Aku beranikan mendekati Geri ketika dia tak juga bergerak dari tempat tidur. Aku naik keatas ranjang. Beringsut mendekati tubuhnya yang tengah terbaring. Kuperhatikan sebentar wajah itu seperti tertidur. Apa mungkin Geri lelah setelah di perjalanan tadi sementara kondisi dia juga sedang sakit. "Ger?!" panggilku lirih. Khawatir mengagetkannya.Geri tak menyahut. Entah memang tak mendengar karena tertidur atau hanya pura-pura.Aku jadi bingung harus berbuat apa. Di kamar berdua bersama Geri seperti ini jujur saja membuat hatiku tidak tenang.Aku membalikkan badan dan bermaksud turun dari tempat tidur ketika tiba-tiba dikejutkan tangan Geri yang mencekal pergelangan tanganku dari belakang.Aku menoleh. Bersamaan dengan Geri yang langsung bangun dan duduk berhadapan denganku."Kau?!" Aku terkejut menatap wajahnya.Geri juga menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. Aku berusaha melepaskan cekalan tangannya. Tapi Geri tak mau melepaskan."Geri? Aaa..aku...!" Belum sempat aku me
"Oh, jadi ini alasan kau datang ke acara pak Seno gak mau bareng aku?" Suara mas Gandung terdengar setengah menuduh. Aku yang baru saja pulang mengikuti acara syukuran tetangga yang berdekatan rumahnya dengan kami, sontak menoleh dan mengernyitkan dahi keheranan. Aku tadi memang bilang ke dia, akan berangkat bersama rombongan ibu-ibu komplek. Aku minta dia berangkat bersama rombongan bapak-bapak. Karena rumah pak Seno dekat, kami semua berjalan kaki. "Emang kenapa, Mas?" "Kenapa kenapa...kamu itu pura pura ga tahu dengan kelakuan kamu di acara tadi?" Mulai nih, batinku. Aku tidak tahu apa yang mas Gandung tuduhkan, tapi aku jelas tahu kalau sudah begini tidak lain dan tidak bukan dia pasti sedang mode cemburu. Hanya saja kali ini aku tak tahu dia sedang cemburu ke siapa lagi. Karena selama satu tahun lebih aku hidup sama dia, sudah belasan lelaki yang dia cemburui dan dianggap bermain api denganku. "Kenyataannya kan aku emang gak tahu dengan apa yang Mas omongkan sekarang," sangg
"Jadi, ada permasalahan apa antara Pak Gandung dan Pak Geri, kok bisa sampai jotos jotosan seperti ini?" tanya pak RT memulai mediasi. Kami berempat sudah duduk di satu meja di ruang tamu. Sementara kerumunan tetangga yang mengiring kami berjubel di pintu dan di teras rumah. "Si Geri ini Pak RT, ngejar-ngejar istri saya terus." Mas Gandung menjawab duluan. Aku yang mendengar jawaban mas Gandung menoleh. Bukannya tadi nuduh aku yang ngejar-ngejar Geri, sekarang malah balik nuduh Geri yang ngejar-ngejar aku. Dasar manusia aneh, batinku kesal. "Apa benar begitu, Pak Geri ?" Pak RT menatap Geri. "Mana ada maling mau ngaku, Pak RT." Mas Gandung langsung nyolot. Para tetangga yang di luar mulai riuh. Pak RT berusaha menenangkan, hingga keadaan kembali tenang. "Semua ini hanya salah paham Pak RT, gak seperti yang suami saya omongkan." Aku berusaha meluruskan permasalahan yang sebenarnya. "Jadi kamu masih mbelain Geri?" tuduh mas Gandung menunjuk mukaku dan Geri. "Bukan begitu, Ma
Ketika aku membuka mata. Aku mendapati tubuhku terbaring di bangsal rumah sakit. Aku tahu ini rumah sakit karena ada perawatan medis didekat aku terbaring. Termasuk juga selang infus yang tersambung ke jariku. "Oh, syukurlah kau sudah siuman!" Seseorang memelukku. Menangis tanpa suara. "Bapak?" tanyaku lirih. Nyaris tercekat di tenggorokan. Kulihat juga ibuku di dekat pintu. Sedang menelepon seseorang. "Selesaikan saja tanpa kehadiran putriku, kau hadiri proses mediasi dan proses sidangnya!" kata ibu pada seseorang di telepon. "Ibu menelpon siapa, Pak?" tanyaku pelan. Perasaanku mendadak tidak enak ketika ibu menyebut proses mediasi dan sidang. "Gak usah kamu pikirkan dulu omongan Ibu kamu. Yang penting sekarang istirahat dulu dan pulihkan kesehatanmu!" jawab bapak menggenggam tanganku. "Bu...!" panggilku ketika kulihat ibu sudah selesai menelpon. Ibu menghampiriku. "Sudah Ibu bilang dari dulu. Suami kamu itu memang gak waras. Coba kalo dari dulu kamu mau nurut sama Ibu," kata
