แชร์

Bab 05 - Giva Hamil?

ผู้เขียน: Nanasshi
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-07-31 20:57:26

Juan itu seperti cenayang. Apa yang dikatakannya pada Giva minggu lalu, soal akan terbitnya pertanyaan 'kapan kawin?' dari keluarga perempuan itu, sialnya, benar-benar menjadi kenyataan.

Sebuah telepon di pagi hari, weekend Giva yang berharga, dering ponselnya menginterupsi. Giva malas sebenarnya. Bisa dipastikan kalau yang mengganggu waktu tidurnya pastilah Juan. Namun anehnya, setelah Giva mengabaikannya hingga dering kelima, sipenelepon tetap keras kepala. Jadilah Giva terpaksa membuka mata, melihat nama yang tertera lantas terkejut kemudian.

"Nembe tangi toh nduk?"

Dari seberang telepon sana, suara ayu milik perempuan paruh baya yang wajahnya tak kalah ayu memenuhi pendengaran Giva. Pertanyaannya sederhana, namun Giva merasa malu untuk menjawabnya.

"Hehehe iya bu."

"Nanti malam kita dinner sama-sama ya nduk."

Giva mengernyit. "Tumben, bu. Di rumah atau di luar?"

"Di rumah kitalah."

Giva mengangguk. "Sebenarnya rada curiga sih bu, tapi nggak mau suudzon dulu. Kira-kira nih ya, dinner yang dimaksud itu hanya antara aku, ibu, ayah sama Zaki atau ...." Giva menjeda kalimatnya. Berharap ibunya terdengar gugup karena rencananya ketahuan dan Giva bisa menyimpulkan. Namun anehnya terdengar anteng saja di seberang sana.

"Atau opo?"

"Atau ada maksud terselubung?"

Terdengar tawa pelan dari ibunya. Bisa Giva pastikan, meskipun tertawa, perempuan paruh baya itu tetap anggun. Sebab segala tindak tanduknya benar-benar rapi, tertata, dan mempesona.

Jelas!

Beda dengan Giva.

"Maksud opo toh nduk?"

Giva menghela napas. Cobanya disusun kalimat agar terkesan tidak menyinggung namun tetap to the point. "Perjodohan misalnya. Soalnya Juan juga begitu nasibnya. Usiaku sekarang 'kan sebentar lagi masuk 30 tahun. Kata Juan, pasti ibu juga akan ketar-ketir layaknya orang tua yang lain karena aku belum juga menikah."

"Terus?"

"Giva belum ketemu jodohnya, bu. Jodoh yang bisa menerima keadaan Giva. Ibu 'kan tahu sendiri, Giva punya kekurangan yang bahkan sudah bolak-balik ke ahli juga tetap nggak bisa disembuhkan. Menurut ibu, mana ada laki-laki yang mau menerima hal sepenting itu?"

Bisu saja di seberang sana. Giva bukannya hendak memancing rasa bersalah ibunya untuk kemudian membatalkan apapun rencana yang disusun sang ibu.

No!

Giva selalu menjadi anak yang penurut kok.

Tapi soal satu ini, Giva lebih ke arah sadar diri, begitu.

Takutnya ibunya nanti malu bila pernikahannya hanya bertahan seumur jagung. Lebih malu lagi kalau sampai alasan perpisahan itu ter-blow up ke luaran sana.

"Kalau ada laki-laki yang mau menerima keadaan kamu, nduk, menurutmu bagaimana?"

"Mana ada bu."

"Wes toh, percoyo karo ibu. Nanti kamu siap-siap ya, datang lebih awal lebih baik. Kalau ndak punya baju yang sopan, biar ibu siapkan."

Giva tertawa. "Punya dong bu."

"Yowes, ibu mau siap-siapin semuanya dulu ya."

"Nggih, bu."

Panggilan itu resmi ditutup, namun hati Giva masih berdebar-debar saja. Kepasrahannya untuk menerima keputusan paling besar dalam hidupnya itu semata-mata bukan karena ia tidak bisa melawan seperti Juan. Ia melakukan itu karena rasa cintanya pada ayah dan ibu. Tidak salah juga, 'kan mempercayakan pada pilihan ibunya ketika jelas-jelas setiap pilihan Giva, dulu, selalu gagal.

