Sejak malam, Pramono belum sekali pun menyapa Nadya. Bahkan setelah menyeruput kopi yang disajikan sang istri, laki-laki itu hanya diam dan bicara saat ada orang tuanya—demi menutupi apa yang terjadi di antara mereka. Tak ada orang tua yang ingin melihat pertengkaran putra-putrinya, bukan? Apalagi ancaman hancurnya rumah tangga karena adanya orang ke tiga. Pramono masih cukup waras untuk sekedar menjaga perasaan mereka. “Ayah sudah tahu?” tanya Pram setelah sekali lagi menyesap kopi pekat pada cangkir di atas meja. Meja yang sama yang digunakan Nadya untuk meracik sarapan mereka. Ikhsan mengernyit. “Tahu apa?” Pramono melirik sang istri yang tengah menyimak sambil memotong wortel. Jika tak salah melihat, dia sempat menangkap raut kecemasan di wajah itu. “Ibu Roro, ibunda Ali, meninggal malam tadi.” Lalu berpaling setelah menangkap ekspresi Nadya yang terkejut hingga nyaris memotong ujung jarinya. **** Hening meliputi sepanjang perjalanan ke rumah Ali. Bukan benar-benar hening tan
“Apa Mas gila?”“Mas suruh laki-laki asing datang ke rumah, sementara di rumah nggak ada orang lain!Mas mikir apa, sih?”“Astaga, dek, tenang. Dia cuma Ali. Bukan penjahat.”“Cuma, Mas bilang?”“Ya. Ali, Om kamu, ‘kan?”“Tapi, Mas, Ali itu—“ Kalimat Nadya terjeda, dan setelahnya Pram tak pernah bertanya apa kelanjutannya dan kenapa Nadya semarah itu. (Bab 12. Kemarahan Nadya)Pramono memejamkan mata ketika terngiang kembali percakapannya dengan Nadya siang itu. Bagaimana marahnya perempuan itu ketika tahu kedatangan Ali adalah atas suruhannya, yang sebenarnya adalah bentuk perhatian Pramono untuk istrinya yang sedang sakit.Pramono bukan tak berusaha menghubungi sang ibu. Siang itu Dinar mengatakan belum bisa datang karena sang ayah pun sedang sakit, hingga pada tahap ekstrem Pram memilih meminta tolong pada Ali, orang yang dia anggap saudara sendiri.Maju ke berapa tahun yang lalu, Pramono pun akhirnya tahu apa arti huruf ‘A' yang dia lihat tergantung di dompet Nadya pada kali perta
Dengan langkah gontai, Nadya mendekati Pramono yang duduk di ruang tamu. Sementara dua tamunya berangsur mundur, memberi kesempatan pada pasangan itu untuk menyelesaikan masalahnya. Pramono tersenyum tenang ke arah Nadya seakan tak pernah terjadi apa-apa. Wanita itu menjatuhkan diri di sofa dengan pandangan kosong ke arah meja di mana map dengan bukti percakapan dan laptop itu berada. Kini Nadya tahu alasan di balik sikap Pramono yang begitu kasar semalam, adalah terbongkarnya semua kecurangan yang dia lakukan bersama Ali. “Pak Santosa datang untuk mengkonfirmasi apa yang dia lihat beberapa waktu lalu. Dan dia minta maaf karena sudah lancang melihat yang tidak seharusnya.” Pramono menatap laki-laki di seberang meja yang menunduk. Kepalanya bergerak naik turun, mengangguk-angguk. “Maaf, Bu. Punten sanget,*” ucap Santosa pada Nadya. Nadya hanya diam. Dia merasa riwayatnya akan tamat saat itu juga. “Tidak apa-apa, Pak. Memang saat kangen dengan istri, saya sering tidak ingat tempat,
Benar kata pepatah, penyesalan selalu datang di akhir. Menyeret manusia pada rasa bersalah tak berkesudahan yang entah bagaimana cara memperbaikinya. Di tepi jalan yang sunyi, Nadya tergugu menangisi hancurnya hidup akibat ulahnya sendiri. Hatinya semakin ngilu tatkala terlintas wajah Tasya yang menangis mencari sang ibu, lalu Asih susah payah mencari alasan untuk menjawab pertanyaan gadis kecil itu. Oh ... apa yang sudah kulakukan? Nadya kembali menanyakan pertanyaan yang sama untuk ke sekian kalinya. Nadya mengusap pipinya sekali lagi. dia bangkit setelah melihat sudut atas layar ponselnya. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, yang artinya hampir dua jam dia terduduk di tepi jalan meratapi kesalahan yang terlambat dia sadari. Andai dia lebih tegas ... Andai dia lebih berani, mungkin semua itu tidak harus terjadi. Lelah menangis, dan sebetulnya juga lapar, perempuan itu lalu menghampiri tukang ojek yang memarkir kendaraan mereka tepat di persimpangan jalan. Tujuannya malam ini