Bapak bergegas membuka pintu. "Assalamualaikum." Kudengar suara pak RT mengucap salam. "Waalaikumsalam," jawab bapak," eh Pak RT rupanya, silakan masuk, Pak!" Benar dugaanku. Pak RT sama istrinya, bu Ira yang datang. Bapak dan pak RT emang sudah saling kenal. Keduanya bersalaman. Pak RT dan istrinya masuk. Keduanya juga menyalami ibuku, yang hanya merespon dingin. "Lo, udah ada Pak Geri rupanya?" Pak RT berjalan menuju Geri. Geri berdiri dan menyalami pak RT dan bu Ira. "Iya, Pak RT. Saya tadi dari toko, mampir kesini," jawab Geri tersenyum. "Gimana kabarnya, Bu Mayang?" Bu Ira, istri pak RT menanyakan keadaanku. "Sudah mendingan, Bu," jawabku tersenyum. "Syukurlah," sahut pak RT dan istrinya bersamaan. "Gimana kabar mertua Pak Geri?" tanya pak RT. "Masih diproses, Pak," jawab Geri. "Asbak saya diambil sama polisi untuk jadi barang bukti. Padahal itu barang antik yang harganya jutaan," kata pak RT lagi. Pak RT memang penggemar barang antik. Rupanya asbak antik beliau yan
Mas Gandung menoleh kaget. Aku dan Bapak juga kaget dengan datangnya Ibu yang tiba-tiba "Kenyataannya memang begitu!" jawab mas Gandung dengan entengnya. "Bagus kalo gitu!" kata ibuku. Membuat aku keheranan. Bapak diam saja. "Jadi Ibu mendukung Mayang berselingkuh?" tanya mas Gandung. Ibu menatap mas Gandung sinis. "Menurutmu?" Ibu malah balik bertanya. Mas Gandung tak menjawab. Mengusap-usap lehernya dengan raut muka sedikit gelisah. Meskipun dia tak tahu dengan sifat ibuku seperti apa. "Aku akan membantumu!" kata Ibu. Kulihat ibuku tersenyum. Mas Gandung semakin bingung. "Apa maksud Ibu?" tanya mas Gandung. Tersirat jelas kebingungan dan keheranan di wajahnya. "Sudah lama aku marah dengan Mayang karena menikahi lelaki sepertimu!" kata ibu sambil menatapku. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak berani membalas tatapan Ibu. Aku mulai merasakan firasat tidak enak. Sepertinya ada hal besar yang akan terjadi hari ini. "Kupikir sekarang adalah saat yang tepat untuk meng
Ibu menatap wajah mas Gandung yang masih kaget. "Kenapa?!" tanya ibu sinis," apa kamu masih mau melanjutkan hidupmu bersama si tukang selingkuh itu?"Ibu menudingkan jarinya ke arahku. Lagi-lagi ibu menyebutku tukang selingkuh. Sementara mas Gandung masih terdiam. Sepertinya dia agak shock dengan apa yang telah dibisikkan ibuku padanya."Apakah Ibu serius?" tanya mas Gandung akhirnya."Tentu saja!" sahut ibu cepat. "Apakah Mayang akan setuju?" tanya mas Gandung ragu."Setuju tidak setuju, dia tidak punya hak untuk menolak," jawab ibu tegas.Aku dan bapak diam saja mendengar pembicaraan antara ibu dan mas Gandung. "Bukankah sepertinya aku yang hendak Ibu hukum di sini?" tanya mas Gandung lirih.Mendadak ibu tertawa keras-keras."Tentu saja bukan," sahut ibu di sela tawanya," kalau Mayang yang berselingkuh, tidak mungkin kamu yang dihukum.""Sebenarnya apa yang Ibu bicarakan sama Mas Gandung?" tanyaku tidak sabar. Meskipun sebenarnya aku sudah bisa meraba arah percakapan mereka."Ibu
"Sudahlah Bu, kita abaikan saja masalah ini untuk sementara! Kita prioritaskan dulu kesembuhan Mayang!" Kudengar suara bapak menasehati ibu. Sebenarnya aku sudah siuman dari beberapa saat yang lalu. Tapi karena kudengar bapak dan ibu tengah berbicara tentangku. Aku memilih tetap memejamkan mata."Geram rasanya hatiku, Pak! Kalau tidak ingat dia itu masih suaminya Mayang, pasti dah lama kujebloskan dia itu ke penjara. Dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga." Kali ini ibu yang berbicara.Ibu tahu yang dilakukan mas Gandung terhadapku bisa di masukkan ke dalam tindakan KDRT. Karena KDRT tidak hanya dalam bentuk kekerasan secara fisik saja. Tapi juga segala tindakan yang bisa membuat si korban tertekan secara mental juga."Memang bodoh benar anak kau itu, Pak! Dijodohkan sama lelaki baik-baik, hidupnya sudah mapan pula malah tidak mau. Sekarang dia rasakan menikahi berandalan pengangguran itu. Dia rasakan sakitnya punya suami yang hanya bermodal dengkul itu! Modal dengkul kalau baik,