"Kan wajar Pru jika kita tidur bersama bukan. Lagipula leher aku bisa tengeng kalau tidur di sofa. Kamu tega?" senyum Xander. Prudence tidak bisa bilang apa-apa karena memang sebenarnya Xander berhak tidur bersamanya karena sudah menikah secara resmi. "Aku mandi dulu, terus kita sarapan, lalu kamu temani aku di acara IT. Biar kamu tahu bagaimana sebenarnya pekerjaan aku." Xander meletakan cangkir kopinya dan berjalan melewati Prudence. Tanpa diduga, pria itu mencium pipi istrinya dan Prudence memekik kaget namun Xander sudah masuk ke dalam kamar mandi. "Anak Viking Sialaaaaannnn!" teriak Prudence kesal. *** Prudence sarapan sambil cemberut karena Xander mencuri ciuman di pipinya. Tapi entah kenapa, dia merasa ini seperti Xander yang dulu. Xander yang usil. Meskipun begitu, Prudence masih tetap tidak percaya ... belum percaya seratus persen dengan Xander. Bisa saja kan dia begitu karena kena sambet arwah kamar hotel mereka. "Kamu marah?" tanya Xander ke Prudence yang makan d
"Aku benci kamu, Xander! Aku sangat membenci kamu! Kamu sudah merebut Sasa!" gumam Prudence sambil terlelap membuat Xander tertawa kecil. "Rupanya kamu sedang mimpi saat masa kita kecil ya? Segitunya kamu membenciku karena Sasa memilih bersama aku dan papa. Rupanya rasa benci kamu ke aku sudah mengakar ya?" gumam Xander sambil terus memandangi wajah cantik Prudence. "Kamu tahu, aku berharap kamu hamil sih sebenarnya karena dengan begitu, aku semakin menolak berpisah dengan kamu," ucap Xander. Pria itu mengulurkan tangannya dan menyingkirkan rambut dari wajah Prudence. Xander masih terus memandangi istrinya. "Aku senang kamu datang ke Stockholm meskipun dengan tujuan berbeda tapi setidaknya kamu disini, bersamaku." Xander lalu berdiri dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Xander melihat Prudence masih terlelap dan pria itu pun naik ke atas tempat tidur sambil memandangi wajah Prudence. "Bisakah kita menjalani hubungan pernikahan ini lebih baik Pru? Ak
Xander memandang wajah lelah Prudence dan dia tahu, istrinya tidak sabar untuk berpisah dengannya tapi bagi Xander, perjanjian adalah perjanjian. Xander melihat air mata Prudence membasahi pipinya dan tangannya terulur ke wajah istrinya. "Pru ...." Prudence menepiskan tangan Xander. "Tidak usah ... Aku bisa melakukannya sendiri!" ucapnya dingin. "Tolonglah Pru. Aku besok harus ada pertemuan penting, jadi aku minta jangan berikan aku beban masalah dulu. Aku harus fokus dan ini berhubungan dengan bisnis perusahaan Papa. Aku mohon Pru," pinta Xander. "Kalau begitu, aku akan memesan kamar hotel untuk menginap. Aku tidak mau perusahaan Oom Xavier amburadul." Prudence pun hendak berjalan menuju pintu kamar namun ditahan oleh Xander. Pria itu memegang tangan Prudence. "Buat apa kamu memilih tidur terpisah. Tidur disini saja bersamaku ...." Prudence mendelik. "Maaf, aku akan tidur di sofa," ralat Xander yang tahu istrinya masih trauma. Prudence mengangguk. "Kamu berapa
"Ada apa Pru?" tanya Asha saat melihat Prudence memasukkan ponselnya ke dalam tas pinggangnya. "Xander mau pergi ke Stockholm." "Stockholm? Swedia?" Asha menatap Prudence. "Memangnya ada Stockholm yang lain?" balas Prudence ke sahabatnya. Mereka menyebrangi jalan menuju Central Park yang ikonik sambil bergandengan tangan. Sebelum Prudence menikah dengan Xander, dia terbiasa bergandengan tangan dengan Asha. Kedua orangtuanya pun tahu mereka berdua sangat akrab, baik sebagai sahabat juga seperti kakak adik. "Aku rasa kamu sebaiknya menyusul ke Stockholm, Pru." Prudence menoleh ke Asha sambil memulai acara jalan paginya. "You're kidding." "No, I'm not. Aku tidak bercanda Prudence. Sepatutnya kamu susul kesana. Aku tidak suka dengan kehidupan pernikahan kalian ... Toxic tapi tidak mau menghentikan. Sekarang, apakah kamu hamil?" Asha menatap Prudence serius. "Tidak. Aku sudah test pack." "Kalau tidak, kenapa tidak kamu akhiri saja pernikahan kalian? Perjanjiannya k
Asha melihat hasil lukisan Prudence yang menurutnya bukan karya seperti biasanya. Sangat gelap, sangat menusuk hati dan membuat ada rasa sedih mendalam. "Apakah ini bukan karena kamu patah hati tidak bersama Xander?" tanya Asha ke Prudence. "Aku tidak pernah merasa patah hati sebelumnya karena memang aku tidak ada keinginan untuk menjalin hubungan dengan seseorang tapi aku patah hati tidur bersama dengan pria yang aku benci!" jawab Prudence. "Pru, pernahkah kamu berpikir ... Bagaimana jika Xander ada perasaan lebih sama kamu?" Asha menatap Prudence. "Xander? Suka aku? Ngimpi!" cebik Prudence. Asha menghela nafas panjang. "Aku sudah melihat dia Pru. Dia itu memiliki tatapan khusus ke kamu." "Apa maksud kamu?" tanya Prudence ke sahabatnya. "Pru, aku tahu bagaimana rasanya menyukai seseorang. Mereka pasti memiliki tatapan yang berbeda dan itu yang terjadi pada Xander ke kamu." Prudence menggelengkan kepalanya. "No, Asha. Kamu salah lihat! Xander benci aku seperti halnya aku
"Pru ... Aku kan tidak tahu siapa Asha!" "Asha itu gay! Dia teman aku dan kamu tidak ada hak untuk melarang siapa saja teman-teman aku!" balas Prudence kesal. "Tapi Pru ...." "Apa? Kamu mau memakai hak kamu sebagai suami? Melarang aku? Dengar, aku berteman dengan siapa saja,.itu hak aku! Sudah, aku mau mandi dan mengguyur kepalaku dengan air dingin!" Prudence mematikan panggilan Xander. Prudence menghela nafas panjang. Ya Tuhan, aku tidak masalah dia pergi dengan siapa tapi janganlah mengatur hidup aku yang sudah aku jalani selama ini. Prudence pun turun dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Dirinya memang benar-benar ingin mendapatkan air segar yang mengguyur kepalanya. *** Oslo Norwegia Xander menatap layar ponselnya yang sudah berganti dengan wallpaper gambar dirinya dan Prudence waktu kecil. "Apakah kamu tahu aku sangat mencemaskan kamu." Xander menghela nafas panjang. Pria itu menoleh saat mendengar suara intercom di mejanya berbunyi. "Ya?"