Mbak Sri masih memijat kedua kakiku.
"Diminum dulu Mbak, wedang jahenya!" Mbak Sri berdiri. Mengambil segelas wedang jahe dan sepiring pisang goreng crispy.Aku minum wedang jahe yang sudah hangat-hangat kuku itu. Sembari bercerita dengan mbak Sri, aku memakan pisang goreng crispy kesukaanku. Tak perlu waktu lama, kedua hidangan yang diberikan mbak Sri itupun sukses berat masuk ke dalam perutku.Mbak Sri berdiri sebentar untuk mengemasi gelas dan piringku. Lalu kembali memijat dan mengurutku.Aku memejamkan mata. Rasa nyaman mulai menjalari tubuhku ketika mbak Sri mulai intens mengurut badanku. Setahun sudah aku tak pernah merasakan sentuhan relaksasi seperti ini. Dan karena merasa keenakan, rasa kantukpun perlahan menyerangku. Membuatku menguap beberapa kali."Mbak Mayang tidak berubah ya? Kalau sudah dipijit pasti langsung tidur."Masih sempat kudengar suara mbak Sri. Samar-samar. Sebelum akhirnya aku benar-benar tertidur dan terlelap dalam mimpi.******"Mayang! Bangun! Dah sore!" terdengar suara bapak membangunkanku.Kubuka mataku pelan-pelan. Menggeliat. Dan mencoba mengusir kantuk yang masih menggodaku."Ada Bu Bidan itu, mau ganti perbanmu!" kata bapak. "Mandi dulu sana!"Mendengar perkataan bapak barusan, aku segera menyingkirkan selimut yang mungkin sengaja dipasangkan mbak Sri ketika aku ketiduran tadi. Tanpa membantah aku turun dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Yang kebetulan menyatu di dalam kamar tidurku.Ketika aku keluar, bidan desa yang bernama bu Rasti itu sudah ada di kamarku bersama ibu."Gimana kabarnya, Mbak Mayang?" tanya bu Rasti ramah."Baik, Bu Bidan!" jawabku seraya menyalami tangannya.Setelah aku berbaring. Bu Rasti membuka perban luka di kepalaku. Memeriksanya. Membersihkan dan mengganti perbannya."Udah mulai mengering lukanya, Mbak!" komentar bu Rasti setelah selesai melakukan tugasnya. Mengemasi peralatannya.Aku tersenyum mengangguk."Terluka kena apa, Mbak?" tanya bu Rasti lagi.Aku menatap ibu. Bagaimanapun juga aku tidak bisa sembarangan cerita pada orang lain tentang kejadian yang menimpaku tanpa seijin ibu."Sri, buatkan minuman untuk Bu Bidan!" Perintah ibu pada mbak Sri yang sedari tadi ikut melihat bu Rasti mengganti perban.Aku tahu ibu berusaha mengalihkan pertanyaan bu Rasti."Nggeh, Bu," jawab mbak Sri. "Mau dibawa ke kamar Mbak Mayang apa ke ruang tamu, Bu!""Aduh, tidak perlu repot-repot, Bu Danu!" sahut bu Rasti."Tidak repot kok, Bu Bidan! Mari kita ke ruang depan! Kita bisa ngobrol di sana," kata Ibu mengajak bu Rasti keluar kamarku."Mayang, kamu istirahat saja di kamar!" titah ibu padaku.Aku mengangguk. Mengiyakan."Mari, Mbak Mayang!" Bu Rasti pamit padaku. Sedikit membungkukkan badannya."Silakan, Bu! Terimakasih banyak ya, Bu!" sahutku pada bu Rasti."Iya, Mbak! Sama-sama! Kalau ada keluhan dengan lukanya jangan sungkan untuk memanggil saya!" pesan bu Rasti sebelum meninggalkan kamarku."Siap, Bu!" jawabku tersenyum mengangguk.Sepeninggal bu Rasti dan ibu, aku mengambil tas kecil yang dibelikan ibu waktu aku di rumah sakit. Ketika kuperiksa isinya ternyata ada sebuah ponsel android keluaran terbaru. Kusentuh layar depannya. Agak tersentak hatiku saat melihat wallpaper yang dipasang ibu. Ada fotoku tertawa lepas memegang toga saat wisuda S1-ku dua tahun yang silam.Tok tok