Nomor WhatsAppku telah diblokir oleh Kak Irene. Entah apa alasannya. Pesan terakhirnya begitu menyayat hati kecilku. Apakah hubungan kita sebenarnya tidak direstui keluargamu, Elgin? Di sana, kakakmu menuliskan,
"Lupakan dia. Akan jauh lebih baik, kalau kamu sama Elgin nggak sama-sama. Mamah setuju banget sama Rossa. Kakak rasa, El bakal nikah sama Si Rossa. Bukannya kenapa, Dek. Kakak juga nggak mau kamu tersiksa lagi ke depannya. Menikahlah dengan pria lain, yang jelas bukan adikku."Sebenarnya, kamu bener-benar menginginkan atau hanya mempermainkan? Jangan membohongi hati yang tulus, Elgin! Aku tidak suka permainan, dan membenci setiap kalimat palsu.Tidak usah berucap janji, jika hanya ada kehampaan setelahnya. Hubungan kita bukan sehari atau dua hari. Lama. Aku menghabiskan banyak waktu, untuk menjadi satu-satunya di hatimu.Aku sepertinya memang harus melupakan semuanya. Menjalani hidup tanpa senyuman lagi, mungkin sudah takdirku begitu. Usahaku mencari uang untuk tiket pesawat ke Kalteng, kukubur sementara waktu. Aku didesak oleh pilihan dari orang tuaku. Meski, aku tidak mencintai Dean tapi harus kulakukan.Migrainku kambuh. Mood menulisku menghilang, sejak beberapa hari belakangan. Seminggu setelah kepulangan ibu dari rumah sakit, aku tidak pernah tenang. Bukannya membaik, hubungan keluargaku semakin kacau. Batinku ingin berbagi cerita.Akan tetapi, aku tidak mempunyai siapa-siapa. Adikku masih terlalu muda untuk mengerti apa itu artinya luka. Yang dia tahu mungkin hanya bermain, dan menghabiskan waktu dengan bersantai."Kamu nggak kerja, Mas! Kamu pikir uang seratus ribu cukup?" Ibu yang baru sembuh dari sakitnya berucap dengan nada lirih.Aku kasihan, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Sebagai seorang anak, aku hanya bisa pasrah. Pernah trauma di masa lalu, membuatku takut untuk mendekati dua orang yang sedang bertengkar hebat."Kamu pikir aku kerja enak apa? Aku cuma kuli bangunan, Bu! Kamu ngertiinlah suami kamu! Masa uang seratus ribu nggak cukup buat seminggu?" Ayah berlalu pergi, meninggalkan ibu seorang diri, di ruang tengah.Aku dan kedua adikku menghampiri malaikat tanpa sayap itu. Air matanya yang berlinang membasahi pipi, menjadikanku dendam pada sosok ayah. Kudekap tubuhnya dengan hangat, sambil mengelus pelan punggung ibu.Yang kulakukan memang tidak ada apa-apanya. Setidaknya, aku berusaha untuk selalu ada. Aku tahu, ibu mungkin mempertahankan pernikahan, karena sayang dengan kami."Keyra, Ibu mau ngomong sebentar bisa?" Ibu melepaskan dekapanku. Sorot mata sayu itu memandang lemah. Tangan yang mulai mengeriput memegang erat jemari mungilku."Dek Wita, ajak Sifa main hp ke kamar dulu, ya?!" Aku merogoh saku celana kanan, lalu mengambil benda pipih di dalam sana. Setelahnya, kuberikan ponselku pada Sifa.Adikku hanya mengangguk. Dia mungkin mengerti, betapa sakitnya perasaan ibu. Tidak lama kemudian, mereka berdua menghilang dari balik pintu."Kenapa, Bu? Kita duduk di sofa dulu. Di sini dingin, nanti ibu sakit." Aku mengajak wanita paruh baya itu berdiri. Tanganku menopang tubuhnya."Keyra, usiamu, kan, sudah