“Thanks, ya ...” “Yoi.” “Gue pulang dulu.” Ali melangkah ke arah mobil setelah melambai pada lelaki yang berdiri di teras bengkel. Dia mengacungkan remote mobil. Namun, belum sampai tangannya menekan tombol, pandangannya tertuju ke lobi rumah sakit yang berada tepat di seberang bengkel milik saudaranya. Seorang perempuan mengenakan gaun pastel, terduduk menunduk kursi lobi. Walau tak melihat wajah itu dengan jelas, Ali yakin betul itu Nadya. Perempuan yang sangat dikenalnya. Mengurungkan niat pulang, Ali meraih ponsel di saku celana. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak, kemudian berhenti ketika menemukan sebuah nama: Nadya Arfianti. Sebuah ketukan pada tombol “call” dengan cepat mengubah keterangan “memanggil” menjadi “berdering”. Ali meletakkan ponsel itu di telinga sebelum pandangannya menatap jauh ke seberang jalan, tepat pada wanita yang menunduk di lobi gedung empat lantai tak jauh dari sana. Satu detik, dua detik, tak ada gerakan. Namun pada detik ke tiga perempua
Nadya menoleh ke samping saat menyadari Ali menggedor pintu mobil, berupaya membuka dari luar. Sopir taksi memandang Nadya, mencari kejelasan. Kemudian menyalakan mesin mobil setelah mendengar Nadya memerintahnya, “Jalan, Pak!” Nadya tahu Ali pasti akan mengejar tapi tidak untuk sekarang. Dia butuh menenangkan diri agar bisa berpikir jernih tentang tindakan apa yang akan dia ambil selanjutnya. Ada bayi, dan Nadya tak ingin orang mengira anak dalam kandungannya adalah milik Ali. “Kemana, Mbak?” tanya sopir taksi itu. “Antar saya ke Tegalsari, Bapak.” “Baik.” Nadya kembali memandang ke layar ponsel di tangan saat sekali lagi terdengar dering panjang. Kali ini bukan Ali, melainkan Pramono. Melihat nama suaminya muncul di sana, entah bagaimana hatinya terasa hangat. Hangat karena menyadari tindakannya sudah benar. Nadya buru-buru menggeser tombol hijau lalu terdengar sapaan dari ujung sana. “Hai, Dek. Lagi apa?” tanya Pram dari ujung sana. Mengabaikan sosok Ali yang tertinggal ja
“Mama ...?” “Ma-maaaa ....” Antara sadar dan tidak, Nadya mendengar samar namanya dipanggil. “Mamaaa ...” panggil suara itu lagi. Nadya terperanjat. Jantungnya berpacu hebat saat menyadari dia tidur terlalu lama, masih di tempat yang sama dengan ketika dia datang tadi. Dan sebuah selimut kini menutupi kaki. Nadya mengusap wajah. Dia mengedar pandang dan mendapati sekeliling telah gelap. Tak benar-benar gelap memang. Hari menginjak sore. Pintu yang tertutup membuat ruangan menjadi remang meski jendela masih terbuka. Sepi, menyeret kembali beban berat yang serta merta terasa mengimpit. Bersamaan dengan hadirnya kesadaran tentang semunya kebahagiaan bersama Ali. Sebesar apa dia mencintai laki-laki itu, harapan bersatu jelas tak pernah ada. Nadya tak bisa jauh dari Tasya. Tidak tidak pula rela melihat gadis kecil itu terluka akibat perceraian. Setelah mengumpulkan kembali tenaganya, Nadya bangkit duduk. Pandangannya tertuju pada jam di dinding. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Lak
Nadya dan Dinar saling memandang sebelum sama-sama tertuju pada Tasya di lantai. Nadya meletakkan cangkir di meja. “Dek, Uncle kan sibuk.” Nadya mengucapkan itu di antara ragu pandangan yang mengarah kepada sang ibu. Dia merasa, perempuan yang wajahnya berubah dingin di sofa seperti ingin melihat kredibilitasnya sebagai wanita yang dipanggil mama. Bagaimana caranya akan menjawab bocah yang belum genap lima tahun itu seakan menjadi hal penting untuk diperlihatkan demi mendapat kepercayaan lagi. Tasya mendengkus. “Papa sibuk. Uncle sibuk. Mama sibuk,” gerutu bocah itu. Sadar putrinya kesepian, Nadya menghela napas perlahan untuk mengurai sensasi berat di dada. Dia menduga itu akibat rasa bersalahnya pada Tasya. Lalu sebuah ide tiba-tiba muncul. Ide untuk menenangkan Tasa seperti waktu itu. Sampai Ali datang dan mengacaukan segalanya. “Hmm ... gimana kalau kita telepon papa?” usul perempuan muda berwajah lecek di sofa tamu. Mendengar itu, seketika Tasya menoleh. Tampak binar di mata
