Share

Wanita Murahan

Tiga minggu pasca rumor itu beredar, akhirnya Azizah di izinkan keluar rumah setelah lama berkabung dengan hati dan jiwanya. Kedua orangtua gadis itu seolah telah berdamai dengan keadaan, serta bersahabat bersama rumor yang perlahan mulai menyurut. Walau masih tersimpan rasa malu dan juga takut. Akan tetapi, hidup terus berjalan. Tak mungkin anak gadisnya harus duduk diam terkurung dalam rumah dan menghabiskan seumur hidupnya disana.

“Kau boleh pergi sekolah sekarang, tapi dengan catatan sepulang sekolah kau tidak boleh kemana-mana. Dan ingat, jangan jalan bersama pria manapun itu, walau itu keluargamu sendiri. Apa kau paham?” ucap Safia seolah memberi ultimatum pada Azizah.

“Iya, ma.” Kendati hatinya gembira, tetapi Azizah merasa tertekan pada keadaan. Sebab, ruang geraknya terbatas. Dia hidup seperti dalam penjara walau sebenarnya berada di alam bebas.

“Satu lagi, jangan genit terhadap gurumu. Berjalanlah menunduk. Jangan tatap mata siapapun itu,” tambah Fahri tak kalah pedasnya memberi ultimatum. Bagaimana bisa Azizah dilarang menatap mata orang-orang? Sefatal itukah fitnah yang beredar?

Beberapa bulan lalu gadis itu disanjung bagai bunga desa, sebulan kemudian harga dirinya jatuh hanya karena rumor tak mendasar. Betapa kejamnya dunia ini apabila anak remaja seperti Azizah harus mendapat perlakuan tak adil ditengah lingkungannya sendiri. Sekarang dia ibarat sampah masyarakat ditengah-tengah mereka yang mengaku suci. Padahal perbuatannya lebih kotor dari apa yang mereka coba tunjukkan pada dunia. Dengan sembunyi-sembunyi melakukan perbuatan zina. Lantas mengapa Azizah yang tak melakukan perbuatan tak terpuji itu harus menanggung beban yang begitu berat?

“Baik, pa. Azizah berangkat sekolah dulu.” Aizah pasrah. Sebagai anak yang berbakti kepada kedua orangtuanya, dia hanya bisa menerima dengan lapang dada tanpa membantah. Gadis itu mencium punggung tangan Fahri, lalu kemudian berakhir pada Safia.

Disepanjang perjalanan, Azizah menundukkan kepala, tak berani menatap mata mereka yang sedang duduk dipinggir jalan melihat dirinya. Jika biasanya gadis itu selalu ramah menyapa orang, maka lain halnya sekarang. Gadis itu ibarat robot berjalan dibaluti jiwa yang kalut. Hatinya nelangsah, tak tau apa salah dan dosanya. Akan tetapi dia bisa apa? ucapan ayahnya bagaikan sabda yang tak tebantahkan untuk dilawan.

Samar-samar Azizah mendengar suara sumbang, beberapa kaum ibu-ibu duduk didepan rumahnya saling berbisik ria, “Eh, itu kan Azizah si wanita murahan yang sudah hilang keperawanannya? Kok dia masih berani menunjukkan wajah didepan kita?”

“Kalau itu terjadi pada anakku, mungkin sudah lama aku racun dia! Atau aku buang dinegeri seberang agar tak tampak lagi batang hidungnya disini,” tambah ibu-ibu yang satunya lagi. Mereka mengghiba, seolah lupa bagaimana efek dari ucapan mereka. Padahal diantara ibu-ibu itu ada yang memiliki anak gadis seperti Azizah. Andai saja peristiwa itu kembali pada mereka, masikah Azizah dianggap hina?

Mendengar cemoohan para ibu itu, Azizah menitikan air mata. Hatinya terluka karena buah percakapan itu sungguh menggores jiwanya yang kini mulai rapuh. Ingin rasanya gadis itu menghilang dan cepat sampai ke sekolah. Dia sungguh tak tahan lagi. Sepanjang jalan semua mata tertuju padanya bagai hama yang menyebarkan penyakit. Padahal warga itu sendiri yang merasa dengki terhadap gadis remaja itu.

