Share

5. Gadis Murahan

FEBRUARI, 03

Kau getarkan duniaku

Mendorongku ke ujung tanduk, membuatku pusing setengah mati

Karena kau yang memulai semuanya maka kau yang harus menghentikannya~

Suara high heels yang melangkah dengan irama yang selaras terdengar samar di tengah keramaian pusat perbelanjaan kota.

Gadis dengan rambutnya yang dikuncir kuda itu berjalan dengan gemulai, membuat dress kuning selutut yang ia kenakan beberapa kali melompat lompat sesuai pergerakan kakinya.

"Hey, kau sendiri?"

Gadis itu mendengus, melangkah tanpa mengindahkan panggilan genit dari pria yang baru saja melewatinya.

Mengharapkan sapaan ramah dari gadis ini hanyalah impian semata.

Dia adalah Wendy, yang hanya akan memberikan senyumannya pada pria yang bernama Tirtan, pria yang merupakan pelanggan, dan anak laki laki yang menggemaskan.

Dia Wendy.

Dia bukan gadis murahan.

"Apa kau sudah sampai?"

Adalah suara yang keluar dari ponselnya, suara seorang pria yang kentara sekali rasa khawatirnya.

"Hmm... Sedikit lagi aku sampai."

Wendy melirik kanan dan kiri, memastikan tempatnya berada saat ini. "Mungkin beberapa meter lagi."

"Apa aku tinggalkan saja pekerjaan ini dan menjemputmu?"

Wendy tertawa pelan, mendengar Tirtan di panggilannya yang ke 5 ini benar benar menggemaskan. Dia sama sekali tak bisa membiarkan Wendy pergi sendirian.

"Ayolah, Kak. Aku ini sudah besar."

"Justru karena kau sudah besar."

Wendy menggeleng geleng. "Kak, kerjakan saja pekerjaanmu itu dengan tenang, akan ku suruh Amel membuatkanmu makanan kesukaanku."

"Kenapa makanan kesukaanmu?"

"Karena aku akan segera pulang dan makan siang bersamamu, bodoh."

Kemudian hanya ada keheningan di sambungan telepon tersebut.

"Ah.... Iya juga?" dan kekehan Tirtan terdengar jelas dari sana.

"Sudah dulu ya, aku sudah sampai, see you love~"

"See you love~~"

Wendy mematikan ponselnya, memasukannya ke dalam tas selempang yang sedang ia kenakan.

Di depannya adalah sebuah butik dengan papan nama "Karin Style", butik yang selama ini menjadi tempat langganannya untuk membeli baju baik untuk dirinya sendiri maupun untuk Tirtan.

"Selamat datang Nona Wendy."

Wendy tersenyum ramah pada seorang wanita paruh baya di depannya.

"Bu Karin..!" Wendy setengah berlari ke arah orang itu, memberinya pelukan erat sebelum kembali menatap wajah Karin yang tak kalah senang. "Aku sangat merindukanmu, kemana saja kau beberapa bulan ini?"

Karin melepaskan pelukan dari Wendy dan menghela nafasnya kasar.

"Yah, memiliki seorang anak yang merepotkan membuatku harus menemaninya saat dia kecelakaan kemarin."

"Astaga! Apa yang terjadi?" Wendy menatap Karin penuh prihatin, namun Karin malah membalasnya dengan tawa frustasi.

"Hahaha, cecunguk itu menabrak pohon beringin saat sedang menyetir, ah... Rasanya pembuluh darahku hampir pecah kalau mengingatnya."

Wendy terkikik geli mendengar helaan nafas kasar dari Karin.

Karin adalah seorang pengrajin baju yang namanya kurang terkenal di kota. Dirinya sudah cukup usia, dengan beberapa rambut putih yang sudah tumbuh di kepala.

Suatu hari, belum lama dari kedatangannya ke ibu kota, tempat Karin lah yang pertama kali Wendy kunjungi.

Sebuah butik sepi dengan banyaknya model baju yang menarik.

Tinggal sendiri di Ibu kota untuk menafkahi anaknya yang tinggal di desa membuat Karin yang saat itupun sudah cukup tua harus kewalahan tanpa manajemen yang tepat.

Maka dari itu Wendy (yang sebelumnya belajar dari memperhatikan Tirtan) mengajari Karin bagaimana cara melakukan promosi di sosial media dan memanajemen usahanya.

Kini butik Karin sudah cukup ramai, dengan satu cabang di luar kota. Menjadikan Wendy sebagai pelanggan kesayangannya.

"Kau harus menyuruhnya untuk menikah, Bu. Biarkan istrinya yang mengurusnya."