****

Rumah Giva cukup besar karena memiliki 2 lantai. Nuansa jawa yang dipadu padankan dengan modern minimalis cukup kental terasa. Menilik bagaimana ibu Giva masih mempertahankan bahasa Jawanya yang kental ketika berbicara dengan orang terdekat, menunjukkan seberapa berpengaruh setiap pemilihan properti di rumah ini.

Ayah Giva orang bule, kalau kata Juan. Dari Belanda ayah Giva berasal. Maka jangan tanya dari mana wajah cantik blasteran miliknya berasal. Meski begitu, laki-laki yang Februari kemarin berulang tahun ke 60 itu nyatanya tak kalah pandai juga berbahasa Jawa jika dibandingkan dengan ibu Giva. Walau bahasa jawanya jadi terdengar lucu karena aksen barat-nya masih terasa.

"Wes teko toh nduk?"

Suara lembut itu menginterupsi Giva yang baru saja sampai. Bergegas ia menyalami sang ibu dan memeluknya kemudian.

"Kangen ibu," ujar Giva tiba-tiba.

"Memangnya siapa yang suruh tinggal di apartemen ketika jelas-jelas punya rumah?" sindir ibunya.

Giva tertohok. Ia hanya bisa tertawa canggung ketika soal keputusannya untuk hidup mandiri kembali diungkit. Beruntung Giva punya ayah dari luar negeri sana, yang sudah pasti urusan hidup mandiri, akan didukung sepenuhnya.

"Ini sudah siap semuanya ya bu?" tanya Giva sambil matanya berpredasi ke sekeliling rumah. Di beberapa sudut, bunga segar tampak mengisi vas-vas. Belum lagi makanan yang sudah terhidang di meja, banyaknya mengalahkan acara ulang tahun Zaki tahun lalu.

"Ya sudah toh, lah wong iki wes jam sepiro," gerutu ibunya. "Disuruh datang lebih awal buat bantuin ibu malah datang mepet-mepet begini."

Giva tertawa. "Aku masih harus menyiapkan mental bu, jadi dari tadi banyak bengongnya. Seandainya ibu kasih tahu aku dari bulan lalu, mungkin aku nggak akan se-shock ini."

"Kalau ibu kasih tahu kamu dari bulan lalu, kamu pasti kabur."

Giva tertawa, ibunya tertawa.

"Sebentar lagi tamune teko. Ndang siap-siap,"perintah ibunya.

Giva hanya menurut. Ia memilih masuk ke dalam kamarnya yang sekarang kosong karena dirinya memilih tinggal di apartemen. Ruangan itu didominasi warna biru langit dengan beberapa pajangan dan foto di dalamnya. Beberapa adalah foto-fotonya waktu SMA dengan teman-teman satu kelas dan satu sekolah ketika tragedi itu belum terjadi. Sisanya – yang jauh lebih banyak– hanya foto-fotonya dengan Juan.

"Juan dulu nggak kaya sekarang," gumam Giva saat memperhatikan foto Juan di acara ospek kampus. "Dulu cupu," ujarnya seraya tertawa sendiri.

"Cupu-cupu juga gue ganteng kali, Givanya."

Suara itu familiar. Giva memejamkan mata saja sudah tahu siapa pemiliknya. Manusia yang paling menyerupai jelangkung karena sukanya datang tak dijemput, pulang tak diantar.

Sontak saja Giva berbalik. Di belakangnya, dalam jarak sepuluh meter, si laki-laki yang beberapa detik lalu ia katai cupu itu sedang bersandar pada pintu dengan kedua tangan dipangku.

"Dih sok keren," ejek Giva seraya kembali memilih fokus dengan foto-foto lamanya dibandingkan penasaran kenapa manusia satu itu tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya.

"Lo nggak tanya kenapa gue tahu lo pulang?" cecar Juan seraya mendekat. Juan tidak habis pikir bagaimana Giva itu tidak memiliki sedikitpun rasa penasaran soal dirinya. Kalau demikian 'kan harga diri Juan jadi terluka.

"Lo 'kan cs-an sama Mbok Wi dan Pak Slamet. Biasanya juga lo dapat info dari mereka."

Juan tertawa. Ia mendekat pada Giva dan merangkul pundak perempuan itu. "Lo memang manusia paling mengerti gue, Giva."

"Heh, jangan rangkul-rangkul bisa nggak, paduka raja?"

"Ow sorry. Tapi lo dandan cantik banget sih? Ada acara apa di bawah sana sampai si ibu gupek?"

Giva membalik album foto sekolahnya saat SD, memperlihatkan foto Juan dengan gigi-giginya yang tanggal.

