"Sudahlah Bu, kita abaikan saja masalah ini untuk sementara! Kita prioritaskan dulu kesembuhan Mayang!"
Kudengar suara bapak menasehati ibu. Sebenarnya aku sudah siuman dari beberapa saat yang lalu. Tapi karena kudengar bapak dan ibu tengah berbicara tentangku. Aku memilih tetap memejamkan mata."Geram rasanya hatiku, Pak! Kalau tidak ingat dia itu masih suaminya Mayang, pasti dah lama kujebloskan dia itu ke penjara. Dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga." Kali ini ibu yang berbicara.Ibu tahu yang dilakukan mas Gandung terhadapku bisa di masukkan ke dalam tindakan KDRT. Karena KDRT tidak hanya dalam bentuk kekerasan secara fisik saja. Tapi juga segala tindakan yang bisa membuat si korban tertekan secara mental juga."Memang bodoh benar anak kau itu, Pak! Dijodohkan sama lelaki baik-baik, hidupnya sudah mapan pula malah tidak mau. Sekarang dia rasakan menikahi berandalan pengangguran itu. Dia rasakan sakitnya punya suami yang hanya bermodal dengkul itu! Modal dengkul kalau baik, masih bisa dimaafkan. Ini sudah berandalan, pengangguran ditambah suka mencemarkan kehormatan isterinya sendiri. Hahahaha, jadi laki-laki kok tidak ada sisi positifnya sama sekali!" ujar ibu panjang lebar mengungkapkan kegeramannya pada mas Gandung."Aku mau ketemu dokter Riyan dulu, Pak! Bapak jagain Mayang dulu!"Selesai berkata demikian kurasa ibu keluar meninggalkan ruangan tempat aku dirawat. Karena tak lagi kudengar suaranya.Hening.Aku membuka mataku perlahan."Pak!" panggilku lirih ke bapak."Alhamdulillah, ya Allah!" Bapak menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah.Ada kelegaan dan kegembiraan yang luar biasa tersirat dari raut wajahnya saat aku memanggilnya. Membuatku sedikit merasa bersalah. Karena menunda memberitahunya bahwa aku sudah siuman sedari tadi."Apa kau perlu sesuatu?" Bapak menanyaiku."Aku haus, Pak!" jawabku lirih. Kerongkongan maupun tenggorokanku terasa kering.Bapak mengambil sebotol air mineral dan mengulurkannya padaku."Tidak perlu memikirkan apapun untuk saat ini! Fokuskan saja pada kesembuhan lukamu!" Nasehat bapak padaku.Aku diam. Tak menyahut perkataan bapak."Masalah yang dibicarakan ibumu kemarin tak perlu kau risaukan. Tentunya ibumu mengambil keputusan juga demi kebaikan hidupmu ke depannya." Bapak menasehatiku lagi."Kemana Mas Gandung, Pak?" tanyaku pada bapak. Karena sedari tadi tidak kulihat kehadiran mas Gandung di ruangan ini. Padahal waktu aku pingsan dia ada di ruangan ini."Sudah Ibu usir!" sahut Ibu yang mendadak sudah membuka pintu. Dan masuk ruangan tempatku dirawat."Tapi, Bu?!" Aku hampir protes kalau saja ibu tidak segera memelototi aku."Perkawinan kamu itu tidak sehat. Jadi tidak dapat dilanjutkan. Laki-laki seperti Gandung akan menjadi parasit selamanya dalam hidupmu. Kalau kamu tidak segera berpisah, Ibu kuatir kamu akan mati perlahan karena Gandung!" kata ibu menaruh tasnya di meja.Aku menunduk diam."Bagaimana hasil pemeriksaan kesehatan Mayang?" Bapak mengalihkan pembicaraan.Ibu menghela napas berat."Kepalanya terlalu banyak menanggung beban pikiran. Hampir melampaui ambang