Share

Bab 2 - Penyesalan

Penyesalan

Acara pernikahan dadakan itu akhirnya selesai sudah. Lily melihat kedua orang tuanya masih berbincang dengan (mungkin) kedua orang tua pria yang duduk di sampingnya, yang sekarang sudah sah menjadi suaminya.

Lily mengangkat tangan kanannya melambaikan ke kanan dan kiri, dengan maksud orangtuanya akan melihat ke arahnya. Namun sayang, nasib Lily benar-benar sedang tidak mujur. Mereka sama sekali tidak mengindahkan lambaian tangannya.

Ia lalu berdiri dari duduknya hendak menghampiri kedua orangtuanya, tapi tangan kekar milik pria di sampingnya memegang pergelangan tangan kirinya.

"Mau kemana?" tanyanya dingin memandang wajah Lily dengan tatapan angkuh, lalu mengalihkan ke arah yang lain.

"Ke sana," jawab Lily sambil mengarahkan jari telunjuk ke tempat orang tuanya berada. 

"Tidak usah. Masih banyak tamu yang ingin memberikan ucapan dan doa untuk kita," ujar pria itu dengan tanpa melihat ke arah Lily sedikitpun. Tangannyapun masih memegang erat tangan Lily.

Lily menghela nafas panjang. Menyemangati dirinya untuk tetap bersabar. Ia menarik nafas panjang dan membuangnya pelan. Malangnya nasib Lily yang tiba-tiba menikah dengan orang asing yang sama sekali tidak dikenalnya, dan sepertinya  pria itupun terpaksa menikahinya.  

 

Setelah acara resepsi selesai, Lily bersiap masuk ke dalam kamar, yang entah kamar siapa. Namun sebelum itu, ia ingin menanyakan sesuatu pada kedua orangtuanya mengenai semua ini. Ketika ia melihat sang mama sedang duduk sendirian  di salah satu kursi tamu,  Lily  dengan langkah tergesa menghampiri perermpuan cantik itu. 

" Mama," panggilnya dengan suara setengah berteriak. Perempuan yang dipanggilnya mama itu menoleh ke arahnya. 

"Sayang," ucap mamanya merentangkan tangannya lalu memeluk dan mengelus punggung putrinya.

 

"Maafkan mama sayang, mama terpaksa menyetujui ini..bila tidak, orang tua keras kepala itu akan bunuh diri di depan mama dan papa," terang mamanya dengan nada sendu dan terselip rasa bersalah di dalamnya.

Lily terkejut. Lagi-lagi dengan alasan yang sama, orangtua itu, lebih tepatnya kakek tua, menggunakan ancaman agar bisa menikahkan dirinya dengan salah satu cucunya.

"Jadi mama juga diancam?" tanya Lily tidak habis pikir.

"Iya sayang, kemarin pagi kakek tua itu mendatangi mama dan papa kamu sambil mengangkat-angkat tangannya yang menggenggam belati."

Lily  menghembuskan nafasnya dengan kasar. Rasa penasaran karena belum menemukan alasan dibalik  terjadinya pernikahan yang sama sekali tidak ia inginkan ini, membuat dirinya enggan beranjak dari tempatnya berdiri.

Tiba-tiba pinggangnya dipeluk seseorang dari belakang, yang kemudian berpindah  berdiri di sebelah kanannya, masih dengan memeluk pinggang rampingnya hanya dengan satu tangan. Laki-laki itu menunduk hormat di hadapan mama Lily.

Mama Lily tersenyum senang.

"Tolong dijaga dengan baik ya anak tante ini. Meski dia cerewet tapi aslinya dia anak baik dan penurut," pesan mamanya Lily.

"Iya tante, InsyaAllah Juna akan mengingat pesan tante," jawabnya.

"Ehm, sekarang apa boleh Lily saya ajak untuk beristirahat dan makan dulu, karena dari tadi kami berdua belum makan," ujarnya sopan.

"Oh boleh, tentu boleh sekali. Lily, ingat jadi istri yang baik. Ingat selalu pesan mama dan papamu," ucap mama Lily. Lily mengangguk tak berdaya.

Ia, dengan langkah berat, mengikuti langkah kaki lebar laki-laki yang tadi ia dengar menyebutkan namanya sebagai Juna.

Mereka akhirnya tiba di kamar tempat Lily dirias tadi pagi. Kamar yang sama namun kini sudah dihias sedemikian cantik dengan warna perpaduan putih dan pink. Lily berdecak kagum, ia memandangi dengan takjub, sejenak melupakan kelelahan yang dirasakan tubuhnya saat ini.

Sosok laki-laki yang ada di sampingnya, yang sedari tadi masih memegangi pergelangan tangannya,  membuatnya kembali sadar, karena  menyentilkan jari telunjuknya di kening Lily.  