"Lo dulu lucu banget, Juan." Giva masih tersenyum memperhatikan wajah Juan di foto tersebut. Mata yang sipit, kulit putih, pipi seperti bakpao dengan barisan gigi gerubis khas anak kecil. Juan adalah definisi menggemaskan.

"Jawab deh jangan mengalihkan topik pembicaraan."

Giva menghela napas panjang. "Gara-gara lo nih gue jadi ketulah. Gue mau dijodohin juga sama kaya lo. Eh ... omong-omong, gimana nasib perjodohan lo itu?"

"Lancar," jawab Juan enteng.

Giva mengernyit. "Lo setuju?"

"Mau nggak mau."

"Berarti lo mau nikah dong? Bisa dipastikan gue nggak akan dijajanin belanja bulanan lagi sama lo," rengek Giva dibuat-buat.

Juan tertawa. Ia menyentil dahi Giva hingga si perempuan mengaduh kesakitan. "Gue masih bisa ya beliin lo ini dan itu sekalipun gue menikah."

"Kenapa? Bini lo ngamuk dong nanti," balas Giva setengah kesal. Rasa kesalnya bukan karena ia yang akan ditinggal nikah laki-laki itu melainkan karena dahinya yang sakit akibat sentilan Juan.

"Gampanglah bisa diatur."

"Dih."

"Kalau ini juga acara perjodohan lo, berarti lo juga mau nikah dong?"

Kini Giva dan Juan sama-sama berdiri di balkon lantai dua, di depan kamar Giva. Keduanya memandang langit Jakarta yang malam ini tampak keruh. Tidak ada satu dua bintang yang bisa meromantisasi suasana dua sahabat tersebut.

"Iya, gue mau menikah."

Juan menatap Giva. "Kemarin gue ajakin lo nikah, nggak mau."

"Gue juga mau nikah tahunya baru tadi pagi. Nanti nasib gue gimana juga mana gue tahu. Gue cuma percaya dengan yang ibu bilang bahwa that man already knew my situation."

"Me too," kata Juan ngotot.

"Jadi aku punya 1 % harapan kalau suatu ketika ... mungkin orang tersebut bisa mencintaiku."

"Jadi menurut lo, kalau itu gue, bahkan 1% ini nggak akan pernah ada?"

Giva mengangguk, Juan jelas merengut.

"Lo selalu menyepelekan gue, Giva."

Giva tertawa. Entah bagaimana Juan belakangan ini memang selalu ngotot ingin menikah dengannya ketika jelas ... mereka berdua berbeda. Giva sendiri bahkan tak pernah membayangkan secuilpun dalam ingatannya, bahkan ketika ia sering memimpikan hidup dengan pangeran tampan, bahwa sosok yang akan berdiri dengannya mengikat janji suci adalah Juan.

Sejak kecil saja Juan itu sudah tertolak dari alam bawah sadar Giva.

"Nduk, ayo turun."

Di depan pintu kamarnya yang terbuka, Ibu Giva dengan kebayanya yang super rapi itu sudah berdiri. Mengajak Giva menemui calon suami yang akan merubah hidup Giva seutuhnya.

"Bye, Juan."

Giva tersenyum seraya melambaikan tangannya pada Juan dan menjauh. Meninggalkan laki-laki itu dalam ketermanguan yang rasanya aneh. Ia tidak pernah membayangkan akan menemui hari ini. Sebuah hari dimana Giva akan ia lepas untuk selamanya.

Berbeda ketika gadis itu berpacaran seperti dulu-dulu. Ia selalu masih bisa merusuhi kehidupan Giva dan bahkan mengambil alih atensi Giva agar tetap menjadikannya pemegang puncak skala prioritas dibandingkan sang pacar.

Tapi menikah?

Ia rasa tidak etis melakukannya lagi.

Menerobos ke apartemen Giva, misalnya.

Padahal ia suka berada di sana, berlama-lama di kasur Giva yang wanginya vanilla, bermain Uno saat bosan, atau bahkan memasak makanan kesukaan Giva.

Ia tidak akan bisa melakukannya lagi.

Ia tidak akan bisa membuat Giva tergesa ke apartemennya saat ia menelepon perempuan itu dan mengabarkan soal demam padanya. Ia juga tidak bisa membawa Giva mengelilingi toko-toko buku bekas kesukaannya. Terlebih membawa ke Maldives seperti yang dijanjikannya sebagai ulang tahun Giva tahun ini.

