Share

BAB 6. Hukuman Ibu

Ibu menatap wajah mas Gandung yang masih kaget.

"Kenapa?!" tanya ibu sinis," apa kamu masih mau melanjutkan hidupmu bersama si tukang selingkuh itu?"

Ibu menudingkan jarinya ke arahku. Lagi-lagi ibu menyebutku tukang selingkuh.

Sementara mas Gandung masih terdiam. Sepertinya dia agak shock dengan apa yang telah dibisikkan ibuku padanya.

"Apakah Ibu serius?" tanya mas Gandung akhirnya.

"Tentu saja!" sahut ibu cepat.

"Apakah Mayang akan setuju?" tanya mas Gandung ragu.

"Setuju tidak setuju, dia tidak punya hak untuk menolak," jawab ibu tegas.

Aku dan bapak diam saja mendengar pembicaraan antara ibu dan mas Gandung.

"Bukankah sepertinya aku yang hendak Ibu hukum di sini?" tanya mas Gandung lirih.

Mendadak ibu tertawa keras-keras.

"Tentu saja bukan," sahut ibu di sela tawanya," kalau Mayang yang berselingkuh, tidak mungkin kamu yang dihukum."

"Sebenarnya apa yang Ibu bicarakan sama Mas Gandung?" tanyaku tidak sabar. Meskipun sebenarnya aku sudah bisa meraba arah percakapan mereka.

"Ibu sedang membicarakan hukuman yang cocok untukmu," jawab ibu menatapku.

"Apa hukumannya?" tanyaku balas menatap ibu.

"Ibu menyuruhku meninggalkanmu!" Mas Gandung menjawab cepat.

Meskipun aku sudah bisa mengetahui alur pemikiran ibu namun aku terkejut juga ketika mas Gandung mengatakan hal itu. Seperti ada sembilu yang menyayat hati ini. Terasa perih.

"Benarkah, Bu?" tanyaku serak menahan sesak yang menghimpit dadaku.

Ibu menatapku dengan sorot mata tajamnya.

"Maafkan aku, Bu!" Aku menunduk. Tak berani melawan tatapannya. Meski hatiku protes. Menurutku, apa tidak sebaiknya semua solusi masalah ini dibicarakan dulu denganku.

"Sudahlah, Bu! Besok saja kita bahas lagi masalah ini. Kita tunggu Mayang sehat dulu!" kata bapak mengelus bahuku. Seperti tahu yang aku pikirkan.

Mungkin bapak berharap masalah ini bisa diselesaikan dengan baik-baik sambil menunggu kesembuhanku.

"Mau besok, mau sekarang, hukuman itu tak akan berubah," sahut ibu dengan keketusannya yang khas.

Aku tahu tak akan pernah ada yang namanya negosiasi dalam kamus ibu. Mendoktrin dan otoriter. Itu adalah sifat ibu yang dominan. Bapak yang selama ini mendampingi ibu cenderung selalu mengalah dan menuruti semua keputusan ibu.

"Apakah hukuman itu bisa berubah?" Tampaknya mas Gandung malah mengajak negosiasi ke ibu.

Ibu menatapnya tajam. Ada sorot kegeraman pada matanya. Urusan yang paling dibenci ibu adalah negosiasi. Karena negosiasi bagi ibu adalah sebuah sikap yang meragukan ketajaman berpikir dan menganalisanya dalam pengambilan keputusan. Dan ibu paling tidak suka kalau ada orang yang meremehkannya.

"Kenapa?" tanya ibu pada mas Gandung." Apakah menurutmu hukuman itu terlalu ringan untuk Mayang?"

Mas Gandung cepat menggeleng.

"Lalu apa?" tanya ibu lagi. Mengejar argumentasi mas Gandung.

"Aku hanya merasa, disini justru akulah yang dihukum Ibu!" jawab mas Gandung.

Tiba-tiba ibu tertawa lagi.

"Mengapa kamu merasa begitu?" tanya ibu. Menatap mas Gandung tajam.

Mas Gandung menunduk diam.

"Aku justru mengembalikan kehormatanmu sebagai laki-laki!" kata ibu menyilangkan kakinya di kursi.

"Apa maksud, Ibu?" tanya mas Gandung.

"Dengan membuang perempuan seperti Mayang, akan membuatmu jadi kembali terhormat! Perempuan yang selalu berselingkuh dengan semua lelaki yang ditemuinya. Masih ingat kan? Siapa saja mereka? Ada Ramon, manager bank. Aku dengar kau mengetahui perselingkuhan mereka berdua. Bukankah kau juga mengetahui kalau mereka pun berkencan di malam hari?" jawab ibuku.

Aku terkejut. Bagaimana ibu bisa mengetahui cerita tentang Ramon. Apakah ibu memata-mataiku selama ini?

Kulihat mas Gandung terdiam. Menatapku. Jangan-jangan dia menuduhku mengadukan cerita ini ke ibu.

"Ada Juan, duda yang juga mengejar-ngejar Mayang. Bukankah Mayang juga menyukainya?" kejar ibuku lagi." Bukankah kau juga mengetahui kalau Juan sering merayu-rayu Mayang?"

"Ibu?!!,"

Aku berniat protes ke ibu.

