Share

BAB 7. Pulang Ke Rumah Ibu

"Sudahlah Bu, kita abaikan saja masalah ini untuk sementara! Kita prioritaskan dulu kesembuhan Mayang!"

Kudengar suara bapak menasehati ibu. Sebenarnya aku sudah siuman dari beberapa saat yang lalu. Tapi karena kudengar bapak dan ibu tengah berbicara tentangku. Aku memilih tetap memejamkan mata.

"Geram rasanya hatiku, Pak! Kalau tidak ingat dia itu masih suaminya Mayang, pasti dah lama kujebloskan dia itu ke penjara. Dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga." Kali ini ibu yang berbicara.

Ibu tahu yang dilakukan mas Gandung terhadapku bisa di masukkan ke dalam tindakan KDRT. Karena KDRT tidak hanya dalam bentuk kekerasan secara fisik saja. Tapi juga segala tindakan yang bisa membuat si korban tertekan secara mental juga.

"Memang bodoh benar anak kau itu, Pak! Dijodohkan sama lelaki baik-baik, hidupnya sudah mapan pula malah tidak mau. Sekarang dia rasakan menikahi berandalan pengangguran itu. Dia rasakan sakitnya punya suami yang hanya bermodal dengkul itu! Modal dengkul kalau baik, masih bisa dimaafkan. Ini sudah berandalan, pengangguran ditambah suka mencemarkan kehormatan isterinya sendiri. Hahahaha, jadi laki-laki kok tidak ada sisi positifnya sama sekali!" ujar ibu panjang lebar mengungkapkan kegeramannya pada mas Gandung.

"Aku mau ketemu dokter Riyan dulu, Pak! Bapak jagain Mayang dulu!"

Selesai berkata demikian kurasa ibu keluar meninggalkan ruangan tempat aku dirawat. Karena tak lagi kudengar suaranya.

Hening.

Aku membuka mataku perlahan.

"Pak!" panggilku lirih ke bapak.

"Alhamdulillah, ya Allah!" Bapak menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah.

Ada kelegaan dan kegembiraan yang luar biasa tersirat dari raut wajahnya saat aku memanggilnya. Membuatku sedikit merasa bersalah. Karena menunda memberitahunya bahwa aku sudah siuman sedari tadi.

"Apa kau perlu sesuatu?" Bapak menanyaiku.

"Aku haus, Pak!" jawabku lirih. Kerongkongan maupun tenggorokanku terasa kering.

Bapak mengambil sebotol air mineral dan mengulurkannya padaku.

"Tidak perlu memikirkan apapun untuk saat ini! Fokuskan saja pada kesembuhan lukamu!" Nasehat bapak padaku.

Aku diam. Tak menyahut perkataan bapak.

"Masalah yang dibicarakan ibumu kemarin tak perlu kau risaukan. Tentunya ibumu mengambil keputusan juga demi kebaikan hidupmu ke depannya." Bapak menasehatiku lagi.

"Kemana Mas Gandung, Pak?" tanyaku pada bapak. Karena sedari tadi tidak kulihat kehadiran mas Gandung di ruangan ini. Padahal waktu aku pingsan dia ada di ruangan ini.

"Sudah Ibu usir!" sahut Ibu yang mendadak sudah membuka pintu. Dan masuk ruangan tempatku dirawat.

"Tapi, Bu?!" Aku hampir protes kalau saja ibu tidak segera memelototi aku.

"Perkawinan kamu itu tidak sehat. Jadi tidak dapat dilanjutkan. Laki-laki seperti Gandung akan menjadi parasit selamanya dalam hidupmu. Kalau kamu tidak segera berpisah, Ibu kuatir kamu akan mati perlahan karena Gandung!" kata ibu menaruh tasnya di meja.

Aku menunduk diam.

"Bagaimana hasil pemeriksaan kesehatan Mayang?" Bapak mengalihkan pembicaraan.

Ibu menghela napas berat.

"Kepalanya terlalu banyak menanggung beban pikiran. Hampir melampaui ambang batas kemampuannya," jawab ibu datar. Suaranya nyaris tanpa emosi.

"Lalu apa saran dokter?" Bapak terlihat sangat cemas.

"Dia harus rileks dulu. Istirahat total. Jangan diberi beban pikiran lagi. Pembuluh syarat dikepalanya dikuatirkan akan pecah kalau beban pikiran dia tidak di kontrol," jawab ibu menjelaskan.

"Tapi perasaan aku sehat-sehat saja, Bu!" ujarku menyambung omongan ibu, "tidak perlu terlalu dikuatirkan kali!"

Ibu menyorotiku tajam.

"Kamu ini udah pingsan 2 kali. Masih kau bilang sehat. Apa kau mau menunggu sudah sakaratul maut. Baru kau mau di bilang sakit?"

Astaghfirulloh, Ibu!

Akhirnya aku diperbolehkan pulang setelah menginap dua malam di rumah sakit. Bapak dan ibu memboyong aku ke rumah lama. Rumah di mana aku dilahirkan dan dibesarkan oleh keduanya sebagai seorang anak tunggal.

"Lhah, senengnya Mbak Mayang bisa balik ke rumah lagi!" seru mbak Sri menyambutku.

