Share

Excite 17
Excite 17
Author: Cho Ana

My Mother's Employer

Aku menganga. Memandang takjub pada bangunan mewah di hadapanku. 

Jadi Ibu selama ini bekerja di tempat sebagus ini?

Jika aku tahu dari dulu, aku pasti akan sering datang ke tempat kerja Ibu. Oh tidak, aku juga rela bekerja di tempat begini. Tapi Ibu tidak pernah menceritakan apapun. Aku juga tidak bertanya lebih banyak setelah Ibu mengatakan majikannya baik. 

Rumah itu terdiri dari 2 lantai. Terlihat kokoh dan megah. Temboknya berwarna putih kapur. Banyaknya dinding kaca menambahkan kesan mahalnya. 

Benar-benar desain rumah mewah yang biasa kulihat di I*******m.

Aku memarkirkan sepedaku, lalu berjalan memutar menuju pintu samping seperti pesan Ibu. Aku bahkan belum sempat pulang ke rumah dan belum sempat mengganti baju sekolahku karena Ibu mengatakan ini gawat darurat. Jadi mau tak mau aku langsung kemari setelah membeli pesanan Ibu. 

Sekarang aku tahu kenapa Ibu bilang ini gawat. Di sekitar sini tidak ada warung, sekalipun ada sangat jauh sekali. Dari rumah ini sampai ke gerbang masuk perumahan saja sudah jauh. Lagipula yang ada disini pastilah orang-orang kaya, mereka terbiasa menyediakan segala sesuatu di rumahnya lebih dahulu dan tidak perlu pergi ke warung.

Ibu tampak sedang membersihkan sesuatu di halaman belakang dan tidak menyadari aku mendekat. 

"Bu!"

Ibu terlonjak kaget. Aku tertawa puas walau sesudahnya tabokan sepedas cabai mendarat di lenganku. 

"Aduh…" Aku mengelus lengan kesakitan. 

"Duh, kalau Ibu jantungan gimana?"

Aku tersenyum lebar. "Nih." Aku menyerahkan plastik kresek berwarna hitam yang isinya adalah pembalut wanita. 

Ibu mengambilnya dan sedetik kemudian menghilang ke dalam rumah. Aku ditinggalkan begitu saja seperti anak hilang. Padahal aku berharap Ibu menyuruhku ikut masuk. 

Ah, sudahlah. Setidaknya aku bisa mengintip sedikit ke dalam dari luar. Toh banyak jendela kaca yang terbuka. 

Sambil berjalan kembali ke depan, tak hentinya aku berdecak kagum. Sepertinya bagian dalam juga tidak berbeda dari luar, semuanya serba putih dan hitam. 

Apa pemiliknya seorang laki-laki? Apa ia tampan? Apa ia sudah beristri? 

Aku terkikik. Tentu saja tidak terlalu serius dengan pemikiranku. Saat aku sudah kembali ke bagian depan rumah dan mengambil sepedaku, sebuah mobil hitam masuk, berjalan melewatiku. Aku berhenti sesaat. 

Apa itu pemiliknya? 

Mungkin saja. Aku tidak terlalu ingin tahu. Tubuhku sudah lelah seharian belajar. Aku hanya ingin cepat pulang, mandi, makan lalu rebahan.

"Mit!"

Suara Ibu menghentikanku lagi yang hendak naik ke sepeda. Aku menoleh. Ibu setengah berlari menghampiri. 

"Kenapa, Bu?" aku mengernyit heran, "Mau Mita beliin apa lagi?"

Ibu menggeleng. "Ibu pinjem dulu sepeda kamu. Ibu lupa beli ayam tadi pagi."

"Ha? Tapi Mita mau pulang, Bu. Capek."  rengekku. Mencegah Ibu merebut stir sepeda dari tanganku. 

"Sebentar aja." 

Aku tahu tidak akan bisa mengelak. Ibu pasti menang dan akhirnya berhasil merebut sepedaku. 

"Kamu mending bantuin Ibu angkatin jemuran di belakang ya. Mendung. Cepetan." 

Aku memberengut. Ingin menangis rasanya. Ibu menghilang dari pandanganku beberapa detik kemudian bersama sepedaku. Pundakku menurun lemas. 

Baiklah. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menurut. Saat menengadahkan kepala, redum memang mulai menggantung di langit. 

Semoga saja Ibu pulang sebelum hujan. Oh ya! Jemuran. 

