Share

Epiphany "Cinta dan Luka Masa Lalu"
Epiphany "Cinta dan Luka Masa Lalu"
Author: EnKa Jasmine

Titik Nol Diri

Aku terlahir sempurna. Cantik dan lumayan pintar. Namun bukan berarti tanpa kekurangan. Baik buruk kita di masa lalu tetaplah masa lalu yang hanya bisa dikenang sebagai evaluasi diri agar menjadi manusia yang lebih baik.

Arini, begitu orang memanggilku. Nama indah yang disematkan Abah sembilan belas tahun yang lalu. Aku mempunyai keluarga yang harmonis Teh Anggi yang lembut, polos dan mudah sekali kubohongi. Ambu yang lembut dan Abah yang dingin namun perhatian. Kami hidup bahagia sekali. Tapi itu dulu sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman dan tinggal di ibu kota yang keras ini.

“Selamat pagi, Mey,” seorang perempuan dengan pakaian APD masuk ruanganku, dan 'Mey' nama panggilanku di Jakarta.

“Pagi..." balasku.

“Saya periksa dulu ya," pinta Dini.  Dokter yang merawatku dua pekan ini. Aku mengangguk membiarkannya memeriksa kondisiku saat ini.

"Mey... Apa enggak sebaiknya kamu hubungi keluargamu?" sarannya setelah melalukan berbagai rangkaian pemeriksaan. Kami sudah lama saling kenal. Tidak kenal dekat hanya kita pernah tinggal satu atap waktu aku masih berstatus sebagai mahasiswa LaSalle Collage International di Jakarta sebelum hidupku benar-benar sesat. Usianya lima tahun lebih tua dariku.

"Buat apa? Apa kondisiku separah itu?" jawabku ketus.

"Bukan gitu, keluargamu pasti mengkhawatirkanmu," jawabnya. 

"Udahlah lakukan saja tugasmu." Aku tak ingin menanggapinya. Jika ditanya rindu atau tidak dengan keluarga, jelas aku rindu. Aku butuh keluargaku. Apa lagi penyakit yang menyerangku saat ini. Benar-benar membuatku takut. Namun, aku tak sanggup untuk menampakkan diri dengan kondisiku, malu.

Dini mengembuskan napas kasar. Dua pekan sering bertemu mungkin dia sudah paham dengan keras kepalanya aku. Hebatnya dia masih saja sabar menemaniku meski kadang aku berkata kasar padanya. Aku beruntung bisa bertemu dengannya. Entah apa yang akan terjadi padaku jika aku tak bertemu dengannya saat titik nol-ku.

"Ya sudah terserah kamu. Aku pergi dulu. Hasilnya mungkin akan keluar besok." Dini keluar ruangan setelah selesai memeriksaku. 

Aku kembali sendiri melawan penyakit yang bisa kapan saja merenggut nyawaku. Dalam hening, aku teringat kembali dengan saran Dini untuk menghubungi keluargaku. Ada rasa sesak yang menghujam dada. Masih pantaskah aku menerima maaf dari mereka. Kuambil ponsel diatas nakas, membuka galeri menatap foto keluarga yang sudah lama kutinggalkan. Tanpa sadar butiran bening menerobos dengan lancangnya membasahi pipi polosku. Wajah cantik yang sering dipuji ribuan orang di setiap postingan feed instagramku kini tak lagi berisi. Tubuh seksi tinggi semampai kini sudah kurus kering. Aku hampir putus asa. Namun mengingat apa yang sudah kulakukan di masa lalu, membuatku sekali lagi bersyukur. Ini pesan cinta dari Yang Maha Kuasa, bentuk kasih sayang-Nya. Hingga tak membiarkanku tersesat semakin jauh lagi.

Aku mengambil smartphone yang aku simpan di dalam laci. Smartphone yang kumiliki yang dibelikan Teh Anggi sebelum aku meninggalkan Bandung.

Melihat isi galeri di mana foto keluargaku tersimpan membuat dadaku semakin sesak. Aku benar-benar takut tak sempat mengucapkan maaf sebelum meninggalkan dunia ini. Keluar dari galeri ponsel. Aku membuka I*******m. Ingin rasanya menyapa teman-temanku di sana. Tak ada yang istimewa di sana. Hanya orang-orang yang numpang eksis memamerkan kebahagiaan mereka. Melihat tingkah mereka mengingatkanku pada diriku yang dulu. Dengan sombongnya menikmati titipan Tuhan.

“Lihatlah sekarang Mey, kemana orang-orang yang memujamu?” lirihku.

Pencarianku berhenti kala menangkap satu postingan dari akun pemberitaan daring dengan tagline pasien terkapar covid yang kian bertambah. Tenaga media yang makin memprihatinkan.

