Share

4 RING DING DONG

"Aku harus melihatnya," sahut Harry santai seraya berjalan masuk kedalam rumah Draco lebih dalam.

"Kau gila! HARRY!!" Draco berteriak. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat guna mengejar Harry yang sudah berjalan jauh di depannya. "HARRY!!" lagi-lagi Draco berteriak kencang, agar Harry mau berhenti dan tak melangkahkan kakinya lebih jauh lagi.

Draco sudah hampir setengah berlari sebelum akhirnya ia mendapati Harry berbalik kearahnya. "Kau berisik sekali. Kau ketakutan? Memangnya kau menyembunyikan apa?" Harry membrondong Draco dengan banyak pertanyaan.

"Pulanglah, aku sedang sibuk dan tak ingin ribut denganmu," sahut Draco seraya memalingkan wajahnya dari Harry.

"Suara apa itu?" tanya Harry pada Draco.

"Astaga!! Pergilah!" Draco menarik kasar lengan Harry, agar kakak tirinya tersebut pergi dari hadapannya. Akan sangat menyebalkan jika Harry mengetahui ada seorang gadis setengah telanjang di kamar khusus pelayan di kediamannya.

Bukannya pergi, dengan kuatnya Harry menepis cengkraman lengan Draco seraya menatap wajah adiknya tersebut dengan tatapan yang sangat dalam. Tatapan penuh rasa curiga dan tatapan kesal kini bercampur menjadi satu.

"Tuan, ga-gadis di kamar itu, dia ..." 

Draco memalingkan wajahnya kasar, menatap wanita paruh baya yang tak lain adalah kepala pelayan di kediamannya dengan sorot mata nyalak.

"Gadis?" Harry mengulanginya.

"He-em," tiba-tiba saja Draco mengatur nada suaranya agar terdengar lebih normal. "Mungkin yang dia maksud adalah pelayan baruku. Jadi sebaiknya kau pulang, karena seperti yang telah ku katakan barusan, aku sangat sibuk."

Draco merangkulkan lengannya ke bahu Harry sembari menggiringnya berjalan menuju pintu utama rumahnya.

"Sampaikan salamku pada ibumu, sekarang kau boleh pergi." Draco kemudian melepaskan rangkulannya dan tersenyum pada Harry. Tentu saja senyum penuh kepalsuan.

BLAM!

Draco menutup pintu besar rumahnya meski ia tahu, bahwa Harry masih berdiri di beranda.

"Jangan coba-coba mengangguku!" Draco mendengus, lalu kembali melangkahkan kakinya menuju kamar Brianna. Ia melewati kepala pelayan yang masih saja berdiri menunggu dirinya. "Kau boleh pergi." Ucapnya seraya berlalu.

BRAK!

Draco membuka pintu kamar Brianna dengan kasar. Lalu menguncinya lahi dari dalam. Ia dapat melihat Brianna yang sudah berpakaian lengkap terduduk di sisi tempat tidurnya. 

"Siapa yang menitahkanmu memakainya?" tanya Draco dingin.

Tak ada jawaban dari Brianna. Rasanya saat ini ia tak punya banyak tenaga untuk menjawab dan melawan Draco yang tak lain adalah majikannya.

"Lepaskan!" titah Draco lagi. Ia berjalan mendekati tubuh Brianna yang semakin lama semakin meringkuk ketakutan. "Lepaskan pakaianmu!" titahnya lagi.

Brianna mendongakan wajahnya sembari mendekap tubuhnya sendiri. Ia menatap wajah Draco yang hanya berjarak 5cm dari wajahnya. Sangat dekat tentu saja, sudah dua kali ia dapat mencium aroma kuat tembakau bercampur alkohol dari tubuh Draco.

"Aku akan menjadi pelayanmu, tapi tidak dengan ini. Aku tak bisa melayanimu jika kau memintaku ini," ucap Brianna pelan. Ia memberanikan diri untuk berbicara demikian, dengan harapan Draco akan berbelas kasih padanya.

PLAK!

Tamparan keras kembali mendarat di pipi mulusnya. Dugaannya salah, seorang pria seperti Draco tak akan pernah bisa berbelas kasih atau merasa iba pada siapapun yang ada di dunia ini.

"Berani-beraninya kau berkata demikian padaku? Kau pikir kau siapa? HA!!"

Draco mendorong tubuh Brianna kasar lalu menindih tubuhnya dengan tubuh kekar dan atletisnya. Ia tersenyum tipis saat melihat Brianna sama sekali tak bisa berkutik di bawah sana.

"Diamlah! Memang seharusnya seperti ini. Collin bilang kau masih belum ternoda, bukankah itu tandanya kau masih perawan, kan?" tanya Draco sembari membelai belahan dada milik Brianna yang tentu saja semakin menyembul keluar akibat korset yang ia kenakan.

"Lepaskan aku ... aku akan melakukan apapun, tapi jangan ini," lirih Brianna. Ia dapat merasakan pipinya masih terasa panas akibat tamparan keras Draco. Tapi, sakit yang ia rasakan kini tak sebanding dengan sakit hatinya pada Draco yang dengan seenaknya bisa menjamah tubuh miliknya.

Draco membungkukan tubuhnya. "Jangan terlalu banyak bicara, percayalah padaku, lambat laun kau akan menikmati permainan ini," bisik Draco.

"Jangan!" Brianna mendorong tubuh Draco yang sekarang sedang asik mencumbu leher jenjangnya dan perlahan semakin turun ke bawah.

"DIAM!!" Draco menahan lengan Brianna dengan sangat kuat. Membuat Brianna tak bisa berkutik dan akhirnya hanya bisa kembali menangis meratapi nasibnya.

Tok! Tok!

Lagi-lagi terdengar ketukan dari luar yang mengetuk pintu kamar Brianna.

"Tu-tuan Draco, maaf. Tapi, keluarga besar nyonya Arabella sebentar lagi akan datang kemari,"

"Oh, sial!" Draco hanya bisa mengumpat sembari melepaskan cengkraman kuatnya pada Brianna. 

Sembari beranjak dari atas tubuh Brianna, Draco melepas celana panjangnya dengan cepat. Tentu saja ia tak akan melepaskan kesempatan mencumbu seorang perawan cantik dihadapannya ini.

"Kau pikir aku akan melepasmu?"

Kini Draco sudah menelanjangi dirinya sendiri dan mulai melepas semua gaun berlapis yang Brianna kenakan.

"Tu-tuan ..." lagi-lagi sang kepala pelayan memanggilnya.

"10 menit lagi!" teriak Draco dari dalam kamar.

Brianna menyilangkan lengannya tepat di depan dadanya. Ia tak mau Draco melihatnya lebih dari ini. Meski sudah terlajur.

Ya! Draco sudah membuat Brianna tak menggenakan sehelai apapun di tubuhnya saat ini. Tubuh mulusnya terekspos jelas dihadapan Draco.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status