Ibu menatap wajah mas Gandung yang masih kaget.
"Kenapa?!" tanya ibu sinis," apa kamu masih mau melanjutkan hidupmu bersama si tukang selingkuh itu?"Ibu menudingkan jarinya ke arahku. Lagi-lagi ibu menyebutku tukang selingkuh.Sementara mas Gandung masih terdiam. Sepertinya dia agak shock dengan apa yang telah dibisikkan ibuku padanya."Apakah Ibu serius?" tanya mas Gandung akhirnya."Tentu saja!" sahut ibu cepat."Apakah Mayang akan setuju?" tanya mas Gandung ragu."Setuju tidak setuju, dia tidak punya hak untuk menolak," jawab ibu tegas.Aku dan bapak diam saja mendengar pembicaraan antara ibu dan mas Gandung."Bukankah sepertinya aku yang hendak Ibu hukum di sini?" tanya mas Gandung lirih.Mendadak ibu tertawa keras-keras."Tentu saja bukan," sahut ibu di sela tawanya," kalau Mayang yang berselingkuh, tidak mungkin kamu yang dihukum.""Sebenarnya apa yang Ibu bicarakan sama Mas Gandung?" tanyaku tidak sabar. Meskipun sebenarnya aku sudah bisa meraba arah percakapan mereka."Ibu sedang membicarakan hukuman yang cocok untukmu," jawab ibu menatapku."Apa hukumannya?" tanyaku balas menatap ibu."Ibu menyuruhku meninggalkanmu!" Mas Gandung menjawab cepat.Meskipun aku sudah bisa mengetahui alur pemikiran ibu namun aku terkejut juga ketika mas Gandung mengatakan hal itu. Seperti ada sembilu yang menyayat hati ini. Terasa perih."Benarkah, Bu?" tanyaku serak menahan sesak yang menghimpit dadaku.Ibu menatapku dengan sorot mata tajamnya."Maafkan aku, Bu!" Aku menunduk. Tak berani melawan tatapannya. Meski hatiku protes. Menurutku, apa tidak sebaiknya semua solusi masalah ini dibicarakan dulu denganku."Sudahlah, Bu! Besok saja kita bahas lagi masalah ini. Kita tunggu Mayang sehat dulu!" kata bapak mengelus bahuku. Seperti tahu yang aku pikirkan.Mungkin bapak berharap masalah ini bisa diselesaikan dengan baik-baik sambil menunggu kesembuhanku."Mau besok, mau sekarang, hukuman itu tak akan berubah," sahut ibu dengan keketusannya yang khas.Aku tahu tak akan pernah ada yang namanya negosiasi dalam kamus ibu. Mendoktrin dan otoriter. Itu adalah sifat ibu yang dominan. Bapak yang selama ini mendampingi ibu cenderung selalu mengalah dan menuruti semua keputusan ibu."Apakah hukuman itu bisa berubah?" Tampaknya mas Gandung malah mengajak negosiasi ke ibu.Ibu menatapnya tajam. Ada sorot kegeraman pada matanya. Urusan yang paling dibenci ibu adalah negosiasi. Karena negosiasi bagi ibu adalah sebuah sikap yang meragukan ketajaman berpikir dan menganalisanya dalam pengambilan keputusan. Dan ibu paling tidak suka kalau ada orang yang meremehkannya."Kenapa?" tanya ibu pada mas Gandung." Apakah menurutmu hukuman itu terlalu ringan untuk Mayang?"Mas Gandung cepat menggeleng."Lalu apa?" tanya ibu lagi. Mengejar argumentasi mas Gandung."Aku hanya merasa, disini justru akulah yang dihukum Ibu!" jawab mas Gandung.Tiba-tiba ibu tertawa lagi."Mengapa kamu merasa begitu?" tanya ibu. Menatap mas Gandung tajam.Mas Gandung menunduk diam."Aku justru mengembalikan kehormatanmu sebagai laki-laki!" kata ibu menyilangkan kakinya di kursi."Apa maksud, Ibu?" tanya mas Gandung."Dengan membuang perempuan seperti Mayang, akan membuatmu jadi kembali terhormat! Perempuan yang selalu berselingkuh dengan semua lelaki yang ditemuinya. Masih ingat kan? Siapa saja mereka? Ada Ramon, manager