"Bu?!" Kali ini bapak yang berusaha menyabarkan ibu.

Tapi ibu tak bergeming sedikitpun.

"Ada Rudolf, lelaki yang pernah membantu meminjami modal istrimu itu. Bukankah kau sampai menghajarnya? Kau nyaris membunuhnya bukan?" Ibu terus memojokkan mas Gandung tanpa mempedulikan ku dan bapak.

"Ada juga Rade! Rekan bisnis istrimu yang kau usir dari rumah karena menyelingkuhi istrimu juga kan?" kata Ibu.

Ya Tuhan! Bagaimana mungkin semua tuduhan perselingkuhan yang selama ini dilontarkan mas Gandung bisa sampai ke telinga ibuku.

"Ada Irawan! Bos konveksi yang memberikan sejumlah modal untuk Mayang. Bukankah Mayang bisa mendapatkan modal dari dia itu dengan cara menerima cintanya?"

Aku menggelengkan kepala pelan. Heran. Bagaimana bisa ibuku mengetahui semua tuduhan ini dengan begitu detail.

"Atau masih perlu aku ingatkan lagi? Siapa saja lelaki yang telah berselingkuh dengan Mayang? Kau ingat Ananta?" Kali ini ibu kembali menyebutkan nama lain.

"Ttaa...tapi, bagaimana ibu bisa mengetahui semua itu?" tanya mas Gandung dengan suara yang terdengar cemas. Wajahnya agak pias.

Aku tahu semua cerita ibu itu tak ada yang benar. Semua cerita itu di belokkan mas Gandung menjadi tuduhan perselingkuhan karena cemburu buta. Mungkin sekarang mas Gandung baru menyadari kalau semua tuduhannya akan balik menyerangnya. Dia akan menuai karma atas semua tuduhannya padaku.

Ibu menatap mas Gandung lama. Ada kilatan amarah yang luar biasa di matanya.

Namun tiba-tiba kulihat ibu mengusap kedua matanya dengan telapak tangan. Apakah ibu menangis? Aku membelalakkan mata. Benar rupanya. Ibu menangis. Tapi kenapa?

Ibu menghela napas panjang.

"Kau tanya dari mana aku tahu semua cerita itu?" Suara ibu sangat penuh dengan penekanan.

Aku sempat tergidik. Meremang bulu kudukku. Ngeri. Aku tahu ibu sedang di puncak emosi.

"Karena semua lelaki yang berselingkuh dengan istrimu itu adalah rekanan bisnisku. Mereka semua cerita tentang perlakuan kamu. Semua hal tentang kamu mereka sampaikan padaku. Kuminta mereka membantu Mayang. Uang yang diberikan mereka pada Mayang adalah uangku. Setiap hari aku memantau kehidupan anak yang kulahirkan. Kubesarkan dengan penuh cinta. Tapi telah berani melawanku dengan menikahi pecundang sepertimu. Merelakan harga dirinya kau permalukan dan kehormatannya kau injak-injak dengan begitu sempurna. Kau pikir semua tindakanmu itu luput dari mataku?"

Kembali ibu menyeka air matanya.

Aku pun ikut menangis. Kulihat bapak pun berkaca-kaca mendengar semua perkataan ibu.

"Dan sekarang anakku sampai berada di rumah sakit. Juga berawal dari tuduhan perselingkuhan. Kau pikir aku tidak tahu, hah? Aku tahu semua tentang kehidupan rumah tangga kalian. Bagaimana kau buat anakku berjibaku mencari uang? Sementara kau hanya ongkang-ongkang kaki di rumah dengan alasan belum dapat pekerjaan. Kau buat Mayang pontang-panting memperbaiki ekonomi keluarga kau. Membayar semua kebutuhan orang tua kau. Sementara otak kau, hanya kau isi dengan pikiran kotor perselingkuhan!" Ibuku benar-benar meluapkan emosinya.

"Ibu, sudahlah!" kataku mencoba menenangkan ibu.

Mas Gandung menatapku tajam.

"Kau menceritakan semua ini pada Ibu?" tanya mas Gandung.

"Sudah kubilang, aku tahu karena mereka semua itu adalah orang-orang ku. Mereka yang bercerita padaku," potong ibu cepat sebelum aku sempat menjawab.

"Aku tidak percaya!" ujar mas Gandung menggeleng.

Ibuku tertawa di sela tangisnya.

"Aku juga tahu tak akan ada kebenaran yang kau percayai. Karena kebenaran bagimu adalah kebenaran yang kau hasilkan dari pikiran picikmu itu!" Ibu menuding kepala mas Gandung dengan telunjuknya.

Aku menunduk. Mengusap wajahku dengan kasar. Semua yang dikatakan ibu benar adanya. Kebenaran bagi mas Gandung adalah kebenaran menurut versinya sendiri.

Mendadak saja kurasakan kepalaku berdenyut dengan kuat. Nyeri hebat menyerangku tiba-tiba. Pandangan mataku pun mulai menggelap. Tapi aku tak mampu mengaduh, apalagi mengeluh.

"Mayang... Mayang!"

Masih sempat kudengar suara cemas bapak memanggilku sebelum akhirnya aku merasakan semua menjadi gelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status