"Menikahi Giva bukan lagi sesuatu yang harus diperdebatkan. Sekalipun berisik, dia cukup cantik untuk diajak kondangan, cukup pintar untuk diajak meeting dengan klien, cukup santun dan menyenangkan untuk jadi menantu ibu dan dibawa-bawa arisan."
-Juan Dirangga Moelya- ***** "Hamil?" Satu kata dari mulut sang calon besan yang mengudara itu menimbulkan sunyi yang tiba-tiba. Ruangan yang sebelumnya riuh dengan kehangatan saling sapa dua keluarga, mendadak bergeming dengan penuh tanya. Pandangan jelas terhunus pada perut Giva, laki-laki bernama Juan yang bermulut lancang, juga si calon tunangan yang malam itu sudah berdandan rapi dengan kacamata tebal. "Koe hamil toh nduk?" Pertanyaan yang sama akhirnya terlontar dari mulut sang ibu. Dibanding rasa marah, di balik tanya tersebut, justru terselip harap bahwa yang didengarnya adalah kesungguhan. Satu pertanda bahwa mungkin trauma anaknya sudah benar-benar menghilang. Giva bingung. Ia menatap Juan, ibunya, ayahnya, bahkan wajah-wajah asing di depan sana berganti-gantian. "Hamil?" ulang Giva sendiri bingung. "Iya, gue mau tanggung jawab, Giva. Anak itu, anak kita, kita bisa besarkan sama-sama." Di sana, seorang Juan Dirangga Moelya, bergerak pelan mendekat pada Giva. Meraih jemari perempuan itu, meremasnya lembut seolah memberi kekuatan. "Lo nggak harus menanggung semuanya ini sendiri, Giva. Lo seharusnya bilang sama gue dari awal." Juan itu memiliki jabatan Direktur bukan hanya karena ayahnya pemilik perusahaan, melainkan karena otaknya yang memang cemerlang. Sialnya, bukan cuma urusan bisnis dan perempuan saja Juan jago, soal acting pun ia mumpuni. Itulah sebabnya banyak perempuan jadi korban piawainya ia dalam berlakon. Malam ini, Giva akhirnya sadar akan hal itu. Lihatlah! Wajah ibu Giva yang berbinar, ayahnya yang tak tahu harus berbuat apa, hingga keluarga si calon tunangan yang murka dan laki-laki berkacamata yang nampak kecewa. Juan si orang gila! "Nggak bu, aku nggak hamil." Giva melepaskan tautan jemari Juan dan mendekat pada ibunya. Berupaya ia menjelaskan kesalahpahaman tersebut. "Kamu nggak perlu malu, Giva." Juan masih saja berupaya. Ia mendekat pada Giva dan ibunya lantas melakukan hal yang mengejutkan kemudian. Juan berlutut! Di hadapan ibu Giva, Juan memasang wajah menyesal. Kedua tangannya yang pasrah bertumpu pada kedua paha, juga kepalanya yang menunduk lemah, menjadikan Juan layaknya orang paling menderita sedunia. Duh! Andai di sana, tak banyak pasang mata memandang mereka sekarang, sudah dipastikan Giva sudah memukul Juan hingga babak belur. "Saya minta maaf, bu, karena menutupi hal ini. Saya salah bu, oleh karena itu beri saya kesempatan satu kali lagi." Sejatinya malam itu, Giva sudah berusaha menjelaskan pada ibunya soal kesalahpahaman ini, namun anehnya tak ada yang menggubris. Ibu dan ayahnya justru sibuk bergegas menuju keluarga calon tunangan Giva. Menjelaskan situasinya dan meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Walau jelas ada perdebatan di sana, namun pada akhirnya keluarga calon besan itu memilih pergi dari rumah Giva dengan wajah kecewa. Giva jelas memijit dahinya; pening. Tidak bisa dipercaya bahwa seorang Juan sukses menggagalkan acara perjodohannya. Entah apa maksudnya, tapi yang jelas Giva benar-benar marah sekarang. Sialnya, ia tidak punya kesempatan untuk marah. "Kalau kamu begitu menyesal, Juan, panggil orang tuamu malam ini juga dan mari kita bicarakan." Semuanya terasa begitu cepat dalam perspektif Giva. Tahu-tahu Juan sudah menghubungi keluarganya dan menjelaskan situasinya. Tahu-tahu keluarga laki-laki itu datang dengan persiapan yang luar biasa cepat. Tahu-tahu kini ... mereka semua –dua keluarga– saling duduk berhadapan dengan sajian makan malam. Gila! Dalam satu malam, perjodohan Givanya berubah dari laki-laki berkacamata menjadi si Juan laki-laki buaya rawa. "Saya sudah dengar garis besarnya dari Juan, Jeng. Saya sebagai ibunya Juan, benar-benar meminta maaf. Tapi mari ... kita anggap ini sebagai anugerah saja, ya Jeng. Bayi yang ada di perut Giva jelas