Geri berani sekali mencuri kesempatan untuk mencium pipiku. "Kau?!" Aku tentu kaget bukan kepalang. Tanganku sudah terangkat ke atas hendak menamparnya. Namun niat itu aku urungkan saat melihat wajahnya yang terluka karena kecelakaan tadi."Haisssshhh!!" kesalku seraya memukul setir mobil. Geri sudah mengambil kesempatan untuk bertindak kurang ajar padaku dan aku tak mampu memberikan reaksi apapun atas tindakan nekatnya itu."Maaf!" pintanya lirih. Maaf katanya! Hello...! Aku ini masih berstatus istri mas Gandung. Dia juga masih berstatus suami Ratih. Aku memejamkan mata sesaat. Berusaha menetralkan perasaan marah, malu dan perasaan entah lainnya yang membaur dalam hatiku."Turunlah! Kau harus segera di obati!" kataku padanya. Berusaha bersikap seolah tak terjadi apa-apa.Geri tak bergeming."Kamu nggak mampu turun sendiri?" tanyaku saat melihat Geri tak beranjak keluar mobil."Kepalaku sakit," keluh Geri kemudian. Menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil. Matanya memejam.Aku memperh
"Maaf, Ibu! Ini rumah sakit! Mohon pengertiannya untuk tidak membuat keributan!" kata dokter pria muda itu. Menatap tajam ke arah Ratih.Ratih hanya melengos mendengar peringatan dokter muda itu. Namun sejurus kemudian dia berjalan menjauh dari aku dan Geri.Aku tersenyum sinis melihat Ratih."Ibu nggak papa kan?" Dokter pria itu bertanya padaku.Aku tersenyum menggelengkan kepala."Nggak papa, Dok! Terima kasih banyak!" jawabku seraya agak membungkukkan badan padanya."Sama-sama, Bu! Saya permisi!" kata dokter itu tersenyum padaku. Aku menganggukkan kepala dan membiarkannya pergi meninggalkan aku dan Geri.Huft! Aku bisa bernapas lega sepeninggal Ratih dan dokter itu. Padahal aku sudah khawatir kalau Ratih akan membuat keributan yang lebih besar lagi dan mempermalukanku."Maaf ya, Mbak Mayang!" kata Geri. Ada rasa tak nyaman tersirat di wajahnya."Untuk?" "Gara-gara saya, Mbak Mayang jadi mendengar omongan yang nggak enak di dengar dari Ratih!" jawab Geri.Aku hanya tertawa mendenga
Dengan perlahan aku menurunkan lengan Geri yang tadi aku angkat. Aku jadi merasa sedikit malu karena Geri memergoki aku tengah memberi perhatian padanya. Sedikit sih.Mata hitam Geri menatapku lekat-lekat. Bukannya tadi Geri sedang tidur? Mengapa cepat sekali dia terbangun?"Mbak Mayang ngapain?" tanya Geri masih menatapku. Aku tersenyum setengah malu."Itu... selang infusnya tertindih lengan kamu, jadi aku benerin. Maaf ya kalau kamu lalu jadi terbangun!" jawabku. Jujur sih. Karena apa yang aku lakukan tadi memang tulus tanpa modus apapun.Geri tersenyum mendengar jawabanku. Mungkin bahagia karena mendapat perhatian dari calon ibu dari anak-anaknya. Yaelah! Ini sih virus Geri dah mulai mengkontaminasi otakku, batinku. Mungkin juga setengah halu.Rasanya aku sudah berjam-jam nungguin di rumah sakit. Namun om Johan maupun bapak tak juga muncul. Apa belum selesai juga urusan kecelakaan tadi? Batinku."Mbak Mayang nggak lapar?" tanya Geri padaku.Aku tertawa. Bukannya aku yang seharusn
"Apa Mbak Mayang beneran mau jadi istri saya?"Hah! Pertanyaan Geri membuat aku terperangah. Ini orang ya? Apa segitunya ingin menikah denganku?"Yang ada sepertinya malah kamu lho yang pingin banget jadi suami aku!" jawabku setengah tertawa. Entah tertawa bahagia karena keGRan atau tertawa kebingungan karena tak tahu harus menjawab bagaimana. "Itu sih jelas banget Mbak Mayang. Tapi kan saya pingin tahu juga perasaan Mbak Mayang. Jangan sampai rasa cinta saya bertepuk sebelah tangan," sahut Geri.Aku tertawa lagi. Jadi teringat lagu Dewa "Pupus" saat Geri berkata tentang cinta bertepuk sebelah tangan."Menurutmu gimana?" pancingku."Menurut saya sih Mbak Mayang nggak keberatan," jawab Geri penuh percaya diri. Alamak! Haruskah aku bahagia ataukah harus protes karena terus menerus terkaget-kaget mendengar ungkapan cinta Geri selama seharian ini."Benar kan, Mbak?" tanya Geri setengah mendesakku. Aku tersenyum kecut. Kalau pertanyaannya sudah seperti aku harus jawab apa coba? "Diam, b
