Share

BAB 8. Geri Menjenguk Ke Rumah

Mbak Sri masih memijat kedua kakiku.

"Diminum dulu Mbak, wedang jahenya!" Mbak Sri berdiri. Mengambil segelas wedang jahe dan sepiring pisang goreng crispy.

Aku minum wedang jahe yang sudah hangat-hangat kuku itu. Sembari bercerita dengan mbak Sri, aku memakan pisang goreng crispy kesukaanku. Tak perlu waktu lama, kedua hidangan yang diberikan mbak Sri itupun sukses berat masuk ke dalam perutku.

Mbak Sri berdiri sebentar untuk mengemasi gelas dan piringku. Lalu kembali memijat dan mengurutku.

Aku memejamkan mata. Rasa nyaman mulai menjalari tubuhku ketika mbak Sri mulai intens mengurut badanku. Setahun sudah aku tak pernah merasakan sentuhan relaksasi seperti ini. Dan karena merasa keenakan, rasa kantukpun perlahan menyerangku. Membuatku menguap beberapa kali.

"Mbak Mayang tidak berubah ya? Kalau sudah dipijit pasti langsung tidur."

Masih sempat kudengar suara mbak Sri. Samar-samar. Sebelum akhirnya aku benar-benar tertidur dan terlelap dalam mimpi.

******

"Mayang! Bangun! Dah sore!" terdengar suara bapak membangunkanku.

Kubuka mataku pelan-pelan. Menggeliat. Dan mencoba mengusir kantuk yang masih menggodaku.

"Ada Bu Bidan itu, mau ganti perbanmu!" kata bapak. "Mandi dulu sana!"

Mendengar perkataan bapak barusan, aku segera menyingkirkan selimut yang mungkin sengaja dipasangkan mbak Sri ketika aku ketiduran tadi. Tanpa membantah aku turun dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Yang kebetulan menyatu di dalam kamar tidurku.

Ketika aku keluar, bidan desa yang bernama bu Rasti itu sudah ada di kamarku bersama ibu.

"Gimana kabarnya, Mbak Mayang?" tanya bu Rasti ramah.

"Baik, Bu Bidan!" jawabku seraya menyalami tangannya.

Setelah aku berbaring. Bu Rasti membuka perban luka di kepalaku. Memeriksanya. Membersihkan dan mengganti perbannya.

"Udah mulai mengering lukanya, Mbak!" komentar bu Rasti setelah selesai melakukan tugasnya. Mengemasi peralatannya.

Aku tersenyum mengangguk.

"Terluka kena apa, Mbak?" tanya bu Rasti lagi.

Aku menatap ibu. Bagaimanapun juga aku tidak bisa sembarangan cerita pada orang lain tentang kejadian yang menimpaku tanpa seijin ibu.

"Sri, buatkan minuman untuk Bu Bidan!" Perintah ibu pada mbak Sri yang sedari tadi ikut melihat bu Rasti mengganti perban.

Aku tahu ibu berusaha mengalihkan pertanyaan bu Rasti.

"Nggeh, Bu," jawab mbak Sri. "Mau dibawa ke kamar Mbak Mayang apa ke ruang tamu, Bu!"

"Aduh, tidak perlu repot-repot, Bu Danu!" sahut bu Rasti.

"Tidak repot kok, Bu Bidan! Mari kita ke ruang depan! Kita bisa ngobrol di sana," kata Ibu mengajak bu Rasti keluar kamarku.

"Mayang, kamu istirahat saja di kamar!" titah ibu padaku.

Aku mengangguk. Mengiyakan.

"Mari, Mbak Mayang!" Bu Rasti pamit padaku. Sedikit membungkukkan badannya.

"Silakan, Bu! Terimakasih banyak ya, Bu!" sahutku pada bu Rasti.

"Iya, Mbak! Sama-sama! Kalau ada keluhan dengan lukanya jangan sungkan untuk memanggil saya!" pesan bu Rasti sebelum meninggalkan kamarku.