batas kemampuannya," jawab ibu datar. Suaranya nyaris tanpa emosi."Lalu apa saran dokter?" Bapak terlihat sangat cemas."Dia harus rileks dulu. Istirahat total. Jangan diberi beban pikiran lagi. Pembuluh syarat dikepalanya dikuatirkan akan pecah kalau beban pikiran dia tidak di kontrol," jawab ibu menjelaskan."Tapi perasaan aku sehat-sehat saja, Bu!" ujarku menyambung omongan ibu, "tidak perlu terlalu dikuatirkan kali!"Ibu menyorotiku tajam."Kamu ini udah pingsan 2 kali. Masih kau bilang sehat. Apa kau mau menunggu sudah sakaratul maut. Baru kau mau di bilang sakit?"Astaghfirulloh, Ibu!Akhirnya aku diperbolehkan pulang setelah menginap dua malam di rumah sakit. Bapak dan ibu memboyong aku ke rumah lama. Rumah di mana aku dilahirkan dan dibesarkan oleh keduanya sebagai seorang anak tunggal."Lhah, senengnya Mbak Mayang bisa balik ke rumah lagi!" seru mbak Sri menyambutku.Aku tersenyum memeluknya. Mbak Sri sudah seperti seorang kakak untukku. Usiaku yang tak terlalu jauh terpaut dengan usianya membuat hubunganku dan dia sangat dekat. Kebersamaan kami pun terbilang sudah cukup lama. Mbak Sri masuk ke dalam rumahku ketika memasuki kelas 1 bangku SMP. Sementara aku masih kelas 5 SD. Saat itu dia bersama kedua orangtuanya meminta bapak dan ibuku untuk membiayai sekolah SMP-nya. Sebagai imbalannya mbak Sri akan tinggal di rumahku membantu pekerjaan rumah ibuku."Sudah kau siapkan kamar Mbak Mayang, Sri?" tanya bapak pada Sri."Lha nggeh sampun to, Pak! Malah dari dua hari kemarin sudah saya siapkan!" jawab mbak Sri dengan logat Jawa yang sangat medok.Aku tertawa kecil. Rasanya sedikit aneh saja mendapat perlakuan seperti ini. Selama setahun ini aku harus belajar bahkan memaksakan diri menjadi perempuan yang kuat dan mandiri. Sementara saat ini aku diperlakukan seperti anak kecil. Segala keperluanku disiapkan oleh bapak, ibu dan mbak Sri. Ada keharuan yang menyeruak dalam hatiku."Antarkan Mbak Mayang ke kamarnya, Sri!" perintah ibu pada mbak Sri."Nggeh, Bu! Monggo Mbak Mayang!"Mbak Sri membawakan tasku yang berukuran sedang. Berisi pakaian aku selama berada di rumah sakit."Itu semua isinya baju kotor ya, Mbak Sri!" kataku pada mbak Sri memberitahukan isi tasku."Nggeh, Mbak! Nanti biar saya bawa ke belakang!" sahut mbak Sri.Aku memasuki kamarku. Kamar yang menjadi milikku selama aku menjadi anggota keluarga di rumah ini. Ku tengok seluruh tatanan ruangannya yang tak berubah sedikitpun. Juga semua letak barang yang aku simpan setahun yang lalu tak berubah sama sekali."Mbak Mayang istirahat dulu nggeh! Saya mau ke belakang bawa baju ini," kata mbak Sri setelah melihatku berbaring di ranjang."Iya, Mbak!" Aku mengangguk."Mbak Mayang mau dibuatkan minum apa? Mau anget apa dingin?" tanya mbak Sri."Buatkan wedang jahe saja, Mbak!""Siap!" jawab Mbak Sri," saya tutup pintunya nggeh, Mbak?"Aku mengangguk dan tersenyum.Sepeninggal mbak Sri, aku termenung sendiri. Entah darimana datangnya, tiba-tiba kehampaan itu datang menelusup ke dalam hati. Menciptakan nelangsa yang menyakitkan hati."Apakah aku mampu menuruti keputusan Ibu?"Aku bermonolog pada