Selama setengah jam perjalanan, Azizah akhirnya sampai di sekolah. Waktu yang cukup lama jika dilihat dari jarak antara rumahnya dan sekolah. Seharusnya Azizah hanya membutuhkan waktu lima belas menit perjalanan, tetapi karena omongan ibu-ibu tadi, membuatnya melambatkan gerakan. Bukan karena ingin menajamkan pendengaran, tetapi kakinya seolah tak kuat menuntun gerakannya.

“Azizah, apa kau sudah sembuh, nak?” Seorang guru Bahasa Indonesia, dengan nada lembut menanyakan kondisi Azizah. Rupanya diantara mereka yang suka mengghiba, Tuhan masih menyisakan dia yang berhati mulia serta bijaksana.

“Alhamdulillah sudah, bu,” sahut Azizah.

“Kamu yang sabar, ya? Jangan dengarkan apa kata orang diluar sana. Kelak nanti kau akan menemukan jalan yang menghantarmu pada kebahagiaan. Saat ini biarkan mereka berkomentar, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ibu tahu kau tidak melakukan kesalahan apapun.” Dengan bijaksananya, ibu guru yang hampir seumuran dengan ibu Azizah itu mengucapkan beberapa bait kalimat hangat. Sehingga membuat hati Azizah menghangat. Ternyata Tuhan masih berbaik hati pada gadis itu. Dia menyisakan satu orang yang tak menjudge dirinya. Semalam Azizah pikir segalanya sudah berakhir, tak akan ada lagi yang mau mengusap kepalanya seperti yang dilakukan oleh ibu guru itu. Andai saja ibu Azizah memiliki hati besar seperti dia, mungkin gadis itu akan berani membalas tatapan mata mereka yang mengintimidasinya. Namun, kedua orangtuanya bahkan mendukung ucapan mereka yang memfitnah dirinya.

“Terimakasih, bu. Sudah percaya pada Azizah.” Dengan mata berkaca-kaca, Azizah mengucap terimakasih kepada ibu guru itu. Rumor tentang Azizah hamil dan keguguran memang sudah menyeruak kepermukaan, hingga ke pihak sekolah. Akan tetapi, sebagian besar guru tak percaya pada fitnah itu. Namun, masih ada juga diantara mereka yang membenarkan rumor tersebut.

“Baiklah, sekarang hapus air matamu. Jangan bersedih lagi. Teman-temanmu sudah pada datang.” Ibu guru itu mengakhiri percakapan mereka, karena murid-murid yang lain mulai berdatangan. Semula hanya Azizah dan wanita paruh baya itu yang ada dalam ruangan tersebut.

“Eh, Azizah sudah masuk sekolah. Apakah kandungannya sudah mulai pulih?” bisik salah satu temannya yang tak berada jauh dari Azizah.

“Iya, padahal kata mamaku, orang yang mengalami keguguran itu membutuhkan waktu tiga bulan untuk bisa pulih seperti semula,” tambah salah satu diantara mereka yang mengoceh seperti tak tahu diri, seakan merasa paling suci. Padahal diam-diam mereka menjalin kasih dengan om-om yang usianya jauh dari papanya sendiri. Sementara Azizah tahu sifat tersulubung mereka itu, tetapi dia memilih diam. Tak ada faedahnya jika harus membuka aib sesama.

Bug! Bug! Bug!

Ibu guru memukul meja, menenangkan kondisi yang sudah mulai berisik. Para murid itu mengghiba seolah Azizah tak ada disana, serta ibu guru yang menjadi wali kelas mereka.

