya terangkat tidak ada ekpresi tersinggung sedikitpun. Tangan lelaki ini terurus merapikan anak rambut yang menutupi wajah Emily. "Kalau aku alarm rusak, kamu adalah microwave. Yang gak pernah disentuh atau dipakai, cuma pajangan buat di dapur aja," balas pria tersebut santai. Tangannya beralih mengetuk hidung Emily dengan jari telunjuk dengan lembut, membuat gadis itu memajukan bibir karena kesal. Ethan yang sudah tak tahan, segera menutup mulut kembali saat merasakan beberapa pasang mata mulai menatapnya. "Kalian ini, jangan bikin aku tertawa dong. Nanti ketauan, diserbu penggemarku lagi," gerutu Ethan pelan. Ucapannya hanya terdengar dua manusia di dekatnya, begitu pelan nyaris tak terdengar. Jika mengambil ke tempat yang ramai, Etham tidak akan ikut, karena takut ketauan walaupun sudah memakai masker dan topi. Suara ponsel Ethan tiba-tiba berbunyi, ia mengitip layar dan membaca deretan huruf yang muncul di sana dengan mengangkat alis. "Michael bilang dia bakal pulang sebentar lagi karena pertemuannya batal," tutur lelaki tersebut. “Wah, bahaya nih,” kata Emily panik pura-pura. “Kalau Paman Mikey sampai duluan dari pada kita, bisa-bisa aku diceramahi seharian tentang efisiensi waktu dan ketepatan prioritas.” Owen tersenyum tipis. “Tenang aja, kamu udah kuliah cukup dari dia sejak kecil.” Lelaki putra ketiga Olivia ini meledek membuat Emily semakin kesal, lalu Ethan yang melihat hal ini segera merangkul tunangannya. "Jangan dengarkan Paman Alexmu itu, mendingan ayo kita ke mobil. Biar dia bayar belanjaan, hukuman karena terus memarahimu," ajak Ethan. Emily tersenyum mengiyakan, hatinya mulai terasa ringan. Meski saat pertama kali mengetahui, pertunangan ini membuatnya kacau, tapi perlahan dia mulai memahami dan berusaha menikmati takdir ini. Hal ini tidak jauh berbeda dengan keseharian dulu saat kecil dikeliling empat lelaki tampan. Di sisi lain, Michael memandang jalanan kota dari balik kaca mobilnya yang melaju. Dia memilih menyuruh agar jadwal pulang dipercepat, ia sudah tak tahan menunggu jam pulang yang selalu tepat. Tangannya mengetuk-ngetuk lutut, tak sabar untuk segera tiba. Pikirannya tak lagi penuh angka dan rapat—hanya ada satu nama yang terus berputar di kepalanya: Emily. Di gedung lain dan dalam salah satu ruangan operasi, Noah tengah melepaskan sarung tangan bedah. Tugasnya telah usai, di sana ia hampir lima jam melakukan pekerjaan. Keringat membasahi pelipis, namun sorot mata tetap tenang seperti biasa. “Pasien sudah stabil, Dr. Davies,” ucap salah satu perawat. Noah hanya mengangguk pelan, “Pastikan dia dipantau intensif selama dulua puluh empat jam. Jangan biarkan tekanan darahnya turun.” Setelah semua instruksi diberikan, ia berjalan keluar menuju ruang ganti. Di sana, ia membuka ponsel dan menemukan beberapa pesan dari Ethan dan Owen. Salah satunya berisi foto Emily yang sedang tersenyum—lengkap dengan caption Ethan: “Lihat, dia makin manja sekarang. Ayo cepet pulang, adik dokter!” Noah tersenyum kecil. Meski tubuhnya lelah, senyum Emily membuat seluruh penat itu seperti menguap. Ia lalu mengirimkan balasan singkat. [Operasi selesai. Tapi sepertinya tidak bisa pulang secepatnya. Pastikan dia makan sayur.] [Aku masih harus mengoperasi satu pasien lagi.] Ia tahu gadis itu sering mencuri kesempatan untuk tidak makan sehat. Noah menatap dirinya di cermin sebentar, merapikan rambut yang sedikit berantakan, lalu bergegas keluar dari ruang staf. Pikirannya tak