Emily dengan napas terengah berlari keluar dari kamar, ya setelah berbincang dengan dua pria tunangannya. Ia pamit untuk merapikan barang bawaan, rambut gadis ini sedikit kusut. Wanita tersebut memijat bahu yang terasa pegal, semua telah rapi, setidaknya cukup enak dipandang. Netra perempuan itu mengintip ruangan yang nampak Ethan masih tertidus pulas, desisan napas terdengar samar dari balik pintu membuat manusia berusia dua puluh tiga tahun tersenyum lalu melangkah pergi ke dapur.
"Kenapa masakan Paman Alex selalu begitu menggugah selera," gumam Emily kala mencium wangi masakan. Gadis itu memandang Owen yang sibuk dengan peralatan dapur, dan apron hitam melekat di tubuh. Senyuman Emily terukir di bibir lalu spontan kakinya melangkah mendekat dan berdiri di samping lelaki itu dan mencicipi hasil masakan pria tersebut. "Eum ... masakan Paman Alex masih tetap enak, dan bahkan lebih enak lagi," puji Emily dengan mata tertutup menikmati cita rasa masakan. Owen yang tadinya fokus memasak, ia menoleh melirik sekilas Emily lalu mengulas senyuman mendengar pujian dari sang tunangan. Lelaki itu tidak langsung membalas ucapan perempuan tersebut, tetapi dia mengambil sendok bersih dan menyendok makanan yang masih di wajan. "Coba cicipi yang ini, aku baru coba resep baru." Wanita tersebut langsung membuka mulut dan menerima suapan sang tunangan. Ia memejamkan mata menikmati rasa yang menguar saat mengunyah. Melihat ekpresi Emily, Owen mengulas senyuman. Lelaki ini memilih melanjutkan pekerjaan lagi. "Wah ... ini sangat enak! Kamu belajar dari mana, Paman Alex?" tanya Emily spontan. Owen mendengar pertanyaan tersebut menoleh sekilas lalu kembali fokus memindahkan makanan ke tempat dan melangkah pergi untuk menaruh hidangan ke atas meja. "Kamu gak perlu tau, lagian kamu kan gak bisa masak! Jadi ngapain kepo segala. Memang mau bantuin atau gantikan aku memasak, enggak kan," balas Owen. Emily mendelik mendengar balasan sang tunangan, ia melipat tangan di depan dada lalu melangkah mendekati kursi dan menarik untuk dia duduki. "Iya-iya, Tuan Multitalenta." Mendengar hal itu Owen hanya tersenyum dan mengeluarkan tawa kecil lalu kembali bekerja. Emily mengikuti lelaki tersebut lagi, memperhatikan pria ini yang begitu teliti. "Kamu bisa diam gak, sana duduk! Memang gak pegal mengikutiku terus," seru Owen tanpa menoleh memandang Emily. Tiba-tiba, tangan Emily menyentuh bahu pria itu, membuat Owen menoleh dengan alis terangkat. "Pundakku pegal, kamu bisa pijat juga nggak, Tuan Multitalenta?" pinta Emily manja. Owen memutar bola mata pelan, tapi tak menolak. Ia menyeka tangan dengan lap, lalu berdiri di belakang Emily. Dengan gerakan pelan tapi tepat, ia mulai memijat bahu gadis itu. "Ah, iya… itu enak. Sedikit ke kiri, nah, di situ," gumam Emily dengan mata terpejam, menikmati sentuhan tangan Owen. "Kamu begitu manja," ucap Owen datar. Emily terkekeh kecil. "Biarin aja, lagian kalian kan tunanganku. Sudah kewajiban kalian untuk memanjakanku, lagi ... Paman Alex berjanji bakal menjagaku bukan," jawab Emily. Suara langkah kaki terdengar dari arah lorong. Kedua orang itu menoleh bersamaan saat Ethan muncul, rambut acak-acakan dan mata masih setengah tertutup. "Seperti ada yang