tok."Mayang!" Terdengar suara bapak memanggilku dari luar."Iya, Pak! Masuk saja!" sahutku dari dalam kamar.Bapak membuka pintu dan masuk.Melihatku sedang memegang ponsel, bapak langsung mendekatiku."Ibumu membelikan ponsel itu untukmu. Ponselmu mungkin ketinggalan di rumahmu!"Aku mengangguk."Kamu mau makan apa? Seharian ini kamu baru makan sekali. Obatmu tadi siang juga belum kau minum," kata bapak lagi."Mbak Sri masak apa, Pak?" tanyaku."Disuruh Ibu masak sayur garang asem buat kamu! Keluarlah makan! Nanti kalau ada yang mau kau minta masak, bilang ke Mbak Sri saja!""Ibu ke mana, Pak?" tanyaku menanyakan ibu."Ibumu ke rumah Pak Sunar. Katanya dia mau jual sawahnya," jawab bapak sambil beranjak keluar kamar."Memang Ibu yang mau beli?""Kalau harganya cocok mungkin ibumu yang beli," jawab bapak. "Segera keluar makan!"Aku mengangguk. Pandanganku mengiring bapak keluar dari kamarku. Biasanya di rumah mas Gandung yang menyiapkan makan kalau aku tidak sempat memasak. Ah, kenapa mendadak aku mengingatnya. Baru saja dua hari tak bertemu dengannya. Apakah aku sudah merindukannya?"Maaf, Pak! Ada tamu di depan!" Mbak Sri memberitahu bapak ketika kami sedang makan."Siapa, Sri?" tanya Bapak."Ndak tau, Pak! Saya ndak kenal. Bukan orang sini kayaknya!" jawab Sri."Suruh masuk dulu, Sri! Sebentar lagi Bapak temui!" kata bapak sambil meneruskan makan."Nggeh, Pak!"Sepeninggal mbak Sri, aku dan bapak melanjutkan makan malam. Sementara ibu belum datang."Jangan lupa di minum obatnya!" kata bapak padaku. Kami berdua sudah selesai makan.Aku mengangguk. Berjalan menuju kamar. Sementara mbak Sri datang dan membereskan meja.Ketika aku hendak berbaring setelah minum obat. Terdengar mbak Sri mengetuk pintu kamar."Mbak Mayang!" panggil mbak Sri."Masuk saja, Mbak!"Ceklek.Pintu terbuka. Mbak Sri menongolkan kepalanya."Tamunya nyari Mbak Mayang!" kata mbak Sri.Aku mengerutkan kening."Laki-laki apa perempuan tamunya, Mbak?" tanyaku."Laki-laki, Mbak! Saya disuruh Bapak buat manggil Mbak Mayang!" jawab mbak Sri.Aku bangun dari tempat tidur. Siapa yang mencariku malam-malam begini. Pasti mas Gandung, pikirku.Ketika tiba di ruang tamu aku malah kaget dengan tamu yang mencariku.Geri!"Nah, ini Mayang!" kata Bapak sambil menyuruhku duduk."Gimana kabarnya, Mbak Mayang?" tanya Geri berdiri menyalamiku."Baik!" jawabku tersenyum. "Kok bisa sampai sini?""Rupanya Nak Geri ini keponakan Pak Johan!" Bapak yang menjawab.Geri tersenyum mengangguk.Pak Johan adalah tetangga kami. Pemilik usaha mebel terbesar di daerah ini. Memproduksi berbagai model pintu, jendela dan ornamen rumah lainnya. Bahan bakunya juga terkenal kualitas tinggi dari kayu jati dan kayu ulin."Saya tadi ditelpon Om Johan buat ngantarin pesanan pintu!" kata Geri menjelaskan." Rupanya rumah Mbak Mayang dekat sama rumah Om Johan.""Pak Johan cerita tentang kamu ke Nak Geri! Padahal Pak Johan tidak tahu kalau kalian juga bertetangga di komplek perum," kata bapak menjelaskan."Kebetulan tadi pagi saya ke rumah sakit mau bezuk Mbak Mayang. Rupanya sudah dibawa pulang Bapak sama Ibu," kata Geri. "Waktu di rumah Om Johan, kebetulan Om sama Bibi tengah bercerita tentang Mbak Mayang, anak Pak Danu yang baru keluar dari rumah sakit.""Ooh," kataku ber-oh menanggapi cerita Geri.Mbak Sri datang membawa minuman dan makanan