Maka Juan tiba-tiba lupa soal perjodohannya yang sudah diatur beberapa waktu lalu. Ia juga lupa soal Giva yang menolaknya mentah-mentah. Ia lupa banyak hal karena gerak refleksnya yang tak bisa dinalar oleh dirinya sendiri.

Juan setengah berlari, mengejar Giva dan ibunya yang sudah berada di anak tangga terakhir. Ketika jarak yang tersisa hanya dua-tiga langkah, Juan berhasil mencuri atensi.

Pada mereka yang ada di meja makan.

Juga Giva dan ibunya yang terkejut dan terdiam.

"Ayah, Ibu, saya mau tanggung jawab atas anak yang ada di perut Giva."

*****

to be continued

follow yuk I* author @nana.sshi_

akan ada giveaway di sana lohhhh

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • FWB (Friend with Bonus)   Bab 09 - Otak Juan Nggak Jauh Soal Daleman!

    "Kelihatannya saja kuat, tegar dan bisa bikin laki-laki K.O lewat jujitsu. Kenyataannya Givanya Nantika Soekma tetap seperti perempuan lain yang suka diam-diam nangis di toilet sambil nyalain kran."-Juan Dirangga Moelya-****Pukul enam pagi, selimut yang membungkus tubuh, juga suara rintik hujan menenangkan yang Giva putar di youtube-nya semalaman. Ia menggeliat, merenggangkan tubuh yang rasanya pegal semua. Alarm yang sudah ia setel pukul lima pada akhirnya menyerah meraung dan membiarkan perempuan itu meminta tambahan waktu satu jam.Di sini, kamar berwarna monokrom milik Juan. Aroma parfum Juan terasa menguar kuat, padahal jelas, si empunya kamar sedang berada di antah berantah.Mungkin di hotel.Mungkin juga di apartemen si perempuan.Terserah.Giva memilih bangkit, merapikan selimut lantas beranjak menuju pantry. Giva senang berada di apartemen Juan karena kulkasnya selalu penuh dengan bahan masakan. Sekalipun Juan buaya rawa, ia tetap laki-laki yang suka sekaligus pandai mema

  • FWB (Friend with Bonus)   Bab 08 - Sekali Playboy Tetaplah Playboy

    "Gue minta diantar ke apartemen gue ya Juan Dirangga Moelya, bukan ke apartemen lo."Giva berdiri di depan pintu masuk. Tangannya bersedekap, matanya memicing. Sejak sampai tadi, Giva masih enggan duduk. Kalimat yang diulangnya sama, soal Juan yang rese dan membawanya ke apartemen laki-laki itu."Nginep di sini aja deh malam ini. Apartemen lo jauh, capek nyetir." Juan dengan santai menjawab demikian sambil bergerak lincah mengambil bathrobe. "Gue mau mandi dulu. Lo kalau mau mandi, baju gantinya di lemari yang atas."Giva mengernyit. "Ngapain gue harus mandi?"Juan menghela napas. Lelah bila sedang bersama Giva si manusia paling negative thinking. "Kan siapa tahu lo gerah karena habis ngamuk-ngamuk tadi, makanya gue suruh mandi. Lo pikirannya negatif melulu ya sama gue."Giva mencebik. Memilih merebahkan diri di sofa lantas menyalakan televisi. "Soalnya manusianya lo sih, makanya gue jadi berpikiran negatif terus." "Emangnya gue kenapa?"Giva terkesiap. Bukan karena pertanyaannya, na

  • FWB (Friend with Bonus)   Bab 07 - Dikira Mobil Goyang

    Pukul sebelas malam milik Jakarta yang tak pernah tidur itu, audi rs7 sportback melaju sedang dalam sepi. Tak ada percakapan walau kepala keduanya penuh dengan tanya dan jawaban. Hanya alunan lagu dari nothing milik Bruno Major saja yang sibuk melerai aksi saling bisu keduanya."Mau cemberut sampai mana nih, nona?"Juan mengambil inisiatif untuk berkata. Ia melirik sekilas pada Giva dan tersenyum jahil khas dirinya. Si perempuan memilih abai. Pandangannya jelas bertumpu pada luar jendela mobil. Enggan kalau harus melihat Juan."Beneran marah ya?"Juan menepikan mobil mereka entah di mana. Jalanannya cukup lengang, hanya dibagian trotoar kiri, seorang penjaja nasi goreng menunggu pelanggan sampai mengantuk."Marahnya lama banget," komentar Juan lagi setelah mobil mereka berhenti. Ditatapnya Giva dengan perasaan serba salah. Ia mau bermimik serius dan meminta maaf, namun melewatkan momen ini tanpa menggoda Giva juga tak bisa Juan lakukan.Sebab hobi Juan sejak kecil memanglah mengganggu