genap dua puluh satu tahun. Ibu pengen banget kamu cari kebahagiaan. Kalau kamu terus-menerus di rumah ini, ibu takut mental kamu bakalan keganggu.""Ta tapi, Bu ....""Menikahlah dengan Dean. Ibu yakin, dia pria yang baik buat kamu, Keyra. Entah kenapa, ibu ngerasa, nyawa ibu udah nggak lama lagi," ibu berkata yang tidak-tidak.Sontak aku pun menutup mulut ibu, dengan telapak tangan. Mataku berkaca-kaca. Tangisan deras pun membasahi pipiku. "Ibu nggak boleh ngomong kayak gitu. Kalau ibu ninggalin kami, siapa yang bakalan sayang dengan kami lagi?"Kami berpelukan erat. Aku tidak ingin menyangkal pernyataan bahwa, seorang ibu pasti mempunyai insting baik, ketika bertemu dengan calon menantu yang baik pula. Namun, kenapa di luar sana, ada yang menikah tapi tidak bahagia? Padahal, pasangannya merupakan pilihan dari orang tuanya? Kenapa? Apa yang salah?Aku menatap nanar pada cincin perak di jari manisku. Aku teringat akan tawaran Dean yang telah disepakati. Bagaimana pun, mau tak mau, aku harus menepati janji. Mungkin membalas budi dengan cara itu adalah opsi terakhir.*(Flashback)"Apa yang harus kulakukan?" timpalku.Dean—pria tampan di depanku, memberikan sebuah cincin perak polos. Dia memasangkan cincin itu di jari manisku. Matanya fokus memandangi jemari lentik milikku, seakan sedang teringat sesuatu. "Menikahlah denganku, Keyra. Aku ingin menjadi lebih baik, dan ....""Dan? Dan apa?" Aku penasaran dengan kalimat selanjutnya. Namun, pria itu justru menjawab dengan sebuah gelengan. Pertanda tidak ingin melanjutkan perkataannya.Saat itu, pilihan berat menjerat hatiku. Andai saja kamu ada di sana, kamu pasti akan mengerti keadaanku, Elgin. Dean adalah visualisasi lelaki sempurna. Tidak, apa yang pernah kamu dengar soal, wanita akan lebih memilih yang lebih baik adalah salah. Menurutku, kamulah yang terbaik dengan versi kamu sendiri. Kisah kita tidak bisa dikalahkan hanya karena kedatangan Dean.Aku berharap takdir masih bisa diubah. Aku masih ingin mewujudkan masa depan dengan kamu. Ingatkah kamu tentang janji kita? Ya, kamu bilang mau mengajakku pergi ke Kalsel, untuk melihat pasar terapung, kan? Atau, mendatangi makan ayahmu di desa? Bagaimana dengan janji itu? Apa kabar dengan semua bullshit yang pada akhirnya menggores luka?Terlepas dari siapa yang salah. Aku sendiri tidak tahu. Kamu yang lebih dulu pergi. Lantas, kenapa ketika aku ingin mengkhianati malah tidak bisa? Sesusah itu ya, hati perempuan melupakan seorang lelaki yang benar-benar ia cintai? Andai dulu, aku tidak menaruh hati pada orang yang salah."Kamu ngelamunin apa, Ra? Kepincut kegantenganku, ya? Huh, sudah kuduga!" Dean menyentuh pipi kiriku. Sontak, aku memundurkan langkah. Tangan kanannya menahanku, agar tidak jatuh dari lantai yang licin. Memperhatikan wajah rupawannya dari jarak yang dekat, membuat hatiku berdebar kencang. Perasaan aneh timbul secara tiba-tiba."Nggak papa kok, Dean. Ma makasih, ya?" Gugup rasanya, ketika memandang kesempurnaan pria itu. Sudah kaya-raya, romantis, dan ganteng lagi. Wanita mana yang tidak menyukainya? Huh! Aku sangat