ringan. Disuguhkannya ke Geri."Silakan, Nak Geri! Diminum dulu!" kata bapak mempersilahkan Geri."Iya-ya, Pak! Terima kasih!"Geri tersenyum mengangguk."Apa Mbak Mayang lama tinggal disini?" tanya Geri menatapku."Biar sampai sembuh dulu. Kalau tinggal disini kan ada yang merawat. Kalau di rumahnya sana, kami khawatir tidak ada yang merawat," Bapak yang menjawab.Geri mengangguk-angguk."Gimana kabar Bu Ida?" Aku menanyakan kabar mertua Geri yang ditahan polisi."Pengacara Mbak Mayang menerima tawaran mediasi dari Bu Ida. Jadi beliau bisa keluar dengan jaminan!" jelas Geri."Apa Ibu menyuruh Om Hendri, Pak?" tanyaku ke bapak.Bapak mengangguk mengiyakan.Om Hendri adalah adik Ibu yang berprofesi jadi pengacara. Setiap ada permasalahan hukum yang menyangkut keluarga kami ataupun bisnis ibu, kami selalu memakai jasa Om Hendri. Ibu mempunyai usaha jual beli tanah untuk pertanian dan perumahan."Gimana kabar Mbak Ratih?" tanyaku pada Geri.Geri menatapku sejenak sebelum menjawab. Tangan kanannya mengusap-usap hidungnya."Panjang ceritanya," jawabnya seolah enggan menceritakan lebih detail.Sebenarnya aku mau bertanya tentang alasan dia mengatakan suka padaku di rumah pak RT dulu. Tapi berhubung ada bapak disitu, niat itu aku urungkan."Apa Mas Gandung tahu Mbak Mayang ada disini?" tanya Geri padaku.Aku mengangguk."Nak Gandung sudah kami beritahu kalau kami membawa Mayang untuk sementara. Sampai sembuh." Bapak yang menjelaskan pada Geri.Baru saja bapak selesai menjelaskan tentang Mas Gandung, sungguh tak disangka Mas Gandung terlihat olehku memasuki halaman rumah dengan sepeda motornya. Benar-benar panjang umur!"Assalamualaikum!" Mas gandung mengucap salam. Berdiri di teras rumah."Waalaikumsalam,"Kami bertiga menjawab bersamaan. Bapak, aku dan Geri.Dan muka Mas Gandung langsung berubah ketika melihat Geri ada bersama kami."Kau?!" Mas Gandung nanar menatap Geri.Geri yang menyadari perubahan sikap Mas Gandung segera berdiri dan memohon diri pamit pada bapak dan aku."Saya pamit dulu, Pak! Mbak Mayang!" Geri menyalami bapak dan aku.Aku tak tahu. Apakah bapak tahu perseteruan antara Mas Gandung dengan Geri apa tidak."Iya, iya... mampir saja kalau sedang di rumah Pak Johan!" kata bapak pada Geri. Entah benar-benar tulus menawarkan atau hanya basa basi saja."Siap, Pak!" jawab Geri tersenyum mengangguk. Geri juga mengangguk ke Mas Gandung. Tapi Mas Gandung membuang muka.Setelah Geri berlalu bapak mempersilakan Mas Gandung masuk ke rumah. "Silakan ngobrol dulu sama Mayang, Nak Gandung! Bapak ke belakang sebentar!" kata bapak.Setelah itu bapak pergi ke belakang meninggalkan kami berdua."Apa kau menghubungi dia agar mendatangimu sampai ke sini?" tanya Mas Gandung menatapku tajam. Penuh kecurigaan."Dia siapa?" tanyaku balik bertanya. Meskipun sebenarnya aku tahu dia siapa yang dimaksud mas Gandung. Pasti Geri."Gak mungkin dia bisa sampai kes
