Sejak malam sial itu, insomniaku semakin menggila. Aku tidak bisa tidur nyenyak, setelah ayah bertengkar hebat dengan ibu. Di satu sisi, keluargaku sudah tidak punya uang, untuk membayar hutang bulanan. Sementara itu, menerima perjodohan adalah jalan menyakitkan, yang mau tak mau sepertinya harus kutempuh.
Jujur, hatiku sebenarnya masih berharap kamu kembali. Aku tidak ingin membangun mimpi dengan orang baru. Ketika keluargaku membutuhkan banyak uang, kala itulah, ia datang dengan segudang kekayaan. Siapa yang tidak tergiur dengan harta melimpah? Semua orang butuh uang, bukan?"Bu, Keyra izin keluar sebentar, ya?" ucapku meminta pada wanita paruh baya, yang sibuk mencuci piring, di wastafel."Jangan lama-lama, ya, Nak!? Di luar sana banyak orang asing, Ibu takut kamu kenapa-kenapa," seru ibu tanpa menoleh ke arahku.Aku berdandan rapi. Rambut cokelat panjang, kugerai ke belakang. Di ujung rambutku dibuat gelombang bak ombak kecil, di tepian pantai. Pagi itu, sengaja tak kupakai make up, karena terlihat natural sepertinya lebih baik. Lagi pula, aku tidak pandai berhias layaknya seorang cewek feminim.Mengenakan hoddie putih, serta rok hitam pendek selutut adalah style favoritku. Dulu, aku sering mengirim foto kawai (lucu) padamu. Entah mengapa, setiap aktivitas yang kulakukan, seakan selalu mengingatkanku padamu. Bolehkah aku meminta pada semesta, untuk mengembalikan kisah kita?Jalanan asri pedesaan tiada bandingnya dengan suasana perkotaan. Aku merindukan kota yang mempunyai keindahan Sungai Musinya. Ingin kuajak kamu suatu hari nanti ke sana. Entah untuk sekedar berkeliling atau jalan-jalan sambil menikmati senja.Jarak yang ditempuh agar bisa ke apotik hanya setengah jam perjalanan. Aku menunggu ojek yang biasanya lewat, di depan rumah. Kediaman Keluarga Lilac berada di dekat tugu perbatasan provinsi, serta di depan jalan raya. Tempat tinggal kami sangat strategis, karena sering dijadikan jalan utama oleh para supir.Aku menapakkan kaki seraya merapikan poni yang berantakan. Kulihat beberapa dari orang-orang di depan sana. Mereka tampak membantu satu sama lain. Terlihat cukup sederhana. Mengangkat galon saja butuh dua orang? Ya, namanya desa. Di sana, sikap gotong royong adalah cerminan khas.Setelah menunggu lama, akhirnya aku mendapatkan tumpangan. Pak Rudi—tukang ojek berkumis tipis, adalah orang yang sangat baik. Dia ramah dengan para penumpang. Karena kebaikannya, orderannya tak pernah sepi. Aku memakai helm, lalu duduk menyamping.Perjalanan pun di mulai. Pak Rudi bercerita tentang Zahra—anak gadisnya yang berusia sembilan belas tahun. Aku menyimak. Beliau bilang, Zahra akan mengambil jurusan kedokteran. Aku menahan panasnya bola mata, yang ingin menurunkan tetesan hujan. Sakit rasanya, mendengar betapa beruntungnya orang lain."Eh, Neng Keyra, kenapa? Kok murung begitu?" Pak Rudi memperlambat laju kendaraannya. Dia mungkin melihat perubahan raut wajahku, dari kaca spion motor."Gapapa kok, Pak. Selamat ya, bilangin ke Dek Zahra. Saya bangga dengannya. Hehehe." Aku mencoba untuk berbicara seperti biasanya. Sesak di dada, membuat nada bicaraku mengecil.Di tengah perjalanan, sebuah sedan putih tampak menghalangi jalan raya. Pak Rudi menghentikan laju motornya. Lamunanku seketika