Ternyata mobil itu masih ada disana saat aku berbalik. Bertepatan dengan pemilik mobil hitam itu keluar dari pintu pengemudi. Seorang pria turun, dengan setelan jas rapi berwarna biru. 

Pria tua? Dengan kepala setengah botak? Badan gembul? Dan Pendek? Itu dugaanku untuk sosok eksekutif yang punya rumah semewah ini. 

Dimana sih bisa menemukan pria dengan banyak harta, sukses di usia muda, dan tampan menjadi nilai tambah dan pelengkap? Selain di dalam televisi atau novel? 

Benar. Ini mungkin khayalanku saja. Karena di depanku sekarang ada seorang pria gagah, dengan rambut sekelam malam bergaya klasik pendek yang dibelah tengah. Kemudian, tanpa sengaja aku bisa melihat wajah aristokratnya saat ia menoleh ke arahku. 

Ah, mungkin dia hanya supir. Aku menanti orang lain yang turun dari mobil. Tapi tidak ada. 

Benar, dia terlalu tampan dan rapi hanya untuk jadi seorang supir. Mungkinkah dia pemilik rumah ini dan berarti, pria itu juga majikan Ibu? 

Aku benar-benar menemukan spesies langka. Bagaimana jika teman sekolahku menjumpai sosok di depanku ini? Mereka pasti sudah histeris sampai pingsan.

Duarrr! 

Aku terlonjak. Lamunanku buyar. Ternyata malah petir yang berteriak histeris. 

Aku mengangguk pelan untuk permisi, ke arah tatapan yang masih memperhatikan ku itu. Ada sesuatu yang lebih penting dan harus kukerjakan. Bukan saatnya untuk mengagumi keindahan makhluk tuhan yang satu itu. 

****

Aku selamat. 

Rintik hujan turun saat aku berhasil mengangkat helai pakaian terakhir dari tiang jemuran. 

Aku membungkuk. Menekan gagang pintu dengan siku ku sampai berhasil terbuka karena kedua tanganku penuh untuk memeluk pakaian. 

Ternyata pintu belakang, tempat Ibu menghilang tadi setelah menerima bungkusan pembalut, berbatasan langsung pada ruangan luas yang berisi mesin-mesin cuci dan kabinet-kabinet berwarna putih. Bersih dan lengkap. 

Wah… Ruang mencuci saja lebih luas dari kamarku. Ngomong-ngomong, harus kuletakkan dimana semua pakaian ini? 

Mataku menyisir ruangan. Ada keranjang pakaian. Tapi di sana, di ujung ruangan. 

Aku mendesah. Tidak mungkin aku masuk kesana dengan alas kaki. Sepatuku terlalu kotor. Tetapi terlalu susah juga untuk melepasnya tanpa kedua tanganku. 

Aku mencoba menekan bagian belakang sepatuku dengan kaki yang lain sambil menarik-narik ke atas kakiku supaya bisa keluar dari sepatu. Sialnya ikatan sepatuku terlalu kencang. Setelah beberapa saat berusaha, masih tidak bisa. Sampai aku kehabisan tenaga.

Aku menarik nafas, mengumpulkan kekuatan dan mencoba sekali lagi.

Aw! 

Aku malah menginjak kakiku yang lainnya. Aku memejamkan mata, merasakan tubuhku terhuyung ke belakang. Bersiap-siap merasakan Hantaman keras di pantatku. 

Tapi ada sesuatu yang menangkap pinggangku, menahannya. Mendorongku untuk kembali berdiri tegak. Aku terkesiap. Itu Bukan tangan Ibu. Cengkeramannya terasa kuat tapi tidak menyakitkan. 

Aku berbalik. Pria itu disana. Mata sendu dan tajam itu di belakangku. Sekarang, aku bisa melihatnya lebih jelas dan lebih dekat. Aku tidak tahu dia campuran ras mana, tapi aku yakin dia bukan berdarah asli asia. 

Alisnya tebal, tulang hidung yang tinggi, rahang yang kokoh, bibir penuh berwarna merah muda, kulit berwarna pucat terang. 

Proporsi yang sungguh sempurna. Apakah dia dewa yang turun dari langit? Atau malaikat yang menyamar sebagai manusia? 

Duarr… 

Aku terlonjak. Ugh, sepertinya petir selalu mendukungku untuk tidak berkhayal lebih jauh. Sambil mengerjap-ngerjap, aku berusaha mengembalikan kesadaranku yang sudah terbang kemana-mana. 

Tapi, sejak kapan dia dibelakangku? Kenapa aku tidak merasakan kehadirannya?