"Ya, Om?" Aku mengernyitkan kening. Menunggu kelanjutan omongan om Hendri yang sepertinya sengaja diputus."Kalau kesini minggu depan, gak usah ngajak bodyguard lagi!" jawab om Hendri tersenyum sambil ekor matanya mengarah ke ibu.Ibu tahu maksud om Hendri. Merasa tak terima diolok om Hendri, ibu langsung berdiri. Tangan ibu cepat meraih sekotak tissue di atas meja. "Dasar kau ya!!" Ibu memaki. Melempar tissue itu ke arah om Hendri.Om Hendri tergelak. Tertawa puas. Merasa berhasil mengerjai ibu. Aku hanya tersenyum menggeleng-gekengkan kepala melihat tingkah mereka berdua. Memang selalu begitu sejak dulu. Perhatian, gurauan dan pertengkaran kecil seringkali mewarnai kebersamaan mereka."Jangan dengarkan omongan Om-mu!" sungut ibu. Bicara padaku."Seorang klien harus mendengarkan dan menuruti omongan lawyer-nya," kata om Hendri padaku.Aku menatap ibu dan adik lelakinya itu bergantian. Aku merasa terjebak diantara percakapan keduanya."Aku sudah tahu masalah Mayang versi Mbak Sita. A
Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku."Mas Gandung?!"Kulihat Mas Gandung berlari kecil menghampiriku."Akhirnya aku bisa bertemu denganmu!" kata Mas Gandung yang membuatku mengernyitkan dahi. Memangnya selama ini dia tidak bisa menemuiku? Bukankah dia sendiri yang tak mau menemuiku? Atau apakah selama ini ibu melarang mas Gandung menemuiku? "Kau? Semakin cantik kamu sekarang!" puji mas Gandung ketika menatapku. Memindaiku dari atas hingga bawah. Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya. Mungkin karena perawatan di salon Tice tadi."Aku yakin kamu sudah sembuh sekarang" kata mas Gandung," kenapa kamu tidak balik ke rumah?"Aku diam. Tak menjawab pertanyaannya."Aku kangen kamu!" kata mas Gandung lagi. Kali ini tangannya menggenggam kedua tanganku," memangnya kamu gak kangen sama aku?""Mayang?!!" Suara ibu yang memanggilku membuatku kaget. Ibu sudah duduk dibelakang kemudi mobil."Sebentar, Bu!" sahutku sembari melepas tangan mas Gandung yang masih memggenggam tanganku."Apa kam
Aku ternganga dan menutup mulutku secepatnya. Tak percaya ketika melihat poster-poster besar yang menempel di dinding ruangan. Semuanya berisi gambarku. Ada posterku saat berambut panjang dan berikat kepala bendera Amerika Tengah memainkan gitar. Berpose ala Axl Rose, vokalis Gun'n Roses. Ada juga poster hitam putih saat aku memakai jaket kulit. Berphoto bersama vokalis Gigi, Armand Maulana yang juga berkostum sama. Juga photoku bersama Luki, vokalis Resonansi, band kampusku dulu. Aku mendekat ke poster terakhir. Sebuah photo wisuda sarjanaku. Aku berdiri di tengah. Memakai toga. Membawa buket bunga. Diapit bapak dan ibu yang tersenyum bahagia.Aku menggelengkan kepala. Tak percaya. "A-appa maksud semua ini, Bu?" Aku menatap ibu yang tengah berdiri dan bersandar di dinding. Bersidekap dada."Apa kau suka?" Ibu malah balik bertanya. Tanpa melihatku. Ekspresinya datar saja. Matanya menatap ke poster-poster di dinding. "Tapi apa maksud ini semua, Bu?" Aku masih bertanya hal yang sama t
Melihat perempuan itu tertawa tiba-tiba saja ibu ikut-ikutan tertawa. Meninju bahu perempuan itu kuat-kuat."Apa yang kamu inginkan, hah?" Ibu kembali mendorong perempuan itu. Keduanya masih saja tertawa dan terpingkal-pingkal. Meskipun perempuan yang didorong ibu itu sama sekali tak melawan.Aku dan beberapa pegawai butik yang ikut berjaga-jaga dari tadi malah melongo. Tak mengerti apa sebenarnya yang telah terjadi."Sudah, sudah! Bubar semua! Kembali kerja!" usir ibu pada semua pegawai butik yang masih berkerumun dan berbisik-bisik melihat kejadian yang mungkin sangat tak lazim menurut mereka.Para pegawai butik lalu serentak membubarkan diri begitu mendengar perintah ibu. Kembali pada pekerjaan masing-masing. Meskipun aku yakin dengan banyak pertanyaan di pikiran mereka dengan peristiwa yang baru saja terjadi."Ibu?" Aku mendekat ibu. "Ini Mayang, anakku!" Ibu menarik tanganku."Walah-walah... Anakmu cantik sekali ya? Lebih cantik dari kamu lo Mbak Sita!" komentar perempuan itu ket