bank. Aku dengar kau mengetahui perselingkuhan mereka berdua. Bukankah kau juga mengetahui kalau mereka pun berkencan di malam hari?" jawab ibuku.Aku terkejut. Bagaimana ibu bisa mengetahui cerita tentang Ramon. Apakah ibu memata-mataiku selama ini?Kulihat mas Gandung terdiam. Menatapku. Jangan-jangan dia menuduhku mengadukan cerita ini ke ibu."Ada Juan, duda yang juga mengejar-ngejar Mayang. Bukankah Mayang juga menyukainya?" kejar ibuku lagi." Bukankah kau juga mengetahui kalau Juan sering merayu-rayu Mayang?""Ibu?!!,"Aku berniat protes ke ibu."Bu?!" Kali ini bapak yang berusaha menyabarkan ibu.Tapi ibu tak bergeming sedikitpun."Ada Rudolf, lelaki yang pernah membantu meminjami modal istrimu itu. Bukankah kau sampai menghajarnya? Kau nyaris membunuhnya bukan?" Ibu terus memojokkan mas Gandung tanpa mempedulikan ku dan bapak."Ada juga Rade! Rekan bisnis istrimu yang kau usir dari rumah karena menyelingkuhi istrimu juga kan?" kata Ibu.Ya Tuhan! Bagaimana mungkin semua tuduhan perselingkuhan yang selama ini dilontarkan mas Gandung bisa sampai ke telinga ibuku."Ada Irawan! Bos konveksi yang memberikan sejumlah modal untuk Mayang. Bukankah Mayang bisa mendapatkan modal dari dia itu dengan cara menerima cintanya?"Aku menggelengkan kepala pelan. Heran. Bagaimana bisa ibuku mengetahui semua tuduhan ini dengan begitu detail."Atau masih perlu aku ingatkan lagi? Siapa saja lelaki yang telah berselingkuh dengan Mayang? Kau ingat Ananta?" Kali ini ibu kembali menyebutkan nama lain."Ttaa...tapi, bagaimana ibu bisa mengetahui semua itu?" tanya mas Gandung dengan suara yang terdengar cemas. Wajahnya agak pias.Aku tahu semua cerita ibu itu tak ada yang benar. Semua cerita itu di belokkan mas Gandung menjadi tuduhan perselingkuhan karena cemburu buta. Mungkin sekarang mas Gandung baru menyadari kalau semua tuduhannya akan balik menyerangnya. Dia akan menuai karma atas semua tuduhannya padaku.Ibu menatap mas Gandung lama. Ada kilatan amarah yang luar biasa di matanya.Namun tiba-tiba kulihat ibu mengusap kedua matanya dengan telapak tangan. Apakah ibu menangis? Aku membelalakkan mata. Benar rupanya. Ibu menangis. Tapi kenapa?Ibu menghela napas panjang."Kau tanya dari mana aku tahu semua cerita itu?" Suara ibu sangat penuh dengan penekanan.Aku sempat tergidik. Meremang bulu kudukku. Ngeri. Aku tahu ibu sedang di puncak emosi."Karena semua lelaki yang berselingkuh dengan istrimu itu adalah rekanan bisnisku. Mereka semua cerita tentang perlakuan kamu. Semua hal tentang kamu mereka sampaikan padaku. Kuminta mereka membantu Mayang. Uang yang diberikan mereka pada Mayang adalah uangku. Setiap hari aku memantau kehidupan anak yang kulahirkan. Kubesarkan dengan penuh cinta. Tapi telah berani melawanku dengan menikahi pecundang sepertimu. Merelakan harga dirinya kau permalukan dan kehormatannya kau injak-injak dengan begitu sempurna. Kau pikir semua tindakanmu itu luput dari mataku?"Kembali ibu menyeka air matanya.Aku pun ikut menangis. Kulihat bapak pun berkaca-kaca mendengar semua perkataan ibu."Dan sekarang anakku sampai berada di rumah sakit. Juga berawal dari tuduhan perselingkuhan. Kau pikir aku tidak tahu, hah? Aku tahu semua tentang kehidupan rumah tangga kalian. Bagaimana kau buat anakku berjibaku mencari uang? Sementara kau hanya