membuyar."Kenapa, Pak?""Keknya di situ ada yang kecelakaan, deh, Neng. Kita turun dulu untuk mastiin, Neng.""Iya, Pak."Aku turun dari motor, lalu mengikuti langkah Pak Rudi. Kami berdua menuju sedan yang terlihat mengeluarkan asap tebal itu. Kebetulan, jalanan di sana sepi."Dean?" Buru-buru kututup mulut, tatkala tatapan tajam itu mengarah padaku.Di depan kami, Dean Argantara—Pemilik Perusahaan Arzo Group, telah menghajar dua pria berpakaian formal. Mereka berlumuran darah di dahi. Mulut keduanya mengeluarkan cairan merah kental. Pria yang datang malam-malam ke rumahku kala hujan rintik itu meringas. Kenapa? Kenapa dia melakukan kekerasan?Orang tuaku salah memilih orang. Kupikir, Dean adalah pria baik-baik. Namun, ternyata penampilan tidak selamanya mencerminkan kepribadian hati. Aku salah besar sudah menganggapnya sebagai pengganti darimu, Elgin. Menyembunyikan diri dari tingkah laku buruk, bukanlah cerminan dari pria sejati."Keyra, ngapain kamu di sini? Kamu jalan sama bapak-bapak, ya? " Dean mendekatiku. Kedua tangannya tampak mengepal erat."Eh, maaf, Den. Ini saya ...."Bug!Belum selesai Pak Rudi menjelaskan semuanya, pukulan Dean telah menghantam pipi kanan lelaki tua itu. Aku menjerit, ketakutan menjalar di seluruh arus nadi. Kucoba menghalangi serangan selanjutnya, tetapi tenaga Dean lebih kuat. Dia mendorongku kasar sambil memaki-maki, seakan aku adalah wanita yang mudah berselingkuh.Siang itu, kejadian yang tak terduga, membuat sifatku berubah seratus persen dengan Dean. Kupikir, tidak ada orang sebaik kamu lagi di dunia ini. Lelaki itu seakan selalu bisa menyembunyikan sifat asli, untuk menarik hati dari sang wanita terkasih.Hari demi hari berjalan cepat. Pada tanggal sebelas Juli, tepatnya di hari anniversary kita, kabar buruk kembali datang.Sore itu, ibuku ditemukan pingsan di kamar mandi. Kami sekeluarga panik bukan kepalang. Adikku yang bungsu—Sifa, menangis tiada henti.Karena keadaan yang mendesak, aku terpaksa meminta bantuan pada Dean. Ayah sedang tidak bekerja, makanya aku nekat mempermalukan diri sendiri, hanya untuk mendapatkan biaya rumah sakit ibu.Perjodohan dengan Dean kutolak, karena peristiwa di jalan raya, beberapa Minggu sebelumnya. Sungguh bodoh rasanya, menjadi tidak berdaya untuk melawan takdir. Nyatanya, sejauh apa pun aku pergi, semesta selalu punya cara untuk memberinya jalan di hatiku. Itu semua bukan keinginanku, Elgin.Di rumah mewah dengan tiga tingkat ruangan itu, aku mengucapkan maaf terpaksa padanya. Hanya karena salah paham, Dean menjadi seenaknya memperlakukanku. Kejadian sebelumnya, kurasa Dean masih menaruh dendam karena itu.Terlalu posesif, cemburuan, dan sangat mengekang. Tentu, aku tidak suka tipikal cowok seperti dia."Ngapain kamu ke sini? Kamu bilang, kamu nggak mau lagi liat muka saya, kan? Kok malah datang sendiri?" hardik Dean. Tak lupa, dia terkekeh penuh makna ejekan."Aku mohon, Dean. Ibuku sedang sakit. Kami sangat membutuhkan bantuan finansial dari kamu. Aku bakal lakuin apa aja, asal kamu mau kasih kami uang," kataku seraya menyatukan telapak tangan. Mengemis pun tak apa, asalkan ibu sembuh, pikirku saat itu.Kulirik manik hitam pekat milik Dean. Pria dengan potongan rambut bowl cut itu menyilangkan kakinya, menatapku sekilas. Kemudian, menepuk