Share

2. Damon the Demon

JANUARI, 18,

Suara decitan sepatu terdengar di sepanjang lorong, tak ada satu orang pun yang tidak menunduk saat melihat bayangannya mendekat.

Damon, dengan setelannya yang sudah kusut berjalan dengan gagah menuruni elevator dari lantai 30. Keningnya bertaut tidak santai, menandakan jam kerjanya yang sudah terlewat batas, meski begitu Damon tetap terlihat memesona.

Kaki jenjangnya saat melangkah, otot-ototnya yang masih menonjol meski sudah di lapisi setelan dan tentu saja wajahnya yang membuat segala pria di sekitar terlihat seperti butiran debu halus atau bersin tikus.

"Jadwal apa saja yang ku punya malam ini?"

Damon dengan mata tajamnya menatap satu per satu karyawan yang dia lewati, memastikan tiap tiap dari mereka membungkuk dengan derajat yang benar saat dia lewat.

"Pertemuan dengan model yang kita sponsori bernama Alisya, Tuan."

Vino, sekretaris pribadi Damon selama kurang lebih 6 tahun ini menjelaskan.

"Ah, jalang itu ya."

Damon memijat pangkal hidungnya, di luar sedang hujan deras, malam panas mungkin akan menghangatkan tubuhnya, tapi saat ini kepalanya benar-benar pening. Dia bisa saja berakhir mencekik wanita itu jika dia mengeluarkan satu atau dua kesalahan kata.

Damon mengangkat satu jari telunjuknya ke udara.

"Batalkan jadwal malam ini, aku hanya ingin tidur." Ucapnya sebelum berjalan ke arah pintu bertuliskan 'Parkir Eksklusif'.

Dan Vino mengangguk mengerti.

Benar, hanya dengan satu acungan telunjuk Damon bisa mendapatkan segalanya yang dia inginkan.

Baik uang atau perempuan.

o o o

Damon mengerang pelan, diluar sedang turun hujan bercampur petir dan dia masih terjebak di perjalanan karena macet.

Seandainya saja diizinkan, Damon pasti akan membeli seluruh jalan ini untuk menjadi miliknya sendiri.

"Seberapa lama lagi kita harus menunggu Vino?"

Vino melirik ke arah Tuannya dengan pandangan takut-takut, bingung jawaban apa yang harus dia lontarkan untuk tidak memicu turunnya mood milik Damon, karena menurut pengalamannya, bahkan jika tsunami terjadi dan dia ada di sana, maka Damon tak akan segan untuk mengutuk dan menyalahkan alam.

"Maaf saya kurang tahu, Tuan. Apa perlu saya pergi keluar untuk memeriksa?"

Benar, demi sang Tuan, basah kuyup saat langit sedang murka dan petir menggelegar pun akan Vino lakukan.

Damon memandang Vino dengan tidak puas, kakinya yang di silang dan kedua tangannya yang bersedekap di dada membuat penampilannya semakin mengintimidasi di mata Vino. Tuhan, selamatkan Vino, istrinya yang sedang hamil pasti sedang menunggu di rumah.

"Tidak perlu."

Vino menghela nafas lega, Damon pasti sudah terlalu lelah untuk memusingkan sesuatu.

Benar, Damon sudah sangat lelah, bekerja selama 48 jam non stop karena satu kesalahan dari anak buahnya adalah hal yang paling Damon benci di dunia ini. Sudah Damon ingatkan berkali-kali pada pihak HRD, cari orang-orang yang benar-benar kompeten, seandainya hukuman mati dilegalkan untuk orang kaya, pasti para HRD itu sudah mati karena dengan beraninya menerapkan Kolusi dan Nepotisme di perusahaannya.

"Vino, apa jadwal untuk besok?"

Damon mengedarkan pandangannya ke sekitar jalan, dirinya kedinginan, berharap ada bar di sekitar ruko yang sedang dia pandangi, setidaknya dia bisa menghangatkan tubuhnya dengan alkohol sebelum kembali saat macet sudah berlalu.

"Besok ada kunjungan pemeriksaan rutin cabang-cabang Gasendra, tuan."

Mendengarnya saja Damon sudah semakin pusing. Gasendra bukan hanya perusahaan yang bekerja diam di satu bidang, Kakeknya yang rakus dan serakah dengan tidak main-main mengambil alih segala bidang bisnis yang ada.

Mulai dari otomotif, property, makanan bahkan sampai entertainment dan masih banyak lagi. Mengunjungi seluruh cabang perusahaannya akan memakan waktu seharian, dan artinya dia harus bersiap untuk kelelahan.

Saat memikirkan tentang esok hari, hidung Damon tiba-tiba menghirup sebuah aroma yang manis dan hangat.