Pria itu tiba-tiba menghilang dari pandanganku. 

Dia jongkok? Apa yang dia lakukan?

Aku memiringkan kepala. Mencoba mengintip dari samping tumpukan baju yang kupeluk. Perasaan menggelitik terasa di atas kakiku. Seketika aku tahu apa yang dia lakukan. Dia sedang melepas tali sepatuku. 

Aku tahu apa yang tengah dilakukannya sekarang kurang pantas. Dia menyentuh sepatuku yang kotor. Bagaimana caraku melarangnya? Aku bahkan tidak tahu bagaimana memanggilnya. Pak? Tuan? Om? 

Terlambat. Dia sudah kembali berdiri tegak. "Kamu bisa melepasnya sekarang." Suaranya lembut dan dalam. Suara yang menenangkan. 

Hujan mulai turun dengan deras.  

Akhirnya, aku bisa mengeluarkan kakiku dari sepatu. "M-ma-makasih, Pak." kurasa pantas memanggilnya Bapak. Walau dia tidak tua -mungkin usianya 30 an- hanya panggilan itu yang terdengar sopan. Apalagi dia adalah majikan ibu. Aku harus menghormatinya. 

"Kamu putri Ibu Lina?" tanyanya sambil memperhatikan wajahku. 

Aku mengangguk. 

"Tunggulah Ibumu di dalam. Jangan di luar." ucapnya lagi. Kemudian menghilang di balik sebuah pintu lain yang berada tepat bersebelahan dengan pintu ruang cuci tadi. Membiarkan pintu itu terbuka. 

Apa baru saja dia mempersilahkan ku masuk? 

Aku tersenyum kecil. Cepat-cepat mengambil keranjang di sudut ruangan sana. Meletakkan semua baju yang kupeluk ke dalamnya. Aku mencium aroma yang sedikit mirip pria itu pada tumpukan baju ini. 

Selesai meletakkan keranjang dengan rapi, aku ikut berjalan menuju pintu itu, masuk ke dalamnya. Tidak lupa menutupnya kembali.

Ada ruangan luas yang rapi dan bersih lainnya. Aku langsung masuk ke bagian dapur yang perabotannya masih didominasi warna hitam putih. Bulu kudukku meremang. Bagaimana bisa udara di dalam ternyata lebih dingin daripada di luar. 

Kenapa Ibu tidak bisa membuat rumah kita tetap bersih seperti ini? Tentu saja tidak bisa. Membersihkan rumah adalah tugasku, sementara disuruh mengepel saja aku selalu menjawabnya nanti-nanti. 

Aku duduk di salah satu kursi tinggi, di belakang meja bar mini yang bersebelahan dengan meja kompor listrik. Memutuskan untuk tidak berjalan lebih jauh. Aku tidak mau berkeliaran begitu saja di rumah orang. 

Telunjukku mengetuk-ngetuk meja. Sepi sekali. Apa memang tidak ada orang lain di rumah ini selain pria itu? Mataku menyisir ruangan. Memang tidak ada siapa-siapa. Aku juga tidak bisa menjumpai keberadaan pria itu lagi. 

Kenapa Ibu juga lama sekali? Kasihan, Ibu pasti kehujanan. 

Dering ponselku tiba-tiba memecah keheningan. Aku menurunkan tas yang dari tadi tidak pernah lepas dari punggungku. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ternyata pesan dari ibu. 

'Ibu berteduh dulu. Setidaknya sampai hujan sedikit reda.' 

Aku segera mengetik balasan. 

'Iya, Bu. Jangan sampai kehujanan.'

Namaku yang ditandai membuat notifikasi lainnya dari sebuah grup yang sudah kubisukan selama setahun, muncul. Itu grup yang berisi teman-teman sekelasku. 

Aku membukanya dan sudah ada sekitar 150 chat yang belum kubaca. Aku menggulir pesan dari atas sampai bawah. Membaca keributan apa yang sedang terjadi. Sebagian sungguh tidak penting. Sebagian lainnya meributkan PR Matematika yang harus dikumpulkan besok. 

Begitu membaca pemberitahuan itu aku juga buru-buru mengeluarkan buku dari tasku, mengecek, kemudian meringis. PR ku masih kosong. Sama sekali belum kukerjakan. 

Aku memutuskan mengerjakannya sambil menunggu Ibu. Aku tidak yakin sempat mengerjakannya jika ditunda sampai malam. Paling, pulang-pulang aku langsung tertidur. 

Matematika, entah kenapa aku paling lemah dalam bidang pelajaran itu.