Karin hanya mengedikkan bahunya.

"Yah, seandainya saja anakku tidak sleboran seperti itu, gadis gadis pasti sudah mengantri untuknya."

Kemudian Karin menarik Wendy ke salah satu rak pakaian yang cukup jauh dari jangkauan tangan pelanggan biasa.

"Aku baru saja membuatnya beberapa hari yang lalu setelah ku dengar kalian akan membuat cabang cafe yang baru, ku rasa kalian perlu setelan untuk pesta pembukaannya."

Wendy terpana, melihat sebuah gaun panjang berwarna biru tua di depannya.

Gaun dengan lengan tangan pendek dilapisi brukat yang berwarna senada, dengan bagian tulang selangka yang terekspos, bagian pinggang gaun yang terlihat kecil pasti akan sangat pas memeluk pinggang Wendy, bagian bawah tubuh gaun yang fit to body sampai bawah pasti akan memberikan kesan yang sangat sexy pada tubuh Wendy.

Di samping keindahan gaun itu, Wendy malah melirik Karin penuh selidik.

"Aku tahu aku tahu~" Karin mengangkat tangannya ke udara, seolah tahu arti dari lirikan tajam Wendy. "Aku tahu Tirtan akan mengomel padamu setelah acara jika kau mengenakan gaun ini."

Wendy mengangguk dengan setuju. "Ya, terkadang Tirtan memang sangat menyebalkan."

"Tapi Wendy, bayangkan, kau akan menjadi yang tercantik dengan mengenakannya. Oh Tirtan seharusnya belajar cara berbagi adiknya pada pria lain."

Wendy hanya melirik Karin jenaka dan mendengus geli. "Tidak ada yang sebaik Tirtan di dunia ini, Bu Karin."

"Lagi! Gasendra Group berhasil mencetak kesuksesan di dunia perbisnisan Indonesia....."

Samar samar suara nyaring berita tv terdengar di telinga Wendy yang masih sibuk meneliti gaun buatan Karin di depannya, sedangkan Karin sudah melenggang mendekatkan dirinya pada tv yang berada di ruang tunggu.

"Apa kau yakin, Wendy?"

Wendy melirik Karin yang sudah bersedekap di depan tv sembari menatap intens pria yang ada di layar tersebut.

"Semua kesuksesan ini saya dapatkan tentu saja berkat dari semua orang yang berperan dalam aktivitas Gasendra Group setiap harinya."

Wendy menghampiri Karin, matanya tak henti melihat pemuda yang membungkuk sopan, hanya sebentar, sangat sebentar, sebelum akhirnya pergi berjalan dengan cepat meninggalkan wartawan bersama dengan para pengawalnya.

"Lihat, betapa tampan, mapan, dan sopannya pemuda itu." Karin menggigit jarinya gemas, menyesal karena sudah terlahir lebih awal dari penerus Gasendra tersebut.

"Ey, Bu Karin, almarhum suamimu akan sedih kalau mendengarnya." Wendy menyenggol pundak Karin dengan jenaka, tapi kemudian matanya kembali melirik layar tv, merasa tak asing dengan orang yang ada di dalamnya.

"Aku seperti pernah melihatnya..." Lanjut Wendy dengan pelan.

"Ha! Tentu saja!" Karin kemudian berbalik, berniat melanjutkan pekerjaannya. "Siapa yang tak kenal dan tak pernah melihat Damon si penerus Gasendra Group? Wajahnya ada di seluruh stasiun tv dan majalah."

Wendy menggeleng pelan, bukan di tv ataupun majalah, karena Wendy jarang melihat keduanya. Tapi kemudian dia hanya mengangguk mengiyakan ucapan Karin.

"Ya... Mungkin."

~ o o o ~

Wendy berjalan dengan perasaan riang, dengan tangan kanan membawa setelan gaun dan jas untuknya dan Tirtan, tangan kirinya membawa belanjaan untuk Amel yang merengek ingin memasak resep baru.

Suasana pusat perbelanjaan kota di sore hari memang sangat ramai, untung saja Karin memberikan Wendy sepasang sepatu tua miliknya agar lebih nyaman berjalan jalan.

"Taksi!"

Wendy mengangkat tangannya, melambai pada seorang supir taksi yang tengah memperhatikannya penuh harap.

"Mau kemana nona?" Supir taksi itu dengan ceria menghampiri Wendy, mengulurkan tangannya untuk mengambil alih belanjaan Wendy dan membukakan pintu dari kursi tengah mobil.

"Antar aku ke cafe Ethereal di utara kota, kau tahu?"