membicarakank, telingaku sampai gatal," gumamnya serak. Emily yang begitu dekat dengan Owen, gadis itu menatap Ethan lalu melangkah mendekati lelaki tersebut dan memegang tangan pria berprofesi aktor ini. "Kamu terlalu percaya diri, Paman Han. Lagian ... siapa yang enggak membicarakan kamu, kamu kan seorang aktor, pasti banyak yang membicarakan keburukkanmu," lontar Emily. Ethan yang tadinya berwajah datar langsung berubah cemberut, lelaki itu melirik sebentar Emily lalu mengalihkan pandangan lagi ke tujuannya. Melangkah dengan cepat dan membuka kulkas mengambil air minum, meneguk beberapa kali. "Kamu ini ya, aku baru bangun tidur kamu sudah menjatuhkanku ke dasar jurang. Hatiku potek Mily, sakit tau," ujar Ethan dengan nada sedih. Emily terkekeh melihat ekspresi Ethan yang dibuat-buat, lelaki itu memang sangat pandai berakting. Namun sebelum ia membalas perkataan pria tersebut, suara berat Owen memotong interaksi mereka. "Sudah, sudah! Kalian ini berdebat terus. Ayo makan! Habis ini bantu aku belanja makanan," lerai Owen sambil menaruh piring di meja dan duduk di kursi. Emily langsung menarik kursi dan duduk, diikuti Ethan yang masih dengan wajah cemberutnya. "Kalau kalian terus begini, rumah ini bakal digeregek warga karena kebisingan kalian," gerutu Owen. "Digerebek karena habis ...!" Ucapan Ethan terhenti karena Owen yang memukul kepala dia membuat memekik kesal. Tatapan penuh amarah dilayangkan pria tersebut dan dibalas demikian oleh adiknya. "Jaga ucapanmu! Ada anak kecil diantara kita, jangan membuat pikiran Vera menjadi kotor karenamu," omel Owen. "Kalau enggak bisa diam, aku lemparkan panci yang pantatnya hitam ke wajahmu!" ancamnya. Emily menahan tawa, tetapi sorot matanya tak lepas dari dua tunangannya itu. Betapa aneh dan absurd hidupnya sekarang—tunangannya empat, semua bersaudara, dan semuanya... tampaknya cukup kompetitif satu sama lain. "Cepat makan! Kunci otak kotormu itu, atau aku berubah pikiran dan gak kasih kamu makan." "Kamu juga makan!" Tanpa aba-aba, Emily dan Ethan langsung mengambil sendok masing-masing dan mulai menikmati hidangan di hadapan mereka. Suasana menjadi tenang sejenak, hanya suara sendok bertemu piring dan desahan puas karena makanan lezat buatan Owen. Sedangkan di tempat lain, Michael masih terlihat sibuk dengan tumpukkan berkas. Beberapa kali ia memijat kening, lalu memejamkan mata berusaha terus tenang. "Aishhhh ... sialan! Aku gak bisa menunggu," geram Michael. Lelaki itu bangkit dari duduknya lalu melangkah keluar ruangan dan ia segera menghentikan langkah kala melihat seorang wanita mendekat dengan senyuman yang melekat di bibir. "Hei ... kamu mau kemana, pasti mau menjemputku bukan! Kamu sangat perhatian," seru wanita tersebut. Dia segera bergelayut manja memegang lengan Michael, dan dengan tiba-tiba mendaratkan kecupan di pipi lelaki tersebut membuat sang empu mendelik kesal. "Jaga batasanmu! Lepas!" geram Michael menahan amarah. "Kamu bersikap begini padaku, memangnya gak mau bekerja sama dengan perusahaan Papaku," lontar perempuan tersebut. "Aku tau kamu membutuhkan sesuatu yang penting dari perusahaan Papaku, aku datang kemari untuk membicarakan kerja sama itu," lanjutnya. Michael mengeraskan rahangnya, tatapan