Untung saja mobil yang sekarang ada aku dan Geri didalamnya sudah memasuki pelataran rumah om Johan. Halaman rumah om Johan memang sangat luas karena punya usaha mebel yang sangat besar. Jadi mobil-mobil truk maupun pick up sering lalu lalang di situ."Yaaahh!" Geri mendesah. Seperti kecewa."Kenapa?" tanyaku. Walaupun aku sudah tahu dia sebenarnya tak ingin mobil ini sampai ke rumah om Johan seperti yang dia bilang. Kumatikan mesin mobil dan berniat keluar. Namun urung kulakukan karena kulihat tak ada pergerakan dari Geri untuk keluar dari mobil."Kok nggak turun?" tanyaku menoleh ke arahnya. Geri malah menyandarkan badannya ke jok mobil. Matanya terpejam. "Ger?!" panggilku sambil menepuk lengnnya.Geri membuka matanya. Sesaat mata kami bertemu. Dan meski hanya sesaat, hal itu membuat aku sedikit gugup. Sejurus kemudian aku lihat senyum terkembang dari wajah tampan milik Geri."Aku turun!" kata Geri masih dengan senyumannya. Menarik handle pintu mobil dan membukanya. Keluar dari mob
Aku menatap tak percaya pada mas Gandung. Apa dia tidak berpikir kalau permintaannya itu sangat tidak masuk akal? Bahkan akan membuat bapak dan ibu semakin ilfeel padanya."Kenapa?" tanya mas Gandung sedikit terkejut dengan reaksiku yang tidak seperti biasanya."Apa Mas nggak malu meminta uang pada orang tuaku? Mas kan tahu bagaimana sikap Ibu pada Mas?" tanyaku sekaligus menjawab pertanyaan mas Gandung."Ya kamu jangan bilang dong, kalau yang makai uang itu ibunya Mas" mas Gandung masih mencoba membujukku."Dengar ya Mas! Selama aku disini saja aku diurus sama Bapak dan Ibu. Mas saja nggak pernah memberi aku uang. Lhah ini malah ibunya Mas yang minta ke aku. Kenapa bukan Mas saja yang memberi uang pada ibunya Mas?" tanyaku mulai geram."Mas kan belum kerja, Yang! Nanti Mas ganti kalau Mas sudah dapat kerjaan!" jawab mas Gandung dengan percaya diri."Kapan Mas bisa dapat kerjaan? Mas aja selama ini nggak pernah mau cari kerja!" sahutku kesal. Mas Gandung selalu memilih-milih pekerjaan.
"Aku belum selesai bicara!" kata mas Gandung menarik tubuhku hingga berdiri di hadapannya."Mau bicara apa lagi?""Jauhi lelaki itu!" kata mas Gandung. Mirip sebuah ancaman.Aku menghela nafas kasar. Bagaimana bisa mas Gandung menyuruhku menjauhi lelaki bernama Juan itu. Sementara aku memang tidak pernah dekat dan tidak pernah menjalin hubungan apapun dengannya."Kau dengar yang aku bilang?" tanya mas Gandung. Seolah hendak memastikan kalau telingaku ini masih sanggup berfungsi dan mendengar perkataannya.Aku mengangguk. Aku tak ingin memperpanjang masalah. Terus terang pertengkaran demi pertengkaran yang aku alami membuatku merasa sangat lelah."Kau harus janji!" kata mas Gandung setengah memaksa.Aku mendongakkan kepala yang rasanya sudah berdenyut-denyut. Pukulan dan tamparan yang aku terima di awal pertengkaran tadi baru terasa akibatnya sekarang."Iya!" jawabku datar. Tanpa ekspresi. Dan aku memang tak lagi merasakan apapun pada lelaki yang tengah berdiri di hadapanku ini selain r
Sreek.Sreek.Dengan gerakan cepat. Ibu menarik pelatuk senapan laras panjang. Benda yang diambilnya dari dalam rumah. Mengarahkannya ada mas Gandung.Astaghfirullah! Aku menutup mulutku karena ketakutan."Masya Allah, Bu! Jangan lakukan itu! Sabar, Bu!" Bapak gegas menghampiri ibu dan berusaha menurunkan tangan ibu yang lurus mengarah ke mas Gandung."Pergi dari rumahku!!! Atau kau akan pulang tinggal nama!!" teriak ibu dari arah pintu. Tetap mengarahkan senapan laras panjang itu ke mas Gandung.Mas Gandung yang sempat terkejut. Kini malah semakin terpaku di tempatnya berdiri. Seolah tak menyangka kalau ibu akan berbuat senekat itu Aku sendiri juga tak tahu entah darimana ibu memiliki senapan itu."Ibu hanya menggertakku, kan?" tanya mas Gandung lirih.Ada keraguan dalam nada bicaranya. "Nak Gandung, tolonglah tinggalkan tempat ini segera!" kata bapak pada mas Gandung.Mas Gandung menatap bapak dan ibu bergantian."Kalian mencoba menakuti aku kan? Dengan senapan mainan itu?" tanya m