Share

Executive Chef Tampan
Executive Chef Tampan
Penulis: Wening

Wajah Baru

Seorang wanita dengan kemeja putih berdasi kupu-kupu rok pendek di atas lutut itu berlari di koridor. Tangan kanannya membawa sepatu heels 5 cm serta handphone di tangan kirinya. Ia buru-buru hingga tak sengaja menubruk lelaki dengan setelan chef lengkap.

"Maaf..maaf" ucapnya membungkukkan badan, selanjutnya ia berbalik mengenakan heels dan melanjutkan langkahnya. Kali ini hanya berjalan karena restoran hampir dekat.

Apa ia sudah gila? Di hari pertama ia bekerja, ia hampir saja telat. Kesan pertama yang buruk, sungguh memalukan.

Lelaki yang ditabrak tadi mengusap jaket chef-nya. Melihat wanita itu, sepertinya ia mengenalinya. Mirip anak kecil yang berada di taman kanak-kanak yang suka berkelahi di samping rumahnya.

Gadis kecil itu sangat usil memang, dan saking usilnya, ia yang tinggal di sebelah TK-nya juga mendapat keusilan dari gadis itu. Dia dilempari kerikil ditambah tawa cekikikan yang rekaman suaranya masih terngiang jelas di memori kepalanya. Dan namanya...

"Selamat pagi, chef Ekna. Apa chef sudah tahu jika grup dari DPR luncheon-nya maju jam sebelas siang?"

"Baru saja tadi. Saya juga sudah menambahkan tim kitchen untuk masuk hari ini." Ekna kembali berjalan setelah mengucapkannya.

Pasha turut berjalan di samping Ekna. "Ohiya di tim service ada yang baru–"

"Yang menabrak saya tadi. Siapa namanya?"

"Nadhira"

Benar, nama gadis setan itu adalah Nadhira.

Tiba-tiba Pasha sadar dengan apa yang dikatakan Ekna, "menabrak?"

"Memang, tadi saya ditabrak sama anak barumu itu." Ekna tersenyum hingga gigi rapinya terlihat.

Pasha melihat Ekna ngeri. "Tak biasanya kamu tak memarahi anak service."

Ekna mengangguk kemudian mengeluarkan ponselnya. Memamerkan potret dirinya 11 tahun dengan seorang anak perempuan berumur 5 tahun. "Foto anak ini adalah Nadhira. Wanita tadi..."

Pasha mendadak bisu. Jika sudah begini, Pasha harus bersiap-siap mendengar berita baru.

.

Nadhira yang sudah memasuki area restoran sudah dikejutkan oleh banyak manusia yang berlalu-lalang. Suara kasir yang berdecit kencang, api yang membara di atas penggorengan, serta suara sendok-piring yang beradu.

Benar, sarapan sudah mulai.

Sejujurnya di hari pertama, ia masuk jam 8 pagi, kata manager-nya untuk permulaan saja. Selanjutnya nanti ia pasti akan dibuatkan jadwal perminggu.

Tapi masih perlu digaris bawahi, Nadhira nyaris telat 3 menit di TKP.

Melihat sibuknya para service, ia mengambil round tray. Selanjutnya berkeliling meja-meja kotor yang sudah ditinggali tamu. Round tray-nya ia isi dengan gelas jus serta chineware kecil, sedangkan tangan kanannya membawa setumpuk piring dengan sendok garpu diatasnya.

"Mbak, ini ditaruh di mana, ya?" tanya Nadhira pada seorang waitress yang juga tengah membawa tumpukan piring.

"Ikut gue"

Nadhira nurut, ia mengikuti langkah wanita yang sepertinya akan menjadi temannya itu.

"Lo baru, ya?"

Nadhira mengangguk.

"Kenalin, Nadhira." ucap Nadhira sembari menata piring di meja steward.

"Panggil gue Syasya." Syasya selesai menyusun piring-piringnya, kemudian berucap. "Ayo ikut gue handle di smoking area dekat pool."

Belum saja mereka melangkah, mereka di panggil seseorang dari pintu kitchen. "Hei, kamu!"

Mereka seketika menoleh bersamaan.

"Bawakan makanan ini ke kamar pak Angga. Tadi beliau pesan melalui chat. Kalian berdua, ya?" perintah Ekna pada Nadhira serta Syasya.

"Ada anak co–" ucapan Nadhira terpotong.

"Sekalian ajak dia keliling, kamu baru, 'kan?" Ekna melirik jam tangannya, lantas atensinya beralih pada Nadhira kembali. "Jangan membuat pak Angga marah kemudian menyalahkan kitchen."