hijau zamrud membara menahan amarah yang hendak meledak. Ia menarik napas dalam, mencoba menjaga nada suara tetap netral, walau ucapannya akan dingin menusuk. "Aku bekerja secara profesional, bukan dengan menjual harga diriku atau membiarkan orang seenaknya menyentuhku," katanya tegas, menepis tangan wanita itu dari lengannya. "Kalau kamu berpikir bisa mengendalikanku hanya karena posisi keluargamu, kamu salah besar." Wanita itu—Claudine, putri dari salah satu pemilik perusahaan besar yang menjadi mitra bisnis Davies Corp—mengerjap pelan. Sorot matanya berubah dari manja menjadi tajam. "Kamu akan menyesal sudah menolakku, Michael," kata dia pelan sambil menghentakan kaki dan melepaskan tangannya. "Besok aku bakal berangkat, aku bakal jalanin cabang rumah sakit di luar negeri," ungkap Daniel. Emily langsung bangkit mendengar perkataan lelaki itu, ia memandang Daniel dengan tatapan sulit diartikan. "Apa ini gara-gara aku? Paman Noah mau ke sana," tuturnya dengan nada lemah.Ucapannya sedikit gemetar menandakan kesedihan dan rasa bersalah, sedangkan Daniel menghela napas lalu menggelengkan kepala apalagi mendapati tatapan Michael bagai mau menelan dia."Gak, kamu jangan berpikir gitu. Aku memang rencana mau ke sana," balas Daniel berusaha tenang."Semangat! Kamu pasti bisa, aku dukung kamu. Kalau ada apa-apa bisa bilang ke aku, aku bakal berusaha bantu kamu," lontar kakak keduanya.Senyum tipis terukir di bibir Daniel kala mendengar ucapan sang kakak, ia menganggukkan kepala untuk mengiyakan perkataan Michael."Ya! Aku bakal menagih janjimu ini, kamu harus membantuku," sambut Daniel.Emily terdiam, wanita itu syok dengan berita yang di dengar sekaligus. Semua membawa kesedihan,
Michael mendengar ucapan sang ibu langsung menatap tajam wanita itu, sedangkan Emily segera menggenggam jemari kekasihnya. Ethan melihat keadaan demikian segera mencolek putranya dan menggerakkan kepala pelan memberikan kode pada Logan. "Papa kenapa? Kepalanya sakit goyang-goyang terus," lontar Logan dengan nada polos.Ethan mendelik mendengar ucapan putranya, membuat semua menoleh menatap kedua lelaki berbeda usia tersebut. "Iya, Papamu itu sakit kepala. Pengen di cekik sama kami," kelakar Emily. Wanita itu berusaha mencairkan suasana, melihat hal tersebut Daniel memahami jika perempuan yang berjarak beberapa bangku ini merasa tak nyaman. "Ayo makan! Emangnya kita cuma bakal lihatin makanan di meja aja," celetuk pria tersebut. "Oh iya, ayo makan! Ini semua pesanan Tante lho, Niel. Coba, cobain deh, enak lho. Tempat yang pertama Tante sama Om ingin rekomendasikan sama kalian kalau lagi kumpul-kumpul gini selain suasana yang enak ini, makanannya juga top," ujar Maria."Sayang mau
Mendengar suara Olivia, mereka semua menoleh. Bahkan Emily dan Michael juga ikut menatap asal suara, saat tatapan mata menemukan keberadaan wanita itu, sepasang kekasih ini saling melemparkan pandangan. "Ayo!" ajak Michael menggenggam tangan Emily. Perempuan itu mengangguk, mereka langsung melangkah bersamaan. Logan yang mendengar perkataan neneknya dengan polos menunjukkan keberadaan sang Paman dan Emily. "Di sana Grandma," seru lelaki tersebut.Olivia langsung mengikuti arah jari mungil Logan yang menunjuk keberadaan sang putra dan calon menantu, terlihat Emily, Michael sedang berjalan mendekat. "Ada apa, Mah? Bukannya belum waktunya kan, masih ada waktu sesuai jadwal yang Mama, Papa, tentukan," lontar Michael.Wanita paruh baya itu langsung mendelik mendengar perkataan Michael yang tak mau dicecar duluan, pria tersebut langsung pada intinya. Padahal ia belum sempat mengeluarkan suara untuk berbicara. "Ya, ya, ya! Masih ada waktu. Udah ayo masuk!" balas Olivia.Emily menggeleng