diriku sendiri."Apakah aku mampu berpisah dengan Mas Gandung?""Bagaimana kalau Mas Gandung menolak perpisahan ini?""Bagaimana aku menjalani kehidupan setelah berpisah darinya?""Apakah aku sudah siap mental untuk menyandang status janda?"Aku memejamkan mata perlahan. Mencoba mengurai satu persatu peristiwa yang menimpaku.Tok tok tok.Suara ketukan pintu seketika membuyarkan lamunanku."Wedang jahenya sudah jadi, Mbak!" Terdengar suara mbak Sri dari luar."Masuk saja, Mbak!" sahutku.Mbak Sri masuk membawa segelas wedang jahe di atas nampan. Ada sepiring pisang goreng crispy juga. Diletakkannya di atas meja di samping tempat tidurku."Makasih, Mbak!" kataku pada mbak Sri."Bapak dan Ibu sangat bahagia waktu memberitahu saya, kalau Mbak Mayang akan pulang ke rumah," kata mbak Sri duduk di tepian ranjang. Memijat kakiku. Kebiasaannya yang selalu dilakukan padaku dulu, kalau aku kecapekan."Apa katanya?" tanyaku. Iseng sebenarnya. Daripada tidak ada bahan obrolan."Mbak Mayang mau tinggal sama Bapak dan Ibu," jawab mbak Sri polos.Aku menghela napas dalam-dalam. Benarkah musibah ini memberi hikmah kebahagiaan pada bapak dan ibu? Karena aku menuruti keinginan mereka berdua untuk pulang dan kembali tinggal bersama mereka. Apakah itu berarti aku telah menghilangkan kebahagiaan mereka selama setahun ini? Ada sesak yang menghimpit ruang dadaku mengingat keegoisan aku selama ini. Membuat kedua bola mataku memanas dan nyaris mengalirkan air mata."Mbak Mayang pasti ndak pernah dipijat ya, selama ndak tinggal sama Bapak Ibu?" Suara mbak Sri menyadarkanku dari lamunan."Nggak pernah, Mbak! Nggak sempat juga!" jawabku jujur. Teringat hari-hariku bersama mas Gandung yang dipenuhi dengan rutinitas mencari uang. Aku yang merintis usaha konveksi. Dari mulai mencari modal hingga mengembalikan modal. Semua kulakukan sendiri. Sementara hasil konveksi yang baru berkembang itu harus ikut menghidupi kehidupan keluarga mas Gandung. Sementara mas Gandung dengan alasan belum dapat pekerjaan lantas lebih banyak berdiam di rumah.Benarkah cinta itu buta? Atau benarkah cinta itu bisa membutakan?Mbak Sri masih memijat kedua kakiku."Diminum dulu Mbak, wedang jahenya!" Mbak Sri berdiri. Mengambil segelas wedang jahe dan sepiring pisang goreng crispy.Aku minum wedang jahe yang sudah hangat-hangat kuku itu. Sembari bercerita dengan mbak Sri, aku memakan pisang goreng crispy kesukaanku. Tak perlu waktu lama, kedua hidangan yang diberikan mbak Sri itupun sukses berat masuk ke dalam perutku. Mbak Sri berdiri sebentar untuk mengemasi gelas dan piringku. Lalu kembali memijat dan mengurutku.Aku memejamkan mata. Rasa nyaman mulai menjalari tubuhku ketika mbak Sri mulai intens mengurut badanku. Setahun sudah aku tak pernah merasakan sentuhan relaksasi seperti ini. Dan karena merasa keenakan, rasa kantukpun perlahan menyerangku. Membuatku menguap beberapa kali."Mbak Mayang tidak berubah ya? Kalau sudah dipijit pasti langsung tidur."Masih sempat kudengar suara mbak Sri. Samar-samar. Sebelum akhirnya aku benar-benar tertidur dan terlelap dalam mimpi.******"Mayang! Bangun! Dah sore!"