"Iya"

Ekna memberi isyarat 'pergi' menggunakan tangannya.

Nadhira mengambil square tray dari tangan Ekna, mengikuti langkah Syasya yang pergi cepat-cepat membuat Nadhira merasa aneh pada gelagat teman barunya itu.

"Lo nggak ngeri liat komuknya?" ucap Syasya setelah Nadhira dekat padanya.

"Chef tadi? Biasa aja, mirip tetangga gue di kampung." ucap Nadhira menertawai ucapannya sendiri. "Tapi ganteng"

"Sa ae lu" Syasya memencet tombol lift ke lantai atas.

"Emang posisinya apasih dia?"

"Lo ga liat bedge-nya tadi? Dia ex chef! Sebelum lo tanya lagi soal pak Angga juga siapa, gue jawab sekalian. Dia adalah pewaris tunggal keluarga Ganendra. Yang punya hotel ini, keren bukan?"

Syasya mengelus pipinya sendiri, seakan tengah berkhayal. "Seandainya gue jomblo, pasti gue bisa dapetin mereka berdua."

Nadhira terkikik geli melihat tingkah Syasya.

Pintu lift terbuka, ada beberapa lelaki berseragam housekeeping mendorong trolley yang dipenuhi linen kotor.

"Hai, Sya!" sapa salah satunya dengan menahan sensor pintu lift menggunakan tangannya.

"Haaiii!" jawab Syasya dengan suara imutnya, setelah itu masuk bersama Nadhira. "Makasih Fiko"

"Jadi lo harus hafal sama kamar-kamar meski kadang banget cewek disuruh room service."

"Mengerti" ucap Nadhira manggut-manggut.

Memakan beberapa menit mereka sampai di kamar 631, kamar yang diisi oleh Angga sang pewaris.

Syasya memencet bell. "Room service, please!"

Terdengar suara langkah mendekat, lantas pintu terbuka menampilkan lelaki dengan piyama hitam. Rambutnya acak-acakan membuat Nadhira sedikit geli melihat pemandangan di depannya. Ia bisa menebaknya jika pewaris ini habis bangun tidur. Astaga, Nadhira yang bangun pagi-pagi kenapa dia yang kaya raya? Ia baru sadar akan adanya garis turunan.

"Good morning bapak Angga, ini pesanan bapak. Boleh kami masuk?" ucap Nadhira tersenyum ramah.

Angga memberi isyarat menggunakan kepalanya. Lelaki itu kembali masuk, melepaskan piyama hitamnya itu kemudian menggantungnya.

Nadhira yang melihat Angga yang tiba-tiba melepas bajunya kaget. "Pa—pak Angga mau ngapain?"

Beruntung tray-nya sudah ia taruh di atas meja, jika tidak tray ditangannya bisa saja terguncang kemudian soup akan membasahi soucer dibawahnya.

Angga memutar bola matanya. "Mau mandi. Mau temani saya mandi?"

Angga mendekati Nadhira, menatap wajah Nadhira dari dekat kemudian tersenyum. "Apa kamu punya kembaran?"

"Hah?" otak Nadhira tiba-tiba berkeliaran. Ia setengah takut melihat lelaki yang memiliki tatapan mesum itu yang sialnya adalah pemilik hotel ini.

"Makanannya sudah semua ya pak, permisi." Syasya segera menarik lengan Nadhira keluar sebelum  boss-nya itu berbuat yang tidak-tidak.

"Sorry Sya. Dia–?" Nadhira memburu langkah Syasya.

"For your information aja nih, ati-ati sama dia."

"Pikiran gue kemana-mana loh, beneran gasih?"

"Seratus Nadhira. Otak Lo emang top cer." Syasya buru-buru menepuk kepalanya. "Sumpah gue narik ucapan gue sendiri tadi soal gue mau jadi pacarnya pak Angga. Tau nggak, dia duda kembang. Ditinggal istrinya meninggal karena sakit-sakitan."

Mereka sampai di depan pintu lift kembali, kali ini Nadhira yang memencetnya. Telinganya masih on untuk mendengarkan dunia pergibahan Syasya. Sungguh ia tak mau ketinggalan berita yang menurutnya sangat menarik ini.

"Catat baik-baik, jika dia itu tukang mesum!" ucap Syasya diakhir kata. Hingga tak terasa percakapan mereka terhenti ketika mereka sampai di restoran.

Sekali lagi, mereka siap berperang. Nadhira membawa lap dan semprotan chemical sedangkan Syasya dengan square tray. Sepertinya ini akan menjadi hari yang panjang buat Nadhira.