"Siap, Bu!" jawabku tersenyum mengangguk.

Sepeninggal bu Rasti dan ibu, aku mengambil tas kecil yang dibelikan ibu waktu aku di rumah sakit. Ketika kuperiksa isinya ternyata ada sebuah ponsel android keluaran terbaru. Kusentuh layar depannya. Agak tersentak hatiku saat melihat wallpaper yang dipasang ibu. Ada fotoku tertawa lepas memegang toga saat wisuda S1-ku dua tahun yang silam.

Tok tok tok.

"Mayang!" Terdengar suara bapak memanggilku dari luar.

"Iya, Pak! Masuk saja!" sahutku dari dalam kamar.

Bapak membuka pintu dan masuk.

Melihatku sedang memegang ponsel, bapak langsung mendekatiku.

"Ibumu membelikan ponsel itu untukmu. Ponselmu mungkin ketinggalan di rumahmu!"

Aku mengangguk.

"Kamu mau makan apa? Seharian ini kamu baru makan sekali. Obatmu tadi siang juga belum kau minum," kata bapak lagi.

"Mbak Sri masak apa, Pak?" tanyaku.

"Disuruh Ibu masak sayur garang asem buat kamu! Keluarlah makan! Nanti kalau ada yang mau kau minta masak, bilang ke Mbak Sri saja!"

"Ibu ke mana, Pak?" tanyaku menanyakan ibu.

"Ibumu ke rumah Pak Sunar. Katanya dia mau jual sawahnya," jawab bapak sambil beranjak keluar kamar.

"Memang Ibu yang mau beli?"

"Kalau harganya cocok mungkin ibumu yang beli," jawab bapak. "Segera keluar makan!"

Aku mengangguk. Pandanganku mengiring bapak keluar dari kamarku. Biasanya di rumah mas Gandung yang menyiapkan makan kalau aku tidak sempat memasak. Ah, kenapa mendadak aku mengingatnya. Baru saja dua hari tak bertemu dengannya. Apakah aku sudah merindukannya?

"Maaf, Pak! Ada tamu di depan!" Mbak Sri memberitahu bapak ketika kami sedang makan.

"Siapa, Sri?" tanya Bapak.

"Ndak tau, Pak! Saya ndak kenal. Bukan orang sini kayaknya!" jawab Sri.

"Suruh masuk dulu, Sri! Sebentar lagi Bapak temui!" kata bapak sambil meneruskan makan.

"Nggeh, Pak!"

Sepeninggal mbak Sri, aku dan bapak melanjutkan makan malam. Sementara ibu belum datang.

"Jangan lupa di minum obatnya!" kata bapak padaku. Kami berdua sudah selesai makan.

Aku mengangguk. Berjalan menuju kamar. Sementara mbak Sri datang dan membereskan meja.

Ketika aku hendak berbaring setelah minum obat. Terdengar mbak Sri mengetuk pintu kamar.

"Mbak Mayang!" panggil mbak Sri.

"Masuk saja, Mbak!"

Ceklek.

Pintu terbuka. Mbak Sri menongolkan kepalanya.

"Tamunya nyari Mbak Mayang!" kata mbak Sri.

Aku mengerutkan kening.

"Laki-laki apa perempuan tamunya, Mbak?" tanyaku.

"Laki-laki, Mbak! Saya disuruh Bapak buat manggil Mbak Mayang!" jawab mbak Sri.

Aku bangun dari tempat tidur. Siapa yang mencariku malam-malam begini. Pasti mas Gandung, pikirku.

Ketika tiba di ruang tamu aku malah kaget dengan tamu yang mencariku.

Geri!

"Nah, ini Mayang!" kata Bapak sambil menyuruhku duduk.

"Gimana kabarnya, Mbak Mayang?" tanya Geri berdiri menyalamiku.