merasa bersalah, karena dekat dengan pria lain selain kamu.Dean menggandeng tanganku, mengarahkan menuju pintu. Kami menuju ke luar rumah megah, dengan lampu gantung berbentuk kristal di atasnya.Pekarangan kediaman Keluarga Argantara memang patut diberi bintang seratus dari per sepuluh. Kemegahan dunia serasa nyata, tatkala aku ke sana.Sedan hitam yang selaras dengan rambut, celana, dan sepatu mahal Dean, dibuka oleh seorang supir kekar. Dua orang bodyguard membungkuk hormat, kepada tuan muda pewaris Perusahaan Arzo itu."Naiklah, Nona Keyra." Dean mempersilahkanku untuk masuk lebih dulu."Eum, baiklah. Terima kasih."Perubahan sifatnya yang kadang penuh amarah, dan kadang sangat manis membuatku bingung. Dean adalah lelaki yang tak terduga. Sebenarnya, dia itu berkepribadian ganda, atau memang hanya terbawa suasana saja? Yang jelas, hipotesis pertamaku menyimpulkan bahwa, dia adalah lelaki yang terlalu protektif, serta posesif pada pasangannya; miliknya.Saat duduk di bangku depan–samping kemudi, aku tersipu malu, lantaran sabuk pengamanku dipasangkan oleh Dean. Dia membantuku sambil mencuri-curi pandang.Kenapa rasanya aku mulai jatuh cinta? Ke mana cintaku yang setia padamu, Elgin? Apakah semuanya akan berakhir dengan orang baru yang masuk ke hidupku?Gaun putih berkilau yang sangat indah kukenakan dengan wajah murung. Desainnya terlihat rapi, tidak cacat sedikit pun. Aku tampak sangat cantik, di pantulan bayangan cermin. Beda sekali rasanya, ketika seorang desainer merancangkan sebuah gaun pernikahan untuk orang kaya. Telingaku memanas, dan sudah muak dengan pujian dari Nyonya Mira—desainer terkenal khusus bagian pakaian pernikahan."Neng, calon suamimu itu gantengnya kelewatan, tahu! Harusnya kamu ngerasa beruntung, karena udah bisa dapetin hatinya Si Dean. Jarang-jarang loh, ada orang kaya yang mau sama orang berada." Di balik pujiannya, wanita pirang itu memberikan ejekan yang begitu menyakitkan. Tajamnya lisannya, berhasil mencabik-cabik kalbuku. Karena kelelahan, aku memutuskan untuk duduk sebentar, di kursi yang telah disediakan. Aku menopang dagu sambil membuka ponsel. Tidak ada notifikasi favorit lagi, yang menghiasi layar depan. Tanpa keberadaanmu, aku merasakan sepi yang paling tidak nyaman. Kubiarkan saja Nyonya Mira
Aku tidak diperbolehkan naik ojek lagi oleh Ganta. Si Posesif itu melarang banyak hal, dan membatasi ruang gerakku untuk bebas. Seorang supir dan seorang wanita muda telah menunggu, di depan teras rumahku. Aku bersiap pagi-pagi sekali untuk melakukan perjalanan, dari Desa Simpang ke Kota Martapura.Bu Ningsih–tetanggaku yang suka ikut campur urusan orang, sedang menyapu halaman depan rumahnya. Dia memperhatikan pergerakanku layaknya seorang spy profesional. Aku risih dilihat-lihat olehnya. Wanita pirang berdaster itu memberikanku senyuman palsu. Karena tidak enak jika tak membalas, aku pun tersenyum balik padanya. Ya, tentu saja, senyum terpaksa pula."Buk, nanti matanya jatoh, loh!" seruku sambil menahan tawa. Niat untuk membuatnya berhenti melototiku, aku malah kena apesnya."Mentang-mentang jadi sama orang kaya, udah belagu aja tingkahnya, ya, Jeng?" Bu Ningsih menyenggol bahu Bu Rahma, yang baru datang mengunjungi rumahnya. Mereka berdua memang sering menunggu tukang sayur lewat