"Permisi bapak, ibu, untuk piringnya bisa saya angkat?" Nadhira menunjuk piring-piring yang kosong di atas meja.

"Silahkan, mbak."

Suaminya membaca name tag di seragam Nadhira, ia tersenyum dan berkata, "Terimakasih mbak Nadhira."

Nadhira terkejut, namun tetap tenang dengan memberi senyuman. "Dengan senang hati.."

"Permisi mbak, tolong bersihkan meja diujung sana, ya. Aku belum mendapatkan meja."

"Baik mbak, ditunggu sebentar, ya. Nanti saya panggilkan tim kami untuk membersihkannya." ucap Nadhira berbalik lalu melambaikan tangan pada seorang lelaki dengan seragam yang berbeda darinya.

"Minta tolong beresin meja ujung sana untuk mbaknya baju putih itu. Jangan lupa di scrambing." pinta Nadhira.

"Siap mbak."

.

Pukul 5 sore, Ekna sudah mengganti pakaiannya dengan kaus hitam celana jeans. Wangi parfum cokelat berganti menjadi wangi mint menyegarkan. Ia bersiap pulang, menuju security, kemudian mengambil helmnya yang sengaja ia titipkan di sana. Tapi tunggu dulu, mengapa helm full face-nya berbau aneh begini?

"Pak Yanto, tadi ada orang yang juga pakai helm yang sama seperti milik saya?"

Security yang menjaga pos karyawan itu mengingat-ingat. "Ah! Tadi sepertinya ada yang bawa, anak baru, anaknya cantik."

"Tertukar itu mungkin sama anak baru tadi. Anak service sepertinya." sahut seseorang mengira-ngira di belakangnya.

Kesal? Pasti. Baru kali ini ada orang yang mencari gara-gara dengan dirinya. Tapi yang mencari gara-gara itu adalah Nadhira. Teman masa kecilnya. Gadis yang ia sukai untuk pertama kalinya.

Jadi, apa ia harus kesal atau menertawai kecerobohannya?

"Bagaimana mungkin penyakit anak itu masih ada hingga dewasa?" monolognya terkekeh dengan gelengan kepala.

Ekna merogoh ponselnya berniat untuk menelepon Pasha. "Gue minta nomornya Nadhira sekarang. Helm gue ditukar sama tuh bocah."

"Lo mau marahin dia atau ada hal yang lain?"

"Gue sudah menemukannya. Gadis yang selama ini gue ceritain sama elo."

"Lo gak akan main-main sama dia, 'kan, Eks? Citra lo di hotel sudah buruk, apalagi ketika lo main sama Citra. Gue sangat kenal sama Nadhira dari dia training di Jogja hingga sekarang. Dia ke Jakarta juga hanya mencari bokapnya. Jangan hancurin hidup dia, please!" ucap Pasha seakan tau rencana Ekna pada Nadhira. Ia merasa jika siluman buaya Ekna masih ada. Tersembunyi di dalam raga lelaki itu.

"Sudah?"

"Gue sudah memperingatkan sama elo. Nadhira bukan, lah, gadis sembarangan"

"Terpenting beri gue nomor dia sekarang." setelah mengucapkannya, Ekna mematikan ponsel.

Dan benar, Ekna akhirnya merasa menang ketika Pasha memberi nomor telefon Nadhira. Senyuman manisnya timbul ketika ia melihat foto profil kontak Nadhira.

"Dia cantik" lantas ia menelepon kontak Nadhira.

'Tuuuut..'

'Tuuuut..'

'Tuuuut..'

'Nomor yang anda tuju tidak menjawab–'

Sabar, Eks, mungkin Nadhira masih di jalan pulang. Mungkin sekali lagi.

'Tuuuut..'

'Tuuuut..'

'panggilan anda ditolak–'

Ekna melongo, ia tidak pernah diabaikan sebelumnya. Bahkan di tolak.

Okey, mungkin sekali lagi, Ekna.

Ekna kembali menelepon Nadhira. Tetapi kali ini panggilannya ditolak. Iya, ditolak oleh Nadhira kembali yang kedua kalinya. Seorang Ekna Firdausy ditolak oleh Nadhira?

"Ditolak, lagi? Baru pertama ini gue ditolak. Jadi gue harus merayakannya atau malah bersedih?" monolognya dengan senyuman yang membuat orang disekitarnya terheran.

Kali ini ia tak percaya, Ekna harus meneleponnya berkali-kali meski sampai seratus kali jika bisa. Ia harus mendapatkannya.

Helm.

Dan juga Nadhira.

Seambisius itu Ekna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status