“Makasih, Bang.” Lydia tersenyum sambil mengambil plastik merah yang disodorkan abang ojek online yang dipesannya. Lydia kemudian dengan tergesa kembali masuk ke lobi kantornya.
Ini sebenarnya sudah jam pulang kantor dan orang-orang mulai keluar dari gedung kantor. Dan Rasanya hanya Lydia saja yang justru berlari masuk, lebih tepatnya ke arah toilet yang ada di lantai satu. Sialnya karena terlalu terburu-buru, Lydia malah menabrak seseorang. “Aduh maaf, Pak. Saya gak perhatiin jalan.” Lydia segera menunduk untuk minta maaf pada orang yang ditabraknya. Lydia sebenarnnya tidak memperhatikan siapa yang ditabraknya, tapi dari pakaian dia tahu itu adalah lelaki. Dan Lydia tak menyangka kalau bungkusan obat dengan label aplikasi kesehatan online yang dipegangnya terjatuh ke lantai, tuk kemudian dipungut oleh pria itu. “Kamu sakit?” Suara baritone yang terdengar dalam itu menyentak Lydia. Dia segera mendonggak dan menemukan Reino memegang plastik obat miliknya. Padahal Lydia sudah berusaha setengah mati untuk menghindari pria itu, tapi kenapa jadi sering berpapasan seperti ini? “Tidak, Pak,” jawabnya singkat. Berusaha untuk terlihat datar. “Itu hanya obat untuk kewanitaan. Hal yang biasa dikonsumsi.” Sebelah alis Reino terangkat mendengar kalimat setengah bohong dari Lydia. Yang ada dalam plastik obat itu memang hanya bisa digunakan wanita, tapi bukan obat melainkan test pack. Ya. Test pack. Dan Lydia membeli itu gara-gara chat dari Erika. Kalimat dalam chat sahabatnya itu membuat Lydia panik dan membeli test pack secara impulsif lewat aplikasi online. “Bisa tolong kembalikan, Pak?” Lydia mengulurkan tangan meminta plastik obatnya kembali. Reino juga tidak membantah dan segera mengembalikan benda yang dipegangnya. Setelah itu, Lydia langsung pergi ke arah toilet tanpa berpamitan. Dia tidak mau lagi menjawab pertanyaan apapun dari pria itu. Berbeda dengan Lydia yang ingin segera menghindar, Reino mmalah memperhatikan punggung Lydia yang berlari kecil itu. Dia memperhatikan dengan seksama dari atas sampai ke bawah, kemudian berhenti di area antara pinggang dan paha. Sangat tipis, tapi ada sedikit lekukan samar di sana. Dan itu sudah cukup membuat Reino menggeram menahan hasrat. “Sialan. Aku kenapa sih?” geramm Reino terlihat kesal sekali. *** “Aku tidak hamil,” seru Lydia riang saat menelepon Erika. Yeah. Tidak ada dua garis pada benda pipih yang dipakainya tadi di kantor. Dan itu langsung membuat Lydia amat sangat lega, tapi itu hanya sebentar saja. Karena penjelasan Erika yang berikutnya, membuat Lydia panik kembali. “Test pack baru efektif dipakai pagi hari dan seminggu setelah berhubungan. Ini sudah malam jadi efeknya sedikit berkurang dan memangnya kapan kalian gituan? Sudah lebih seminggu?” “Oh, God. Kenapa gak bilahg dari tadi,” protes Lydia cukup keras. “Tahu gitu nanti minggu depan saja baru kubeli.” “Kenapa juga kau tiba-tiba beli test pack? Lagian informasi seperti ini kan bisa dicari di internet,” balas Erika kesal karena disalahkan. Lydia mendesah pelan. Memang salahnya sendiri karena membeli anpa bertanya atau cari tahu. Tapi dirinya juga bisa gila kalau terus-terusan dibuat khawatir oleh hal-hal seperti ini dan ini salahnya Reino Andersen. “Beruang kutub