Emily keluar dari kendaraan roda empat, tangannya digandeng oleh Michael. Saat keluar dari mobil, gaun hitam terterpa cahaya malam dan lampu. Potongan halter neck menonjolkan bahu jenjangnya. Sementara tali tipis di belakang leher memperlihatkan punggung perempuan tersebut. Lapisan kain jatuh asimetris bergerak mengikuti langkah dia, menciptakan siluet dramatis seolah ia tengah menari disetiap hentakan. Pandangan matanya menatap gedung yang akan ia masuki, begitu indah memanjakan mata. Sedangkan Michael lelaki netranya menangkap beberapa pria yang lewat melirik sang kekasih. Dengan gerakkan cepat dia membuka jas dan memakaikan pada Emily. "Kenapa," kata Emily spontan. Lelaki itu hanya diam tidak langsung menjawab ucapan sang kekasih, tangannya segera melingkar ke pinggang Emily membuat Emily mengerutkan dahi. "Agar semua tau kamu milikku," jawab Michael simple. Michael kala berkata demikian, mata berkeliaran dengan tatapan dingin ke sekitar. Membuat Emily ikut melihat dan mengula
"Mily!" suara seseorang dan pintu terbuka membuat sepasang sejoli ini terperanjak, aksi mereka segera terhenti. Mata Emily langsung melotot. "Ekhemm, sorry bos," seru Ethan segera membalikkan badan. Senyuman geli terukir di bibir Ethan, sedangkan Emily yang tadi terkejut langsung melompat turun dari gendongan Michael, ia segera bersembunyi di dada sang kekasih. ia seperti anak kucing yang terkejut. "Kamu ini udah kaya gak punya tangan buat ngetuk aja! Ganggu tau," cecar Michael. Ethan hanya mengedikkan bahu mendengar teguran sang adik. "Lagian kalian ini benar-benar ya, lagi masa mabuk-mabuknya. Kamu buat pengaruh buruk banget buat Emily, lihat ... gadis polosku sampai seganas ini bikin tanda di leher kamu," jawab Ethan semakin senang menggoda Emily. Michael mendengus keras, ia meraih bahu Ethan dan mendorongnya pelan ke arah pintu. "Keluar. Sekarang." Nada su
Seminggu berlalu sejak pembicaraan Emily dan Daniel, mereka bersikap seperti biasa. Masih tinggal bersama, apalagi semua sibuk mengurus Logan. Pria kecil itu begitu manja dengan perempuan satu-satunya di kediaman ini, bahkan Michael melihat kedekatan kedua manusia tersebut merasa cemburu. "Auntie," panggil Logan berlari ke arah Emily. Gadis tersebut yang tengah berjalan menuju dapur sedikit terkejut, apalagi mendengar teriakan dan pelukkan pria kecil itu. "Auntie ...," serunya kembali. Logan memeluk kaki Emily, sambil mendongak memandang wajah perempuan tersebut. "Jongkok Auntie, Auntie juga harus peluk Logan. Logan kangen Auntie," ujar anak kecil tersebut. Emily tersenyum, wanita itu segera menuruti perkataan lelaki kecil ini. Berjongkok mensejajarkan tinggi dengan calon keponakannya. "Logannya Auntie udah pulang." Putra Ethan ini menganggukkan kepala deng