lagi dipenuhi soal prosedur medis—hanya ada satu tujuan kini: pulang lebih cepat untuk makan malam bersama Emily dan saudara-saudaranya. [Anne, saat makan nanti kalau aku belum pulang, telepon! Lakukan video call. Awas aja sampai gak makan sayur,] Emily yang tadi bercanda dengan Ethan di ruang tamu, ia merasakan getaran di saku bergegas meminta lelaki itu untuk berhenti. Gadis tersebut merogoh celana dan membaca deretan pesan Daniel membuat dia mengerucutkan bibir. "Ahh ... Paman Noah, gak asik! Tidak bertemu aja masih mengaturku," gerutu Emily. Ethan yang melirik mimik wajah tunangannya mendekat, dia merebut handphone Emily membuat sang empu terkejut. "Hahaha ... beruntung aku gak diurusi Daniel, jadi bebas walau gak makan sayur," ejek Ethan. Gadis itu yang mendengar membuat dia semakin mengerucutkan bibir lalu meraih benda pipihnya yang dipegang Ethan. Dia menghentakkan kaki dan bertepatan Owen keluar dari dapur, melihat pertengkaran ini ia mendekat. "Vera, sana bantu aku siram tanaman," perintah Owen. Dia memilih mengiyakan perintah tunangannya lalu bergegas pergi tidak lupa menendang kaki Ethan membuat sang empu memekik. "Mily!" teriak Ethan. "Besok aku bakal berangkat, aku bakal jalanin cabang rumah sakit di luar negeri," ungkap Daniel. Emily langsung bangkit mendengar perkataan lelaki itu, ia memandang Daniel dengan tatapan sulit diartikan. "Apa ini gara-gara aku? Paman Noah mau ke sana," tuturnya dengan nada lemah.Ucapannya sedikit gemetar menandakan kesedihan dan rasa bersalah, sedangkan Daniel menghela napas lalu menggelengkan kepala apalagi mendapati tatapan Michael bagai mau menelan dia."Gak, kamu jangan berpikir gitu. Aku memang rencana mau ke sana," balas Daniel berusaha tenang."Semangat! Kamu pasti bisa, aku dukung kamu. Kalau ada apa-apa bisa bilang ke aku, aku bakal berusaha bantu kamu," lontar kakak keduanya.Senyum tipis terukir di bibir Daniel kala mendengar ucapan sang kakak, ia menganggukkan kepala untuk mengiyakan perkataan Michael."Ya! Aku bakal menagih janjimu ini, kamu harus membantuku," sambut Daniel.Emily terdiam, wanita itu syok dengan berita yang di dengar sekaligus. Semua membawa kesedihan,
Michael mendengar ucapan sang ibu langsung menatap tajam wanita itu, sedangkan Emily segera menggenggam jemari kekasihnya. Ethan melihat keadaan demikian segera mencolek putranya dan menggerakkan kepala pelan memberikan kode pada Logan. "Papa kenapa? Kepalanya sakit goyang-goyang terus," lontar Logan dengan nada polos.Ethan mendelik mendengar ucapan putranya, membuat semua menoleh menatap kedua lelaki berbeda usia tersebut. "Iya, Papamu itu sakit kepala. Pengen di cekik sama kami," kelakar Emily. Wanita itu berusaha mencairkan suasana, melihat hal tersebut Daniel memahami jika perempuan yang berjarak beberapa bangku ini merasa tak nyaman. "Ayo makan! Emangnya kita cuma bakal lihatin makanan di meja aja," celetuk pria tersebut. "Oh iya, ayo makan! Ini semua pesanan Tante lho, Niel. Coba, cobain deh, enak lho. Tempat yang pertama Tante sama Om ingin rekomendasikan sama kalian kalau lagi kumpul-kumpul gini selain suasana yang enak ini, makanannya juga top," ujar Maria."Sayang mau