"Baik!" jawabku tersenyum. "Kok bisa sampai sini?"

"Rupanya Nak Geri ini keponakan Pak Johan!" Bapak yang menjawab.

Geri tersenyum mengangguk.

Pak Johan adalah tetangga kami. Pemilik usaha mebel terbesar di daerah ini. Memproduksi berbagai model pintu, jendela dan ornamen rumah lainnya. Bahan bakunya juga terkenal kualitas tinggi dari kayu jati dan kayu ulin.

"Saya tadi ditelpon Om Johan buat ngantarin pesanan pintu!" kata Geri menjelaskan." Rupanya rumah Mbak Mayang dekat sama rumah Om Johan."

"Pak Johan cerita tentang kamu ke Nak Geri! Padahal Pak Johan tidak tahu kalau kalian juga bertetangga di komplek perum," kata bapak menjelaskan.

"Kebetulan tadi pagi saya ke rumah sakit mau bezuk Mbak Mayang. Rupanya sudah dibawa pulang Bapak sama Ibu," kata Geri. "Waktu di rumah Om Johan, kebetulan Om sama Bibi tengah bercerita tentang Mbak Mayang, anak Pak Danu yang baru keluar dari rumah sakit."

"Ooh," kataku ber-oh menanggapi cerita Geri.

Mbak Sri datang membawa minuman dan makanan ringan. Disuguhkannya ke Geri.

"Silakan, Nak Geri! Diminum dulu!" kata bapak mempersilahkan Geri.

"Iya-ya, Pak! Terima kasih!"

Geri tersenyum mengangguk.

"Apa Mbak Mayang lama tinggal disini?" tanya Geri menatapku.

"Biar sampai sembuh dulu. Kalau tinggal disini kan ada yang merawat. Kalau di rumahnya sana, kami khawatir tidak ada yang merawat," Bapak yang menjawab.

Geri mengangguk-angguk.

"Gimana kabar Bu Ida?" Aku menanyakan kabar mertua Geri yang ditahan polisi.

"Pengacara Mbak Mayang menerima tawaran mediasi dari Bu Ida. Jadi beliau bisa keluar dengan jaminan!" jelas Geri.

"Apa Ibu menyuruh Om Hendri, Pak?" tanyaku ke bapak.

Bapak mengangguk mengiyakan.

Om Hendri adalah adik Ibu yang berprofesi jadi pengacara. Setiap ada permasalahan hukum yang menyangkut keluarga kami ataupun bisnis ibu, kami selalu memakai jasa Om Hendri. Ibu mempunyai usaha jual beli tanah untuk pertanian dan perumahan.

"Gimana kabar Mbak Ratih?" tanyaku pada Geri.

Geri menatapku sejenak sebelum menjawab. Tangan kanannya mengusap-usap hidungnya.

"Panjang ceritanya," jawabnya seolah enggan menceritakan lebih detail.

Sebenarnya aku mau bertanya tentang alasan dia mengatakan suka padaku di rumah pak RT dulu. Tapi berhubung ada bapak disitu, niat itu aku urungkan.

"Apa Mas Gandung tahu Mbak Mayang ada disini?" tanya Geri padaku.

Aku mengangguk.

"Nak Gandung sudah kami beritahu kalau kami membawa Mayang untuk sementara. Sampai sembuh." Bapak yang menjelaskan pada Geri.

Baru saja bapak selesai menjelaskan tentang Mas Gandung, sungguh tak disangka Mas Gandung terlihat olehku memasuki halaman rumah dengan sepeda motornya. Benar-benar panjang umur!

"Assalamualaikum!" Mas gandung mengucap salam. Berdiri di teras rumah.

"Waalaikumsalam,"

Kami bertiga menjawab bersamaan. Bapak, aku dan Geri.

Dan muka Mas Gandung langsung berubah ketika melihat Geri ada bersama kami.

"Kau?!" Mas Gandung nanar menatap Geri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status