“Mas tidak menahannya?” “Kenapa? Dia punya urusannya sendiri.” Hasna mendengkus pelan. “Benar. Tapi ... bukankah dia gadis yang manis, Mas?” “Tak semanis adik di belakangku, tentu saja.” “Halah, gombal.” Sebuah tepukan mendarat di pundak Ali. Suara kekeh terdengar setelahnya. “Kenapa Mas nggak datangi aja?” “Untuk apa?” Hasna menarik napas. “Aku tau Mas suka Annisa. Mas cuma tidak menyadarinya.” “Ngawur!” “Ingat doa ibu tetap berlaku walau sudah meninggal.” “Apa hubungannya dengan doa?” Ali menghentikan gerakan tangannya. Dia menoleh tanpa benar-benar melihat sang adik yang duduk dengan kedua tangan terlipat di dada. “Kalau kau hanya ingin menggangguku, lebih baik pergilah.” Hasna menatap kesal. “Aku akan pergi setelah Mas dengarkan aku,” balasnya tersungut-sungut. “Ibu berdoa semoga Mas bisa membuka hati untuk gadis itu. Kenapa enggak mencoba mewujudkan doa ibu? Itu bagian dari wasiat loh ...” Kali ini, Ali benar-benar menghentikan gerakan tangannya. Di tempat yang sama, di
“Apa kau tidak dekat dengan ayahmu?” Sesaat pertanyaan itu terasa menyengat bagi Nadya. Dia sempat terpaku menatap Edwin yang memandang lekat ke arahnya. Sedetik kemudian bahunya kembali terguncang seiring air mata yang deras berjatuhan. Wanita itu menggeleng. “Ayah adalah laki-laki yang tegas. Terlampau tegas, dalam pandanganku. Sulit sekali mengubah jalan pikiran ayah. Sesulit mendekatinya,” jelasnya di antara isak tangis. Nadya merasakan genggaman di tangannya semakin erat. “It’s ok, Nadya. Aku paham perasaanmu.” Edwin menenangkan. “Lalu sekarang, apa kau masih mencintai suamimu?” Pertanyaan itu seketika membuat Nadya menoleh pada laki-laki di belakang kemudi. Pertanyaan yang sama, pun akhirnya muncul di benaknya. Apakah aku masih mencintai Pramono? Bahkan, apa aku pernah mencintainya? *** Waktu menunjukkan pukul delapan malam saat Nadya tiba-tiba merasakan melilit di lambung. Dia baru ingat tak sempat belanja sore tadi karena insiden di rumah Edwin. “Hubungi aku jika kau but
Pagi yang sibuk. Derap langkah terdengar bising saat Nadya memasuki kantor dengan status baru. Karyawan. Bukankah itu menyedihkan? Seorang istri melamar sebagai karyawan di kantor, yang sialnya dia tidak tahu itu milik suaminya sendiri. Tidak tahu di mana dan kapan kantor itu didirikan, kecuali setelah dia resmi menjadi bawahan. Terbayang jelas di benak Nadya apa yang akan Pramono lakukan padanya untuk membalaskan kekesalan, mengingat bagaimana sikap laki-laki itu di hari mereka bertemu. “Pagi, Kak.” Sapaan Dewi membuat Nadya terenyak dari lamunan. Dia mengangguk. “Pagi.” Di ujung lorong, Hana sudah menunggunya dengan seulas senyum yang dalam pandangan Nadya terasa tak biasa. Perempuan itu mengangguk segan seakan tengah berhadapan dengan atasannya. “Kak Nadya?” sapanya. “Ya, Mbak.” Ragu-ragu wanita itu kembali bicara. “Kita ada rapat jam delapan.” Nadya manggut-manggut. “Oh, ok.” “Mari saya antar ke meja kakak dulu.” *** Waktu menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit.