Beberapa hari belakangan, Ganta semakin disibukkan dengan urusan internal perusahaannya. Aku merasa sedikit lega, lantaran dia tidak terus berkunjung ke rumah. Aku risih. Ternyata ada lelaki yang nekad menempuh jarak satu jam, hanya untuk menemui sang kekasih. Terlihat sederhana, tetapi menurutku itu berlebihan, karena dalam sehari, Ganta bisa datang bolak-balik sebanyak tiga kali–pagi, siang, dan malam. Rumah Ganta ada di Kota Martapura. Sedangkan, tempat tinggalku ada di Desa Simpang Tiga.Berita tentang pernikahan kami sudah tersebar ke mana-mana. Tetangga sebelah rumah heboh, karena aku mendapatkan calon suami yang kaya-raya. Mereka mungkin berasumsi, aku menggunakan ilmu pelet untuk menggaet seorang Ganta. Padahal dalam kenyataannya, aku sendiri saja tidak tahu, dari mana dia mengenalku. Seingatku, dia bersama ayahnya–Tuan Ergar, tiba-tiba datang ke rumah, dan melamar di malam hujan rintik itu. Saat rembulan tertutup awan hitam, aku baru selesai mencuci piring-piring kotor. Seba
"A aku di mana?" tanyaku sambil memijat dahi, yang masih terasa sedikit nyeri. Pandangan kuarahkan ke sekitar, hanya terlihat dinding putih, dan juga langit-langit yang mempunyai warna yang sama. Mataku perlahan fokus pada seseorang, yang menatapku dengan sorot khawatir."Anda sedang berada di rumah sakit, Nona," jawab Selly yang duduk di samping kananku."Apa yang telah terjadi padaku?" Aku mencoba bangkit, tetapi tubuhku masih terasa lemah. Otomatis, aku pun tak bisa berbuat apa apa. Hanya bisa berbaring.Ganta mengatakan kejujuran yang begitu pahit, "Aku nggak sengaja mendorongmu hingga mengenai kayu, di ujung sofa."Pantas saja, jika aku ada di rumah sakit, ternyata pria itu yang menjadi alasannya. Tak pernah kusangka, dia akan bermain tangan, dan berlaku kasar layaknya ayahku. Kupikir, dia sangat berbeda denganmu, Elgin. Namun nyatanya, lelaki di dunia ini sama saja. Jika ada yang bilang berbeda, mungkin ia hanya beda dalam cara menyakiti.Aku tidak lagi menjawab, ataupun bertany
"Aku udah bilang, aku nggak mau foto pegangan tangan sama kamu, Ganta!" bentakku dengan tatapan tajam.Ganta menghalangi pintu keluar. Kedua tangannya direntangkan ke samping. "Kenapa, Ra? Cuma gegara masalah Liora, kamu jadi kayak gini? Aku udah minta maaf sama kamu tapi kamu masih aja gini. Maunya kamu itu apa, sih?" tanyanya kemudian."Nggak usah cinta sama aku, kalau kamu cuma sekedar obsesi. Aku nggak bisa kasih hati sama pria yang salah lagi. Minggir!" Aku menabrak tangan kanannya. Kulewati pria berpakaian toxedo itu. Tak kuhiraukan orang-orang yang berlalu lalang."Keyra, tunggu dulu!" Suara di belakang sana memanggil-manggil namaku."Jangan menoleh ke belakang lagi, setelah luka berat yang kamu alami, Ra!" batinku kuat. Aku menapakkan kaki jenjangku menuju ke arah ruang ganti. Kemudian, berlari dengan cepat, menyusuri lorong sepi.Aku benci dengan pria yang memperlakukan wanitanya dengan baik. Namun ternyata, karena beralasan ia mirip dengan masa lalunya. Hati wanita mana yang