ongkang-ongkang kaki di rumah dengan alasan belum dapat pekerjaan. Kau buat Mayang pontang-panting memperbaiki ekonomi keluarga kau. Membayar semua kebutuhan orang tua kau. Sementara otak kau, hanya kau isi dengan pikiran kotor perselingkuhan!" Ibuku benar-benar meluapkan emosinya."Ibu, sudahlah!" kataku mencoba menenangkan ibu.Mas Gandung menatapku tajam."Kau menceritakan semua ini pada Ibu?" tanya mas Gandung."Sudah kubilang, aku tahu karena mereka semua itu adalah orang-orang ku. Mereka yang bercerita padaku," potong ibu cepat sebelum aku sempat menjawab."Aku tidak percaya!" ujar mas Gandung menggeleng.Ibuku tertawa di sela tangisnya."Aku juga tahu tak akan ada kebenaran yang kau percayai. Karena kebenaran bagimu adalah kebenaran yang kau hasilkan dari pikiran picikmu itu!" Ibu menuding kepala mas Gandung dengan telunjuknya.Aku menunduk. Mengusap wajahku dengan kasar. Semua yang dikatakan ibu benar adanya. Kebenaran bagi mas Gandung adalah kebenaran menurut versinya sendiri.Mendadak saja kurasakan kepalaku berdenyut dengan kuat. Nyeri hebat menyerangku tiba-tiba. Pandangan mataku pun mulai menggelap. Tapi aku tak mampu mengaduh, apalagi mengeluh."Mayang... Mayang!"Masih sempat kudengar suara cemas bapak memanggilku sebelum akhirnya aku merasakan semua menjadi gelap."Sudahlah Bu, kita abaikan saja masalah ini untuk sementara! Kita prioritaskan dulu kesembuhan Mayang!" Kudengar suara bapak menasehati ibu. Sebenarnya aku sudah siuman dari beberapa saat yang lalu. Tapi karena kudengar bapak dan ibu tengah berbicara tentangku. Aku memilih tetap memejamkan mata."Geram rasanya hatiku, Pak! Kalau tidak ingat dia itu masih suaminya Mayang, pasti dah lama kujebloskan dia itu ke penjara. Dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga." Kali ini ibu yang berbicara.Ibu tahu yang dilakukan mas Gandung terhadapku bisa di masukkan ke dalam tindakan KDRT. Karena KDRT tidak hanya dalam bentuk kekerasan secara fisik saja. Tapi juga segala tindakan yang bisa membuat si korban tertekan secara mental juga."Memang bodoh benar anak kau itu, Pak! Dijodohkan sama lelaki baik-baik, hidupnya sudah mapan pula malah tidak mau. Sekarang dia rasakan menikahi berandalan pengangguran itu. Dia rasakan sakitnya punya suami yang hanya bermodal dengkul itu! Modal dengkul kalau baik,
Mbak Sri masih memijat kedua kakiku."Diminum dulu Mbak, wedang jahenya!" Mbak Sri berdiri. Mengambil segelas wedang jahe dan sepiring pisang goreng crispy.Aku minum wedang jahe yang sudah hangat-hangat kuku itu. Sembari bercerita dengan mbak Sri, aku memakan pisang goreng crispy kesukaanku. Tak perlu waktu lama, kedua hidangan yang diberikan mbak Sri itupun sukses berat masuk ke dalam perutku. Mbak Sri berdiri sebentar untuk mengemasi gelas dan piringku. Lalu kembali memijat dan mengurutku.Aku memejamkan mata. Rasa nyaman mulai menjalari tubuhku ketika mbak Sri mulai intens mengurut badanku. Setahun sudah aku tak pernah merasakan sentuhan relaksasi seperti ini. Dan karena merasa keenakan, rasa kantukpun perlahan menyerangku. Membuatku menguap beberapa kali."Mbak Mayang tidak berubah ya? Kalau sudah dipijit pasti langsung tidur."Masih sempat kudengar suara mbak Sri. Samar-samar. Sebelum akhirnya aku benar-benar tertidur dan terlelap dalam mimpi.******"Mayang! Bangun! Dah sore!"
