Share

3. Gasendra Mansion

JANUARI, 21

"Tuan."

Damon berhenti menatap keluar dari jendela besar kamarnya. Entah mengapa kenangan buruk dari masa lalu tiba tiba datang menghampirinya. Membuat moodnya tiba tiba turun dan enggan melakukan apa pun kecuali melamun.

Saat ini, Vino berdiri tepat di depan meja kerja Damon, di dalam mansion yang merupakan tempat tinggal utama setiap penerus Gasendra sebelum pensiun dan kembali menyerahkannya pada sang penerus.

"Sudah kau dapatkan?"

Damon berjalan pelan, sudah tak ada jas yang membalut tubuhnya. Yang ada hanyalah sebuah jubah tidur berwarna hitam yang membuat dada bidangnya terintip setiap dia berjalan.

"Sudah, Tuan." Vino mengeluarkan sebuah map, menaruhnya tepat di meja kerja sang bos yang juga baru saja menduduki singgasananya.

"Bagus, kau boleh pulang. Persiapkan yang ku pinta, ada seseorang yang perlu ku jemput dengan segera."

Vino membungkuk pertanda pamit untuk pulang sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar sang tuan, menghilang di balik pintu kayu megah meninggalkan Damon sendirian.

Damon menyesap secangkir kopi hitam, melirik map di depannya dalam diam sebelum akhirnya membawa map itu ke dalam tangannya. Dibukanya halaman pertama berkas yang diberikan Vino, menampilkan sebuah foto dari gadis yang akhir akhir ini memenuhi pikirannya.

Di halaman berikutnya, Damon tersenyum dengan lebar saat melihat wajah yang sudah lama tak ia lihat dan nama yang tertera dengan jelas.

Tirtan.

"Tirtan, Tirtan."

Damon mengambil potongan foto tersebut, menyentilnya dengan telunjuk sebelum menyeringai membayangkan apa yang akan terjadi tak lama lagi.

"Adikmu lah yang akan membayar."

Malam itu, perasaan senang di dada Damon membucah luas. Sesuatu yang hampir tidak pernah dia rasakan sama sekali bertahun-tahun lamanya.

Damon ingin menawan Wendy.

Damon ingin Tirtan hancur.

Dan segala yang Damon inginkan, tak pernah tidak dia dapatkan.

.

.

MARET, 25

Damon keluar dari ruang kantornya, jam baru menunjukan pukul 3 sore tetapi perkataan Vino sanggup membuatnya loncat dari kursi kerja dan melempar semua pekerjaan yang dia punya.

Dengan tergesa, Damon memasuki elevator khusus miliknya diikuti Vino di belakangnya.

"Kau sudah mempersiapkan kamarnya sesuai yang ku pinta?"

Vino mengangguk patuh. "Sudah, tuan."

Beberapa menit yang lalu Vino menghampiri meja kerja Damon dengan tergesa.

"Semua sudah siap, Tuan. Kau tinggal menjemputnya."

Merinding, Damon merasakan getaran di setiap bulu tangannya. Perasaan menggebu-gebu dan tak sabaran bermain main di dadanya, membuat sensasi gatal di sekujur kulit tubuhnya. Elevator terasa berjalan sangat lamban, membuat Damon mengeceknya berkali-kali sudah sampai lantai mereka saat ini.

"Sial, lama sekali."

Sudah dua bulan lamanya dia menunggu saat-saat ini akan tiba, maka tidak boleh ada satu detik pun yang terbuang sia-sia di bawah pantau matanya.

Tring

Bak kesetanan, Damon dengan cepat melangkahkan kaki jenjangnya ke arah parkiran. "Biar aku yang menyetir." ucapnya saat mereka tiba di depan mobil mewahnya, menodongkan tangannya ke arah Vino meminta kunci mobil yang selalu di bawa sekretarisnya.

"T-tapi, tuan.."

"Cepat"

Vino akan selalu kalah jika Damon sudah mengeluarkan nada memerintah dengan padangan jengkelnya. Dengan takut takut dia memberikan kunci mobil dan menaiki kursi kosong di sebelah kursi pengemudi.

"Ya, tuhan berikanlah kami keselamata-"

Belum sempat Vino menyelesaikan doanya, Damon sudah menginjak pedal gas dan berjalan dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan Jakarta sore yang masih sepi membuat Vino beberapa kali mengutuknya dalam hati.

Ya tuhan, berikanlah Vino keselamatan.

Doa Vino terkabul, dalam waktu 30 menit saja mereka sampai ke tempat tujuan dengan selamat.

Ethereal, adalah tulisan yang terpampang di bagian atas bangunan ini, namun bukannya turun langsung dari mobil Damon malah memilih memerhatikan apa yang terjadi di dalam sana dari dalam mobil.