bejat,” umpat Lydia kesal sekali dengan bosnya itu. Lydia terlihat sangat kesal karena setelah kejadian itu Reino terlihat biasa saja, sementara dirinya sudah seperti orang gila yang mengkhawatirkan banyak hal. Belum lagi masih harus menghindar dari pria pemuja selangkangan itu, tapi selalu bertemu secara tidak sengaja. “Bagaimana jika sampai hamil atau terkena penyakit kelamin?” gumam Lydia masih tidak bisa menghilangkan berbagai pikiran negatif. “Ada apa dengan penyakit kelamin?” Kalimat bernada tanya itu membuat Lydia terlonjak, nyaris saja menjatuhkan ponsel yang tadinya menempel ddi telinga. “Mama, jangan bikin kaget dong,” protes Lydia, kemudian memutuskan sambungan teleponnya dengan Erika. “Mama sudah ketuk pintu loh. Kamu saja yang keasikan sendiri,” jawab Liani sama sekali tidak menunjukkan raut marah. Wanita yang sudah hampir 50 tahun itu mendekati putri satu-satunya ittu dan duduk di pinggiran ranjang. Dia kemudian meraih salah satu tangan Lydia yang kurus itu dan mengusapnya pelan. “Padahal kamu makannya banyak, tapi semuanya gak ada yang tinggal di badan kamu.” Liani terlihat menyayangkan tubuh anaknya yang menurutnya terlalu kurus itu. Liani bukannya sedang menghina anaknya terlalu kurus, tapi dia menyayangkannya. Hidup anak sulungnya ini sudah sulit sejak dia masih kecil dan dia menyalahkan dirinya sendiri. Apalagi setelah dewasa pun Lydia yang lebih banyak menyumbang biaya hidup keluarga kecil mereka. “Mama jadi berasa bersalah sama kamu.” “Stop that, Ma. Kan bukan salah Mama aku jadi kurus begini. Ini murni karena DNA ku yang bagus. Makan sebanyak apapun gak gemuk dan kebetulan sejalan juga dengan hobiku.” Lydia memberikan cengiran kudanya dan itu cukup menghibur sang Mama. “Omong-omong kamu kok bisa bahas penyakit kelamin? Ngobrol dengan siapa tadi?’’ “Aha... ha... ha... “ Lydia tiba-tiba saja menjadi canggung. “itu, Ma. Kita lagi gosipin bos. Katanya suka ganti-ganti perempuan.” “Oalah. Kok kamu bisa dapat kerjaan di tempat seperti itu sih, Lyd?” tanya Liani dengan cemas. Takut nanti anak gadisnya kenapa-kenapa. “Kok pertanyaannya gitu sih, Ma? Harusnya Mama bangga aku bisa kerja di perusahaan manufaktur sebesar Linder,” kilah Lydia dengan cepat. “Lagian apa yang terjadi sama atasan, belum tentu juga terjadi sama yang di bawah kan? Lagian teman kerja Lydia semua baik-baik kok,” Lydia menenangkan ibunya itu, walau harus dengan banyak kebohongan. Ya. Entah sudah berapa banyak kebohongan yang dikatakan Lydia pada mama tercintanya. Terutama setelah dia bekerja di tempat itu. Setelah dia bertemu untuk pertama kalinya dengan Reino yang menawarkan kontrak pernikahan. Dan Liani sama sekali tidak pernah tahu akan hal itu, sampai detik ini. Belum lagi dengan kejadian yang menimpanya baru-baru ini. Lydia tentu tidak akan mau menceritakan hal itu pada Liani. Apalagi wanita yang sudah cukup lama jadi single parent itu, selalu mengajarkannya untuk tidak melakukan tindakan asusila. Seperti yang saat ini dia lakukan. “Mama tahu zaman sudah berubah dan berhubungan di luar nikah juga bukan lagi hal tabu bagi sebagian orang, tapi kamu jangan seperti itu.” Lliani terus mengelusi tangan anaknya yang kurus. “Kehormatan seorang wanita memang bukan cuma diukur dari