Share

BAB 6

"Mas, aku mau ganti nama Irena," ucap Dania tiba-tiba sembari menundukkan kepala. Aku menoleh sekilas ke arahnya lalu menghela napas.

"Kenapa harus diganti, bukankah kamu sendiri yang bilang saat itu sangat menyukai nama itu. Nama yang cantik menurutmu?"

"Iya, tapi itu sebelum aku tahu siapa Irena di hidupmu. Mana bisa aku satu atap dengan perempuan lain yang masih mengakar kuat dalam hatimu?" ucapnya tanpa ragu. Dia menatapku, kedua mata kami pun beradu.

"Satu atap dengan perempuan lain?" Aku mencoba tertawa mendengar kekonyolannya. Bagaimana disebut perempuan lain, sementara Irena adalah anaknya sendiri bukan perempuan lain. Ada-ada saja.

"Iya. Jelas perempuan lain, sebab kamu masih menanti Irenamu kembali. Kamu sengaja menyematkan nama itu untuk anak kita karena dalam hatimu masih begitu mengharapkannya. Aku nggak mau tiap kali terdengar nama Irena lantas kamu teringat mantanmu.

Lagi-lagi aku kembali tertawa mendengar kekonyolannya itu. Sengaja terbahak agar dia yakin bahwa pergantian nama itu hanya kekonyolan semata.

Masih teringat betul saat melahirkan dulu, mama menanyakan nama untuk cucunya. Dengan senyum termanisnya Dania bilang, "Ma, namanya Irena Prameswari Bagaskara."

Kedua mata mama membola. Dia mencariku di sudut ruang berbau obat itu untuk menginterogasi. Sengaja aku masih sembunyi di dalam toilet saat mama baru saja datang.

"In-- Inera Prameswari?" tanya mama begitu gugup.

"Iya, Ma. Belakangnya pakai nama papanya. Kenapa, Ma? Bagus, kan?" Dania terdengar begitu ceria saat mengucapkannya di depan mama.

"Jangan pakai nama itu, Dania. Kurang pas buat si cantik ini," ucap mama dengan nada bergetar.

"Cantik kok, Ma. Aku suka. Memangnya ada yang salah dengan nama itu, Ma?" suara Dania mulai bernada curiga. Mama gugup lalu menggeleng pelan saat aku keluar dari toilet dan beradu pandang dengannya.

"Pasti Bian yang kasih nama, kan?" tuduh mama kemudian. Dia masih menatapku tajam.

"Iya, Ma. Sudah Mas Bian siapkan jauh-jauh hari, kasihan juga kalau nggak kepakai. Lagipula aku suka namanya, Ma. Nggak apa-apa kan pakai nama itu?" Dania masih saja merayu mama. Mama yang saat itu begitu geram menatapku.

"Mama nggak suka namanya, Nia. Memangnya nggak ada nama lain yang lebih cantik?" Mama masih mencoba merayu Dania, tapi lagi-lagi dia terlalu menuruti perintahku. Aku yakin dia nggak akan mau menuruti perintah mama kali ini.

"Itu saja, Ma. Memangnya kenapa sih mama kok kelihatannya nggak suka banget dengan nama itu?" cecar Dania lagi membuat mama terdiam seketika.

"Nggak ada. Mama hanya kurang suka saja," balas mama kemudian. Kudengar maaf dari bibir Dania dan nama itu tetap menjadi pilihannya hingga detik ini. Detik di mana dia tiba-tiba ingin mengubah nama Irena.

Aku mendesah. Menatap netranya yang mulai basah. Di hadapanku Dania masih berdiri, terpaku dengan kedua tangan saling menggenggam.

"Aku pikir, kamu sama sepertiku, Mas. Sama-sama memiliki masa kelam, tapi berusaha melupakannya dalam diam. Namun dugaanku keliru, kamu masih menyebut namanya dalam doa. Aku mendengarnya saat kamu salat malam kemarin. Sakit hati ini mendengarnya, Mas." Lirih kudengar kembali protesnya. Air mata mulai membasahi pipinya.

"Irena Prameswari? Itu nama anak kita. Jelas aku menyebutnya setiap hari dalam doa, Nia. Kamu jangan mengada-ngada," bantahku lagi. Mencoba kembali meyakinkannya.

Dania mendongak lalu tersenyum tipis menatapku. Seolah meremehkan apa yang kuucapkan.