Di dalam sana, sudah ada beberapa pria berjas hitam yang terlihat kewalahan menarik-narik keluar seorang wanita dan menghalangi seorang pria yang mengamuk hebat di depannya. Keadaan cafe sepi tanpa pelanggan dengan pria pria berjas lainnya yang menjaga di bagian luar mengamankan cafe.

"Tu.....an?" Vino membeo, ingin mengatakan sesuatu namun batal saat melihat senyum lebar dari Tuannya.

Damon sedang tersenyum bak psikopat gila yang sedang bahagia karena telah menyiksa mangsanya.

.

.

"TIRTAN!"

Keadaan memanas, Wendy tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, semuanya berlalu dalam sekejap mata begitu saja.

Yang dia ingat hanyalah dia yang sedang berbincang dengan Sinta si anak magang sebelum akhirnya segerombolan pria berjas hitam datang dan mengusir para pelanggan pergi. Wendy yang melihatnya tentu saja marah.

"Kami di perintahkan untuk menjemput Nyonya Wendy."

Gila! Wendy tidak tahu apa yang mereka inginkan darinya, tentu saja dia menolak dengan hebat, namun satu pria malah menarik tangannya dan hendak memaksanya keluar. Membuat para karyawan cafe hendak menyerangnya dan membantu Wendy kembali.

Tirtan turun setelah mendengar keributan yang terjadi, seorang pria berbicara pada Tirtan, Wendy tak terlalu mendengar apa yang mereka katakan, hanya satu kalimat yang Wendy tangkap: "Surat perjanjian yang kau tanda tangani."

Entah apa yang membuat Tirtan memucat Wendy tak mengerti, tapi yang Wendy ingat hanyalah Tirtan yang mengamuk setelahnya.

"LEPAS! SIALAN!"

Melihat Tirtan yang hampir terpuruk karena di hajar seseorang membuat darah Wendy mendidih panas, amarahnya sudah sampai di puncak dan kepalanya sudah pusing.

"SIAPA KALIAN? BERANI-BERANINYA MENGGANGGU KAMI?!"

BUK

Wendy menendang kemaluan pria yang sejak tadi memegangi tubuhnya untuk menariknya pergi.

BRAK

Melihat Wendy yang berhasil menumbangkan satu pria, Tirtan mencoba bangun dan ikut menghajar satu pria di depannya.

Namun naas, di belakang Tirtan sudah ada dua pria bertubuh besar yang menahan kedua tangannya dan menjatuhkannya kembali ke lantai, menahan tubuhnya yang kini tengkurap agar tidak dapat kembali bangun. Dan Wedny lagi-lagi tertangkap oleh pria yang tadi dia tumbangkan.

"Kami hanya di perintahkan untuk menjemput Nyonya Wendy sesuai yang di perintahkan." Ucap satu pria yang sedang memegangi tangan kanan Tirtan.

"Atas dasar apa? Kalian mau menculikku kalau begini!" kembali berusaha memberontak, Wendy malah kelihatan seperti anak kucing yang membangkang saat di gendong pemiliknya.

Sialan, siapa sebenarnya orang orang rapi dengan kemampuan bela diri dan kekuatan hebat ini?

Kriiing

Wendy mengalihkan pandangannya, melihat sebuah figur familiar yang memasuki pintu cafe dengan pelan. Satu pria tinggi mengenakan kacamata hitam, dengan setelan jas yang terlihat mahal sedang mengedarkan pandangannya ke sekitar sembari berjalan dengan percaya dirinya. Sedangkan satu pria lagi di belakangnya mengikuti dari belakang dengan takut-takut, tanpa mengenakan kaca mata hitam seperti pria di depannya Wendy merasa dirinya lebih familiar lagi.

"Kenapa lama sekali? Cepat bawa dia pergi."

Si pria berkacamata hitam menggerakan kepalanya, memberi simbol agar mereka segera membawa Wendy ke salah satu mobil besar yang sudah ada di luar.

"Aku tidak mau! Siapa kau sebenarnya?!" Wendy mengerang, berusaha menendang nendang pria berkaca mata hitam di depannya dengan ganas. "Lepaskan aku! Bajingan!"

Pria itu terdiam, melihat Wendy yang kakinya bahkan sudah tidak menapak di lantai karena tubuhnya yang lebih pendek dari dua pengawal yang memeganginya.

"Heeeeh?" Dia tersenyum miring, mendekati Wendy dan berhenti tepat di depan wajahnya. "Aku adalah pemilikmu yang baru... Wendy."