itu saja, tapi menurut Mama ada baiknya kalau kamu bisa jaga diri. Karena lelaki akan lebih menghargai kamu kalau kamu bisa jaga diri.” Lydia hanya bisa tersenyum kecut mendengar wejangan panjang ibunya itu. Dia benar-benar merasa bersalah pada wanita yang melahirkannya itu. Sudah dia tidak bisa menjaga kehormatannya, dia juga pernah menikah tanpa restu. Dan Lydia tidak akan bisa membayangkan betapa sakit hatinya wanita itu ketika dia tahu nanti. ***To Be Continued***“Amadeus Andersen?” Kenzo mengucapkan nama keponakannya yang kedua dengan kedua mata berkedip. “Apa kau ingin anak-anakmu jadi musisi?”Anak kedua Reino yang berjenis kelamin lelaki, baru saja dilahirkan dan lagi-lagi Reino baru terpikirkan soal nama. Alhasil, itu sempat membuat Lydia kesal. Untung saja, nama pemberian Reino cukup bagus. Amadeus. Diambil dari nama komposer terkenal dunia, Wolfgang Amadeus Mozart. Dengan nama anak pertama yang bernama Melody, tentu saja orang-orang akan berpikir kalau Reino ingin anaknya jadi musisi. “Tidak. Aku hanya ingin anak-anakku punya nama dengan tema yang sama.” Reino menjelaskan dengan santai. “Karena yang pertama sudah berhubungan dengan musik, jadi yang kedua pun harus sama.” “Tapi setidaknya tolong jangan membuat nama secara tiba-tiba.” Lydia menegur untuk yang kesekian kali. “Aku kesal karena nama yang sudah kusiapkan malah tidak jadi dipakai.” “Kita bisa memakainya sebagai nama tengah.” Reino memberi ide. “Sudah tidak mungkin. Aktanya
“Selamat atas kehamilan keduanya. Janinnya sudah berumur hampir empat minggu.” Lydia melongo mendengar apa yang dikatakan dokter barusan. Sungguh, dia sama sekali tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu karena memang belum ingin menambah momongan. Bukannya Lydia tidak mau tambah anak, tapi rencananya nanti. Mungkin setelah Melody berumur lebih dari setahun atau bahkan setelah anaknya berumur tiga tahun. Namun, ternyata itu semua tidak bisa lagi. Di usia Melody yang ke enam bulan, Lydia sudah hamil lagi. “Makanya aku bilang juga apa?” Lydia menghardik suaminya ketika mereka sudah duduk manis di dalam mobil. “Pakai pengaman. Apa susahnya sih?” “Katanya menyusui itu KB alami kan?” tanya Reino takut-takut. “Jadi kupikir tidak masalah.” “Iya, tapi kan ada syaratnya juga. Kau pikir aku menyusui dua puluh empat jam?” Lydia makin menghardik suaminya. “Sudah kejadian juga. Kita hanya bisa pasrah.” Reino mengatakan kalimat pamungkas itu. Lydia mendesah pelan. Memang sudah tak
Waktu berlalu dengan cepat. Setelah pencarian nama yang kilat, kini dua bayi kembar yang diberi nama Meyer dan Meidi itu sudah berusia lima bulan. Hanya berbeda satu bulan kurang dua hari dari keponakan mereka, Melody. Nama mereka bertiga bahkan serupa, bahkan wajah pun agak mirip. Tidak heran kalau mereka bertiga kadang dikira kembar. “Aduh lucunya mereka.” Kenzo memekik senang ketika adik dan keponakannya berkumpul dan bermain bersama. “Kalau kau begitu suka dengan bayi, kenapa tidak segera menikah dan punya anak sendiri?” Lydia geleng-geleng kepala melihat tingkah adiknya itu. Hari ini, Lydia berkunjung ke rumah mamanya. Kebetulan dia sudah agak lama tak berkunjung karena sibuk dan baru saja sembuh dari sakit. Anak-anak dibiarkan bermain di lantai yang sudah dialasi karpet tebal. Tak lupa juga para pengasuh dan pengurus rumah berjaga di sekitar bocah-bocah itu. “Aku suka bayi, tapi masih terlalu muda untuk menikah. Lagi pula, aku baru masuk kerja. Aku harus kumpul banyak uan
