"Paman, Bibik, ini Salwa ada sedikit tabungan. Semoga dengan ini bisa sedikit meringankan beban Paman dan Bibik." ucap Salwa sembari menyodorkan amplop coklat yang berisi sejumlah uang yang ia ambil ke Bank tempo hari.Harun dan Rodiya masih bergeming belum bereaksi apapun menatap amplop itu."Maaf jika selama ini Paman harus hidup susah karena Ibu, dan maaf juga Paman jika cerita hidup Salwa di kota membuat Paman dan Bibik malu." lanjutnya menatap adik dari Ibu kandungnya itu berkaca-kaca."Salwa, awalnya memang Paman marah sekali pada Ratih. Tapi, setelah mendengar cerita kamu dan membuktikannya sendiri, justru kini Paman merasa bersalah padanya.Karena amarah, Paman mengabaikan Ratih yang sebenarnya butuh bantuan Paman. Paman menyesal sekali tidak bisa menolong Ratih." sesalnya mendalam."Paman, kita masih punya kesempatan untuk menolong Ibu.""Tapi bagaimana caranya?" tanya Harun sedikit putus asa."Salwa yakin, kita bisa Paman. Sekarang terima dulu ini sebagai penebus rasa bersal
Dua hari berlalu begitu cepatnya, kini Salwa tengah gelisah sebab dari beberapa hari lalu Randa tak ada kabar beritanya. Sedangkan hari yang dinantikan Mak Saroh tinggal 3 hari lagi."Duh, gimana kalau Ayah Randa gagal menemui mbah Garmo ya?" gumam Salwa kembali mengirim pesan pada Randa namun masih centang satu.Cukup lama ia berdiam diri menantikan kabar dari Randa, bebraoa saat kemudian ia kembali melihat ponselnya rupanya pesan yang ia kirim sudah centang biru, itu artinya telah di baca oleh Randa.[Tenanglah, Ayah berhasil menemui mbah Garmo. Dan dia berjanji akan melepaskanmu jika apa yang menjadi keinginannya sudah ia dapatkan. Besok dia akan berangkat kesana. Ini Ayah sudah dalam perjalanan pulang dan masih di pelabuhan Merak mau menyebrang]Balasan Randa membuatnya sedikit tenang. Kini tugasnya mengikuti Mak Saroh lagi kemanapun ia pergi."Nek! Nek!" panggilnya sembari mengetuk pintu kamar Mak Saroh. Tak ada sahutan dari dalam, Salwa kemudian membuka pintu kamarnya. Rupanya
Usai dari warung, Mak Saroh pamit pergi ke ladang untuk memetik cabai. Sengaja Salwa tak ikut sebab ia akan ke kampung mati menemui Randa.Ia segera menyiapkan beberapa baju lengkap dan ia masukkan kedalam kantong kresek kemudian membawanya pergi menuju kampung mati. Sebelum pergi, ia sempatkan memberitahu Rodiya.Kali ini Salwa hanya memasang beberapa tanda saja, tidak seperti biasanya ia memasang tanda dalam jarak yang tak terlalu jauh.Ia terus melangkah menuju rumah Randa. Di persimpangan ia melihat sekelebat bayangan seorang wanita melintasi belakang rumah mendiang Ratna.Ia abaikan bayangan itu dan terus melajukan langkahnya, ia sudah sangat hafal akan kondisi kampung ini. Setiap kali ia menginjakkan kaki di kampung ini ia selalu di sambut dengan sekelebat bayangan, entah itu wanita, anak kecil bahkan ketika terakhir ia ke kampung ini ia diikuti oleh sesosok laki-laki tanpa lengan dengan wajah hancur, sampai perbatasan jembatan.Tak sampai 10 menit ia kini berdiri di depan rumah
Pagi ini pondok pesantren Al-Darrul Huda begitu riuh akan suara-suara merdu para santri yang turut berdzikir membantu Wahyu dalam usahanya memutus ajian Tali jiwo dalam dirinya.Para Santri dengan senang hati berdzikir, mengaji, berwiridan secara bergantian agar supaya doa mereka tak putus."Alhamdulillah, wa syukurillah! Atas ijin Allah, nak Wahyu sebentar lagi pasti kembali." ucap Pak Kyai kepada keluarga Wahyu."Apa itu artinya Wahyu berhasil, Pak Kyai?" tanya Hasnah."Insya Allah!"Kini mereka duduk melingkar di rumah Pak Kyai, usai sarapan bersama. "Tapi jika nak Wahyu berhasil melepaskan diri, tentu akan ada hal lain yang dilakukan Garmo nanti! Dia tidak akan menerima kekalahannya begitu saja." peringat Pak Kyai."Baiknya kita bersiap pergi ke kampung itu, perjalanan memakan waktu lebih dari 8 jam. Jangan sampai kita terlambat sampai di sana." lanjut Pak Kyai."Apa tidak menunggu Wahyu sadarkan diri lebih dulu, Pak Kyai?" usul Pak Haji Nurman."Kunci dari semua masalah ini ada