Geri yang menyadari perubahan sikap Mas Gandung segera berdiri dan memohon diri pamit pada bapak dan aku."Saya pamit dulu, Pak! Mbak Mayang!" Geri menyalami bapak dan aku.Aku tak tahu. Apakah bapak tahu perseteruan antara Mas Gandung dengan Geri apa tidak."Iya, iya... mampir saja kalau sedang di rumah Pak Johan!" kata bapak pada Geri. Entah benar-benar tulus menawarkan atau hanya basa basi saja."Siap, Pak!" jawab Geri tersenyum mengangguk. Geri juga mengangguk ke Mas Gandung. Tapi Mas Gandung membuang muka.Setelah Geri berlalu bapak mempersilakan Mas Gandung masuk ke rumah. "Silakan ngobrol dulu sama Mayang, Nak Gandung! Bapak ke belakang sebentar!" kata bapak.Setelah itu bapak pergi ke belakang meninggalkan kami berdua."Apa kau menghubungi dia agar mendatangimu sampai ke sini?" tanya Mas Gandung menatapku tajam. Penuh kecurigaan."Dia siapa?" tanyaku balik bertanya. Meskipun sebenarnya aku tahu dia siapa yang dimaksud mas Gandung. Pasti Geri."Gak mungkin dia bisa sampai kes
"Ya, Om?" Aku mengernyitkan kening. Menunggu kelanjutan omongan om Hendri yang sepertinya sengaja diputus."Kalau kesini minggu depan, gak usah ngajak bodyguard lagi!" jawab om Hendri tersenyum sambil ekor matanya mengarah ke ibu.Ibu tahu maksud om Hendri. Merasa tak terima diolok om Hendri, ibu langsung berdiri. Tangan ibu cepat meraih sekotak tissue di atas meja. "Dasar kau ya!!" Ibu memaki. Melempar tissue itu ke arah om Hendri.Om Hendri tergelak. Tertawa puas. Merasa berhasil mengerjai ibu. Aku hanya tersenyum menggeleng-gekengkan kepala melihat tingkah mereka berdua. Memang selalu begitu sejak dulu. Perhatian, gurauan dan pertengkaran kecil seringkali mewarnai kebersamaan mereka."Jangan dengarkan omongan Om-mu!" sungut ibu. Bicara padaku."Seorang klien harus mendengarkan dan menuruti omongan lawyer-nya," kata om Hendri padaku.Aku menatap ibu dan adik lelakinya itu bergantian. Aku merasa terjebak diantara percakapan keduanya."Aku sudah tahu masalah Mayang versi Mbak Sita. A
Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku."Mas Gandung?!"Kulihat Mas Gandung berlari kecil menghampiriku."Akhirnya aku bisa bertemu denganmu!" kata Mas Gandung yang membuatku mengernyitkan dahi. Memangnya selama ini dia tidak bisa menemuiku? Bukankah dia sendiri yang tak mau menemuiku? Atau apakah selama ini ibu melarang mas Gandung menemuiku? "Kau? Semakin cantik kamu sekarang!" puji mas Gandung ketika menatapku. Memindaiku dari atas hingga bawah. Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya. Mungkin karena perawatan di salon Tice tadi."Aku yakin kamu sudah sembuh sekarang" kata mas Gandung," kenapa kamu tidak balik ke rumah?"Aku diam. Tak menjawab pertanyaannya."Aku kangen kamu!" kata mas Gandung lagi. Kali ini tangannya menggenggam kedua tanganku," memangnya kamu gak kangen sama aku?""Mayang?!!" Suara ibu yang memanggilku membuatku kaget. Ibu sudah duduk dibelakang kemudi mobil."Sebentar, Bu!" sahutku sembari melepas tangan mas Gandung yang masih memggenggam tanganku."Apa kam