Aku mengeluarkan beberapa peralatan tulis berikut sebungkus coklat stik kemudian mulai berkutat. Kata orang, coklat bisa meningkatkan konsentrasi dan daya ingat. Tapi aku memakannya bukan karena hal itu, tapi karena aku suka coklat saja.

Sesekali aku mendengus kesal karena tidak bisa menemukan jawaban dari deretan angka-angka disana. 

Haruskah aku meminta jawaban pada Gatra? Tentu. Gatra pasti akan memberikan jawabannya untukku. 

Mataku mulai lelah. Leherku mulai pegal. Aku meletakkan kepalaku di atas meja. Menyerah. Masih ada beberapa soal yang belum bisa kukerjakan, tapi kepalaku sudah mengeluarkan asap. 

Kenapa juga udara bertambah dingin. Cuaca seperti ini membuat rasa malas makin memuncak. Yang ku inginkan hanya tidur di kasur, mendengarkan musik atau membaca novel, dan bergulung dalam kain tebal bercorak bunga, selimutku di rumah. 

Aku menguap dan memejamkan mata. 

****

Jantungku berdegup kencang saat gemuruh benar-benar memekakkan telinga. Membuatku terbangun. 

Apa aku tertidur cukup lama? Aku menyalakan ponselku untuk melihat waktu. Ternyata tidak lama. Mungkin hanya 15 menit. 

Aku mengangkat kepalaku dari meja. Menguap, sembari meregangkan punggung dan kedua tanganku ke udara hanya untuk sepersekian detik, karena kemudian aku cepat-cepat menurunkannya kembali melihat diriku tidak sendirian. 

Dia bersandar di depan lemari dapur. Satu tangannya menggenggam cangkir yang isinya masih mengepul, sementara tangan yang satunya masuk ke dalam saku celana. Penampilannya lebih santai. Dia sudah tidak memakai jas tapi masih memakai kemeja putih dan celana bahan berwarna krim. Tatapannya biasa saja saat melihatku terkejut setengah mati. 

Apa pria itu bisa bergerak selembut angin? Kenapa dia selalu muncul tiba-tiba? Untung saja jantungku masih sehat. 

"Sa-mi-ta." gumamnya pelan tapi masih bisa kudengar. 

Aku mengikuti arah pandangnya ke arah bet nama pada seragam sekolah yang masih kupakai. Aku tersenyum kecil kemudian buru-buru membereskan tumpukan buku yang masih berserakan di atas meja. 

Semoga saja dia tidak merasa risih melihat buku yang berantakan ini. Aish, Samita… Apa sih yang sudah ku lakukan? Seharusnya aku mengerjakan PR nya nanti saja. Saat sudah sampai Di rumah.

"Sudah selesai?" tanyanya. 

Aku menghentikan aktivitasku. Menggeleng pelan. "Baru setengah." 

"Lanjutkan saja."

Aku tersenyum kikuk. Sungguh, aku tidak bisa melanjutkannya. Bukan karena aku tidak mau, tapi karena aku memang tidak bisa menyelesaikannya. Aku tidak tahu jawabannya. 

"Perlu bantuan?" tawarnya tiba-tiba. 

Aku mengangkat kedua alisku. Selain punya kemampuan bergerak dalam kesunyian seperti ninja, apa sekarang dia juga punya kekuatan membaca pikiran orang lain?

Pria itu duduk di kursi di sampingku. Dari penampilannya, aku sama sekali tidak meragukan kepintarannya. Apalagi setelah dia mengambil sesuatu dari kantung belakang celananya kemudian memakainya. Kaca mata itu, membuat dia seketika berubah menjadi profesor paling tampan sejagat raya. 

"Saya dulu pernah mengajar matematika." ceritanya. "Katakan saja apa yang kamu tidak mengerti." 

Dia mengajar? Dia guru? Dosen? Astaga banyak sekali pertanyaan yang berputar di kepalaku tapi aku tidak bisa mengeluarkannya satu pun. Atau mungkin aku bisa mengeluarkan pertanyaan tentang soal-soal ini saja? 

Aku mulai menunjuk soal mana yang susah. Dia benar-benar menjelaskan jawabannya. Suara lembutnya yang sedang menjelaskan rumus-rumus menyebalkan itu, seperti alunan musik merdu di telingaku. 

Kebersamaan dengannya yang terasa santai kali ini, malah terasa aneh. Padahal aku merasa kaku saat bertemu dengannya di ruang cuci tadi. 