"Iya, nama anakku yang juga nama mantan kekasihmu. Sayangnya, tiap kali kamu menyebut nama anakku, kamu pasti juga mengingat namanya. Dia yang tak pernah lepas dari benakmu, Mas. Bahkan kamu juga sering mengigau namanya. Bodohnya aku selama ini, kupikir kamu terlalu menyayangi anakku hingga sering menyebut namanya dalam tidurnya. Ternyata dugaanku keliru, sebab bukan Irenaku yang kamu sebut, melainkan Irenamu," sambungnya begitu yakin.

Lagi-lagi aku menggeleng. Terus bersandiwara agar dia tak kecewa. Walau bagaimanapun, Irena dan Dania adalah tanggungjawabku.

Aku pernah berjanji pada Irena, akan menjadikan istriku seperti ratu dan anakku seperti seorang putri. Kini, aku berusaha menepati janjiku meski ternyata bukan dia ratuku. Aku bukan laki-laki munafik yang tak mengingat janjinya sendiri.

"Sudahlah, Dania. Jangan mengungkit itu lagi. Irena sudah nggak ada. Aku juga nggak tahu dia di mana setelah perpisahan empat tahun lalu yang tiba-tiba itu. Selama ini, aku selalu berusaha menjadi suami dan papa yang baik, bukan? Apakah itu tak cukup membuat kalian bahagia?"

Dania menggeleng, lalu menyeka buliran bening yang mulai menetes di kedua pipinya. Mengalir deras dari porosnya.

"Dulu mungkin iya. Saat aku masih terlalu bodoh dan polos. Namun kini, aku sadar jika itu semua hanya fatamorgana. Antara ada dan tiada. Kamu memang ada dengan segala tanggungjawabmu, tapi kamu tiada sebab hatimu tak ada di sini. Kita seatap, tapi ternyata tak semisi."

"Nggak, Nia. Aku tetap menganggap kalian adalah sebagian dari hidupku. Sementara Irena hanya bagian diary usang dari masa lalu. Bukankah kamu bilang, jika masa lalu baiknya dibuang? Sebab hanya akan merecoki bahagia di masa mendatang?" Dania kembali tersenyum. Kedua matanya yang basah menatapku tak berkedip beberapa saat lalu menunduk lagi.

"Aku menepati janjiku untuk melupakannya meski terlalu sulit. Kamu tak tahu bagaimana rasaku menekan sedemikian cinta dan rindu itu hanya demimu. Namun ternyata kamu justru masih menyimpan namanya di setiap hembus napasmu. Terlalu bodohkah aku?"

"Nggak. Kamu salah, Nia. Lagipula buat apa membicarakannya. Bukankah dia sudah tak ada? Aku tak pernah melihatnya sejak menikah denganmu. Jangankan melihat, mendengar kabarnya saja tak pernah. Aku tak tahu dia masih ada atau ...."

"Tiada," sambungnya cepat. Aku hanya menatapnya sekian detik lalu terdiam.

"Bahkan kamu terlalu takut mengatakan dia tiada, sebab dalam hatimu masih mengharapkannya," ucapnya lagi.

"Aku sudah berusaha menjelaskan apa yang kurasa. Namun sepertinya kamu tak percaya. Lantas aku harus bagaimana, Nia? Padahal selama menikah, aku selalu berusaha memberikan yang terbaik untukmu. Apakah itu tak cukup membuktikan bahwa aku berusaha menepis masa lalu dan menerimamu sebagai masa depanku?"

"Untuk sekarang, aku hanya ingin mengganti nama Irena. Tiap kali menyebut namanya, selalu teringat bagaimana kamu terlalu mencintainya dan itu membuatku cemburu." Aku kembali terkekeh mendengar keluhannya.

"Bahkan kamu cemburu dengan dia yang mungkin saja sudah tiada?" sindirku kemudian.

"Tiada di dunia sebenarnya, tapi tak pernah tiada dalam duniamu," lanjutnya lagi. Aku hanya menggelengkan kepala, mencoba meyakinkannya dengan tawa bahwa kekhawatirannya hanya kekonyolan semata.

"Aku mau ganti nama, Mas." Lagi-lagi Dania bersikukuh dengan keputusannya.

"Memangnya kamu mau ganti nama apa? Kasihan Irena kalau harus ganti nama segala," balasku tak mau kalah.

"Ganti saja namanya Irena Prameswari Syahreza," ucapnya yakin. Dia mendongak dengan tatapan tajam ke arahku yang kini tersedak mendengar jawabannya.

"Syahreza? Gila kamu, Nia. Dia anakku bukan anak laki-laki itu!" ucapku sedikit membentak. Namun Dania hanya tersenyum tipis seolah mengejek.

"Kamu lupa, Mas? Dia anakku, bukan anak perempuan itu. Lantas kenapa kamu juga menyematkan namanya untuk anakku?"

💕💕💕

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status