Arkan tersenyum. "Ceritanya sangat panjang. Ayo, turun. Aku tidak punya banyak waktu." Keluar dari gunung, mereka yang biasanya berbeda arah, kali ini Rian berniat untuk menumpang. Arkan tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka berpisah saat Rian sampai di tujuan. Di sana terdapat sebuah pasar kecil yang menjual banyak barang dan bahan makanan. Orang-orang di sana menyebutnya sebagai pasar tradisional. Rian menutup pintu kabin, lalu dia berkata, "Istriku menginginkan sesuatu dari pasar ini. Jadi, aku akan pergi membelinya." "Hari-harimu sebagai ayah pasti sangat sulit." Rian tersenyum. "Sulit dan menyenangkan. Ah! Jika kau mendaki gunung, untuk selanjutnya mungkin kau tidak akan melihatku. Aku harus menemani istriku mengurus bayi kecil kami." Arkan menganggukkan kepala. "Apa kau yakin akan pulang sendiri dari sini? Aku bisa mengantarkanmu." "Terima kasih. Tapi tidak perlu. Aku akan lama di pasar," ucap Rian sambil terus melangkah mundur. Dia melambaikan tangan sebelum membalikkan b
Pertanyaan yang begitu mendadak membuat Lunar terdiam lama. Dia jadi memikirkan apa yang terjadi padanya di luar negeri. Selama menjauh dari Arkan, dia sempat menjalin hubungan dengan beberapa orang pria. Tidak ada yang bertahan lama karena memang dia hanya menerima tanpa bisa memberikan hatinya. "Apa pernikahanmu dengan Raya berjalan lancar?" Arkan masih belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan tadi, tetapi dia memilih untuk tidak terburu-buru. "Kami tidak menikah. Aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami sebelum terlambat. Kalau kau menanyakan alasannya, karena aku menyadari perasaan yang aku miliki padamu. Memang sangat terlambat dan aku sudah bertekad untuk menyatakan perasaanku padamu suatu hari nanti." Lunar mengambil gelas dingin yang ada di atas meja, lalu menghirup isinya. Saat ini dia berpikir lama mengenai bagaimana harus menghadapi Arkan. Apalagi secara tidak langsung dia menerima pernyataan cinta dari pria yang menjadi suaminya dulu. "Bagaimana denganmu? Kau bena
Lunar menyeka keringatnya dengan tisu, sedangkan penampilannya masih berantakan akibat ulah Arkan yang tidak main-main ingin memuaskannya di dalam mobil. Bukan berarti dia tidak ingin, tetapi dia tidak habis pikir mereka akan melakukannya secepat itu sesaat dia menerima Arkan. Arkan tersenyum melihat istrinya tampak kewalahan. "Aku tidak bisa menahan diri. Selama kau pergi hanya bayanganmu saja yang menemaniku. Saat pertama kali kita bertemu lagi, aku sangat ingin mendekapmu dalam waktu lama, tapi kau pergi meninggalkanku begitu saja. Tentu ini bukan salahmu." Arkan meraih tangan istrinya, lalu mengecupnya, "Semua murni kesalahanku yang terlambat menyadari kalau aku begitu mencintaimu." "Sejak kapan kau menyadarinya?" Arkan mengusap kepalanya sendiri seolah mencoba mengingat saat-saat itu kembali. "Sejak kau mengatakan bahwa pernikahan kita tidak berlangsung lama lagi. Semua terasa janggal pada saat itu. Aku juga memiliki ketakutan bahwa kau akan hidup bersama pria lain dan melupak
Arkan memegang teguh janjinya untuk tidak menyentuh Lunar. Dia sangat serius pada hubungan mereka dan tidak ingin orangtua Lunar kecewa lagi padanya. Berkat kesulitan untuk mendapatkan Lunar kembali, dia baru sadar kini arti cinta sesungguhnya. Bersama Raya dia tidak ingin menyentuh wanita itu sebagai bentuk perlindungannya, tetapi pada Lunar merangkap semua hal. Dia menginginkan waktu bersama Lunar, ingin melindunginya seumur hidup, bahkan mengarungi kehidupan sampai akhir hayat. Jadi, ini yang namanya cinta sejati? Arkan terkejut ketika Lunar tiba-tiba mengecup pipinya. Dia menoleh dan pada saat itu terjadi, Lunar melingkarkan tangan di lehernya, lalu menempelkan bibir mereka. Dia sempat terbuai dengan ciuman Lunar yang semakin dalam, tetapi saat sadar kalau saat ini mereka sedang ada di depan rumah Lunar membuat dia ingin menghentikan ciuman itu segera. "Lunar ..," lirih Arkan, mendorong wanita itu. Lunar terpaksa menghentikan ciumannya, ekspresinya tampak tidak senang. Meskipu
