Rizal membuang muka. Kecuali itu dia tak tahu apa-apa mengenai kepergian Paman dan bibinya. Detik berikutnya, terdengar ketukan halus sol sepatu di atas lantai keramik. Seorang lelaki dengan kantung plastik di tangan kanan, mendekat perlahan ke arah orang-orang di ruang tamu. Ali. Laki-laki itu berdiri di tak jauh dari Naryo. Beberapa detik dia menunggu dipersilakan duduk, tapi kemudian sadar, keadaan tidak sedamai itu untuk sang tuan rumah sempat memikirkan kenyamanan tamunya, dan memilih tetap berdiri. “Saya mewakili keluarga Annisa, untuk membayarkan hutang mereka.” Ali meletakkan kantung berisi sejumlah uang di atas meja, kemudian mundur dua langkah dan tetap pada posisi berdiri. Sementara Sunaryo justru menghela napas. Dia berpaling kepada Annisa setelah sempat melihat kantung hitam itu sesaat. “Pasti ada salah paham, Nissa. Paklik ndak pernah menagih pembayaran hutang itu harus lunas dalam waktu dekat.” Naryo menatap Rizal dan Annisa bergantian, “apa tidak ada nomor yang bi
“Aku harap begitu. Sayangnya dia mencintai wanita lain. Dan ... Bersuami.” Ali menghentikan laju mobil di tepi jalan ketika terngiang kembali kalimat Annisa beberapa menit lalu. Sesaat dia berupaya menetralkan rasa panas di dada dengan helaan napas panjang dan bersandar di kursi kemudi. Itulah hal yang dia takutkan sekaligus alasan dia marah pada Nadya malam itu. Karena berhutang cinta kepada orang lain tidak selalu bisa ditunaikan pertanggungjawabannya. Nadya .... Ali memejam ketika nama itu terlintas di benaknya. Sudah dua hari sejak hari itu dia tak mengetahui kabar wanita itu. Wanita yang entah bagaimana wajahnya tak juga mau menyingkir dari ingatan. Lihatlah, bahkan hanya dengan mengingat wanita itu sudut hati Ali terasa hangat sekaligus ngilu. Laki-laki itu merogoh saku celana dan menggulirkan ibu jari pada daftar kontak sebelum berhenti pada satu nama. Tanpa berpikir dua kali laki-laki itu kemudian menekan tombol call. Persetan soal Pramono, dia harus mendengar suara wanita
Rumah dua lantai itu terlihat sedikit berbeda karena pintunya terbuka. Dua orang lelaki baru melangkah melewati pintu dan pandangannya langsung tertuju ke arah Ali. Mereka mengangguk diiringi senyum ramah saat melihat Laki-laki itu keluar dari mobil. Ali menyapa mereka. Dengan raut penuh tanya, sesekali pandangannya tertuju ke arah pintu, lalu ke arah dua pria itu. Tak biasanya orang-orang datang ke rumah bersama-sama. Apa yang terjadi? “Ada apa, Paklik?” Ali bertanya. Setelah saling melihat satu sama lain, satu di antaranya menjelaskan bahwa Roro belum lama tadi pingsan di jalan. Mereka bermaksud membawanya ke rumah sakit, namun Roro menolak dan meminta dibawa pulang untuk beristirahat di rumah. Mendengar penjelasan mereka, seketika Ali memicingkan mata. “Kenapa tidak menghubungi saya?” **** Setelah mengucapkan terima kasih kepada dua orang itu, juga pada wanita yang menyusul keluar di belakangnya, Ali melangkah ke menuju kamar sang Ibu. Laki-laki itu membuka pintu kamar sang
Suara tangis Hasna menjadi pengiring perjalanan sang ibu ke rumah sakit. Selama di ruang ICU perempuan itu tak sekejap pun bisa duduk tenang. Seorang dokter membuka pintu. Dia menyampaikan, “Hanya satu orang yang boleh mendampingi, dan pastikan tidak ada kegaduhan.” Laki-laki itu menatap bergantian Ali dan Alifiya, sebagai intervensi bahwa merekalah yang dimaksud. Keduanya saling menatap lalu mengangguk paham sebelum dokter itu melangkah pergi. Ali meminta Hasna menunggu di luar kecuali dia bisa menahan tangisnya. Memasuki ruang ICU yang dingin, Ali memandang wajah wanita terlelap itu seiring langkah mendekat. Dia lalu meraih satu tangan sang ibu, mengecup dan menggenggamnya. “Maaf, Ibu.” Meski telah berupaya menahan agar air matanya tak luruh, nyatanya kecemasan tetap merajai hati. Ali mengusap sudut matanya sebelum menganak sungai. “Ibu ndak apa-apa,” Roro berucap, dan kontan membuat air mata Ali justru membanjir di pipi, bukan hanya akibat sakitnya sang ibu, namun ... lebih d