Aku ternganga dan menutup mulutku secepatnya. Tak percaya ketika melihat poster-poster besar yang menempel di dinding ruangan. Semuanya berisi gambarku. Ada posterku saat berambut panjang dan berikat kepala bendera Amerika Tengah memainkan gitar. Berpose ala Axl Rose, vokalis Gun'n Roses. Ada juga poster hitam putih saat aku memakai jaket kulit. Berphoto bersama vokalis Gigi, Armand Maulana yang juga berkostum sama. Juga photoku bersama Luki, vokalis Resonansi, band kampusku dulu. Aku mendekat ke poster terakhir. Sebuah photo wisuda sarjanaku. Aku berdiri di tengah. Memakai toga. Membawa buket bunga. Diapit bapak dan ibu yang tersenyum bahagia.Aku menggelengkan kepala. Tak percaya. "A-appa maksud semua ini, Bu?" Aku menatap ibu yang tengah berdiri dan bersandar di dinding. Bersidekap dada."Apa kau suka?" Ibu malah balik bertanya. Tanpa melihatku. Ekspresinya datar saja. Matanya menatap ke poster-poster di dinding. "Tapi apa maksud ini semua, Bu?" Aku masih bertanya hal yang sama t
Melihat perempuan itu tertawa tiba-tiba saja ibu ikut-ikutan tertawa. Meninju bahu perempuan itu kuat-kuat."Apa yang kamu inginkan, hah?" Ibu kembali mendorong perempuan itu. Keduanya masih saja tertawa dan terpingkal-pingkal. Meskipun perempuan yang didorong ibu itu sama sekali tak melawan.Aku dan beberapa pegawai butik yang ikut berjaga-jaga dari tadi malah melongo. Tak mengerti apa sebenarnya yang telah terjadi."Sudah, sudah! Bubar semua! Kembali kerja!" usir ibu pada semua pegawai butik yang masih berkerumun dan berbisik-bisik melihat kejadian yang mungkin sangat tak lazim menurut mereka.Para pegawai butik lalu serentak membubarkan diri begitu mendengar perintah ibu. Kembali pada pekerjaan masing-masing. Meskipun aku yakin dengan banyak pertanyaan di pikiran mereka dengan peristiwa yang baru saja terjadi."Ibu?" Aku mendekat ibu. "Ini Mayang, anakku!" Ibu menarik tanganku."Walah-walah... Anakmu cantik sekali ya? Lebih cantik dari kamu lo Mbak Sita!" komentar perempuan itu ket
Hari ini tepat seminggu sejak kedatanganku ke kantor om Hendri. Berkali-kali ibu mengingatkanku untuk pergi menemui om Hendri. "Kamu jangan membuat proses perceraianmu menjadi panjang dan rumit!" pesan ibu padaku."Mayang sudah besar, Bu! Tahu mah dia!" sambung bapak. Kami baru selesai sarapan. "Besar sih besar... cuma Bapak kan tahu sendiri Mayang tu macam mana orangnya? Labil!" Ibu memandangku. Seperti orang mengintimidasi."Jangan kwatir, Bu! Mayang yang sekarang tak seperti Mayang yang kemaren!" Aku tersenyum pada ibu. "Dan itu semua berkat Ibu!" Aku memuji ibu. Meskipun pujianku sama sekali tak membuat wajah ibu melunak kepada ku.Aku merentangkan tangan. Berdiri dan menggeser kursi mendekati ibu."Mau apa kamu?" tanya ibu mendelik. Mencurigaiku."Meluk Ibu!" "Haish... gak perlu! Dah sana pergi, temui Om-mu! Takutnya dia ada urusan mendadak! Buruan gih, ke sana!"Ibu mengibaskan tangannya. Menolak kupeluk dan menyuruhku segera pergi menemui om Hendri.Aku merengut. Pura-pura k
Beberapa menit di dalam mobil menuju rumah sakit aku dan Geri lebih banyak diam. Entah kenapa aku sendiri jadi merasa lebih sungkan ketika hanya berdua saja dengannya didalam mobil seperti ini."Kau masih bisa bertahan kan?" tanyaku menoleh ke arahnya. Berusaha memecah kekakuan.Geri tersenyum. Menatapku sekilas. Lalu kembali memejamkan matanya. Tangannya masih menekan pelipis kirinya. Bau amis darah juga mulai menyeruak di dalam mobilku. Meskipun aku sudah menggunakan masker. Bau anyir darah sedikit banyak membuatku harus menahan mual yang sangat menyiksa."Geri?!" Aku memanggil namanya. Sebenarnya aku sendiri mulai sedikit panik melihat dia hanya diam dan terus memejamkan matanya. Kalau pingsan bagaimana?Lelaki itu tak menjawab. Hanya membuka matanya lemah.Dalam hati aku mengucap syukur melihatnya masih hidup. Aku mempercepat laju mobil menuju rumah sakit."Jangan pingsan ya Ger!" Aku berkata tanpa menoleh."Mbak?" Terdengar suara Geri memanggilku."Ya? Kau perlu sesuatu?""Apa ben