Lunar sangat senang dan langsung bersemangat mendengar ucapan Arkan. Dia memang menantikan mereka menghabiskan waktu bersama setelah terakhir kali terjadi di basemen perusahaan. Sudah cukup lama dan dia sebagai wanita bersuami tentu juga memiliki hasrat yang sewaktu-waktu tidak dapat dibendung. Namun, dia baru ingat soal sesuatu yaitu pakaian dalamnya. Dia tidak mempersiapkan apa-apa untuk itu. Apakah dia mengenakan pakaian dalam yang sama atau tidak? Arkan memajukan langkah, kemudian memeluk pinggang Lunar. Dia menatap istrinya itu dari jarak yang dekat dan penuh akan gejolak hasrat, sedangkan Lunar gelisah memikirkan soal pakaian dalamnya sama atau tidak. "Kau tetap tinggal, bukan?" bisik Arkan. Tepat saat Arkan hendak menciumnya, Lunar langsung mendorong diri dan berkata, "T—tunggu sebentar. Aku perlu ke kamar kecil." Arkan tersenyum. "Baiklah. Aku akan menunggumu." Lunar bergegas ke kamar kecil dan memeriksa pakaian dalamnya. Dia sangat menyayangkan kalau dirinya tidak memper
Sora mengerutkan dahi memandangi adiknya, tersenyum tanpa ada yang lucu. Lunar sudah terlihat seperti itu sejak pulang ke rumah. Sebelumnya dia yakin Lunar tidak dalam kondisi yang bagus suasana hatinya. Sora berdeham. "Kalian jadi melakukannya?" Lunar melebarkan mata, langsung menutup mulut kakaknya itu. Sementara ibu mereka menatap dengan bingung. Bisa-bisanya Sora menanyakan hal yang sangat ingin dirahasiakan itu di depan orangtua mereka! "Melakukan apa?" tanya sang ibu. "Itu ...." Sora menyingkirkan tangan Lunar dari mulutnya, dengan cepat berkata, "Lunar dan Arkan—" Kali ini Lunar sudah habis kesabarannya. Dia membekap mulut Sora sekuat tenaga. "Arkan?" Sora berusaha bersuara, tetapi ucapannya tidak jelas. Ibu mereka menjadi lebih bingung saat berusaha menerima pesan informasi dari Sora. "Lepaskan kakakmu!" Lunar terpaksa melepaskan, di samping itu dia menatap Sora dengan tajam. Dia tidak bisa membiarkan ibunya tahu soal hal privasi itu. "Ada yang kalian sembunyikan?"
Lunar terbengong menatap Arkan pergi begitu saja darinya. Dia belum mendapatkan jawaban apa-apa, lalu ke mana Arkan akan pergi? Arkan yang dikhawatirkan itu pergi menuju keluarga Lunar. Dia menghadapi mereka dengan muka serius. Semuanya terkejut ketika Arkan menundukkan kepala dalam-dalam. Siapa yang mengira kalau orang yang seharusnya dihormati kini justru menunjukkan kerendahannya? "Izinkan saya membawa Lunar. Saya memang pernah menjadi orang yang sangat mengecewakan, tapi perkenankan saya memperbaikinya dan menjadi orang yang lebih baik lagi bersama Lunar." Ayahnya Lunar sempat tegang tadinya, kemudian mendengar ungkapan perasaan Arkan dan sikap serius itu membuat hatinya melunak. Dia memiliki kekhawatiran sebagai orangtua, tetapi membiarkan Lunar menjalani kehidupan di luar sana dengan mandiri tentu menjadi hak bagi putrinya. "Bawalah dia dan bahagiakan dia. Satu hal yang harus kau ingat bahwa kami menitipkannya padamu, itu berarti kami juga memercayaimu. Jangan khianati keperc
Lunar dan Arkan tidur sambil berpelukan, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka tidak ingin waktu cepat berlalu, jadi tetap di posisi itu dalam waktu lama. Lunar merapatkan tubuhnya pada sang suami. Debaran jantung Arkan sama kencangnya. Hal itu membuat dia penasaran soal pembicaraan mereka sebelumnya. Dia pun mendongakkan kepala, menatap dagu Arkan yang diselimuti oleh bulu-bulu halus yang nyaris tidak jelas jika tidak dipandangi dari dekat. "Kau berkata kalau dirimu cemburu saat aku bersama Rian, lalu bagaimana sebelumnya dengan Nico? Kau tidak cemburu?" Arkan bergeser agar bisa memandangi Lunar dan berkata, "Ketimbang cemburu, aku lebih merasa kesal. Nico sudah mengkhianatimu dan memperlakukanmu dengan buruk, tapi kalian justru jalan bersama seperti pasangan kekasih. Aku hanya tidak ingin kau berakhir hidup bersama pria sepertinya." Lunar merasa hangat akan perhatian itu, dorongan hati menariknya untuk mencium dagu Arkan. Mereka saling menatap dengan penuh kasih sayang, l