Sesuatu yang sangat jauh dari selera Damon karena baginya segala hal yang manis akan merusak image yang sudah susah payah dia bangun.

"Wangi apa itu Vino?"

Vino dengan ragu menengok ke kanan dan ke kiri. "Oh, mungkin wangi dari cafe di seberang sana, tuan."

Damon dengan penasaran melirik ke arah satu-satunya cafe yang terlihat masih buka, sebuah cafe dengan ukuran yang tidak terlalu besar, tapi terlihat hangat dan nyaman.

Hangat.

Damon paling tidak tahan dengan dingin, terutama dingin hujan. Dan berteduh di dalam tempat yang hangat terdengar sangat menggiurkan untuknya.

Apa lagi wangi makanan dari cafe tersebut bisa menembus kaca mobilnya, kalau memang sebaik itu, Damon bisa saja mengakusisi cafe beserta kokinya untuk menjadi bagian dari Gasendra Group.

"Putar setirnya, kita pergi ke sana."

Dan dengan ragu akan melawan undang undang lalu lintas Vino memutar mobil mereka menuju cafe tersebut, persetan dengan polisi, Vino lebih takut dengan bosnya!

"Selamat datang di Ethereal"

Vino dan Damon baru saja menapakan kaki mereka di dalam cafe, tidak ada satu orang pun di sini selain mereka, mungkin salah satu alasannya adalah karena ini sudah hampir tengah malam dan karena di luar sana sedang hujan deras.

Tapi bukan kekosongan cafe ini yang membuat Damon terdiam, melainkan waitress cantik yang sedang menyapa mereka dengan senyuman.

Damon merasa... gairah di dalam dirinya tiba-tiba meluap.

Bagi Vino, membayangkan Damon dengan sebuah coklat panas adalah hal yang tidak pantas untuk dilakukan.

Alkohol mahal ataupun kopi pekat adalah satu-satunya hal yang cocok untuk menemani meja sang Boss.

Tapi saat ini, Bossnya, seorang Damon Gasendra sedang mencicipi coklat panas buatan waitress yang saat ini sedang memeriksa kumpulan receipt, dengan satu kotak penuh eclaire 7 rasa yang disebut sebagai andalan cafe tersebut sebagai hiasan lain di meja mereka.

Dengan tatapan elangnya, Damon sesekali menatap wanita itu. Ada satu hal yang mengganjal pikirannya, wanita itu tidak mengenal Damon sama sekali.

Sebagai seorang businessman nomor satu di negeri ini saat ini, tentu saja wajah Damon kerap kali terpampang di cover majalah, bahkan pernah sekali dia diliput sebagai nominasi pria idaman wanita.

Jangankan kenal, wanita tersebut bahkan tidak terkejut melihat wajah rupawannya.

Ada sesuatu yang berdebar di diri Damon, sesuatu yang membuatnya merasa terbakar dan tidak sabaran.

KRIIING

"Selamat datang di Eth-"

PLAK

Vino tersentak kaget saat seorang wanita basah kuyup datang dan menghadiahi sang waitress dengan sebuah tamparan telak di pipi kanannya.

"Pelacur! Perebut Tunangan orang!" Sebuah serangan tidak bisa di elak, si penyerang dengan ganas menarik baju waitress tersebut dan menjatuhkan tubuhnya ke atas lantai, tangannya dengan gesit menjambak rambut di kepalanya dan beberapa kali berusaha mengantuknya ke lantai.

"Bisa-bisanya kau merebut tunanganku?! Pantas dia selalu memilih cafe ini sebagai tujuan kencan kita, ternyata kau yang telah menggodanya?!"

Waitress tersebut mengerang kesakitan saat lagi-lagi sebuah tarikan di rambutnya terasa, matanya memerah dan mulai berkaca-kaca, entah karena rasa perih atau rasa malu. Vino yang berada 5 meja jauh dari mereka membeku, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

Haruskah dia melerai mereka sendiri?

Haruskah dia panggil polisi?

Saat Vino termakan oleh pikirannya sendiri, Damon, dengan tampangnya yang sudah menggelap berdiri dari kursinya, dengan kaki jenjangnya berjalan ke arah dua wanita yang sedang bergumul itu. Ingin sekali Damon merobek mulut si jalang yang berani-beraninya datang dan membuat kerusuhan.

Namun belum sempat Damon menghampiri mereka, sesuatu yang menarik terjadi.

BRUK

Damon melihat sangat jelas, waitress itu sekarang berada di atas tubuh wanita perusuh tadi, dengan seragam yang setengah terbuka, name tagnya bersinar dan menunjukan sebuah nama

'Wendy'

PLAK

Satu tamparan

PLAK

Dua tamparan

PLAK

Tiga tamparan

Wendy, dengan wajahnya yang datar, menampar wanita itu sampai tiga kali sebelum menjambak rambutnya dan menariknya seperti yang wanita tersebut lakukan padanya tadi.