tangannya perlahan. Dua pelayan wanita mendekat dengan senyuman di wajah. Mereka menganggukkan kepalanya, ketika Dean membisikkan sesuatu.Aku yang duduk bersimpuh di lantai hanya memandangi dengan keheranan. Perubahan raut wajah Dean memberikan sensasi tidak nyaman. Aku merasa sesuatu yang lebih buruk akan terjadi. Namun, buru-buru kutepis overthinking yang tidak ada gunanya itu."Baiklah, aku akan memaafkanmu, Cantik.""Benarkah? Ma makasih, Dean." Aku bangkit. Kemudian, berdiri dengan senyuman tipis. "Jadi, kamu mau membantu biaya rawat inap ibuku, kan?""Eits! Nggak semudah itu, dong! Hahahah," tawanya jahat. Dean menyeringai. Matanya tampak memperhatikanku dari atas kepala hingga bawah kaki.Tubuhku gemetar. Aku dilanda ketakutan. Pria itu sangat menjengkelkan. Emosiku terkuras habis untuk berpura-pura menahan diri."Kenapa keringatan kayak gitu, Keyra? Ditatap saja sudah deg-degan, ya? Bagaimana jika kita sudah menikah nanti? Kurasa, kamu bakalan pingsan," ejek Dean. Suara berdamage yang keluar dari mulutnya, membuat pipiku rasanya memerah bak stroberi matang."Lupakan saja! Aku tidak mau berbasa-basi lagi." Aku mengalihkan topik. Kuharap, dia tidak membahas tentang hal itu lagi."Baik, baik. Aku mau kok bantuin kamu, dan calon ibu mertuaku. Tapi, tentu pasti ada syaratnya. Kalau kamu setuju, aku kasih berapa pun yang kamu mau," tawarnya seraya menyilangkan tangan."Apa-apaan!" Aku naik pitam. Dikasih hati malah menginginkan jantung. Sungguh, dia benar-benar pria berpenampilan malaikat, tetapi berhati iblis."Kalau kamu nggak mau ya udah. Tadi kamu bilang, kamu mau melakukan apa aja buat ibumu. Kenapa sekarang marah? Yang butuh uang sebenarnya siapa, sih? Aku atau kamu?"Dengan terpaksa, aku pun menimpal, "Baiklah, apa yang harus kulakukan?"Nomor WhatsAppku telah diblokir oleh Kak Irene. Entah apa alasannya. Pesan terakhirnya begitu menyayat hati kecilku. Apakah hubungan kita sebenarnya tidak direstui keluargamu, Elgin? Di sana, kakakmu menuliskan,"Lupakan dia. Akan jauh lebih baik, kalau kamu sama Elgin nggak sama-sama. Mamah setuju banget sama Rossa. Kakak rasa, El bakal nikah sama Si Rossa. Bukannya kenapa, Dek. Kakak juga nggak mau kamu tersiksa lagi ke depannya. Menikahlah dengan pria lain, yang jelas bukan adikku."Sebenarnya, kamu bener-benar menginginkan atau hanya mempermainkan? Jangan membohongi hati yang tulus, Elgin! Aku tidak suka permainan, dan membenci setiap kalimat palsu. Tidak usah berucap janji, jika hanya ada kehampaan setelahnya. Hubungan kita bukan sehari atau dua hari. Lama. Aku menghabiskan banyak waktu, untuk menjadi satu-satunya di hatimu.Aku sepertinya memang harus melupakan semuanya. Menjalani hidup tanpa senyuman lagi, mungkin sudah takdirku begitu. Usahaku mencari uang untuk tiket pesawat