Mendengar suara Olivia, mereka semua menoleh. Bahkan Emily dan Michael juga ikut menatap asal suara, saat tatapan mata menemukan keberadaan wanita itu, sepasang kekasih ini saling melemparkan pandangan. "Ayo!" ajak Michael menggenggam tangan Emily. Perempuan itu mengangguk, mereka langsung melangkah bersamaan. Logan yang mendengar perkataan neneknya dengan polos menunjukkan keberadaan sang Paman dan Emily. "Di sana Grandma," seru lelaki tersebut.Olivia langsung mengikuti arah jari mungil Logan yang menunjuk keberadaan sang putra dan calon menantu, terlihat Emily, Michael sedang berjalan mendekat. "Ada apa, Mah? Bukannya belum waktunya kan, masih ada waktu sesuai jadwal yang Mama, Papa, tentukan," lontar Michael.Wanita paruh baya itu langsung mendelik mendengar perkataan Michael yang tak mau dicecar duluan, pria tersebut langsung pada intinya. Padahal ia belum sempat mengeluarkan suara untuk berbicara. "Ya, ya, ya! Masih ada waktu. Udah ayo masuk!" balas Olivia.Emily menggeleng
Emily keluar dari kendaraan roda empat, tangannya digandeng oleh Michael. Saat keluar dari mobil, gaun hitam terterpa cahaya malam dan lampu. Potongan halter neck menonjolkan bahu jenjangnya. Sementara tali tipis di belakang leher memperlihatkan punggung perempuan tersebut. Lapisan kain jatuh asimetris bergerak mengikuti langkah dia, menciptakan siluet dramatis seolah ia tengah menari disetiap hentakan. Pandangan matanya menatap gedung yang akan ia masuki, begitu indah memanjakan mata. Sedangkan Michael lelaki netranya menangkap beberapa pria yang lewat melirik sang kekasih. Dengan gerakkan cepat dia membuka jas dan memakaikan pada Emily. "Kenapa," kata Emily spontan. Lelaki itu hanya diam tidak langsung menjawab ucapan sang kekasih, tangannya segera melingkar ke pinggang Emily membuat Emily mengerutkan dahi. "Agar semua tau kamu milikku," jawab Michael simple. Michael kala berkata demikian, mata berkeliaran dengan tatapan dingin ke sekitar. Membuat Emily ikut melihat dan mengula
"Mily!" suara seseorang dan pintu terbuka membuat sepasang sejoli ini terperanjak, aksi mereka segera terhenti. Mata Emily langsung melotot. "Ekhemm, sorry bos," seru Ethan segera membalikkan badan. Senyuman geli terukir di bibir Ethan, sedangkan Emily yang tadi terkejut langsung melompat turun dari gendongan Michael, ia segera bersembunyi di dada sang kekasih. ia seperti anak kucing yang terkejut. "Kamu ini udah kaya gak punya tangan buat ngetuk aja! Ganggu tau," cecar Michael. Ethan hanya mengedikkan bahu mendengar teguran sang adik. "Lagian kalian ini benar-benar ya, lagi masa mabuk-mabuknya. Kamu buat pengaruh buruk banget buat Emily, lihat ... gadis polosku sampai seganas ini bikin tanda di leher kamu," jawab Ethan semakin senang menggoda Emily. Michael mendengus keras, ia meraih bahu Ethan dan mendorongnya pelan ke arah pintu. "Keluar. Sekarang." Nada su
Seminggu berlalu sejak pembicaraan Emily dan Daniel, mereka bersikap seperti biasa. Masih tinggal bersama, apalagi semua sibuk mengurus Logan. Pria kecil itu begitu manja dengan perempuan satu-satunya di kediaman ini, bahkan Michael melihat kedekatan kedua manusia tersebut merasa cemburu. "Auntie," panggil Logan berlari ke arah Emily. Gadis tersebut yang tengah berjalan menuju dapur sedikit terkejut, apalagi mendengar teriakan dan pelukkan pria kecil itu. "Auntie ...," serunya kembali. Logan memeluk kaki Emily, sambil mendongak memandang wajah perempuan tersebut. "Jongkok Auntie, Auntie juga harus peluk Logan. Logan kangen Auntie," ujar anak kecil tersebut. Emily tersenyum, wanita itu segera menuruti perkataan lelaki kecil ini. Berjongkok mensejajarkan tinggi dengan calon keponakannya. "Logannya Auntie udah pulang." Putra Ethan ini menganggukkan kepala deng