"Aaah, sakiiit," protes Lily, mengaduh sendiri, sedang laki-laki itu justru melenggang santai ke kamar mandi, meninggalkan Lily.

Melihat kepergian suami barunya, Lily menggunakan kesempatan yang ada untuk melepas kebayanya dengan cepat, menggantinya dengan memakai daster rumahan berbahan rayon yang adem. Ia mulai melepaskan rangkaian melati yang menghiasi sanggulnya,  lalu pelan-pelan melepas sanggul yang masih terpasang di kepalanya. Beruntung dirinya bekerja di butik baju pengantin, sehingga sedikit paham mengenai cara memasang dan melepas sanggul pengantin. 

Lily meletakkan sanggul beserta aksesoris yang tadi melekat di tubuh dan rambutnya, ke dalam kotak khusus yang sudah disediakan perias pengantin.

Saat ia sedang berkonsentrasi melepas kucir rambut agar ia bisa menggerai rambutnya yang lurus, Juna melangkah keluar dari kamar mandi, hanya menggunakan handuk yang ia lilitkan di pinggangnya dan berjalan menuju lemari pakaian, mengambil kaos dan celana ganti  lalu berjalan  kembali masuk ke dalam kamar mandi. Juna terkesiap saat melihat Lily menggerai rambutnya yang hanya sebatas bahu. Langkahnya terhenti sejenak.

"Tolong dong jangan melihat seperti itu. Risih tau," ucap Lily yang merasakan tatapan tak berkedip Juna. Juna mendengus sebal. Rasa kagum yang sempat menyapanya urung ia pelihara, langsung ia usir jauh dari hati dan pikirannya. Ia tidak menyangka bila gadis yang berada di kamarnya saat ini  ternyata ketus juga bila bertutur kata. Dasar gadis standar. Baru juga dilirik seperti itu sudah merasa melayang-layang di atas awan. Pantas saja bila ia menerima tawaran untuk dijadikan cucu menantu kakeknya. Kelihatan kalau belum laku, monolog Juna dalam hati, berjalan kembali ke kamar mandi.

Lily yang menunggu giliran mandi, duduk di depan meja rias dan mulai membersihkan wajahnya dari make up tebal yang seharian menempel erat di wajah imutnya. Masih terbayang kejadian kemarin di butik tempatnya bekerja. Wajah kakek renta yang kala itu terlihat sombong, berteriak dengan suara keras. Akan seperti apa pernikahannya nanti? Apakah dirinya perlu membuat perjanjian pasca nikah mengingat mereka menikah tanpa ada rasa cinta di antara mereka selain keterpaksaan? Bagaimana dengan karirnya ? Apakah pria itu akan bersikap baik padanya atau malah menindasnya?

Juna akhirnya keluar juga dari kamar mandi. Ia berjalan ke meja rias untuk mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya yang basah. Melihat pria itu datang mendekat ke arahnya, Lily beranjak berdiri dari duduknya dan berjalan ke kamar mandi dengan cepat, ingin segera menghilangkan rasa lengket yang mendera badannya.

Tidak ada percakapan atau saling sapa diantara keduanya. Junapun melakukan segalanya dalam diam. Pikirannya melayang mencari sosok Baskara yang saat ini berada entah dimana. Penyesalan menyergapnya. Berulang ia mengatakan bahwa seharusnya Baskara yang berada di kamar ini, bukan dirinya. Baskara yang seharusnya memenuhi permintaan kakek bukan dirinya. Mengapa saat itu ia tidak ikut-ikutan Baskara, pergi menghilang sehingga dirinya tidak perlu terjebak dalam pernikahan semu yang entah bagaimana ia nanti menjalaninya.

Gadis yang saat ini sedang berada di dalam kamar mandipun, tampak terpaksa menjalani pernikahan ini. Sama seperti dirinya. Ah, kakek. Apa yang membuat kakeknya memilihkan gadis itu sebagai cucu menantunya? Mengapa tidak membiarkan dirinya dan Baskara mencari sendiri pendamping hidup mereka? Apa lebihnya gadis standar itu? Juna berpikir dalam diam. 

Ia sendiri tipikal anak yang penurut, berbeda dengan Baskara yang lebih cuek. Juna lebih tidak bisa mengabaikan permintaan orang-orang di dekatnya, meski dirinya tidak suka sedikitipun, ia akan memilih untuk berkorban asalkan ia bisa melihat keluarganya akur dan bahagia, mengesampingkan kebahagiaannya sendiri.  Sama seperti kali ini, terlebih lagi ini adalah permintaan sang kakek  yang divonis oleh dokter hanya memiliki sisa umur dua bulan lagi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status