Share

4. Tirtan dan Cheline

2 BULAN SEBELUM KEJADIAN.

JANUARI, 22

Tik Tok

Tik Tok

Denting jam seolah menggema di dalam ruangan gelap ini, satu titik cahaya terpancar dari sebuah lampu kecil (lampu belajar) diatas meja. Suara coretan coretan kertas terdengar menggema kemana mana, suara lembaran kertas yang dibalik dan ketikan pada komputer saja yang menjadi iringan suara denting jam ini.

Sedikitnya terlihat dari pantulan bulan yang ada di luar jendela, jam dinding besar tua itu menunjukan angka 2 pada jarum kecilnya.

Pria itu tak terusik sedikitpun dengan kesunyian yang ada, atau bahkan dengan gelapnya ruangan. Berkas berkas yang berserakan di meja kerjanya pun tak menghilangkan fokusnya untuk mengerjakan tugas yang dia miliki.

Kreeek...

Suara pintu kayu tua terbuka itu sukses mengalihkan fokusnya, betapa dia harus mengingat untuk segera merenovasi bagian atas cafe ini (rumahnya) agar menjadi lebih layak setelah cafenya sudah 100% sesuai selera adiknya.

Di depan pintu yang terbuka lebar, sebuah silhouette wanita dengan pinggul ramping dan rambut panjang lurus terlihat.

"Cheline?" Pria tadi hampir saja berdiri dari duduknya jika saja wanita itu tidak mengangkat tangannya pertanda tak perlu.

"Tak apa Tirtan, aku yang akan menghampirimu."

Klik

Kemudian ruangan kembali terang dengan lampu yang menyala, Cheline menutup pintu di belakangnya dan berjalan ke arah Tirtan dengan pergerakan sesensual mungkin.

Dengan dress merah ketat dan belahan dada rendah yang melekat di tubuhnya membuat setiap pergerakannya terlihat semakin sexy.

Cheline, adalah seorang penyanyi dan aktris kelas teri di ibu kota, memiliki paras yang menawan dengan bibir merah tebal, tahi lalat di ujung matanya, matanya yang tajam dan tubuhnya yang membuat setiap pria berlinang saliva.

"Babe...." dengan kasual Cheline duduk di atas pangkuan Tirtan, menghirup aroma di lehernya pelan dan mengistirahatkan kepalanya di sana. "Kau butuh istirahat, untuk apa bekerja semalam ini? Dengan lampu yang mati?"

Tirtan membawa Cheline pada pelukannya dan terkekeh pelan. "Aku takut Wendy melihat kamarku yang lampunya masih menyala dan memarahiku. Ada beberapa pengeluaran dan pemasukan cafe yang harus aku lakukan.

Wendy adalah nama yang selalu berdengung di kepala Cheline. Terlalu sering Tirtan ucapkan, terlalu sering Tirtan banggakan dan terlalu sering menjadi penghalang. Tanpa sadar, mata Cheline berubah menjadi gelap.

"Kau sangat menyayanginya, Tirtan."

"Tentu sajaa~"

Cheline mendengus, di tegakkannya tubuhnya dan di tangkupnya kedua pipi Tirtan. Oh... Lihatlah makhluk Tuhan yang sangat tampan dan menggoda ini? Siapa pemiliknya? Tentu saja Cheline!

"Babe...." Cheline cemberut, dikeluarkannya jurus andalan miliknya yaitu merajuk.

Mendengar rajukan dari sang kekasih, Tirtan membelai punggung Chelin yang hampir tidak tertutup bahkan sehelai kain, entah apa yang membuat Tirtan selalu tutup mata dengan gaya Cheline yang tak senonoh. "Ada apa?"

Helaan nafas panjang terdengar. "Hmmm... Managerku sangat bodoh, bisa bisanya dia salah membelikanku gaun untuk acara tahunan ini, dia bahkan tidak bisa mengembalikan gaun itu dan mendapatkan uangnya kembali."

Cheline kini hampir berlinang air mata, Tirtan kalang kabut dibuatnya saat melihat mata basah Cheline.

"Bagaimana ini? Aku akan terlihat jelek di acara itu dan tak akan ada sutradara dan produser yang mau mengcastingku lagi..."

Tirtan memeluk Chelin dengan erat, mengusap punggungnya dengan  perlahan dan membisikan kata kata yang semoga saja bisa membuatnya tenang.

"Hey..." Kini tangannya digunakan untuk menyisipkan helaian rambut Cheline ke belakang telinganya. "Apa uang permasalahannya?" Cheline mengangguk.

"Aku akan mentransfer uang gaun itu padamu besok, berapa yang kau butuhkan?"

Cheline tersenyum dengan sangat cerah. "Benarkah? Kalau begitu, bisakah aku meminta 20 juta?"

Senyuman lembut muncul di bibir Tirtan saat dia mengangguk ke arah Cheline.

"Yeaaay!!" Cheline hampir saja melompat girang kalau dia tidak mengingat sedang berada di atas pangkuan Tirtan saat ini.

Sebagai gantinya, dia menghujani Tirtan dengan kecupan kecupan di wajahnya.

Di mata, di hidung, di telinga, di dagu dan di bibirnya.

Kecupan kecil berubah menjadi gigitan, dan gigitan berubah menjadi lumatan. Lumatan kecil menjadi lumatan basah, dan tanpa di sadari kini Cheline sudah berada di atas meja kerja Tirtan terbaring dengan gaunnya yang sudah berantakan.

Dengan Tirtan yang berada di perpotongan lehernya, sedang menghisap dengan agresifnya.

Hanya satu yang Tirtan harapkan;

Semoga Wendy tidak mendengar dan memergoki mereka di tengah kegiatan.