Di rumahnya Ali gelisah mendapati pesan yang dikirim tak kunjung dibalas oleh Nadya meski dua centang abu telah berubah menjadi biru. Dia sadar, terlalu tak tahu diri jika mengharapkan Nadya di tengah keadaannya saat ini. Sejak awal, dia mencintai perempuan bersuami. Ali membuang napas lelah. Ponsel di tangan belum juga dia letakkan kembali. Pandangannya masih tertuju pada layar di mana nama Nadya tersemat seakan tak ingin melewatkan apa pun yang akan masuk ke sana. Lebih dari itu, balasan pesan dari perempuan itu, meski setelah sekian jam berlalu harapan itu kian terkikis. Pandangan Ali kemudian tertuju pada ujung layar di mana jam menunjukkan pukul sembilan malam. Sunyi kian menyiksa kala hati menagih kembali perjumpaan yang tak seharusnya. Maka di sanalah dia berada sekarang. Bersandar pada pintu mobilnya, Ali berdiri memandang rumah minimalis berlantai dua yang berdiri megak di hadapannya. Rumah yang tampak berkilau mewah oleh hiasan lampu taman di tengah sepinya malam. Pramono
Ali masih memandang ke arah dua orang yang berdebat di seberang jalan. Diam-diam mengamati tanpa berniat ikut campur, hanya untuk berjaga karena perdebatan tak selalu berakhir baik-baik saja. Tampak perempuan berjilbab jingga itu mengabaikan lelaki di sampingnya meski sang lelaki terus berbicara. Kemudian Ali terburu-buru bangkit ketika perdebatan sengit di ujung sana tak lagi bisa dia toleransi karena sang lelaki mencoba menarik paksa Annisa ke dalam mobilnya. “Woy, lepas!” Suara bariton memecah perdebatan sengit, mengalihkan kedua orang itu ke arah Ali. Lalu sama-sama mendelik, terkejut. “Mas Al—“ Annisa menjeda ucapan karena seseorang yang menggenggam pergelangannya menekan lebih kuat. Dia menoleh pada Annisa dengan ekspresi tak percaya. Laly kembali memandang Ali. “Kau siapa? Jangan ikut campur!” Sang lelaki menuding ke arah Ali bersamaan dengan tarikan pada tangan Annisa ke belakang tubuhnya. Gadis itu nyaris terjatuh, sampai Ali mempercepat langkah kemudian dengan tangan kiri
Empat belas jam sebelumnya. “Nisa, ayah bisa ngomong sebentar?” Dada Annisa berdengap. Beberapa jam sebelumnya sang ibu sudah mengatakan bahwa salah satu kerabat jauh menghubungi untuk meneruskan rencana perjodohannya dengan Rijal. Rencana itu sebenarnya telah tercetus cukup lama, namun Annisa tak menyangka bahwa itu benar-benar akan terealisasi. Dengan langkah gemetar, Annisa mendekati sang ayah kemudian duduk pada salah satu kursi rumahnya, menunggu apa pun yang akan ayahnya katakan. “Kamu pasti sudah tahu dari ibu, ‘kan?” Annisa melirik sang ayah sesaat, sebelum pandangannya kembali tertuju pada kedua tangan yang saling bertumpu di pangkuan. “Dulu, Rijal pernah melamarmu,” kata sang ayah. “Dan sekarang, dia mau melanjutkan itu. Kamu kenal dia dari kecil pasti tahu bagaimana perangainya, ‘kan?” Meski benar, tetap saja gadis itu tak bisa mengabaikan rasa kecewa pada laki-laki yang menerima lamaran tanpa terlebih dulu menanyakan pendapatnya. Dua tahun lalu, Rijal melamarnya dan
Nadya memicing. “Minta tolong?” ‘Minta tolong? Malam-malam begini? Apa yang bisa kulakukan?’ Tak biasanya Nadya mendengar kata-kata itu dari Ali. Seiring dengan kesadaran yang terkumpul, Nadya menengok jam di dinding. Jarum pendek baru akan menuju angka sebelas. Nadya bangkit dan bersandar pada kepala bed. “Tolong apa, Mas?” Setelah terjeda beberapa detik, terdengar jawaban dari ujung telepon. “Apa Annisa bisa menginap semalam di rumahmu?” “Apa?” Sekali lagi Nadya menatap jam di dinding. ‘Annisa?’ Nadya mematikan ponsel setelah mendengar maksud Ali dan mengizinkan. ‘Apa bisa, katanya?’ Perempuan itu tersenyum getir. Bahkan jika Annisa ingin berlama-lama di rumahannya pun, akan dengan senang hati dia izinkan. Yang mengganggunya adalah, kenapa harus Ali yang meminta izin? Apa gadis itu tak bisa bicara sendiri? Apakah dia pikir ‘aku’ akan dengan kolot menolak dia? Apa yang sebenarnya terjadi pada Annisa? Bagaimana malam-malam begini mereka bisa bersama? Nadya menghela napas dalam