Gaun putih berkilau yang sangat indah kukenakan dengan wajah murung. Desainnya terlihat rapi, tidak cacat sedikit pun. Aku tampak sangat cantik, di pantulan bayangan cermin. Beda sekali rasanya, ketika seorang desainer merancangkan sebuah gaun pernikahan untuk orang kaya. Telingaku memanas, dan sudah muak dengan pujian dari Nyonya Mira—desainer terkenal khusus bagian pakaian pernikahan."Neng, calon suamimu itu gantengnya kelewatan, tahu! Harusnya kamu ngerasa beruntung, karena udah bisa dapetin hatinya Si Dean. Jarang-jarang loh, ada orang kaya yang mau sama orang berada." Di balik pujiannya, wanita pirang itu memberikan ejekan yang begitu menyakitkan. Tajamnya lisannya, berhasil mencabik-cabik kalbuku. Karena kelelahan, aku memutuskan untuk duduk sebentar, di kursi yang telah disediakan. Aku menopang dagu sambil membuka ponsel. Tidak ada notifikasi favorit lagi, yang menghiasi layar depan. Tanpa keberadaanmu, aku merasakan sepi yang paling tidak nyaman. Kubiarkan saja Nyonya Mira
Aku tidak diperbolehkan naik ojek lagi oleh Ganta. Si Posesif itu melarang banyak hal, dan membatasi ruang gerakku untuk bebas. Seorang supir dan seorang wanita muda telah menunggu, di depan teras rumahku. Aku bersiap pagi-pagi sekali untuk melakukan perjalanan, dari Desa Simpang ke Kota Martapura.Bu Ningsih–tetanggaku yang suka ikut campur urusan orang, sedang menyapu halaman depan rumahnya. Dia memperhatikan pergerakanku layaknya seorang spy profesional. Aku risih dilihat-lihat olehnya. Wanita pirang berdaster itu memberikanku senyuman palsu. Karena tidak enak jika tak membalas, aku pun tersenyum balik padanya. Ya, tentu saja, senyum terpaksa pula."Buk, nanti matanya jatoh, loh!" seruku sambil menahan tawa. Niat untuk membuatnya berhenti melototiku, aku malah kena apesnya."Mentang-mentang jadi sama orang kaya, udah belagu aja tingkahnya, ya, Jeng?" Bu Ningsih menyenggol bahu Bu Rahma, yang baru datang mengunjungi rumahnya. Mereka berdua memang sering menunggu tukang sayur lewat
Beberapa hari belakangan, Ganta semakin disibukkan dengan urusan internal perusahaannya. Aku merasa sedikit lega, lantaran dia tidak terus berkunjung ke rumah. Aku risih. Ternyata ada lelaki yang nekad menempuh jarak satu jam, hanya untuk menemui sang kekasih. Terlihat sederhana, tetapi menurutku itu berlebihan, karena dalam sehari, Ganta bisa datang bolak-balik sebanyak tiga kali–pagi, siang, dan malam. Rumah Ganta ada di Kota Martapura. Sedangkan, tempat tinggalku ada di Desa Simpang Tiga.Berita tentang pernikahan kami sudah tersebar ke mana-mana. Tetangga sebelah rumah heboh, karena aku mendapatkan calon suami yang kaya-raya. Mereka mungkin berasumsi, aku menggunakan ilmu pelet untuk menggaet seorang Ganta. Padahal dalam kenyataannya, aku sendiri saja tidak tahu, dari mana dia mengenalku. Seingatku, dia bersama ayahnya–Tuan Ergar, tiba-tiba datang ke rumah, dan melamar di malam hujan rintik itu. Saat rembulan tertutup awan hitam, aku baru selesai mencuci piring-piring kotor. Seba
"A aku di mana?" tanyaku sambil memijat dahi, yang masih terasa sedikit nyeri. Pandangan kuarahkan ke sekitar, hanya terlihat dinding putih, dan juga langit-langit yang mempunyai warna yang sama. Mataku perlahan fokus pada seseorang, yang menatapku dengan sorot khawatir."Anda sedang berada di rumah sakit, Nona," jawab Selly yang duduk di samping kananku."Apa yang telah terjadi padaku?" Aku mencoba bangkit, tetapi tubuhku masih terasa lemah. Otomatis, aku pun tak bisa berbuat apa apa. Hanya bisa berbaring.Ganta mengatakan kejujuran yang begitu pahit, "Aku nggak sengaja mendorongmu hingga mengenai kayu, di ujung sofa."Pantas saja, jika aku ada di rumah sakit, ternyata pria itu yang menjadi alasannya. Tak pernah kusangka, dia akan bermain tangan, dan berlaku kasar layaknya ayahku. Kupikir, dia sangat berbeda denganmu, Elgin. Namun nyatanya, lelaki di dunia ini sama saja. Jika ada yang bilang berbeda, mungkin ia hanya beda dalam cara menyakiti.Aku tidak lagi menjawab, ataupun bertany