Perjalanan pulang ke kampung memakan waktu sekitar kurang lebih enam jam. Itu pun jika tidak ditambah dengan istirahat yang lama. Kebiasaan buruk Ganta adalah berlama-lama, di suatu tempat yang menurutnya indah. Mobil miliknya terjebak macet di jalanan. Jalanan di kota besar terhambat, karena arus mudik yang ramai.Kue kering buatan ibu sudah kuhabiskan sendiri. Kami tidak bertegur sapa selama dua jam. Aku mulai merasa tidak enakan dengannya. Karena gengsi menegur duluan, aku pun memilih untuk bermain gawai. Sesekali kulirik pria yang mengenakan jaket denim di sebelahku. Masih sama. Ganta terlihat dingin, siang itu.Notifikasi WhatsApp yang kusenyapkan, menampilkan dua pesan dari nomor ibu. Aku membukanya dengan cepat, takut terjadi apa-apa. Benar saja, itu bukan ibu yang menulis tapi Dek Wita."Kak Keyra, maag ibu kambuh lagi. Kami belum bayar uang sekolah. Ayah nggak pulang dari tadi." Satu pesan saja sudah hampir membunuhku. Aku tidak kuat menahan diri, untuk tidak menumpahkan ben
Rembulan di atas sana bulat seperti bola. Suasana malam di perkotaan terdengar ramai, dengan suara bising kendaraan yang melintas. Aku benar-benar mengantuk, dan tidak kuat lagi menopang tubuh, di sandaran kursi mobil. Jalan-jalan yang menghabiskan banyak energi, menyebabkan tubuhku lelah.Aku menyarankan dengan mata telah terpejam, "El, kita istirahat dulu, ya? Cari penginapan kek." "Lah, El siapa? Aku Ganta. Hei, El itu siapa!?" Ganta menaikkan volume suaranya. Sontak mataku pun membuka sepenuhnya.Tanpa sengaja, aku memanggil namamu, ketika sedang bersama dengan Ganta. Bagai menemui jalan buntu, aku benar-benar sangat menyesal. Lisanku tidak bisa dikontrol, tatkala aku sedang mengantuk berat. Sialnya, aku malah mengucapkan namamu dengan jelas di depannya."Oh, Si El itu ... dia itu cuma temen," ucapku berbohong. Kusembunyikan wajah panik, di balik hoddie tebal yang kukenakan. Menatap wajah bengis itu adalah trauma kedua, setelah kepergianmu, Elgin."Dalam hubungan itu yang terpent
Kami berada di Bandara Udara Sultan Mahmud Badaruddin II. Ruang waiting room tampak ramai oleh turis mancanegara. Jam di arloji kiriku menunjukkan pukul enam pagi."Kamu pasti sangat merindukannya, kan?" Ganta merangkul pinggangku. "Pergilah, sebelum aku berubah pikiran, Ra."Aku hanya diam saja. Pikiran buruk yang selintas berlalu di angan, nyatanya salah besar. Aku kira, Ganta akan melakukan hal yang tidak-tidak."Pesawatnya lepas landas tiga puluh menit lagi. Kalau kamu tetap di sini, kamu bakalan ketinggalan pesawat," pungkasnya kemudian.Aku menatapnya dengan tatapan sayu. "Pernikahan kita bagaimana? Kalau aku pergi, keluargaku nanti ...."Ganta meletakkan jari telunjuknya di depan bibir mungilku. "Sttt! Aku bakalan atur sisanya. Kamu bilang, ingin pergi menemui Elgin di Kalteng, kan? Ya, lakukanlah."Pria yang awalnya bertingkah laku bak iblis itu, menampilkan senyuman manis seperti malaikat penolong. Namun, aku bisa melihat ada guratan-guratan kesedihan, yang terpancar dari uki