Menit berganti. Pramono dan Nadya masih terjebak dalam hening, sebab memang tak ada yang ingin dia sampaikan. Dia hanya ingin berdekatan dengan wanita itu, sekedar mengobati rindu. Walau setelah melihat bagaimana perbuatan mereka kemarahan itu masih mengganjal di dadanya. Pramono menghela napas berat. “Bagaimana kabar Ali?” Nama itu pantang dia sebut kecuali untuk mengetahui bagaimana reaksi wanita di sebelahnya. Itu pertanyaan yang membuat suhu tubuh Nadya meningkat begitu saja. Diingatkan pada dosa besar yang diperbuat, mendadak dia merasa begitu panas dan gelisah. Nadya merasa dia akan diadili. “Kenapa diam?” tanya Pramono lagi. “Dia ... baik, Mas.” Tenggorokan Pramono tercekat begitu saja. Dia menelan kecut di antara senyum sumir Kedua tangan di meja menggenggam erat, sebagai upaya untuk tetap tenang. Detik berikutnya terdengar dering panjang dari saku celana Pramono. Laki-laki itu merogohnya cepat. Satu usapan sebelum benda pipih itu berpindah ke telinga. “Ya, Ratna?” Dent
“Kak Jev?” ucap Nadya sambil mengusap sisa air mata di wajahnya. Dia tahu nama laki-laki itu saat rapat tadi. “Hai.” Laki-laki itu melangkah masuk. “Aku ditunjuk Hana untuk membantu mengarahkan kamu dalam proses editing.” Laki-laki itu mendekati Nadya yang masih duduk di kursi yang sama sejak masuk tadi. Nadya memandang Jev ragu-ragu. “Oya?” “Ya. Katanya, dia harus mengurus sesuatu.” Jev menarik sebuah kursi dan mendudukinya. “Tapi sebelum itu, kamu mungkin butuh ini.” Jevri meletakkan paper cup berisi kopi di depan Nadya. Perempuan itu segera meraihnya dan mengucapkan terima kasih. “Aku sempat melihat ketegangan di wajahmu saat berhadapan dengan Pak Pram tadi. Apa ada masalah?” Nadya sedikit terenyak. Tak menyangka ada yang menangkap ekspresi sekecil itu. Namun segera mengalihkannya. “Oh, tidak. Hanya sedikit brifing tentang aturan kantor yang ternyata banyak yang saya belum tahu.” Nadya tersenyum ragu-ragu. Namun cukup untuk menampakkan lesung pipi di sana. Jev manggut-manggut.
“Jadi kau tinggal di sini selama di Bandung?” tanya Pramono tepat ketika roda mobilnya berhenti di halaman rumah yang Nadya tempati—rumah orang tua Edwin. “Ya.” Nadya membuka pintu mobil dan melangkah turun. Pramono mengikuti perempuan itu hingga teras rumah. Pandangannya mengedar memperhatikan setiap detail bangunan itu. Setengahnya penasaran dari mana Nadya memiliki koneksi hingga bisa menyewanya? Nadya berbalik. Langkah Pramono terhenti hingga nyaris menubruk wanita itu. Mereka saling memandang. Nadya berpaling. “Sebaiknya Bapak tetap di luar.” “Apa?” Pramono mendelik. Kedua mata memicing itu jelas sempat berharap lebih. “Tidak baik, atasan berduaan dengan karyawannya. Apa kata orang nanti?” Merasa telah membalas satu pukulan, wanita itu menarik sebelah bibir. Nadya beralih pada pintu dan membukanya. Sebelum berpaling tadi, dia sempat melihat ekspresi terkejut itu di wajah Pramono. Pintu terbuka. Nadya melangkah masuk dan kembali menutupnya. Tak langsung mengemasi barang yan
“Kau pikir aku sekejam itu?” tanya Pramono sembari menarik sebuah kursi tak jauh dari Nadya. “Duduklah,” ucapnya dengan seulas senyum manis pada Nadya. Senyum yang dipaksanya untuk tampak. Hanya sekejap. Sebab tepat setelah Nadya menjatuhkan pantatnya, senyum itu lenyap. Pramono mengedar pandang ke penjuru ruangan dengan tatapan tajam pada orang-orang yang memandang penasaran. Seolah dari tatapan itu ingin mengatakan, ‘Kalian akan mati jika mengganggu istriku.’ Laki-laki itu kembali duduk. Nadya meletakkan buku di kursi lain tak jauh darinya. “Bapak tidak kejam,” ucap Nadya tanpa memandang Pramono. “Bapak hanya bos yang berhak melarang atau memberi perintah apa pun,” lanjutnya. Pramono mengangkat wajah. “Apa?” *** Pesanan tiba. Steik dengan kematangan sempurna tersaji di depan mata. Alih-alih segera mengambil garpu dan pisau, Nadya justru memandangi makanan itu. “Apa untuk memakan isi piringmu, juga harus ada perintah?” Pramono menatap wanita itu. Nadya membuang muka. Sejauh i
Setelah beberapa menit berlalu—itu yang Pramono rasakan—kamar yang disewanya terasa sangat hening. Dia tak melihat pergerakan dari Nadya yang terakhir dilihatnya sedang berdiri tak jauh dari pintu. Laki-laki itu melirik jam yang masih melingkar di pergelangan tangan kiri. Waktu menunjukkan pukul setengah dua malam. Tergesa-gesa, dia bangkit. Diedarkannya pandangan ke penjuru ruangan dan berhenti tepat di depan pintu. Masih menggunakan pakaian yang sama, Nadya tergeletak berbantalkan tas dan beralaskan jaket miliknya. Pramono menghela napas lega, sekaligus ... kecewa. Tawa getir yang terdengar menyerupai deraian tangis keluar begitu saja. Menyakitkan, bukan? Istri yang masih sangat kau cintai, memilih orang lain. Dan kini, sejijik itu dia berdekatan denganmu hingga lantai terasa lebih nyaman dari tempat hangat itu di sampingmu. Pramono membuang napas lelah. Bukan ini yang dia harapkan dari keberadaan Nadya. Diusapnya sudut mata yang mendadak berembun. Dia lalu melangkah mendekati w