“Apa kalian datang ke sekolah hanya untuk bergunjing yang tidak-tidak? Ibu tahu siapa saja yang memiliki hati busuk tapi justru merasa lebih baik dari orang lain!” Rupanya ibu guru yang bernama Samsida itu mengetahui beberapa prilaku murid-muridmya ketika berada diluar sekolah. Ada yang merokok, ada yang meminum minuman khamar, ada pula yang berzina dengan para pria hidung belang.

Mendengar ucapan Samsida, para murid itu pun bungkam. Takut namanya disebut satu persatu oleh ibu guru yang terkenal lembut, namun tegas itu. Sementara Azizah hanya bisa mengucap syukur dalam hati, merasa terselamatkan oleh ibu guru berhati bidadari itu.

“Azizah, bagaimana kondisi kandunganmu? Apakah kau sudah kuat berjalan?” tanya Irma dengan suara berbisik. Agar tak didengar oleh ibu guru tadi. Anak remaja itu berpura-pura peduli pada Azizah, padahal dia lah yang membawa rumor tak sedap itu pertama kalinya.

“Aku baik-baik saja kok. Terimakasih sudah peduli padaku.” Tanpa menaruh curiga, Azizah tersenyum ramah pada Irma. Dengan penuh kelembutan dia menjawab pertanyaan dari rekan sebangkunya itu.

“Syukurlah kau baik-baik saja. Pasalnya aku dengar kondisimu semakin down. Aku pikir kau tidak akan sanggup keluar rumah lagi. Karena semua orang menceritakan tentangmu yang tidak-tidak. Aku sebagai sahabat, merasa terpukul. Padahal rumor itu tak benar kan, Za?” Dengan berpura-pura prihatin, Irma kembali berakting. Seolah menunjukkan simpatiknya pada Azizah. Padahal dalam hati dia ber-iyes ria ketika gosip murahan itu tersebar luas hingga kepenjuru kota.

Semua orang menyebut Azizah wanita kupu-kupu malam. Ada juga yang menyebut gadis itu ular betina yang berbahaya. Sebagian besar yang menganggap Azizah sebagai wanita ular adalah para ibu-ibu yang suaminya hidung belang. Karena berdasarkan pengalaman, mereka pun menuduh anak gadis orang sebagai wanita murahan.

“Irma, kerjakan soal nomor satu ini! Jangan hanya pandai berartikulasi dibelakang ibu.”

Skak mati. Irma diminta Samsida mengerjakan soal yang dia sendiri tak tahu apa jawabannya.

“Maaf, bu. Irma tidak tahu.” Dengan suara terbata-bata, Irma menyahut ucapan ibu guru, bahwa dia tak tahu apa jawabannya. Gadis itu memang hanya pandai mengghiba, tanpa tahu pelajaran di sekolahnya.

“Makanya perhatikan kalau ibu guru menjelaskan! Jangan hanya menginterogasi hidup orang!” tandas Samsida, seolah menjatuhkan harga diri Irma. Sementara anak remaja bertubuh gemuk pendek itu hanya bisa mengumpat dalam hati. Memaki ibu gurunya yang mempermalukan dia.

“Iya, bu, maaf,” sahut Irma sembari menundukkan kepala.

Huuu…!

Suara ledekan berkumandang hebat dari bibir mereka yang suka saling menghujat, hingga memenuhi ruangan tersebut. sedangkan Azizah hanya bisa tersenyum simpul. Senyuman gadis itu hampir tak terlihat sama sekali apabila tak diperhatikan secara intens.

“Azizah, coba kamu yang kerjakan soal nomor satu sampai lima ini,” pinta Samsida.

“Baik, bu.” Tanpa berpikir panjang, Azizah maju ke papan tulis. Mengerjakan semua soal yang ditulis oleh ibu guru bahasa Indonesia itu tanpa cela sama sekali. Membuat Samsida tersenyum bangga.

“Nah, ini contoh yang benar. Kalian harus bisa seperti Azizah, tak banyak bicara, tapi mampu berbuat sesuatu dengan benar.” Sengaja Samsida memuji gadis malang itu. Agar para murid lain dapat melihat bakatnya, bukan kabar buruk yang beredar.

To be continued…

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status