"Dengar" Wendy menarik wajah wanita tersebut agar mendekat ke wajahnya.

"Siapapun tunanganmu, katakan padanya kalau sampai mati pun dia tak akan bisa mendapatkanku. Aku tak tahu siapa kau dan siapa tunanganmu, bahkan kalau boleh ku tebak, pria itu bahkan tidak memenuhi standar idealku." Wendy tersenyum miring, menyeringai dengan puas saat dilihatnya wanita tersebut menatapnya dengan amarah.

"Priamu, mungkin di mataku dia tidak lebih dari anjing jorok yang mengeluarkan salivanya saat melihatku. Mengatakan aku merebutnya adalah sebuah penghinaan bagiku."

Damon terdiam, matanya menatap ke arah adegan di depannya dengan pandangan antusias sedangkan Vino yang kini sudah ikut berdiri hanya bisa memandang apa yang terjadi di depannya dengan khawatir.

"Tuan, apa tidak ap-"

Dan dengan satu tunjukan jari, Vino terdiam.

"Pergi, cafe ini memiliki CCTV di setiap sudut ruangan, kau lihat itu?" Wendy dengan ganas mencengkram dagu wanita tersebut, membuatnya mengerang kesakitan namun apa peduli Wendy? Diarahkannya wajah wanita tersebut ke CCTV yang berada di atas counter kasir, membuat kamera tersebut menangkap wajah mereka berdua dengan jelas.

"Jangan kira aku tak bisa melaporkan perbuatanmu, dengan satu kedipan seluruh pria di kantor kepolisian akan mengutamakan kasusku."

Wendy melepas cengkramannya, kemudian berdiri dari tubuh wanita tersebut dan menatapnya dengan pandangan yang seolah berkata 'Pergi atau kau akan habis'

Dengan tergopoh-gopoh wanita itu berusaha bangun, wajahnya sudah memerah karena tamparan dan rambutnya terlihat sangat kacau, dia yakin riasan di wajahnya pun sudah sama mengerikannya.

"Dasar sinting!" Itu adalah kata-kata terakhirnya sebelum membuka pintu keluar dan kabur ke dalam mobilnya.

Wendy, hanya bisa menghela nafas dan menggeleng-geleng sebelum kembali ke mesin kasir untuk melanjutkan pekerjaannya.

"Impressive, Wendy?"

Wendy tertegun, di depannya kini ada dua orang pria dengan setelan jas yang melihat ke arahnya dengan dua pandangan berbeda, satu seringai yang tajam dan satu lagi khawatir atau mungkin juga ketakutan.

Astaga! Bagaimana bisa Wendy lupa kalau tadi ada dua pelanggan yang datang ke dalam cafenya?

Sedangkan Damon, matanya tak bisa lepas dari penampilan Wendy sekarang, seragam yang tiga kancing teratasnya terbuka menampilkan sedikit dari bra hitam yang Wendy kenakan, rambutnya yang terlihat berantakan dan keringat di sekitar pelipisnya.

Shit! Damon tidak bisa tidak terangsang saat membayangkan wajah dan tubuh itu berada di bawah kukungannya, dengan mata berair karena nikmat, wajah memerah, bibir terbuka dan desahan yang keluar dengan merdunya.

Shit shit shit shit!

Sialan, belum pernah dia menginginkan sesuatu segininya.

"Astaga! Maaf sekali atas ketidaknyamanan yang telah terjadi." Wendy membungkukan badannya, mungkin dia tidak sadar kalau pakaiannya saat ini sangat kacau, saat Vino mengalihkan pandangannya, Damon malah memperhatikan dengan seksama dua gundukan yang terpampang jelas di depan matanya.

"Tak apa, sekretarisku bahkan sudah siap untuk memanggil polisi jika diperlukan, tapi ternyata kau bisa mengatasinya sendiri. Menarik."

Wendy tersenyum kikuk mendengarnya.

"Meja nomor 23." Damon menaruh 10 lembar uang berwarna merah dan sebuah kartu nama di meja kasir sebelum membalikkan badannya dan berjalan pergi secara perlahan.

"Tu-tuan! Uang anda kelebihan!" Wendy, yang melihat Damon pergi begitu saja tanpa menunggu kembalian darinya hampir saja berlari mengejarnya sebelum Damon berbalik dan mengatakan sesuatu.

"Untuk coklat panas yang lezat, pelayananmu, dan pertunjukan tadi." Wendy terdiam.