Geri yang menyadari perubahan sikap Mas Gandung segera berdiri dan memohon diri pamit pada bapak dan aku."Saya pamit dulu, Pak! Mbak Mayang!" Geri menyalami bapak dan aku.Aku tak tahu. Apakah bapak tahu perseteruan antara Mas Gandung dengan Geri apa tidak."Iya, iya... mampir saja kalau sedang di rumah Pak Johan!" kata bapak pada Geri. Entah benar-benar tulus menawarkan atau hanya basa basi saja."Siap, Pak!" jawab Geri tersenyum mengangguk. Geri juga mengangguk ke Mas Gandung. Tapi Mas Gandung membuang muka.Setelah Geri berlalu bapak mempersilakan Mas Gandung masuk ke rumah. "Silakan ngobrol dulu sama Mayang, Nak Gandung! Bapak ke belakang sebentar!" kata bapak.Setelah itu bapak pergi ke belakang meninggalkan kami berdua."Apa kau menghubungi dia agar mendatangimu sampai ke sini?" tanya Mas Gandung menatapku tajam. Penuh kecurigaan."Dia siapa?" tanyaku balik bertanya. Meskipun sebenarnya aku tahu dia siapa yang dimaksud mas Gandung. Pasti Geri."Gak mungkin dia bisa sampai kes
"Ya, Om?" Aku mengernyitkan kening. Menunggu kelanjutan omongan om Hendri yang sepertinya sengaja diputus."Kalau kesini minggu depan, gak usah ngajak bodyguard lagi!" jawab om Hendri tersenyum sambil ekor matanya mengarah ke ibu.Ibu tahu maksud om Hendri. Merasa tak terima diolok om Hendri, ibu langsung berdiri. Tangan ibu cepat meraih sekotak tissue di atas meja. "Dasar kau ya!!" Ibu memaki. Melempar tissue itu ke arah om Hendri.Om Hendri tergelak. Tertawa puas. Merasa berhasil mengerjai ibu. Aku hanya tersenyum menggeleng-gekengkan kepala melihat tingkah mereka berdua. Memang selalu begitu sejak dulu. Perhatian, gurauan dan pertengkaran kecil seringkali mewarnai kebersamaan mereka."Jangan dengarkan omongan Om-mu!" sungut ibu. Bicara padaku."Seorang klien harus mendengarkan dan menuruti omongan lawyer-nya," kata om Hendri padaku.Aku menatap ibu dan adik lelakinya itu bergantian. Aku merasa terjebak diantara percakapan keduanya."Aku sudah tahu masalah Mayang versi Mbak Sita. A
Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku."Mas Gandung?!"Kulihat Mas Gandung berlari kecil menghampiriku."Akhirnya aku bisa bertemu denganmu!" kata Mas Gandung yang membuatku mengernyitkan dahi. Memangnya selama ini dia tidak bisa menemuiku? Bukankah dia sendiri yang tak mau menemuiku? Atau apakah selama ini ibu melarang mas Gandung menemuiku? "Kau? Semakin cantik kamu sekarang!" puji mas Gandung ketika menatapku. Memindaiku dari atas hingga bawah. Aku hanya tersenyum mendengar pujiannya. Mungkin karena perawatan di salon Tice tadi."Aku yakin kamu sudah sembuh sekarang" kata mas Gandung," kenapa kamu tidak balik ke rumah?"Aku diam. Tak menjawab pertanyaannya."Aku kangen kamu!" kata mas Gandung lagi. Kali ini tangannya menggenggam kedua tanganku," memangnya kamu gak kangen sama aku?""Mayang?!!" Suara ibu yang memanggilku membuatku kaget. Ibu sudah duduk dibelakang kemudi mobil."Sebentar, Bu!" sahutku sembari melepas tangan mas Gandung yang masih memggenggam tanganku."Apa kam
