Bijaklah dalam membaca cerita .... Cerita ini bukan untuk ditiru.
Pukul sembilan pagi, setelah malamnya gagal menemui sang putri, Dinar kembali datang. Berbeda dengan semalam, paginya Terios hitam tidak lagi di halaman. Dinar yakin betul itu bukan milik menantunya. Lalu milik siapa? Dia kerap melihat itu di halaman rumah Ali saat mengunjungi mertuanya. Sialnya Dia tak cukup awas untuk meneliti pelat mobilnya. Sampai malam tadi. Dinar sadar betapa pentingnya dia tahu hal itu. Tapi, terlalu jauh jika harus berpikir sampai ke sana. Nadya sudah bahagia dengan Pramono walau akhir-akhir ini kedekatan dengan Ali mulai membuatnya cemas. Dinar takut Ali ... mungkin lebih tepatnya perasaan Nadya yang merusak semuanya. “Assalamualaikum, Nad?” sapaan salam terucap. Dan belum ada jawaban. Rumah itu lumayan besar, wajar suara lirihnya tidak terdengar dari dalam. Dinar meraih knop dan menyelip masuk setelah sukses membukanya. Dia tahu putrinya di rumah. Terdengar dari peralatan dapur yang beradu di ujung ruangan yang tertutup tirai. “Belum matengan, Nduk?” ta
Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi saat terdengar dering singkat dari ponselnya Nadya. Pandangannya yang semula tertuju pada laptop, kemudian teralih pada benda di atas meja. Nama Annisa muncul di bar notifikasi. Nadya membukanya cepat lalu tampak kerutan dalam di dahi sesaat setelah membaca isinya. Tak yakin, dibacanya sekali lagi pesan itu dengan setengah berbisik hanya demi memastikan apa yang dia baca tidak salah. ‘Mbak, kapan kita bisa ngobrol lagi? Aku mau bahas sesuatu sama Mbak Nadya,’ tulis Annisa membuat kerutan di dahi Nadya semakin dalam. ‘Tumben,’ pikirnya. Setelah memastikan jawabannya, Nadya mulai mengetik, ‘Mbak menyesuaikan jadwal kamu,’ balasnya. ‘Mau bahas apa? Tumben?’ timpanya lagi. ‘Ada, deh ...’ balas Annisa. Nadya mengulum senyum. Jemarinya kembali mengetik. Lalu meletakkannya kembali setelah mengetuk panah hijau. ‘Tumben ngajak ketemuan duluan? Bahas apa?’ Meski penasaran, Nadya memilih mengabaikan. Dia akan tahu setelah mereka bertemu nanti. Pandang
“Ayo kita lari.” Suara Nadya di kafe sore itu kembali terngiang di benak Ali. Dengan tegas, laki-laki itu menolak ide Nadya yang dengan wajah frustrasi meminta dibawa lari. Dengan alasan pernikahan tak bahagia tanpa restu orang tua Ali menolak mentah-mentah meski akhirnya menyakiti hati wanita yang dicintai. Pun jantungnya pula, ketika Ikhsan tetap pada keputusannya. Ali hancur. Dia yang berprinsip cara terbaik mencintai wanita adalah dengan menikahinya, nyatanya sekarang justru merusak kesuciannya. Lihat apa yang terjadi sekarang? Lari jelas lebih baik dibanding mencuri milik orang lain, bukan. Andai saat itu dia terpikir untuk bernegosiasi. Menemui Pramono dan membicarakannya baik-baik, kira-kira akan berakhir seperti apa sekarang? Mengabaikan map laporan penjualan mebel bulan ini, Ali mengusap ujung dagunya. Diraihnya ponsel di meja, dan mulai mengetik pesan. **** Melihat nama Ali muncul di bar notifikasi. Nadya mengulum senyum. Dia buru-buru membuka lalu meletakkan kembali
Setelah paginya sang ibu dan malamnya Pramono, Nadya semakin sadar, dilihat dari sudut mana pun, meski hati saling mencintai—dalihnya—hubungan dua manusia di luar pernikahan tetaplah salah. Bukan cinta namanya jika harus ada yang dikhianati sebab cinta salalunya adalah pemberian yang penuh kasih dan tanpa pamrih. Dengan wajah tertegun dan senyum getir, pandangan Nadya kembali tertuju pada dua cangkir kopi yang bersanding di meja. Andai keadaan semudah dua gelas itu. Alangkah bahagianya. Bukan hanya tentang niat menjodohkan Annisa, sesaat Nadya bahkan lupa pada suami, anak, dan keluarga yang pasti sangat kecewa—andai semua perbuatan bejat mereka sampai terbongkar. Nadya meletakkan gawai yang semula dia genggam ke atas meja sebelum duduk dengan kedua tangan mengusap letih wajahnya. Entah akibat tekanan yang baru diterima atau akibat kelelahan, Nadya merasa kepayahan menghadapi perasaannya sendiri. Detik berikutnya, perempuan itu menoleh pada Ali saat terdengar sebuah pertanyaan, “Jad