Hari ini tepat seminggu sejak kedatanganku ke kantor om Hendri. Berkali-kali ibu mengingatkanku untuk pergi menemui om Hendri. "Kamu jangan membuat proses perceraianmu menjadi panjang dan rumit!" pesan ibu padaku."Mayang sudah besar, Bu! Tahu mah dia!" sambung bapak. Kami baru selesai sarapan. "Besar sih besar... cuma Bapak kan tahu sendiri Mayang tu macam mana orangnya? Labil!" Ibu memandangku. Seperti orang mengintimidasi."Jangan kwatir, Bu! Mayang yang sekarang tak seperti Mayang yang kemaren!" Aku tersenyum pada ibu. "Dan itu semua berkat Ibu!" Aku memuji ibu. Meskipun pujianku sama sekali tak membuat wajah ibu melunak kepada ku.Aku merentangkan tangan. Berdiri dan menggeser kursi mendekati ibu."Mau apa kamu?" tanya ibu mendelik. Mencurigaiku."Meluk Ibu!" "Haish... gak perlu! Dah sana pergi, temui Om-mu! Takutnya dia ada urusan mendadak! Buruan gih, ke sana!"Ibu mengibaskan tangannya. Menolak kupeluk dan menyuruhku segera pergi menemui om Hendri.Aku merengut. Pura-pura k
Beberapa menit di dalam mobil menuju rumah sakit aku dan Geri lebih banyak diam. Entah kenapa aku sendiri jadi merasa lebih sungkan ketika hanya berdua saja dengannya didalam mobil seperti ini."Kau masih bisa bertahan kan?" tanyaku menoleh ke arahnya. Berusaha memecah kekakuan.Geri tersenyum. Menatapku sekilas. Lalu kembali memejamkan matanya. Tangannya masih menekan pelipis kirinya. Bau amis darah juga mulai menyeruak di dalam mobilku. Meskipun aku sudah menggunakan masker. Bau anyir darah sedikit banyak membuatku harus menahan mual yang sangat menyiksa."Geri?!" Aku memanggil namanya. Sebenarnya aku sendiri mulai sedikit panik melihat dia hanya diam dan terus memejamkan matanya. Kalau pingsan bagaimana?Lelaki itu tak menjawab. Hanya membuka matanya lemah.Dalam hati aku mengucap syukur melihatnya masih hidup. Aku mempercepat laju mobil menuju rumah sakit."Jangan pingsan ya Ger!" Aku berkata tanpa menoleh."Mbak?" Terdengar suara Geri memanggilku."Ya? Kau perlu sesuatu?""Apa ben
Geri berani sekali mencuri kesempatan untuk mencium pipiku. "Kau?!" Aku tentu kaget bukan kepalang. Tanganku sudah terangkat ke atas hendak menamparnya. Namun niat itu aku urungkan saat melihat wajahnya yang terluka karena kecelakaan tadi."Haisssshhh!!" kesalku seraya memukul setir mobil. Geri sudah mengambil kesempatan untuk bertindak kurang ajar padaku dan aku tak mampu memberikan reaksi apapun atas tindakan nekatnya itu."Maaf!" pintanya lirih. Maaf katanya! Hello...! Aku ini masih berstatus istri mas Gandung. Dia juga masih berstatus suami Ratih. Aku memejamkan mata sesaat. Berusaha menetralkan perasaan marah, malu dan perasaan entah lainnya yang membaur dalam hatiku."Turunlah! Kau harus segera di obati!" kataku padanya. Berusaha bersikap seolah tak terjadi apa-apa.Geri tak bergeming."Kamu nggak mampu turun sendiri?" tanyaku saat melihat Geri tak beranjak keluar mobil."Kepalaku sakit," keluh Geri kemudian. Menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil. Matanya memejam.Aku memperh