Kini Damon menatap Wendy tepat di matanya, dengan bibir yang menyunggingkan seringai yang sangat arogan dia berkata. "Perbaiki bajumu sebelum orang lain masuk, pertemuan selanjutnya akan lebih menarik."

Wendy memekik pelan, menyadari sedari tadi telah mengumbar dadanya kemana-mana, membuatnya kehabisan waktu untuk mengejar Damon dan mengembalikan uangnya.

"Wendy? Apa ada sesuatu yang terjadi?" Seseorang keluar dari ruang loker karyawan dengan tergesa-gesa.

"Kau harus percaya padaku, Amel. Ada wanita gila yang tiba-tiba datang dan menyerangku, berteriak kalau aku merebut tunangannya."

Gadis dengan rambut pendek tersebut sontak mendekati Wendy dan memeriksa wajah serta tubuhnya. Dia sedang berada di shower room untuk mandi, dan baru keluar untuk ganti baju saat mendengar sebuah teriakan 'sinting' yang keras dari luar.

"Wajahmu merah, kau habis di tampar?" Amel bertanya dengan nada yang khawatir sedangkan Wendy hanya mengangguk dengan santai. "Bagaimana bisa kau santai saja saat ada orang yang menamparmu?!" Ucap Amel dengan nada yang sebal. Wendy ini memang kadang tidak peduli dengan dirinya sendiri.

Wendy dengan lembut melepaskan tangan Amel dari kedua pipinya."Tenanglah Mel, dia sudah kujambak dan kutampar tiga kali seperti yang Tirtan ajarkan." Wendy tersenyum senang dan memamerkan 10 lembar uang berwarna merah di tangannya. "Terlebih lagi pelanggan terakhir tadi membayar satu juta untuk dua coklat panas, satu kotak eclair dan pertunjukan kekerasan yang ku lakukan!"

Amel ingin sekali mencibir bagaimana bisa Wendy sebahagia itu karena mendapatkan uang untuk tindak kekerasan yang telah dia dapatkan dan dia berikan.

"Apa itu?" Mata Amel tertuju pada satu kartu kecil yang ada di atas mesin kasir.

Wendy mengedikkan bahunya "Mungkin kartu nama, aku belum melihatnya."

Amel mengernyit bingung "Kartu nama?"

"Iya, pelanggan tadi memberikan kartu namanya untukku, dia mengenakan setelan jas yang terlihat mahal."

Amel bergidik, pria aneh mana yang suka melihat tindak kekerasan, berjas mahal untuk datang ke cafe sederhana mereka dan memiliki kartu nama yang terlihat elegan. "Bukankah pria itu mencurigakan?"

Wendy menghentikan kegiatan mengelap meja kasirnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Benar, dia bahkan mengatakan 'pertemuan selanjutnya akan lebih menarik', akan sangat repot kalau Tirtan tahu."

Maka dengan bayangan Tirtan yang berubah menjadi super protective padanya hingga menghalangi pekerjaannya, Wendy mengambil kartu tersebut, merobeknya menjadi kecil-kecil dan membuangnya di tempat sampah terdekat.

Tanpa melihat sama sekali nama siapa yang tertera di sana.

.

.

Damon tahu seharusnya dia segera pulang untuk beristirahat. Dirinya tahu betul seharusnya dia tidak berdiam saja di tempat parkir menunggu cafe tutup hanya demi memenuhi kepuasannya memerhatikan Wendy.

Seharusnya dia tidak melihat bagaimana Wendy membuang kartu namanya.

Seharusnya saat gadis berambut pendek tadi pulang Damon juga memerintahkan Vino untuk menginjak gas dan kembali ke rumahnya.

Seharusnya Damon tidak melihat bagaimana seorang pria turun dari lantai atas dan membantu Wendy menutup cafenya. Hanya berdua, dengan canda tawa yang mesra.

Seseorang yang sangat Damon kenal dan harap sudah menghilang dari dunia.

Tirtan.

Tirtan bajingan! Bisa bisanya orang itu belum mati.

Damon kini terlihat benar-benar menyeramkan.

Tiba tiba kilas balik berputar di dalam kepala Damon, dengan Tirtan yang berwajah samar ada tepat di depannya, dan seorang gadis yang bahkan tidak berusaha menutupi tubuh telanjangnya.

"Kau mengkhianatiku Tirtan."

Damon memegang kepalanya, merasakan migrain hebat menyerang secara mendadak.

"Vino..."

Vino merasa merinding di sekujur tubuhnya. "Iya tuan?"

"Cari tahu latar belakang gadis itu, dari mulai keluarganya hingga pria yang pernah di kencaninya."

Vino terdiam, merasakan perasaan tak enak menggerayangi tubuhnya. Namun tangannya dengan cepat menyalakan mesin mobil dan mengangguk.

"Baik tuan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status