“Bagaimana?” Lydia berlarian mendatangi adiknya yang berdiri di depan ruang operasi. Liani sudah diatur akan dirujuk ke rumah sakit mana ketika melahirkan nanti. Letaknya berada di antara rumahnya dan rumah Lydia. Sengaja seperti itu agar bisa memudahkan semua orang. Rumah sakit yang sama dengan Lydia dulu. Lydia bahkan sempat menyusui Melody dulu sebentar, sebelum meninggalkan bayinya dengan mama Clarissa. Untung saja bayinya anteng dan tidak terlalu rewel, sehingga Lydia dan Reino bisa segera ke rumah sakit. “Mama masih di dalam. Dia baru masuk sekitar lima belas menit lalu karena tadi diperiksa dulu,” jelas Kenzo dengan panik. “Tidak apa-apa. Kau tidak perlu sepanik itu. Mama hanya melahirkan.” Lydia mengusap lengan adiknya. “Ya, tapi ... perut mama akan dibedah untuk mengeluarkan dua bocah itu. Itu tetap saja menakutkan.” Kenzo malah bergidik ketika membayangkannya. “Bagaimana nanti kau menemani istrimu melahirkan kalau kau selemah itu?” tanya Reino sambil menggelengkan kepal
“Bagaimana rasanya jadi seorang ibu?” Erika menanyakan hal itu pada Lydia. “Luar biasa,” jawab perempuan yang baru saja melahirkan beberapa minggu lalu itu. “Ternyata cukup menyenangkan.” “Cukup menyenangkan?” tanya Cinta dengan mata melotot. “Memangnya anakmu tidak pernah terbangun tengah malam? Tidak pernah rewel?"“Rewel.” Lydia mengangguk pelan, sambil melihat anaknya yang baru saja tertidur itu. “Tapi kan banyak yang bantuin.” “Yeah, the power of money. Ada pengasuhnya.” Vanessa memutar bola matanya karena gemas. Lydia tertawa cukup keras. Yang dikatakan Vanessa itu memang tidak salah. Reino memang menyewa pengasuh untuk membantu Lydia mengurus Melody. Ada juga mama mertua baik hati yang mau membantu dan Reino juga cukup siaga. Bisa dikatakan hidup Lydia benar-benar nyaman. Dia benar-benar hanya menyusui putrinya dan membantu memakaikan baju. Selebihnya akan dilakukan pengasuh atau mama mertua. “Kalau kau kewalahan, coba ambil pengasuh. Punya dua bayi pasti lebih repot.” L
“Aku takut.” Lydia terlihat sudah ingin menangis ketika mengatakan itu. “Tidak perlu takut. Kau akan baik-baik saja.” Reino mengecup istrinya yang sudah berganti pakaian dengan jubah operasi yang steril. Yap. Hari ini pada akhirnya ibu hamil itu akan melahirkan dengan prosedur operasi cesar menggunakan metode ERACS. Itu adalah jenis operasi yang bisa membuat Lydia tak perlu tinggal lama di rumah sakit karena pemulihannya lebih cepat. Sebenarnya Lydia ingin mencoba normal, tapi dia tak bisa melakukan itu. Ukuran bayinya terlalu besar, sementara panggulnya agak kecil. Tidak tanggung-tanggung berat bayi dalam kandungan diperikan sudah melebihi tiga koma lima kilo. Itu membuat Lydia kesulitan berjalan selama trisemester akhir.“Kau tidak perlu takut.” Ibu mertua Lydia menenangkan menantunya. “Zaman sudah modern dan alat kedokteran juga sudah canggih. Semua akan aman.” “Aku juga akan mendampingimu.” Reino mengelus lengan istrinya yang makin bertambah gemuk, seiring pertumbuhan si bay