Share

Ditembak

Jalanan sangat padat di sore ini, Nadhira tak henti menggerutu di dalam hati ketika melihat macetnya kota Jakarta. Jika bukan karena ayahnya ia tak akan mau bekerja di Jakarta. Mungkin ia memilih kembali ke kota Yogyakarta, si kota pelajar.

Tanpa diduga supir ojol yang ia tumpangi ngerem mendadak, sehingga helm mereka saling bertubrukan.

"Hati-hati dong, pak!" ucap Nadhira dongkol.

"Maaf, neng. Ada ibu-ibu tadi yang lampu sennya ke kiri, ternyata belok ke kanan. Kaget saya.."

Sungguh emak-emak kurang ajar, batin Nadhira dongkol.

Nadhira kembali melamun dengan menatap beberapa gedung pencakar langit. Andai saja ayahnya disampingnya, pasti hidup Nadhira tak akan seperti ini. Ia harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga.

Silau matahari membuat indera penglihatannya sensitif, Nadhira segera menutup kaca helm full face yang ia pinjam dari tetangga kosan. Jujur ia ke Jakarta hanya membawa baju saja, untuk perlengkapan yang lain ia membelinya secara dadakan. Jadi tak heran di hari pertama ia bekerja terlihat amburadul.

Ponselnya bergetar, Nadhira mengambil ponselnya yang ia gantung di leher. Tertera nomor baru. Gadis itu sedikit takut, berpikir yang tidak-tidak. Sesegera mungkin ia mengabaikan ponselnya yang berdering.

"Makasih ya, pak. Pakai O-pay bayarnya kan pak?" Nadhira melenggang masuk ke dalam kosan. Sebelumnya ia mengetuk pintu Rian yang berada di sebelah kamarnya. Berniat mengembalikan helm milik tetangganya.

Tetapi tak ada jawaban. Sudah dipastikan dia pergi bersama pacarnya. Kemana lagi lelaki bucin itu pergi jika tidak bersama pacarnya?

Gadis itu mengambil kunci dari dalam sepatu selanjutnya masuk ke kamar. sengaja sekali ia menaruhnya disitu, ia kerap menghilangkan benda kecil yang terlihat remeh itu.

Nadhira melepaskan helm, wangi mint tercium. Tetapi bagi Nadhira tak ada yang aneh, ia hanya membiarkan helm itu duduk manis di lantai. Sedangkan ia melihat profil nomor baru yang telah meneleponnya tadi.

"Ekna Firdausy!" gadis itu langsung berteriak seperti baru saja melihat hantu.

"Sudah lima belas kali dia menelepon aku? Ada apa?" Nadhira tiba-tiba tersenyum. "Pasti dia suka sama aku. Haha.. tidak akan ada orang yang menolak pesona Nadhira Khasanah."

Nadhira memang, lah, gadis paling percaya diri di muka bumi ini.

"Hallo assalamu'alaikum."

"Lo dimana?"

"Hah! Emang ada apa?"

"Yang lo bawa itu helm lo bukan?"

Atensi Nadhira beralih pada helm yang ia cuekin sejak tadi. "Gatau"

"Lo nuker helm lo dengan helm gue. Bilang sekarang posisi lo dimana? Gue sekarang berada di sekitar daerah kosan lo."

Mulut Nadhira tak berhenti menganga, kenapa ia begitu ceroboh sekali, sih? Dan kenapa helm-nya tertukar dengan helm kepala dapur yang super rese itu? Kenapa bukan pak Pasha atau Syasya atau—siapalah. Yang terpenting dia baik, gitu.

Duh, Nadhira keceplosan.

"Gue share location."

Setelah sambungan telefon mereka terputus, Nadhira merasa dongkol dengan dirinya sendiri. Hey, dia sudah meminjam helm dan menukarkannya? Jika Rian tau, bisa digantung di tiang dia.

Nadhira keluar kosan dengan membawa helm full face. Menunggu Ekna di luar gerbang, tangannya tak lepas dari benda pipih itu. Siapa tau dari sederet gebetan akan menelepon untuk mengobati rasa kesalnya.

Motor sport hitam berhenti di depan Nadhira. Lelaki itu mematikan motornya, lantas turun dari kuda besi itu.

"Maafin gue" pinta Nadhira tulus, setulus-tulusnya. Tak lupa ia memberikan tatapan puppy eyes andalannya.

Ekna menyerahkan helm Rian ditukar dengan helm miliknya. "Kosan lo, kosan campur?"