  • FWB (Friend with Bonus)   Bab 06 - Kejutan Demi Kejutan

    "Menikahi Giva bukan lagi sesuatu yang harus diperdebatkan. Sekalipun berisik, dia cukup cantik untuk diajak kondangan, cukup pintar untuk diajak meeting dengan klien, cukup santun dan menyenangkan untuk jadi menantu ibu dan dibawa-bawa arisan."-Juan Dirangga Moelya-*****"Hamil?"Satu kata dari mulut sang calon besan yang mengudara itu menimbulkan sunyi yang tiba-tiba. Ruangan yang sebelumnya riuh dengan kehangatan saling sapa dua keluarga, mendadak bergeming dengan penuh tanya. Pandangan jelas terhunus pada perut Giva, laki-laki bernama Juan yang bermulut lancang, juga si calon tunangan yang malam itu sudah berdandan rapi dengan kacamata tebal."Koe hamil toh nduk?" Pertanyaan yang sama akhirnya terlontar dari mulut sang ibu. Dibanding rasa marah, di balik tanya tersebut, justru terselip harap bahwa yang didengarnya adalah kesungguhan. Satu pertanda bahwa mungkin trauma anaknya sudah benar-benar menghilang.Giva bingung. Ia menatap Juan, ibunya, ayahnya, bahkan wajah-wajah asing

  • FWB (Friend with Bonus)   Bab 05 - Giva Hamil?

    Juan itu seperti cenayang. Apa yang dikatakannya pada Giva minggu lalu, soal akan terbitnya pertanyaan 'kapan kawin?' dari keluarga perempuan itu, sialnya, benar-benar menjadi kenyataan.Sebuah telepon di pagi hari, weekend Giva yang berharga, dering ponselnya menginterupsi. Giva malas sebenarnya. Bisa dipastikan kalau yang mengganggu waktu tidurnya pastilah Juan. Namun anehnya, setelah Giva mengabaikannya hingga dering kelima, sipenelepon tetap keras kepala. Jadilah Giva terpaksa membuka mata, melihat nama yang tertera lantas terkejut kemudian."Nembe tangi toh nduk?"Dari seberang telepon sana, suara ayu milik perempuan paruh baya yang wajahnya tak kalah ayu memenuhi pendengaran Giva. Pertanyaannya sederhana, namun Giva merasa malu untuk menjawabnya."Hehehe iya bu.""Nanti malam kita dinner sama-sama ya nduk."Giva mengernyit. "Tumben, bu. Di rumah atau di luar?""Di rumah kitalah."Giva mengangguk. "Sebenarnya rada curiga sih bu, tapi nggak mau suudzon dulu. Kira-kira nih ya, dinn

  • FWB (Friend with Bonus)   Bab 04 - Usul Gila Juan

    "Andai di bumi ini hanya tersisa satu laki-laki dan itu Juan, maka gue memilih menjadi amoeba yang membelah diri."-Givanya Nantika Soekma-*****Namanya Juan Dirangga Moelya dengan garis keturunan darah biru dari ibunya yang seorang klan Wiratmojo. Ayahnya mungkin bukan turunan keraton, namun kesuksesannya di dunia bisnis telah mengantarkan namanya menjadi salah satu orang berpengaruh di dunia bisnis Indonesia. Dengan memiliki lebih dari sepuluh jenis usaha yang berada dinaungan Kita Moelya's Company, Juan hidup dengan seluruh kemewahan sejak ia baru bisa bersuara oek-oek.Juan punya kakak perempuan yang galaknya sama seperti Giva. Namanya Nadine Dirana Moelya. Usianya 5 tahun lebih tua dibandingkan Juan. Kebetulan ia sudah menikah dengan salah satu pengusaha kaya raya asal Brunei Darussalam yang emasnya saking terlalu banyak sampai ditempel di wc. Kalau kata Juan, kakak iparnya bahkan lap keringat juga memakai lembaran duit dolar.Hidup Juan itu impian banyak orang. Selain dianugera

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status