"Juan, please ...," lirih Giva, di sudut ruangan, merintih dengan air mata luruh yang riuh. Ia menatap Juan yang sedang mendapatkan pertolongan karena tiba-tiba saja mengalami masa kritis lagi. "Juan ... maaf, karena aku terus keras kepala dan hanya ingin peduli pada diriku sendiri. Juan maaf ... karena nggak pernah memberikan kamu kesempatan. Juan ... aku sayang sama kamu, please, come back to us. Kita semua sayang kamu, aku juga, aku juga sayang kamu. Jangan tinggalin aku, Juan." Kata-kata itu membuat siapapun yang ada di ruangan -termasuk dokter dan perawat- merasa ikut sakit mendengarnya. Melolong memohon pada takdir, seorang Givanya Nantika Soekma, agar berkenan menghentikan mati merenggut suaminya. Ketika ia belum berbaikan. Ketika ia belum mengatakan cinta. Ketika ia belum meminta maaf. "Kata kamu, satu permintaan sebagai ganti permen itu, akan kamu gunakan suatu saat nanti. Jadi bangun, apapun yang kamu minta, aku akan kabulin semuanya, Juan, ayo ... bangun. Ayo kita hid
"Sejak dulu, aku benci melihat bendera kuning di depan rumah-rumah orang. Sebab biasanya, itu tanda bahwa dunia seseorang sedang hancur di sana. Tapi ... aku kadang lupa diri. Bahwasanya, bendera kuning mungkin bukan hanya kepunyaan mereka dan keluarganya, tapi bisa menghampiri aku dan keluargaku kapan saja." -Givanya Nantika Soekma- **** Seseorang mengatakan bahwa regretting the past is like chasing after the wind. Hal itu berarti bahwa segala yang sudah terlewat sangat tidak mungkin diulang sehingga menyesalinya hanya akan menjadi kesia-siaan. Giva sadar itu. Ia dan penyesalannya kini adalah menyatu dengan diri. Dalam pandangan mata yang nanar di balik kaca yang memisahkan itu, hasil dari keras kepalanya ada di sana. Juan terkapar tak berdaya. Ibu Juan bilang bahwa itu bukan salah Giva. Tapi bagi Giva, ada andil dirinya di sana. Giva mengusap air matanya yang luruh. Merutuk dalam hati perihal ia yang sudah berkepala batu. Ketika Juan sudah berulang-ulang menjelaskan tentang k
"Tapi kamu eruh toh lek Juan ki dijebak Alysa?" Giva mengangguk. "Lah kenapa masih belum bisa maafin Juan?" "Seandainya dia ngabarin aku kalau mau ketemu Alysa, seandainya dia nggak matiin ponsel, seandainya dia nggak diam-diam buat ketemu perempuan itu ... nggak akan ada celah bagi Alysa untuk bikin semua kebohongan ini, bu." Ibu Giva menghela napas panjang. Ia tidak bisa menyalahkan rasa sakit putrinya akibat kelalaian dan kebohongan Juan. Namun melihat sang menantu sama hancurnya, ibu Giva jadi sama dilanda sedih juga. Tak perlu diragukan lagi, setelah usahanya untuk menemukan Giva di Belanda dengan kakinya sendiri tanpa bantuan siapapun, rasa cinta Juan tentu dipenuhi kesungguhan. "Jadi Juan setuju untuk berpisah, nduk?" Giva mengangguk. Ia tak sanggup menjawab dengan suaranya. Terlalu menyakitkan untuk melangkah menuju rangan hijau dan mengakhiri pernikahan. Tapi ... rasa sakit di hatinya juga masih terasa basah untuk ia memilih lupa dan melanjutkan pernikahannya. "Rencan
"Kita tidak pernah tahu bahwa waktu yang dimiliki satu sama lain ternyata ada batasnya. Makanya, karena ketidaktahuan itu, sering kali kita egois dan abai. Lalu saat datang kata bernama 'perpisahan' ... kita akan menyesal. Karena saat itu, satu-satunya dunia yang kita punya akhirnya hancur." -Givanya Nantika Soekma- **** Dulu sekali, saat ia masih duduk di bangku SMP, Giva pernah mendapatkan sebuah surat tanpa nama. Surat itu isinya soal pernyataan cinta yang kalau diingat sekarang pasti membuat Giva merinding karena terlalu cringe. Tapi saat itu, ketika ia juga hanya seorang anak baru gede yang lagi senang-senangnya dapat bunga perhatian, Giva luar biasa senang. Sebetulnya, dengan paras yang rupawan semacam Giva, ia harusnya sudah memiliki jutaan surat cinta. Namun karena kedekatannya dengan Juan, membuat banyak anak-anak lain berasumsi bahwa Juan adalah pacar Givanya Nantika Soekma. Itulah mengapa, saat ada satu surat tanpa nama yang menghampirinya suatu pagi di dalam lokernya,
Juan berlutut di hadapan Giva. Ia tidak bermaksud untuk memohon pengampunan lagi ketika jelas Giva tak akan pernah memberi. Kini, yang dilakukan Juan adalah karena tendensi lain. Sesuatu yang sejak pertemuan mereka lagi menyita tanya meski terpendam hingga dasarnya. Ia tak mau menjadi manusia tak tahu diri dengan bersikeras akan sesuatu yang disangkal oleh Giva. Gadis kecil dalam strooller. "Tapi aku mohon, Givanya Nantika Soekma, izinkan aku bertemu dengan anakku sekali saja. Betapa aku ingin menggendongnya walau hanya sekali saja." Perkataan Juan jelas mengejutkan Giva. Seingatnya, sejak awal, Juan terlihat tak tertarik dengan bayi kecil yang ada dalam stroller. Bahkan ketika laki-laki itu jelas melihat bagaimana wajah dirinya tercermin dengan sempurna pada anak kecil itu, Juan sepertinya tak menyadari atau mungkin memang tak peduli. Iya sih, Juan tadi sempat membahasnya dan Giva menyangkal. Sepertinya Giva mulai tak objektif karena rasa kesalnya. "Anak siapa?" tanya Giva deng
"Do you ever look at your child and start smiling? Not because your child did something amazing, just smiling because you realize how blessed you really are."-Nadine Dirana Moelya-*****Setelah Alysa meninggalkannya, setelah lamaran memalukan di waktu wisuda, pun setelah pesan yang dikirimkan perempuan itu tiga tahun kemudian soal berhenti menumpuk harapan, Juan tidak pernah lagi menjadi dirinya. Ia berubah secara ugal-ugalan karena rasa sakit yang dialaminya. Mengisi kesakitan tersebut dengan sasaran yang salah, membabi buta tak tentu arah.Ia punya pesona, tentu Juan tahu akan hal itu. Ia memanfaatkan dirinya untuk menjelajah dari satu wanita ke wanita lain. Bukan hanya karena memang ia suka melakukan itu, tapi karena memang hatinya yang hampa menuntut itu.Ada yang menangis mengiba saat Juan meminta putus. Pun ada yang menampar pipinya, menyiram wajahnya dengan segelas red wine saat mereka makan malam dan berpisah. Juan mengalami yang terburuk dengan didatangi preman yang dIsewa