Wendy mendesis, tatapan matanya menyalang menyatakan perang, wajahnya sudah memerah padam karena rasa kesal dan marah yang dia rasakan. "Omong kosong apa yang kau keluarkan barusan?"

Pria itu terkekeh, kemudian berbalik melihat ke arah Tirtan yang sudah pucat pasi, boleh di tebak, Tirtan pasti sedang luar biasa ketakutan saat ini.

"Sepertinya Kakakmu ini tidak menceritakan apa apa padamu ya?"

"JANGAN DENGARKAN DIA WENDY!"

BUG

"TIRTAN!!"

Pusing.

Wendy sudah luar biasa pusing. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang pria di depannya ini ucapkan, telinganya kesakitan mendengar teriakan teriakan dan melihat Tirtan yang lagi lagi terbatuk karena di pukul di bagian perut membuatnya mual karena sudah terlalu lama dalam mode marah.

"Bawa dia."

"Apa? TIDAK! TIDAK LEPASKAN AKU!"

Wendy tidak mengerti, kakinya tak lagi menapaki lantai karena dua orang tadi mengangkat tubuhnya dan membopong badannya keluar dari bangunan cafe ini.

"LEPAS, BAJINGAN!" Percuma, Wendy sudah terlanjur di masukan ke dalam kursi penumpang dengan dua pria besar tadi yang berusaha memegangi tangan dan kakinya.

"Maaf Nyonya, tolong jangan melawan lagi."

Kemudian sebuah sapu tangan menutupi indra penciuman Wendy, membuatnya tiba tiba mengantuk setengah mati.

Ah sial, jadi ini ya rasanya di beri obat bius seperti di film-film?

"Brengse..."

Tidak sempat menyelesaikan ucapannya, pandangan Wendy sudah menggelap.

.

.

"Aw!"

Wendy terbangun saat sebuah guncangan hebat terjadi, kepalanya membentur pintu mobil dan kakinya terjatuh ke bagian bawah mobil. Membuatnya mengaduh kesakitan karena benturan benturan yang dia dapatkan.

Mengedarkan pandangannya, Wendy tahu betul dia masih berada di dalam mobil yang orang orang berjas tadi memasukannya paksa. Bedanya dua orang tadi sudah tak terlihat dimana-mana, hanya ada Wendy seorang di bagian tengah mobil ini, Wendy tidak tahu apa yang terjadi di bagian kursi supir karena ada penghalang yang hanya di sambungkan oleh jendela kecil, seperti taksi taksi mewah yang pernah dia lihat di tv.

Ziiing

Tiba-tiba Wendy merasakan pusing luar biasa di kepalanya, tubuhnya masih lemah karena obat bius yang dia hirup tadi dan dengingan di telinganya tak mau pergi.

Tapi Wendy tetaplah Wendy yang keras kepala, sepusing apa pun dia, dia akan tetap mencoba untuk kabur dari situasi menyulitkan.

Klek

Tidak bisa di buka. "Sialan, terbukalah."

Klek klek klek

Bahkan sampai tangannya mulai pegalpun gagang pintu ini tidak bisa membuat pintu mobil terbuka.

Benar, Wendy berniat melompat dari dalam mobil, entah apa pun yang ada di luar sana. Karena Ya Tuhan! Wendy sedang berada di dalam adegan penculikan!

Srek

Tiba-tiba jendela kecil yang menghubungkannya dengan kursi pengemudi dibuka, menampilkan satu wajah yang melihatnya dengan alis bertaut.

"Tolong jangan buat ribut, nyonya. Pintunya hanya bisa di buka oleh pengemudi..."

Wendy menatap pria tersebut dengan pandangan tak kalah jengkelnya. "Kalau begitu buka!"

Pria tadi menggeleng dan menghela nafasnya dalam, merasa lelah mengurusi Wendy sejak tadi.

"Beristirahatlah, Nyonya..."

"...dan selamat datang di Mansion milik Gasendra."

o o o

Damon keluar dari dalam mobil yang berhenti tepat di depan pintu utama mansion miliknya, sebuah pintu tinggi dan lebarberwarna putih dengan ornamen unik di setiap datarannya.

Gasendra Mansion adalah tempat tinggal semua pemimpin Gasendra sejak mereka dilahirkan sampai memilih pensiun dan pindah ke tempat lain. Sebuah tempat huni turun temurun bagi setiap pewaris utama.

Dan Damon, adalah pewaris ke 5 yang kini tengah menempati tempat ini seorang diri setelah kedua orang tuanya memilih menyisakan waktu pensiun di luar negri.