Supir taksi itu menepuk nepuk dadanya dengan bangga. "Tentu saja! Tidak ada satu tempat pun di kota ini yang tak aku tahu."

Wendy terkekeh kecil saat pria paruh baya itu membusungkan dadanya dengan sombong. "Baik baik, aku percaya aku percaya."

Tapi saat Wendy hendak memasuki pintu taksi tersebut, sebuah silhouette seseorang yang dia kenal melewati dirinya.

Seseorang yang melihatnya saja sudah membuatnya mendidih penuh amarah.

"Cheline?"

Wendy dengan cepat menutup kembali pintu taksi, membuat supir tersebut mengerutkan keningnya bingung, karena Wendy menutup pintu taksi yang di dalamnya masih penuh dengan belanjaan yang dia bawa.

"Pak, bisa tunggu saya di sini sebentar? Ada seseorang yang harus ku kejar."

Supir taksi tersebut mengangguk pelan, meskipun tak begitu mengerti dengan maksud dari yang Wendy katakan.

Di sisi lain Wendy sudah mulai terengah, matanya dengan jelas melihat wanita berambut panjang dengan tubuh ramping tersebut.

Keramaian pusat perbelanjaan membuatnya linglung dengan orang orang yang berlalu lalang.

"Cheline?"

Tapi matanya dengan cepat menangkap bayang dari sosok wanita yang sedang berada di dalam restoran mewah...

....dengan pria yang memeluk pinggangnya mesra dan mengelus tangannya lamban.

Pria yang bukan Tirtan.

Pria yang bukan Kakaknya.

Siang itu Wendy meninggalkan pusat perbelanjaan dengan tangan terkepal dan nafas yang memburu marah.

~ o o o ~

Hawa di dalam taksi benar benar mencekam, Wendy tadi datang dan langsung membanting pintu taksi membuat sang supir mengerut ketakutan.

Wanita murahan sialan.

Memang benar jika Wendy bilang dia murahan, berani beraninya dia bermesraan dengan pria lain yang bukan Kakaknya.

"Nona?"

Supir taksi paruh baya itu membeo dengan pelan, masih takut dengan aura kelam di sekitar tubuh Wendy.

Rambut lebatnya lepek karena keringat dingin dari emosi yang dia rasakan, tangannya bergetar dengan hebat dan mulutnya memucat.

"Nona, kita sudah sampai." lagi, pria itu melirik ke arah kursi penumpang, memerhatikan Wendy dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan perasaan khawatir.

Wendy tersentak kaget, matanya dengan teliti melihat bangunan cafe di depannya kemudian menghembuskan nafasnya pelan, tangannya dengan cepat merogoh dompet dari dalam tas mungilnya dan mengambil beberapa lembar uang untuk disodorkan pada supir tersebut.

"Tapi, nona, uangnya terlalu banyak."

Wendy menggeleng dengan pelan. "Itu untuk permintaan maaf karena sudah merepotkan dan membuat tidak nyaman."

Kemudian Wendy turun dari taksi tersebut, mengangkat kantung kantung belanjaannya dan hendak pergi jika saja sebuah tangan tidak menahan salah satu kantung belanjaan yang dia bawa.

"Tunggu, nona."

Supir taksi paruh baya itu -sepertinya seumuran dengan Karin- merogoh rogoh kantung bajunya, mengeluarkan sebuah kertas kotak berwarna putih dengan tulisan hitam di atasnya.

"Kartu nama saya."

Jika saja mood Wendy tidak sedang hancur, dia pasti terkikik geli saat melihat wajah penuh perasaan yakin dan bangga dari supir taksi tersebut saat menyodorkan kartu nama sederhana itu padanya.

Udin.

Supir taksi ideal anda, hubungi 08xxxxx

"Terima kasih, Pak Udin."

Bahkan membaca kartu tersebut dalam hati membuat lidah Wendy merasa geli.

"Nona, Nona adalah gadis yang baik. Siapapun yang menyakiti Nona benar-benar orang jahat, jika Nona membutuhkan taksi untuk memergoki perselingkuhan atau kabur dari permasalahan silahkan hubungi saya, gratis untuk nona."

Belum sempat Wendy berbicara, Udin sudah menancapkan gas dan melaju dengan pesat dengan taksinya, sepertinya Udin ingin sekali dilihat keren di matanya. Udin pasti salah paham dengan tingkah Wendy, dia kira Wendy pasti habis diselingkuhi atau di campakkan.

Mengedikan bahunya, Wendy memasukan kartu nama Udin ke dalam pursenya.

Berjalan menuju cafenya, bersiap untuk menghadapi bencana besar yang sebentar lagi akan menimpanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status