"Aku udah bilang, aku nggak mau foto pegangan tangan sama kamu, Ganta!" bentakku dengan tatapan tajam.Ganta menghalangi pintu keluar. Kedua tangannya direntangkan ke samping. "Kenapa, Ra? Cuma gegara masalah Liora, kamu jadi kayak gini? Aku udah minta maaf sama kamu tapi kamu masih aja gini. Maunya kamu itu apa, sih?" tanyanya kemudian."Nggak usah cinta sama aku, kalau kamu cuma sekedar obsesi. Aku nggak bisa kasih hati sama pria yang salah lagi. Minggir!" Aku menabrak tangan kanannya. Kulewati pria berpakaian toxedo itu. Tak kuhiraukan orang-orang yang berlalu lalang."Keyra, tunggu dulu!" Suara di belakang sana memanggil-manggil namaku."Jangan menoleh ke belakang lagi, setelah luka berat yang kamu alami, Ra!" batinku kuat. Aku menapakkan kaki jenjangku menuju ke arah ruang ganti. Kemudian, berlari dengan cepat, menyusuri lorong sepi.Aku benci dengan pria yang memperlakukan wanitanya dengan baik. Namun ternyata, karena beralasan ia mirip dengan masa lalunya. Hati wanita mana yang
Perjalanan pulang ke kampung memakan waktu sekitar kurang lebih enam jam. Itu pun jika tidak ditambah dengan istirahat yang lama. Kebiasaan buruk Ganta adalah berlama-lama, di suatu tempat yang menurutnya indah. Mobil miliknya terjebak macet di jalanan. Jalanan di kota besar terhambat, karena arus mudik yang ramai.Kue kering buatan ibu sudah kuhabiskan sendiri. Kami tidak bertegur sapa selama dua jam. Aku mulai merasa tidak enakan dengannya. Karena gengsi menegur duluan, aku pun memilih untuk bermain gawai. Sesekali kulirik pria yang mengenakan jaket denim di sebelahku. Masih sama. Ganta terlihat dingin, siang itu.Notifikasi WhatsApp yang kusenyapkan, menampilkan dua pesan dari nomor ibu. Aku membukanya dengan cepat, takut terjadi apa-apa. Benar saja, itu bukan ibu yang menulis tapi Dek Wita."Kak Keyra, maag ibu kambuh lagi. Kami belum bayar uang sekolah. Ayah nggak pulang dari tadi." Satu pesan saja sudah hampir membunuhku. Aku tidak kuat menahan diri, untuk tidak menumpahkan ben
Rembulan di atas sana bulat seperti bola. Suasana malam di perkotaan terdengar ramai, dengan suara bising kendaraan yang melintas. Aku benar-benar mengantuk, dan tidak kuat lagi menopang tubuh, di sandaran kursi mobil. Jalan-jalan yang menghabiskan banyak energi, menyebabkan tubuhku lelah.Aku menyarankan dengan mata telah terpejam, "El, kita istirahat dulu, ya? Cari penginapan kek." "Lah, El siapa? Aku Ganta. Hei, El itu siapa!?" Ganta menaikkan volume suaranya. Sontak mataku pun membuka sepenuhnya.Tanpa sengaja, aku memanggil namamu, ketika sedang bersama dengan Ganta. Bagai menemui jalan buntu, aku benar-benar sangat menyesal. Lisanku tidak bisa dikontrol, tatkala aku sedang mengantuk berat. Sialnya, aku malah mengucapkan namamu dengan jelas di depannya."Oh, Si El itu ... dia itu cuma temen," ucapku berbohong. Kusembunyikan wajah panik, di balik hoddie tebal yang kukenakan. Menatap wajah bengis itu adalah trauma kedua, setelah kepergianmu, Elgin."Dalam hubungan itu yang terpent