Pramono terbangun dari tidurnya di atas sajadah saat mendengar bising nada dering dari ponsel. Pandangannya sempat menangkap penunjuk waktu digital di meja saat ia melangkah mendekati benda bergetar di sampingnya. Waktu menunjukkan pukul empat pagi, dan diari kejauhan terdengar sayup suara azan subuh. “Ya, Suf? Pagi sekali kau menggangguku.” Pramono mengusap wajahnya. “Mumpung ingat. Karena seharusnya aku meneleponmu dua hari lalu. Ada calon karyawan yang akan interviu hari Senin, kapan kau akan ke sini?” Seketika Pramono ingat rencananya untuk membawa Nadya pindah ke Bandung. “Sementara tolong hendel dulu, Suf. Mungkin kantornya akan kupindah ke Boyolali saja. Toh, Tasya mengerti kesibukan ayahnya.” “Pindah? Bagaimana dengan rencana pindah ke Bandung? Dan rumahmu di sana?” “Mungkin akan kusewakan sampai menemukan pembeli. Entah lah, aku belum tahu.” “Terjadi sesuatu? Kenapa mendadak sekali?” Pramono mengedikkan bahu seakan Yusuf, laki-laki di ujung sana, bisa melihatnya. “Beg
Hampir dua hari sejak Nadya pergi dari rumah, dia tidak bisa makan dengan benar. Bukan cuma akibat hilangnya selera makan, tapi juga kram yang dia rasakan sejak keluar dari rumah Pramono malam itu. Setelah mengucapkan permintaan maaf, Nadya menyeret kopernya sepanjang perjalanan yang cukup jauh. Malamnya, setiba di motel dia merasakan kram di perut bawahnya. Berbeda dengan kehamilan pertama yang cukup lancar, kehamilannya kali ini batinnya dipenuhi tekanan. Merasa tak sanggup lagi, Nadya meraih ponsel lalu menggulirkan ibu jari pada daftar kontaknya, bermaksud menghubungi seseorang. Namun tangannya berhenti karena sadar, tak ada orang yang cukup dia kenal untuk dimintai bantuan. Terutama setelah dia mengakui kesalahannya, dunia seakan mengutuk. Nadya merasa terkucil dari lingkar keluarga sendiri, meski dia yakin Pramono bukan manusia pengecut yang akan menyebar aib keluarganya sendiri. Sembari menahan tekanan dari perutnya, Nadya melangkah keluar kamar. Sempoyongan dia berjalan samb
“Ya, Sayang?”Nadya bisa mendengar samar suara anak di ujung sana. Dari suaranya yang kecil, Nadya memperkirakan usianya sepantar Tasya.“Iya, Papa masih ada urusan, sabar ya ...”....“Iya, Nayla, sebentar lagi papa pulang. Bisa minta tolong sama Mbok Yem dulu, oke?” Edwin menyahut dengan sabar di antara helaan napas berat seakan masalah besar sedang menimpanya.....“Bye, Sayang, doakan urusan papa cepat selesai ya ...”Edwin meletakkan ponsel ke atas nakas setelah menekan tombol merah. Dia mulai menyendok makanan di piring yang dipegangnya dengan tangan kiri, dan mendekatkannya ke mulut Nadya yang baru dia sadari telah menoleh ke arahnya.Nadya berpaling. “Tinggalkan aku. Aku bisa mengurus ini sendiri.”Edwin menurunkan piring makan itu ke pangkuan tanpa melepas kedua tangannya. “Jika itu benar, kau pasti tidak akan ada di sini.”Nadya kembali menoleh dan masih tetap diam. Edwin meletakkan piring itu ke meja.“Jadi Nadya, dengan penampilanmu, aku yakin kau bukan gelandangan, bukan?
Ada saat penyesalan menjadi begitu menyakitkan, bukan hanya oleh hasil akhir yang kita terima, tetapi jauh sebelum itu, yaitu kebodohan yang terlupa untuk dipikirkan bagaimana jadinya.Seperti terjerembap ke dalam lumpur hisap, Nadya merasa kian hanyut dan sesak, dan ... tidak tahu bagaimana harus keluar. Rindu yang menagih perjumpaan dengan sang putri terpaksa dia halau akibat rasa malu.Nadya tahu Pramono memaafkannya. Namun, dia cukup tahu diri untuk tidak tetap berada di sana. Berdusta seumur hidup, dan menyandang predikat penipu di hadapan Pramono.Maka di sanalah dia akhirnya. Motel yang dia sewa beberapa hari lalu kembali dia datangi setelah sebuah tragedi gugurnya calon buah hati.Nadya memandang laki-laki yang menatapnya dari kursi kemudi dengan tatapan yang sulit dia pahami. Antara kasihan dan ... perhatian? Nadya pernah melihat raut seperti itu dari laki-laki mengaku menyukainya.Wanita itu masih berdiri di depan gerbang sebagai bentuk penghormatan dan ucapan terima kasih a