Hari ini adalah hari yang sudah Mak Saroh tunggu selama 16 tahun, hari dimana bulan purnama penuh. Sedari pagi Mak Saroh disibukkan dengan berbagai sesajian untuk melakukan ritual nanti malam.Berbanding terbalik dengan sang cucu, Salwa. Ia tengah diliputi kegundahan dan ketakutan luar biasa, sekuat apapun ia menahan air mata tetap mengalir juga dari kedua netranya."Apakah ritual ini akan berhasil menghidupkan Ibu kembali? Lantas bagaimana denganku dan bayi dalam kandunganku?" batinnya dalam hati.Air matanya kian deras membasahi pipi mulusnya. Berkali-kali sesak itu menghampiri mengingat hari ini adalah penentuan hidup dan matinya.Aroma dupa dan kembang tujuh rupa menyeruak indera penciumannya. Kepulan asap memenuhi setiap penjuru ruangan sempit ini.Dalam kondisi lemah tak berdaya Salwa menatap jasad sang Ibu yang terbujur kaku terbaring di sampingnya pada meja yang berbeda. Air mata kian deras mengucur mengingat begitu kejamnya sang nenek yang selama ini ia anggap keluarganya."B
"Salwa! Nak, bangun Salwa!"Randa membopong tubuh Salwa dan segera berjalan menuju pintu hendak keluar. Tapi, lagi mereka terpental ke belakang, tak bisa melewati pintu yang terbuka lebar itu."Arrrggghhhh!!Ber*ngs*k!" umpatnya frustasi. Ia terpaksa kembali merebahkan tubuh kecil Salwa pada meja sebelumnya, memastikan bahwa Salwa masih bernafas."Oh, syukurlah!" gumamnya setelah memastikan Salwa masih bernafas."Oh, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?" ucapnya dalam hati."Yah, sakit!" rintih Salwa setelah sadarkan diri."Kenapa, Nak? Mana yang sakit?" tanyanya panik.Salwa mengerang dengan memegang perutnya, ia meringis kesakitan sedangkan keringat dengan cepat membasahi wajahnya."Permisiii!! Assalamualaikum!!"Randa dan Salwa saling bersitatap keheranan. Sayup mereka mendengar suara orang di luar sana."Permisiiii!!!" "Ayah dengar suara itu?" tanya Salwa."Iya, Ayah dengar. Siapa itu ya?" gumam Randa. Lantas ia bergerak menuju jendela dan melongokkan kepalanya keluar, tapi tetap
"Masih jauh lagi kah, Mbok? Sudah hampir maghrib loh ini?" tanya Murni semakin cemas."Masih lumayan, Bu. Kita lewat jalur barat jadi memang agak memutar, karena cuma di jalur itu mobil bisa sampai ke kampung. Itupun hanya sampai di kampung Bunga Jati, harus jalan kaki sekitar 15 menit lagi untuk sampai ke kampung Mak Saroh." jelas mbok Satiyem."Ya Allah, Mas tambah kecepatannya lagi!" perintah Murni pada Tri."Gak bisa, Dek. Lha wong jalannya begini, untung ini gak hujan kalau hujan malah kita gak mungkin bisa lewat." jelas Tri tanpa mengalihkan pandangannya pada jalanan yang ia rasa begitu sulit dilalui."Ya Allah, perasaanku gak enak ini." gumamnya sambil beberapa kali menghubungi nomor Harun namun tak dapat tersambung. Akhirnya ia putuskan untuk mengirim pesan saja.[Pak Harun, kami lewat jalur barat kata mbok Yem, ini belum sampai]Pesan ia kirimkan ke nomor Harun, dan masih belum terbaca oleh Harun."Duh, signal aja susahnya ampun, deh!" gerutunya sembari melihat layar ponsel.
"Sudah cukup main-mainnya, Garmo!"Pak Haji Nurman berdiri dengan gagahnya di ambang pintu. Mbah Garmo berdesis sembari memegangi dadanya."Jangan ikut campur kau, Nurman!" hardiknya sembari bangkit berdiri."Tentu! Aku tidak akan ikut campur jika kau juga tak mengusik keluargaku!" ucap Pak Haji tenang."Keluargamu? Yang benar saja!" Mbah Garmo tertawa sumbang.Sedangkan di luar rumah, Murni, Tri dan Pak Kyai, tengah membantu Harun yang terkapar tak sadarkan diri."Mahardika Mahendra itu keponakanku! Dan kau berani menyentuhnya!" ucap Pak Haji lagi.Salwa dan Rodiya kompak menoleh ke arah Dika yang masih tak sadarkan diri."Jangan salahkan aku, karena bocah ingusan itu yang masuk lebih dulu!" jawab Mbah Garmo."Apa yang kau cari Garmo?" ucap Pak Kyai yang muncul dari balik tubuh Pak Haji Nurman, diikuti Murni dan Tri yang memapah Harun.Rodiya segera berlari menyongsong tubuh suaminya dan segera membantu Tri membaringkan Harun di tepi lantai sebelah kanan, sedangkan Pak Haji dan Pak K