"Ini salah." Dia menunjuk jawaban yang salah di buku tulis. Mencondongkan badan agar bisa melihat apa yang tertulis di dalam buku lebih jelas, hingga tanpa sengaja membuat bahu kami saling bertabrakan. Aku menoleh. 

Dia begitu dekat dan disaat itu juga aku baru melihat rambutnya yang masih setengah basah. Aroma maskulin menguar dari tubuhnya. 

Kira-kira, bagaimana rasanya memegang kedua bahu kekar itu? Mataku bergerak ke atas, meneliti lehernya yang jenjang dan bergaris tegas. 

Aku tidak tahu dia sengaja atau tidak membuat dua kancing kemeja teratasnya terbuka. Astaga, aku sesak nafas. Kenapa mataku mengarah kesana. Aku menelan ludah. 

Hei, mataku, berhenti! Tapi, Kedua mataku tidak mau menurut pada perintah hati, malah terus bergerak ke atas. Ke rahangnya, ke bibirnya yang tampak lezat, sampai berhenti pada kedua iris berwarna abu-abu yang sedang menatapku balik. 

Sial! Tertangkap basah. Aku tersentak. Cepat-cepat menenggelamkan pandanganku ke arah buku. Jantungku mati rasa. Matanya terus menatapku lekat. Membuat suasana tidak nyaman lagi bagiku.

"M-Mita mengerjakannya di rumah saja, Pak." Aku kembali membereskan buku-buku itu. 

"Apa yang membuatmu tidak bisa berkonsentrasi?" tanyanya. 

Aku menggigit bibir bawahku. Bagaimana bisa aku mengatakan alasannya? Bagaimana aku bisa berkonsentrasi, saat pikiranku penuh oleh setiap inci yang ada pada dirinya? 

"Kamu pikir, saya akan membiarkanmu pergi begitu saja? Setelah melihatku dengan tidak sopan seperti itu?"

Glek. 

Tanganku berhenti sejenak dari aktivitas memasukkan buku terakhir ke dalam tas. Dia menyadarinya, 'kan?  Samita bodoh!

Aku memejamkan mata. Memberikan aba-aba pada diri sendiri. Untuk meminta maaf padanya. 

"Maaf, Pak. Mita nggak sopan. Mita janji nggak akan berani melihat Bapak lagi."

Aku langsung memutar kepala ke arah yang berlawanan, kemudian baru membuka mata. Saat ini Aku benar-benar harus menjaga mataku untuk tidak melihat ke arah pria itu. 

Kenapa juga tiba-tiba resleting tas ku macet sih?

Aku masih berusaha menutup tas ku. Aku harus cepat-cepat keluar dari ruangan ini. Kemana saja. Dimana tidak ada pria itu. 

"Siapa yang mengatakan kamu jadi tidak boleh melihatku?" 

Aku merasakan pergerakan di belakangku. Tapi aku tidak berani menoleh. Semakin lama, bagian punggungku menjadi semakin hangat.

"Saya tahu apa yang kamu pikirkan. Tapi… " Dia mendekat. Berbisik di telingaku. Benar-benar di depan telingaku. Mungkin mulutnya hanya berjarak beberapa centi dari sana. Rambutku yang terikat satu membuat telingaku terekspos dan nafasnya yang hangat langsung menyapu daun telingaku. "Saya menyukainya." 

Perkataannya membuat tubuhku kaku. Dia memutar kursi yang kududuki. 

Oke, sejak kapan kursi ini bisa diputar? 

Dia membuatku menghadapnya lagi. Mau tidak mau aku kembali melihatnya. Wajahnya yang tadi berada di dekat telingaku belum beranjak mundur. Membuat hidungku dan hidungnya, kini hampir bersentuhan. 

Ya ampun. Aku belum pernah berjarak sedekat ini pada lawan jenis. Nafasku tertahan saat dia benar-benar menyentuhkan hidungnya di hidung ku. 

Mita, segera beranjak! Tidak bisa. Kakiku lemas. Badanku tidak bisa bergerak. 

"Apa yang ingin kamu sentuh?"

Apa maksud pertanyaannya? Apa mungkin dia tahu fantasi apa yang sedang ada di pikiranku? Apa yang ingin ku sentuh? Bahunya… Bibirnya… Tubuhnya… Ah. Tidak. Tidak.

"Ini?" tanyanya lagi. 

Dan dia benar-benar mendaratkan sesuatu di bibirku. Itu bibirnya. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Oot
oh myyyy oh myyyy
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status