Aku ternganga dan menutup mulutku secepatnya. Tak percaya ketika melihat poster-poster besar yang menempel di dinding ruangan. Semuanya berisi gambarku. Ada posterku saat berambut panjang dan berikat kepala bendera Amerika Tengah memainkan gitar. Berpose ala Axl Rose, vokalis Gun'n Roses. Ada juga poster hitam putih saat aku memakai jaket kulit. Berphoto bersama vokalis Gigi, Armand Maulana yang juga berkostum sama. Juga photoku bersama Luki, vokalis Resonansi, band kampusku dulu. Aku mendekat ke poster terakhir. Sebuah photo wisuda sarjanaku. Aku berdiri di tengah. Memakai toga. Membawa buket bunga. Diapit bapak dan ibu yang tersenyum bahagia.Aku menggelengkan kepala. Tak percaya. "A-appa maksud semua ini, Bu?" Aku menatap ibu yang tengah berdiri dan bersandar di dinding. Bersidekap dada."Apa kau suka?" Ibu malah balik bertanya. Tanpa melihatku. Ekspresinya datar saja. Matanya menatap ke poster-poster di dinding. "Tapi apa maksud ini semua, Bu?" Aku masih bertanya hal yang sama t
Melihat perempuan itu tertawa tiba-tiba saja ibu ikut-ikutan tertawa. Meninju bahu perempuan itu kuat-kuat."Apa yang kamu inginkan, hah?" Ibu kembali mendorong perempuan itu. Keduanya masih saja tertawa dan terpingkal-pingkal. Meskipun perempuan yang didorong ibu itu sama sekali tak melawan.Aku dan beberapa pegawai butik yang ikut berjaga-jaga dari tadi malah melongo. Tak mengerti apa sebenarnya yang telah terjadi."Sudah, sudah! Bubar semua! Kembali kerja!" usir ibu pada semua pegawai butik yang masih berkerumun dan berbisik-bisik melihat kejadian yang mungkin sangat tak lazim menurut mereka.Para pegawai butik lalu serentak membubarkan diri begitu mendengar perintah ibu. Kembali pada pekerjaan masing-masing. Meskipun aku yakin dengan banyak pertanyaan di pikiran mereka dengan peristiwa yang baru saja terjadi."Ibu?" Aku mendekat ibu. "Ini Mayang, anakku!" Ibu menarik tanganku."Walah-walah... Anakmu cantik sekali ya? Lebih cantik dari kamu lo Mbak Sita!" komentar perempuan itu ket
Hari ini tepat seminggu sejak kedatanganku ke kantor om Hendri. Berkali-kali ibu mengingatkanku untuk pergi menemui om Hendri. "Kamu jangan membuat proses perceraianmu menjadi panjang dan rumit!" pesan ibu padaku."Mayang sudah besar, Bu! Tahu mah dia!" sambung bapak. Kami baru selesai sarapan. "Besar sih besar... cuma Bapak kan tahu sendiri Mayang tu macam mana orangnya? Labil!" Ibu memandangku. Seperti orang mengintimidasi."Jangan kwatir, Bu! Mayang yang sekarang tak seperti Mayang yang kemaren!" Aku tersenyum pada ibu. "Dan itu semua berkat Ibu!" Aku memuji ibu. Meskipun pujianku sama sekali tak membuat wajah ibu melunak kepada ku.Aku merentangkan tangan. Berdiri dan menggeser kursi mendekati ibu."Mau apa kamu?" tanya ibu mendelik. Mencurigaiku."Meluk Ibu!" "Haish... gak perlu! Dah sana pergi, temui Om-mu! Takutnya dia ada urusan mendadak! Buruan gih, ke sana!"Ibu mengibaskan tangannya. Menolak kupeluk dan menyuruhku segera pergi menemui om Hendri.Aku merengut. Pura-pura k