Rumah dua lantai dengan halaman cukup luas itu menjadi begitu ramai dengan kehadiran para pelayat. Orang-orang besar, relasi Ali di beberapa toko menyempatkan hadir ke rumah duka untuk menyampaikan belasungkawa. Ali berusaha menampakkan wajah tegar dengan sedikit senyum yang dipaksakan meski siapa pun tahu, hatinya pasti begitu renyut. Dari ujung halaman sepasang manusia yang sangat dia kenal—yang entah bagaimana justru tampak seperti selebriti yang menjadi aktor utama dalam cerita menyedihkan ini—memasuki halaman rumah Ali. Keduanya langsung disibukkan dengan aktivitas menyalami tamu lain. Kali ini giliran Ali. Alih-alih menampakkan raut berduka, Pramono justru menatap wajah laki-laki itu tajam seiring tangan yang terulur. Ali menyambutnya. Keduanya saling menatap. Bedanya, Pramono lebih tajam dengan kedua rahang mengeras. “Turut berduka cita.” Pramono memeluk Ali dengan beberapa tepukan di punggung untuk menguatkan. “Thanks.” Pandangan Ali berpaling pada wanita di sebelah Pram
“Mbak Nisa di sini dulu, ‘kan?” Hasna meletakkan piring bekas makan putrinya ke wash bak. Dengan cekatan perempuan itu mencuci tangan lalu mengusap bibir putrinya yang berlepotan dengan sisa air di tangan, dan mengulangi gerakan itu untuk beberapa kali hingga bersih. “Mbak Nana kan lebih tua dari aku, kenapa panggil aku ‘Mbak'?” Malu-malu Annisa mengatakannya sambil mematikan kompor di depannya. Belum lama tadi dia memasak sup brokoli dengan bakso berharap Ali mau makan sesuatu. Sayangnya sejak malam itu dia belum juga mau memakan sesuatu. Annisa paham, saat hati berduka sulit bagi mulut menikmati hidangan apa pun. Tapi bukankah tubuh butuh tenaga? Jika menantang sendok dan memasukkannya ke dalam mulut saja tak mampu bagaimana akan menghadapi ujian hidup? “Mbak Nisa kan calonnya Mas Ali, jadi wajar aku panggil ‘Mbak'.” Mendengar jawaban Hasna, Annisa tersipu. Sebenarnya, satu-satunya yang pantas membuat Annisa dipanggil Mbak adalah ukuran badannya yang sedikit lebih tinggi dari H
Dengan langkah buru-buru, Annisa pergi ke dapur. Mencari pan untuk memanaskan air lalu pergi ke kamar Roro bermaksud mencari kain apa pun untuk mengompres. Hati-hati Annisa membuka lemari. Melihat ke segala sisi sebelum berakhir ke laci tempat perempuan sepuh itu menyimpan kain-kain kecil. Setelah menemukan benda yang dia cari, Annisa kembali ke dapur. Menuang air yang tadi dipanaskan lalu kembali ke tempat di mana Ali berada dan mulai mengompres. “Mas harus ke rumah sakit,” ucap Annisa setelah menempelkan handuk untuk ke sekian kalinya. Tapi bukan Ali namanya jika tak menolak segala bentuk perhatian dari Annisa. Dia menggeleng. “Tidak perlu, aku hanya demam.” “Tapi Mas tidak makan dua hari ini.” Tak ada sahutan. Ali tahu, dan dua merasa lebih tahu mengenai kondisinya lebih dari siapa pun, termasuk Annisa. “Ayolah, Mas, jangan buat aku kuatir,” ucap Annisa lagi dengan suara mulai bergetar. Annisa merasakan hangat merebak di wajahnya hingga membuat pandangannya memburam. Tidak m
Waktu menunjukkan pukul empat pagi saat samar Ali mendengar suara dengkuran. Perlahan dia membuka mata dan tersadar tengah berada di tempat asing yang begitu terang. Laki-laki itu terperanjat dan menutup mata seketika akibat silau yang mendera. Dari sisi kirinya samar terdengar seseorang berucap lirih dan teratur. Ali menajamkan pandangan. Dia segera menyadari siapa orang itu, meski hanya tampak punggungnya karena wajah dan sebagian tubuh lain tertutup tirai penghalang. Tepat seperti dugaannya, Ali berada di rumah sakit. Dia pingsan semalam dan entah siapa dan bagaimana orang membawanya ke rumah sakit. Lirih suara doa itu kini diiringi isak yang perlahan semakin keras. Sesaat, Ali merasa, perempuan itu menangis karena dirinya. Ali kembali memejamkan mata. Mengatur napas dan menikmati sensasi denyut di kepalanya, sampai tirai yang menyekat antara dia dan perempuan itu tersingkap. Rupanya Annisa selesai melaksanakan salat dan dia bermaksud membangunkan Ali untuk melakukan hal yang s