tidak memiliki kesalahan apapun." Ibu Juan mengambil inisiatif pertama untuk memecah sunyi. Semuanya nampak manggut-manggut setuju kecuali satu orang. Givanya. Ia lebih memilih sibuk mencubit lengan Juan sejak tadi, di bawah meja, karena kebetulan laki-laki itu duduk di sampingnya. Ia benar-benar akan menghabisi Juan setelah acara formal dadakan ini berakhir. Juan akan benar-benar mati! "Saya juga setuju, Jeng. Bagaimanapun, dibandingkan laki-laki lain, Juan pastilah yang paling mengenal Giva. Begitu pula sebaliknya, Giva yang paling mengenal Juan." "Betul. Saya rasa Giva sangat cocok jadi menantu dari Moelya Group." Ayah Juan ikut bergabung dalam percakapan. Menambah pusing di kepala Giva karena perkataan Juan yang asal-asalan itu, para orang tua terlihat bahagia dan menaruh harapan besar. Juga menjadikannya berada disituasi yang tidak hanya pelik, namun juga menyebalkan. Giva sudah tekankan bahwa ia tidak mau menikahi Juan. Lalu dijebak seperti ini dan tidak bisa menolek, jelas menjadi sebuah situasi yang menyebalkan bagi Giva. Terlebih bila ia dan Juan saling beradu pandang, lantas laki-laki itu cengar-cengir seolah mengejek, duh! Giva benar-benar naik pitam. "Kalau begitu, acara resminya akan dilangsungkan kapan?" tanya ayah Giva. Ibu Juan sejenak berpikir. "Kita bisa tanya sama eyangnya Juan dulu soal hari baiknya." Tentu saja hari baik yang dimaksud adalah berdasarkan hitung-hitungan dalam versi orang jawa. Jangan lupa, ibu Juan lebih njawani lagi dibanding ibu Giva. Maka malam itu berakhir setelah kedua keluarga tersebut makan malam dengan hangat seolah tanpa beban. Tidak lupa juga isi pembicaraan soal beberapa vendor yang akan digunakan dalam prosesi tunangan hingga pernikahan. Sibuk. Semuanya sibuk. Kecuali Giva dan isi kepalanya yang rumit. Namun dibandingkan mendebat, Giva lebih banyak terdiam. Boleh jadi ia marah sekali pada Juan, namun melunturkan senyum ayah dan ibunya ... pun Giva jelas tak tega. Oleh karena itu, dalam hatinya, Giva memilih tabah. Menerima pernikahan ini sebagai bentuk mengalah. ^^^^ to be continued follow *nstgrm author yuk @nana.sshi_["Gue nggak pernah sekalipun membayangkan bahwa hubungan gue dan Giva akan berada diujung tanduk seperti sekarang ini. Dulu, sekalipun gue mengira bahwa kami akan punya keluarga masing-masing -karena gue nggak tahu bahwa kami akan saling mencinta- hubungan itu tetap akan harmonis. Selamanya Giva akan jadi tempat gue bercerita apapun, mengeluh apapun, bercanda soal apapun. Jujur, ini benar-benar hal yang paling menyakitkan setelah kejadian Jordy di 2009."]-Juan Dirangga Moelya-****"Giva."Dalam kehidupan manusia, seringkali takdir suka bercanda sesukanya. Pun begitu bagi Juan setelah merasakan enam bulan lamanya mengitari tanah Belanda dalam penantian yang resah dan rindu. Dan ketika takdir berbaik hati, mempertemukannya dengan apa yang dicari, tanpa persiapan, tanpa duga, Juan jadi lemah sendiri.Lagu Nina Nesbitt sering mengalun menemani satu tahun lebih miliknya lewat When you lose someone. Menjadikan sisi melankolisnya ketika malam menyergap, merindu pada Giva tak terelak. Walau
'Profil Alysa Astari yang baru-baru ini viral karena menjadi sugar baby dari aktor senior, Anandika Basyir, ternyata pernah jadi model lumayan terkenal di Eropa'.'Bunga Dirana, istri Anandika Basyir akhirnya buka suara. "Mas Dika sama Alysa sudah menjalin hubungan di belakangku hampir lima tahun lamanya."''Alysa Astari ternyata putri seorang guru besar di Universitas Jingga, keluarga memilih bungkam atas skandal sang putri'.'Heboh! Anandika Basyir, aktor senior yang terseret kasus pencucian uang dari tersangka HM dalam kasus timah di Bangka Belitung, Alysa Astari sang sugar baby disebut-sebut akan turut diperiksa'.'Alysa Astari dan Anandika Basyir ditetapkan sebgai tersangka menyusul tiga tersangka sebelumnya atas korupsi dan pencucian uang kasus timah'.'Alysa Astari, si cantik yang akhirnya masuk ke dalam penjara setelah kasus perselingkuhannya dengan suami aktris Bunga Dirana terkuak dan viral'.***Juan menghirup udara Belanda dengan setengah rongga dada yang lega. Segala rupa