Aku tersenyum memeluknya. Mbak Sri sudah seperti seorang kakak untukku. Usiaku yang tak terlalu jauh terpaut dengan usianya membuat hubunganku dan dia sangat dekat. Kebersamaan kami pun terbilang sudah cukup lama. Mbak Sri masuk ke dalam rumahku ketika memasuki kelas 1 bangku SMP. Sementara aku masih kelas 5 SD. Saat itu dia bersama kedua orangtuanya meminta bapak dan ibuku untuk membiayai sekolah SMP-nya. Sebagai imbalannya mbak Sri akan tinggal di rumahku membantu pekerjaan rumah ibuku.

"Sudah kau siapkan kamar Mbak Mayang, Sri?" tanya bapak pada Sri.

"Lha nggeh sampun to, Pak! Malah dari dua hari kemarin sudah saya siapkan!" jawab mbak Sri dengan logat Jawa yang sangat medok.

Aku tertawa kecil. Rasanya sedikit aneh saja mendapat perlakuan seperti ini. Selama setahun ini aku harus belajar bahkan memaksakan diri menjadi perempuan yang kuat dan mandiri. Sementara saat ini aku diperlakukan seperti anak kecil. Segala keperluanku disiapkan oleh bapak, ibu dan mbak Sri. Ada keharuan yang menyeruak dalam hatiku.

"Antarkan Mbak Mayang ke kamarnya, Sri!" perintah ibu pada mbak Sri.

"Nggeh, Bu! Monggo Mbak Mayang!"

Mbak Sri membawakan tasku yang berukuran sedang. Berisi pakaian aku selama berada di rumah sakit.

"Itu semua isinya baju kotor ya, Mbak Sri!" kataku pada mbak Sri memberitahukan isi tasku.

"Nggeh, Mbak! Nanti biar saya bawa ke belakang!" sahut mbak Sri.

Aku memasuki kamarku. Kamar yang menjadi milikku selama aku menjadi anggota keluarga di rumah ini. Ku tengok seluruh tatanan ruangannya yang tak berubah sedikitpun. Juga semua letak barang yang aku simpan setahun yang lalu tak berubah sama sekali.

"Mbak Mayang istirahat dulu nggeh! Saya mau ke belakang bawa baju ini," kata mbak Sri setelah melihatku berbaring di ranjang.

"Iya, Mbak!" Aku mengangguk.

"Mbak Mayang mau dibuatkan minum apa? Mau anget apa dingin?" tanya mbak Sri.

"Buatkan wedang jahe saja, Mbak!"

"Siap!" jawab Mbak Sri," saya tutup pintunya nggeh, Mbak?"

Aku mengangguk dan tersenyum.

Sepeninggal mbak Sri, aku termenung sendiri. Entah darimana datangnya, tiba-tiba kehampaan itu datang menelusup ke dalam hati. Menciptakan nelangsa yang menyakitkan hati.

"Apakah aku mampu menuruti keputusan Ibu?"

Aku bermonolog pada diriku sendiri.

"Apakah aku mampu berpisah dengan Mas Gandung?"

"Bagaimana kalau Mas Gandung menolak perpisahan ini?"

"Bagaimana aku menjalani kehidupan setelah berpisah darinya?"

"Apakah aku sudah siap mental untuk menyandang status janda?"

Aku memejamkan mata perlahan. Mencoba mengurai satu persatu peristiwa yang menimpaku.

Tok tok tok.

Suara ketukan pintu seketika membuyarkan lamunanku.

"Wedang jahenya sudah jadi, Mbak!" Terdengar suara mbak Sri dari luar.

"Masuk saja, Mbak!" sahutku.

Mbak Sri masuk membawa segelas wedang jahe di atas nampan. Ada sepiring pisang goreng crispy juga. Diletakkannya di atas meja di samping tempat tidurku.

"Makasih, Mbak!" kataku pada mbak Sri.

"Bapak dan Ibu sangat bahagia waktu memberitahu saya, kalau Mbak Mayang akan pulang ke rumah," kata mbak Sri duduk di tepian ranjang. Memijat kakiku. Kebiasaannya yang selalu dilakukan padaku dulu, kalau aku kecapekan.

"Apa katanya?" tanyaku. Iseng sebenarnya. Daripada tidak ada bahan obrolan.

"Mbak Mayang mau tinggal sama Bapak dan Ibu," jawab mbak Sri polos.

Aku menghela napas dalam-dalam. Benarkah musibah ini memberi hikmah kebahagiaan pada bapak dan ibu? Karena aku menuruti keinginan mereka berdua untuk pulang dan kembali tinggal bersama mereka. Apakah itu berarti aku telah menghilangkan kebahagiaan mereka selama setahun ini? Ada sesak yang menghimpit ruang dadaku mengingat keegoisan aku selama ini. Membuat kedua bola mataku memanas dan nyaris mengalirkan air mata.

"Mbak Mayang pasti ndak pernah dipijat ya, selama ndak tinggal sama Bapak Ibu?" Suara mbak Sri menyadarkanku dari lamunan.

"Nggak pernah, Mbak! Nggak sempat juga!" jawabku jujur. Teringat hari-hariku bersama mas Gandung yang dipenuhi dengan rutinitas mencari uang. Aku yang merintis usaha konveksi. Dari mulai mencari modal hingga mengembalikan modal. Semua kulakukan sendiri. Sementara hasil konveksi yang baru berkembang itu harus ikut menghidupi kehidupan keluarga mas Gandung. Sementara mas Gandung dengan alasan belum dapat pekerjaan lantas lebih banyak berdiam di rumah.

Benarkah cinta itu buta? Atau benarkah cinta itu bisa membutakan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status