Mansion luas dengan kebun sayuran dan buah sendiri, sebuah danau, kolam renang, gym, perpustakaan dua tingkat, puluhan kamar, dapur berstandar restoran bintang lima dan jangan lupakan halaman luasnyanya yang hampir menyaingi taman kota. Di lingkari oleh dinding-dinding tinggi dan pengamanan yang ketat.

Tempat yang sempurna untuk menawan seseorang.

"Haha"

Damon terkekeh.

Senyuman masih setia bertengger di bibirnya, mengingat bagaimana Tirtan dengan rahang yang terkatup, wajah memerah dan mata yang melotot padanya tadi membuat moodnya naik.

.

.

Melihat Wendy yang sudah di bawah keluar dan dimasukan paksa ke dalam mobil oleh anak buahnya, Damon menghampiri Tirtan yang masih tertahan di lantai.

"Kau Tirtan?"

Tirtan mendongak, menatap Damon dengan pandangan memelasnya. Belum sadar kalau pria yang mengenakan kaca mata hitam tersebut adalah sahabat lamanya.

"Tuan, Tuan bisakah kau lepaskan adikku? Aku akan membayar berapapun Tuan. Aku akan mengganti rugi pembatalan kontrak dari kekasihku."

Tirtan menggenggam kaki kiri Damon dengan kedua tangannya, air mata sudah ada di ujung matanya saat melihat Wendy di bawa masuk ke mobil tadi, tapi Damon sama sekali tidak peduli. Damon senang melihat Tirtan yang memohon dan berlutut padanya.

"Tirtan..."

Dan Tirtan tak bisa lebih kaget lagi dengan apa yang dilihat di depan matanya.

Damon, dengan angkuhnya berjongkok di depan Tirtan, melepaskan kacamatanya dan memandang penuh arogan Tirtan yang seolah hampir mati karena jantungan.

"Mungkin ini adalah balasan dari Tuhan atas pengkhianatanmu padaku, Tirtan."

Damon bukannya tak mendengar teriakan dan panggilan namanya dari mulut Tirtan, bukan pula dia berpura-pura tidak mendengar cacian yang Tirtan lontarkan untuknya saat dia pergi menjauh dari cafe itu.

Jauh dari itu, Damon menikmati semua momennya.

Semua teriakan frustasi Tirtan.

Damon menikmatinya.

.

.

"Dimana Wendy?" Damon melonggarkan dasi yang ia kenakan, memberikannya pada pelayan yang sedang membantunya melepaskan jas dan melepas satu kancing teratas kemejanya.

Akhirnya.

Akhirnya Damon bisa memiliki Wendy untuk dirinya seorang diri. Setelah dua bulan lamanya dia tersiksa dengan hanya bayangan Wendy yang ada di dekapannya.

"Dia sudah ada di kamrar anda, Tuan."

Damon sumringah, dengan langkahnya yang lebar dia menaiki tangga rumahnya, membawa langkah kakinya ke bagian sayap kanan mansion, ke lorong dengan pintu tingi dan lebar lebih tepatnya.

Master bedroom milik Damon.

Tempat di mana Wendy saat ini sedang menunggunya.

Dengan jantung yang berdegup kencang, Damon berdiri diam sebentar di depan pintu sekedar menenangkan detak jantung dan nafasnya yang memburu.

Sial, hanya Wendy yang bisa membuat Damon seolah tersirih seperti ini.

Setelah memantapkan hatinya, Damon membuka pintu dengan perlahan.

"Selamat datang di mansionku, Wen.....dy?"

Namun yang dia dapatkan bukanlah sesuai harapan. Tidak ada Wendy yang sedang terduduk sambil menunggunya, tidak ada suasana kamar romantis untuk rencana panasnya.

Yang ada hanya kamarnya yang bak terkena bencana alam dengan gorden yang copot dari tempatnya, buku buku dan dokumen yang berserakan, cermin yang pecah, selimut yang di robek dan kapas kapas dari bantal yang menyebar ke penjuru ruang.

Wendy, berdiri di tengah ruangan dengan nafas tersengal melihat ke arah Damon dengan tajam. Tangan kanannya memegang sebuah gunting, tangan kirinya memegang sebuah pakaian yang sudah compang-camping.

"Apa ini, Wendy?"

Oh tidak, Wendy.

Jika Damon sudah melihatmu dengan tatapan gelapnya, maka esok hari kau mungkin tak bisa melihat sinar mentari pagi.

Jika kau sudah dengar nada dingin dari mulut Damon, maka kau sudah tak memiliki jalan keluar lagi.

Sret

Damon menarik tubuh Wendy. Menjatuhkannya ke atas ranjang dan menarik dagunya agar mendongak tinggi.

"Wendy.....

.... rupanya kau ingin permainan yang sulit ya?"

Wendy, berdoalah!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status