30 - Before Ending; Zaanse Schans "Giva menghilang selama lebih dari satu tahun hanya karena kesalahpahaman. Kalaupun gue diposisi itu, mungkin akan melakukan hal yang sama. Karena nyatanya, perasaan ditinggalkan, perasaan terkhianati, perasaan kecewa ... itu hal-hal yang nggak mudah ditangani. Ada yang memilih akhirnya seperti Elena, ada yang memilih akhirnya seperti Giva." -Juan Dirangga Moelya- **** Ini adalah hari yang cerah, anginnya menerpa lembut. Juan, memandangi sekitar jalanan yang dipenuhi toko-toko di sebelah kanan dan rerumputan hijau di sebelah kiri. Tak begitu jauh dari tempatnya berdiri, kincir-kincir angin raksasa mempesona sebagian dari mereka yang bergerombol, tak jauh dari Juan berdiri, para turis layaknya dirinya. Zaanse Schans, desa terkenal yang terletak di Zaandam, Belanda. Sebuah desa yang terkenal karena kincir-kincir angin besarnya sekaligus rumah-rumah kayu khas belanda yang direlokasi dari Amsterdam untuk pelestarian. Sekaligus tempat ke sepuluh y
(Flashback Malam Itu) Itu adalah hari dengan pekerjaan yang rasanya tanpa akhir. Juan sudah merenggangkan otot-otot yang tegang tiga kali dalam satu jam, namun masih juga tumpukkan berkas yang harus diperiksa, dicermati, diberi solusi, ditandatangani, tak ada habisnya. Juan bahkan sudah diam-diam mengumpat karena kini ... dibandingkan seperti bos, Juan tak ubahnya seperti anak magang yang diberikan tugas oleh para seniornya dengan alasan senioritas. Haaaah ... entahlah! Juan kangen sekali pada Giva. Perempuan itu sudah mengabari Juan perihal pulang duluan, sebab Giva mengaku, ia sangat mudah kelelahan belakangan ini. Makanya, sekalipun ingin, Juan tak tega bila harus meminta istrinya itu untuk menemaninya lembur, seperti hari yang lalu-lalu. Ketika semua pekerjaannya telah rampung, Juan jelas bersorak girang. Ia bahkan sengaja tidak mengabari Giva kalau ia sebentar lagi sampai ke rumah dan bersiap memeluknya sepanjang malam. Menghempaskan rindu, me-recharge energinya yang sepertin
"Ayah nggak masalah kamu main-main, tapi itu dulu, bukan sekarang. Saat itu, kamu belum mempunyai istri. Tapi lihat sekarang, kamu masih sama saja!" teriak sang ayah, membuat Juan hampir ciut. Tapi, ia juga perlu meluruskan semuanya pada sang ayah. "Aku nggak melakukan itu, ayah, ibu." "Gimana kamu tahu kalau kamu saja mabuk? Kamu nggak bisa menjamin apapun saat kamu mabuk, Juan." Juan mengusap rambutnya kasar. Ia seperti kehilangan kata-kata lagi. Karena memang ... semua yang terlihat malam kemarin terlalu meyakinkan untuk disangkal. Dirinya yang tanpa mengenakan apapun selain dalaman pakaian bagian bawah, tisu magic yang tergeletak sembarangan, bungkus kondom hingga banyaknya tisu-tisu yang basah. Sial! Mengingatnya lagi membuat Juan kesal bukan main. Tapi tetap saja, Juan berani sumpah pocong bahwa ia tidak melakukan apapun yang mereka tuduhkan. "Tapi aku bener-bener nggak mengkhianati Giva, ayah!" "Beraninya kamu menyakiti menantu kesayangan ayah dan ibu," suara ibu Juan
"Kalau gue bisa kembali memutar waktu, apa yang ingin gue perbaiki? Gue nggak akan pernah ke kantin waktu gue di usir dari kelas sama Prof. Bahar. Gue akan ngumpet seharian di wc yang bau sampai kampus tutup. Karena dengan begitu, gue nggak akan pernah bertemu Alysa. Hidup Elena, hidup banyak wanita yang gue kencani, hingga hidup gue dan juga Giva, semuanya nggak akan pernah hancur seperti sekarang ini."-Juan Dirangga Moelya-*****Langit pukul dua pagi itu tiba-tiba saja menjadi kelam, mengikuti suasana hati para manusia di dalamnya. Dalam limbung, raga yang rasanya seperti tak menyentuh bumi, Giva bergerak tanpa tahu arah mana yang dituju. Beruntungnya, ia ditemani Pak Dul sehingga saat ia tanpa sadar berniat menyebrang dari pelataran hotel menuju jalan raya, Pak Dul lebih dahulu menghentikannya tepat sebelum sebuah motor berkecepatan tinggi lewat."Non, istighfar non."Giva terduduk dengan tubuh gemetar. Pak Dul, tak bisa berbuat banyak selain menunggui sang nyonya menangis seseng