Layar televisi di depan sana masih menyala saat Nadya membuka mata. Di sofa, dengan berbantal lengan Ali, dia tertidur, tepat menghadap televisi. Seiring terkumpulnya kembali kesadaran, syaraf di tubuh perempuan itu juga mulai aktif. Nadya merasakan sesuatu yang melekat di punggungnya. Sensasi hangatnya memenuhi hampir seluruh bagian tubuh belakang. Perhatian Nadya beralih pada jemari kanan yang terpaut dengan tangan Ali. Genggaman hangat dan sebuah remasan halus dia rasakan. Sementara tangan kiri laki-laki itu bergerak menekan tombol remote dengan sesekali terangkat, mengarahkannya pada lampu sensor. Pandangan Nadya kemudian beralih pada bulatan putih di dinding. Jarumnya bergerak merambat menuju angka sebelas. Nadya menarik napas dalam. ‘Apa yang kulakukan?’ bisiknya dalam hati. Rasa nyeri seketika memenuhi dadanya. Jantungnya terasa berdengap setiap kali pertanyaan itu muncul. Tepatnya ketika mengingat apa yang dia lakukan di rumah Pramono dengan laki-laki lain. Diam-diam mele
“Mas kecapaian. Istirahatlah.” “Kamu belum jawab pertanyaan Mas, Nadya ...” ucap Pramono terdengar seperti tuntutan di telinga Nadya. Menjadikan relungnya semakin sesak. Sesak karena rindu selalu tentang penantian yang dibalut kesabaran dalam menunggu orang yang dicintai. Tapi apa yang Nadya lakukan? Dia bahkan tak menunggu. Dia melanggar batas suci ikatan pernikahan dengan mengizinkan laki-laki memasuki rumah suaminya dan bercumbu atas nama cinta? Benarkah itu cinta atau nafsu? Benarkah Ali yang dia cintai atau kenangan mereka? Pantaskah tali antara dia dan Pramono disebut rindu? Nadya yakin tidak. Bejat, kamu, Nad. Sampah, kamu. Dia menghardik diri sendiri. Jantung Nadya kembali berdengap. Menyumbat aliran napas ke paru-paru. Lalu mendadak pandangannya berputar. Dia nyaris jatuh ke lantai sebelum seseorang menangkapnya dari belakang. Ali—orang yang dia izinkan hadir lalu mengacaukan segalanya. Nadya menoleh pada laki-laki itu lalu menahan lengannya, untuk memberi jarak antara
Annisa mengulum senyum. “Mbak kenapa nggak bilang?” tanyanya di sela aktivitas mengaduk kopi yang sebenarnya hanyalah upaya untuk mengalihkan rasa gugup. Mendapati kenyataan dia hampir dijodohkan dengan laki-laki yang masih sangat mencintai perempuan lain, hatinya terasa ngilu. Nadya yang semula fokus pada gawai seketika mengangkat kepala. Annisa melihat ada kerutan di dahi wanita itu. “Bilang apa?” tanya Nadya tak mengerti. “Soal Mas Ali.” Mendengar jawaban Annisa, Nadya menatap skeptis kemudian menarik bibir. Dia menerka maksud Annisa adalah perasaan laki-laki itu terhadapnya. Lalu menggeleng di antara senyuman ketika menyadari secepat itu Ali membangun tembok antara dirinya dengan Annisa. Keras kepala. Dicintai sedalam itu, sebagai wanita Nadya merasa beruntung namun dalam kasus ini dia merasa terbebani juga merasa bersalah pada Ali yang masih melajang karena wanita yang dicintai menjadi milik laki-laki lain. Hati wanita mana yang tak terluka? Melihat laki-laki yang pernah sanga
“Thanks, ya ...” “Yoi.” “Gue pulang dulu.” Ali melangkah ke arah mobil setelah melambai pada lelaki yang berdiri di teras bengkel. Dia mengacungkan remote mobil. Namun, belum sampai tangannya menekan tombol, pandangannya tertuju ke lobi rumah sakit yang berada tepat di seberang bengkel milik saudaranya. Seorang perempuan mengenakan gaun pastel, terduduk menunduk kursi lobi. Walau tak melihat wajah itu dengan jelas, Ali yakin betul itu Nadya. Perempuan yang sangat dikenalnya. Mengurungkan niat pulang, Ali meraih ponsel di saku celana. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak, kemudian berhenti ketika menemukan sebuah nama: Nadya Arfianti. Sebuah ketukan pada tombol “call” dengan cepat mengubah keterangan “memanggil” menjadi “berdering”. Ali meletakkan ponsel itu di telinga sebelum pandangannya menatap jauh ke seberang jalan, tepat pada wanita yang menunduk di lobi gedung empat lantai tak jauh dari sana. Satu detik, dua detik, tak ada gerakan. Namun pada detik ke tiga perempua