Nadhira menoleh mendapati seorang lelaki yang keluar dari kosan, lantas mengangguk. "Dapetnya ini, kamar mandi dalam dengan harga miring."

Bangunan itu tak lepas dari perhatian Ekna, "Lo sendiri?"

Lagi-lagi Nadhira mengangguk. "Mau mampir? Permintaan maaf gue, dikosan ada kopi. Mau ngopi?"

Ekna menaikkan alisnya.

"Eh sorry, gue kelewatan ngajak elo ke kamar gue." ucap Nadhira tampak frustasi dengan mulutnya yang terlalu licin mengajak Ekna masuk ke kamarnya.

"Boleh"

"Hah? T–tapi, gue tadi gak sengaja ngomong gitu. Ucapan gue, gue tarik. Gak sepantasnya gue mengajak cowok ke kamar gue."

Ekna tertawa hingga kedua mata sipitnya berbentuk sabit. Pipi putihnya mengkilat. Melihatnya saja membuat Nadhira ikut tertawa.

"Gue nggak akan macam-macam, kok. Jangan khawatir."

Kebodohan Nadhira yang kedua. Doubleb kill.

Mendengar itu Nadhira segera mempersilahkan Ekna ke dalam kamarnya. Ia membuka korden dan membuka pintu kamar. 

"Pintunya dibuka aja, biar nggak dipikir enggak-enggak."

"Maaf berantakan" jujur kamar Nadhira super rapi dan bersih. Itu hanya ucapan b**a-basinya agar tidak canggung.

Setelah ia membuatkan kopi untuk Ekna, ia bingung mau ngapain. Jika ia main ponsel, pasti dibilang tidak sopan. Jika ia guling-guling di kasur, sama saja tidak sopan.

Baiklah, Nadhira akan melamun saja. Siapa tau dari lamunannya ia akan menemukan wangsit.

Akhirnya dia menunduk menatap ubin lantai kamarnya.

"Kamu mau nggak jadi pacarku?"

Tetapi kalimat itu memecahkan lamunan Nadhira. Astaga, siapa yang mengatakan itu? Sepertinya otak Nadhira memang harus segera direparasi.

Nadhira mencoba kembali tenang. Ia menarik nafasnya kemudian mengangkat wajahnya. Tetapi betapa terkejutnya ketika melihat wajah Ekna hanya berjarak dua jengkal dari wajahnya.

Teriakan Nadhira tertahan, ia menutup mulutnya sendiri. "J-j-jadi itu tadi suaramu?"

Ekna mengangguk, tersenyum.

"Sebentar" Ekna melesat keluar.

Beberapa saat kemudian ia datang membawa kardus, tangan kanannya membawa buket bunga mawar. Meletakkan kardus di depan Nadhira, membukanya. Isinya adalah cokelat merek kesukaan Nadhira. Bagaimana dia tahu?

"Mau enggak jadi pacarku?" ulang Ekna, kali ini tawaran itu bertambah dengan senyuman, buket bunga, serta sekardus cokelat. Bonusnya sangat menggiurkan kali ini.

Gunungan es di dasar hati Nadhira meleleh.

"Tapi tunggu. Kenapa tiba-tiba–" Nadhira tak bisa melanjutkan saking terkejutnya. Bagaimana tak terkejut? Ia ditembak seperti tahu bulat yang digoreng dadakan.

"Aku juga tidak mengerti. Mungkin ini yang dikatakan takdir."

Jujur jika kalimat itu dikatakan oleh lelaki diluar sana, Nadhira langsung mengatakan "bullshit!". Tetapi entah kenapa jika Ekna yang mengatakannya, semuanya adalah kebenaran.

"Takdir? Apa kita pernah bertemu di reinkarnasi sebelumnya?"

Ekna tertawa mendengar kalimat yang dilontarkan Nadhira, "kamu lucu, masih tetap sama seperti dulu. Dan sejak dulu aku mencarimu"

Terkejut? Pasti. Tetapi ia tak bisa menemukan file memori tentang nama atau wajah Ekna di otakknya.

"Jadi gimana?"

"Iya, maau!" ucap Nadhira lantang lantas Ekna memeluk Nadhira bahagia.

"Makasih sudah menerima aku."

Nadhira hanya mampu mengangguk, hingga tanpa disadari, dengan seluruh rasa bahagianya yang meletup-letup, Nadhira tiba-tiba diserang rasa kantuk. Ia tertidur dalam dekapan kepala dapur itu. Sepertinya ia mimpi indah malam ini.

"Selamat malam ... jagoan" ucapnya lega setelah bertahun-tahun ia kembali disisi Nadhira-nya kembali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status