Gelombang negatif mulai membekap pikiranku, mengirimkan pesan-pesan kecemasan dan melemahkan syaraf di sekujur tubuhku. Tanganku gemetar hingga ponsel jatuh di sampingku. Aku termasuk salah satu pasien yang terpapar covid-19. Aku kira cuma demam biasa. Namun, akhirnya aku harus tinggal juga di rumah sakit untuk menjalani perawatan. Dadaku terasa sesak. Padahal hanya ingin menghirup udara yang gratis. Nikmat dari Allah yang kerap kali aku abaikan.

***

Gelap berganti terang. Hari yang biasa kulalui dengan duduk-duduk manis di kafe-kafe ternama kini aku habiskan dengan terbaring lemah di atas tempat tidur. Seperti biasa, sarapan pagi, obat dengan aturan pakainya serta vitamin sudah bertenger di atas meja. Sebenarnya aku sudah jenuh, namun aku juga tak ingin mati sia-sia.

"Sudah bangun?" Dini masuk ke ruang rawatku masih dengan APDnya.

"Sudah," jawabku. "Kenapa masih saja di sini? Nggak pulang?"

Dini tersenyum, seolah tak ada beban dalam hidupnya. Padahal jelas-jelas bahaya ada di sekitarnya. "Aku enggak pulang. Banyak yang membutuhkanku di sini. Lagian kasian keluargaku kalau aku pulang. Bisa saja aku menularkan virus pada mereka."

Aku ikut tersenyum. Dina masih saja seperti dulu. Jiwa sosialnya tinggi. Dan selalu mendahulukan kepentingan bersama dari pada kepentingan dirinya sendiri. Aku makin bangga padanya. Andai saja dulu aku memilih berteman dengannya.

"Sudah diminum obatnya?" tanya Dini.

Aku menunjuk ke arah nakas, "Bentar lagi."

"Mey, aku - " kata Dini yang membuatku penasaran.

"Kenapa?" tanyaku.

"Kamu pasti sembuh dan kamu harus sembuh." Mendengar jawabannya aku ragu, bukan itu yang akan ia katakan tadi. Dini bukan orang yang pandai berbohong. "Udah terus terang aja. Apa kondisiku mulai parah?"

Aku mencoba menguatkan hatiku. Walau sebenarnya aku takut. Ada hal yang harus kutebus sebelum hal itu datang.

"Bukan begitu. Ini tentang Angel, teman kamu."

"Kenapa?" tanyaku.

"Dia sudah tiada." Satu lagi kejutan  yang kudapatkan. Satu orang yang kusayangi pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku tatap mata Dini, berharap semua yang dikatakan itu tidak benar. Namun, sekali lagi tidak ada kebohongan di matanya.

Angel, teman baikku. Gadis yang selalu ada disampingku, bahkan saat dunia meninggalkanku. Saat keluargaku tak ada untukku. Dari Angel, aku bisa mengenal hidup lebih luas lagi. Bukan hanya sekedar halaman rumah dan teras masjid. Abah selalu membatasi semua gerakku. Menuntutku untuk menjadi gadis penurut berhijab menutup dada seperti Teh Anggi yang selalu Abah banggakan.

"Hidup itu sekali, buat happy aja kenapa." Seorang gadis berambut coklat datang menghampiriku. Penampilannya sangat jauh dariku yang terkesan kampungan. Aku hampir tercengang dibuat olehnya. Kulitnya yang putih mulus dan semua yang menempel ditubuhnya bukan barang grosiran yang biasa aku dan teman-temanku dapatkan dipasar tradisional. Maklum, hidup sederhana diterapkan oleh Abah sejakku kecil.

"Eh - mbak," sapaku.

"Anak baru?" tanyanya padaku. Saat itu adalah hari kedua aku di kota orang, dan jauh dari keluarga.

"Iya, mbak."

"Angel.” Ia mengulurkan tangannya padaku. Melihatku yang masih terpukau menatapnya membuatnya mengulangi kata-katnya lagi. “Angel aja. Panggil aku Angel, kamarku sebelah sana." Ia menunjuk salah satu pintu yang tak jauh dari kamarku.

Aku mengangguk. "Salam kenal, Angel."

Gadis itu mengangguk. Lalu, ia melenggang meninggalkanku menikmati senja pertama di ibu kota.

"Mey..." Dini menepuk bahuku. Menyadarkanku dari lamunan kala pertemuan pertamaku dengan Angel. "Kamu yang kuat ya, Mey. Kita doa bersama untuk Angel."

Aku mengangguk. Kupejamkan mata sambil merapalkan doa sebisaku. 

Setelah berdoa, aku menoleh ke arah Dini. "Apa Tuhan akan menerima taubatku?" Lirihku.

"Tuhan itu Maha Pengampun, Mey. Mohonlah ampun pada-Nya dengan sungguh-sungguh." Dini mengusap tanganku pelan. Menepis gelombang negatif yang mengombang-ambingkan hatiku. Aku bersyukur masih bisa mengenal Dini.

"Izinkan aku bersimpuh di bawah telapak kaki Ambu," pintaku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Alana4444
pake POV 1 ya? Seriusan keren. lanjut thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status