~ o o ~

Senandung riang terdengar di penjuru ruang cafe. Matahari baru saja naik, cahaya hangatnya memasuki dinding dinding cafe yang terbuat dari kaca, dengan semangat disemprotkannya cairan pembersih ke dinding kaca tersebut dan mengelapnya sampai melompat lompat.

Dinding kaca, meja dan kursi serta konter konter dibersihkan semua dengan perasaan senang dan penuh semangat, seolah hari ini adalah hari baru yang akan membawanya banyak keberuntungan.

Wendy adalah orang yang mencintai pagi.

TRIING

"Selamat pagi Wendy."

Amel berlari ke arah Wendy, mengecup pipinya sekali dan dengan cepat berlari ke arah ruang loker karyawan. "Aku membawakanmu sarapan!" Teriaknya sebelum menghilang di balik pintu ruangan.

Sejak ibunya pergi, Wendy dan Tirtan harus bersusah payah mencari karyawan baru, hanya ada dua orang yang mereka dapatkan dari banyaknya tempat mereka menempelkan selebaran, Amel adalah salah satu dari kedua orang tersebut. Tadinya Amel dan Wendy sama sama bekerja untuk dapur, tapi saat satu karyawannya memilih mundur, Wendy harus mengambil alih bagian waitress, meskipun Wendy lebih gemar memasak, tetapi Wendy percaya dengan kemampuan Amel yang melebihi dirinya, dan Wendy juga tidak masalah selama dia masih bisa membuatkan minuman untuk pelanggan.

Tuk Tuk

Wendy yang hendak membersihkan beberapa meja lagi menolehkan wajahnya pada tangga, berharap Kakaknya yang pekerja keras itu turun untuk sarapan bersama sebelum membuka cafe mereka.

"Cheline?"

Dengan kerutan di dahinya, Wendy menatap Cheline yang turun dari tangga bak ratu kerajaan dengan pandangan tak suka.

"Oh, jangan menatapku seperti itu Wendy, Kakakmu akan sedih." Cheline menyilangkan tangannya di dada dan menyeringai pada Wendy.

Cheline hanya mengenakan sebuah jubah mandi, dengan belahan dadanya yang terlihat tentu saja Wendy tahu di dalamnya dia tidak mengenakan apa apa lagi, rambutnya berantakan, dan yang paling membuat Wendy marah adalah beberapa tanda kemerahan di lehernya.

Seolah tahu apa yang Wendy perhatikan, Chelin semakin tersenyum puas. "Suka apa yang kau lihat? Kakakmu sangat bergairah tadi malam."

Oh sungguh! Dia benar benar tidak mau tahu tentang kehidupan seksual yang dimiliki Kakaknya, apa gunamu menyombongkan itu Cheline?

"Ya ya ya, tentu saja, pria mana yang tidak akan bergairah jika ada seorang wanita yang dengan murah membuka selangkangan tepat di depan matanya." Ucap Wendy dengan penekanan di kata 'murah'. "Kau bahkan tidak malu sama sekali turun ke cafe terbuka begini, memamerkan dadamu pada dunia luar yang terbuka."

Cheline mengepalkan tangannya, tapi dia tidak bisa mengamuk pada Wendy di sini, ada Tirtan yang masih tertidur di atas.

"Jaga mulutmu Wendy." Cheline mengangkat dagunya angkuh, melihat Wendy di bawah yang terlihat seperti pelayan dari atas sana. Mungkin di pikiran Cheline, dia adalah nyonya dari tempat ini karena mengencani Tirtan.

Decihan terdengar keluar dari bibir Wendy dengan kencang. "Apa yang salah dari omonganku? Kau sadar sekali cafe ini tempat terbuka dengan jendela kaca dan pelanggan yang bisa masuk kapan saja."

Cheline terdiam.

"Kau seperti jalang, entah apa yang Tirtan lihat dari dirimu."

"Cukup Wendy."

Wendy terdiam, dapat dilihatnya Cheline yang tersenyum senang ke arahnya.

Jalang sialan! Dia sengaja diam karena mendengar langkah kaki Tirtan!

Mendengar ucapan dingin dan penuh tekanan dari sang Kakak membuat Wendy terdiam, pandangan matanya memancarkan pandangan tak terima yang sangat kentara.

"Wendy kau tak pantas mengatai orang yang lebih tua dari mu seperti itu, terlebih dia kekasih Kakakmu."

Tirtan menghampiri Cheline, berdiri di belakangnya dan menggenggam tangannya. Membuat Wendy yang melihat pemandangan itu ternganga dengan lebar.

"Apa? Kau membelanya?"

Tirtan menggeleng pelan dan mengusak wajahnya kasar. Terlihat jelas sekali kantung mata menghitam di wajahnya yang membuat Wendy enggan melanjutkan perdebatan tersebut karena tak tega.

"Tidak Wendy, mari kita bicarakan ini nanti lagi. Cheline, ikut aku."

Dengan satu lirikan mencemooh terakhir dari Cheline, mereka berdua pergi kembali ke atas, meninggalkan Wendy yang masih ternganga dengan kepala yang pusing hebat.

"Ah! Wanita sialan!" Wendy menendang sebuah kursi yang ada di depannya.

Tidak, Wendy tidak menyadari sama sekali dengan keberadaan seorang pria berjaket, masker dan topi hitam yang sejak tadi bersandar di dekat pintu cafenya.

Tidak, Wendy juga tidak menyadari bahwa pertikaiannya dengan Cheline di rekam dan di foto sejak tadi.

"Bos, aku melihat pertikaian antara Wendy dan kekasih Tirtan."

Dan tentu saja Wendy tidak menyadari bagaimana pria itu berlalu pergi dengan telpon di telinganya.

Oh, seandainya saja Wendy menyadarinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status