Share

Bab 3 - Flashback

Flashback

Juna teringat 2 minggu yang lalu. Hari Rabu tepatnya. Saat itu dirinya baru saja tiba dari kantor. Ketika ia berjalan memasuki rumah, terdengar suara kakek yang ia lihat sedang  berteriak-teriak pada kedua orang tuanya yang duduk di seberang kursi tempat kakeknya duduk. Keduanya menunduk pasrah.

Teriakan kakek berhenti ketika melihat Juna berjalan ke arahnya hendak memberi salam. Belum juga lama  berhenti berteriak-teriak, pria tua itu kembali berbicara dengan nada keras dan kencang.

"Nih dia calonnya sudah datang satu. Yang satunya mana?" tanyanya sambil melihat ke segala arah, mencari satu lagi cucunya yang bernama Baskara.  Namun yang dicari belum juga muncul batang hidungnya.

Juna mendudukkan dirinya di kursi sebelah sang kakek. Sambil melonggarkan ikatan dasinya,  Juna menanyakan sebab si kakek berteriak-teriak ala tarzan di hutan. Tidak memberi jawaban atas pertanyaan yang diajukan Juna, kakek tua itu justru balik bertanya.

"Kamu, umur berapa? Udah 40 kan?" tanya Kakek sambil menebak yang dijawab sendiri dengan jawaban setengah memaksa.

"Enak aja 40, masih muda kek,"  jawab Juna tidak terima mendengar jawaban asal dari bibir sang kakek.

"Nah, kalau masih muda kenapa nggak nikah-nikah?"  tanya kakek yang langsung menghujam jantung Juna, dan membuat pria itu kelabakan hingga terbatuk-batuk panjang.

Ini orang tua kenapa sih mendadak membahas soal nikah-nikah begini, umpat Juna seraya melempar pandangannya kearah kedua orangtuanya yang hanya mengedikkan kedua bahu mereka ketika netra mereka bertemu.

"Kenapa diam? Nggak bisa jawab kan?"ujar sang kakek lagi menatap tajam cucu sulungnya itu.

"Kakek sebenarnya ada urusan apa kemari? Mau minta dianter kemana? Biar Juna temani," jawab Juna dengan nada selembut mungkin, mencoba bersabar  menghadapi sang kakek yang kadang memang susah dimengerti keinginannya.

"Kakek ingin kamu atau Baskara menìkah dengan gadis pilihan kakek," jawab pria tua itu tegas, tidak menerima penolakan. Mendengar perkataan sang kakek, Juna memejamkan matanya dan mengetuk-ketukkan jari jemarinya di kursi yang ia duduki. Kakeknya ini suka sekali memaksakan kehendaknya. Untuk permintaan yang baru saja diucapkan, Juna tidak dapat menerimanya. Menurutnya, memilih pasangan adalah haknya, tidak ada seorangpun yang boleh ikut campur termasuk juga kakeknya.

"Kalau itu, maaf Juna tidak bisa, Kek," jawab Juna tegas, menatap sang kakek. 

"Baskara juga tidak  bisa, Kek." Tiba-tiba seorang pemuda sepantaran Juna muncul dari teras. Semua mata memandang ke arah lelaki muda itu.

"Kalian memang cucu yang tidak berbakti!" Pria tua renta itu kembali murka. Ia memandang kecewa kedua cucunya. Kedua cucu yang sangat ia sayangi, hingga dirinya tidak rela bila kelak smendapatkan gadis yang tidak sepadan dengan mereka. 

"Baiklah, jika kalian tidak mau mengikuti keinginanku, aku lebih memilih mati ketimbang melihat cucu-cucu tidak berbakti seperti kalian!" ujar pria tua itu kecewa, berjalan  meninggalkan ruang keluarga menuju ke luar rumah.

Namun, tak lama berselang, semua orang menjadi panik. Kakek tua itu terjatuh setelah  berjalan  beberapa langkah  meninggalkan ruang keluarga. Juna langsung menghubungi dokter pribadi mereka, sedangkan Baskara menggendong tubuh renta itu  dan membawanya ke kamar tamu. Amelia sibuk membalurkan kaki-kaki tua itu dengan minyak kayu putih. Rahman sang menantu mondar-mandir di ruang tamu, menunggu kedatangan Dokter  Budi, yang telah dihubungi oleh Juna. Kepanikan yang jarang terjadi di rumah besar ini.

Dokter Budi turun dari motornya dengan tergesa-gesa. Tanpa bertanya ia langsung masuk ke kamar tamu, karena hanya kamar itu yang pintunya terbuka lebar. Ia langsung memeriksa denyut nadi pak tua. Kepalanya ia gelengkan ke kanan dan ke kiri menunjukkan sesuatu yang tidak bagus sedang terjadi, seraya terus menempelkan stetoskopnya di dada sang pria renta yang tergolek lemah. 

Semua yang berada di ruangan itu  menahan nafas melihat perubahan ekspresi pada wajah dokter bersosok tambun yang merupakan teman nongkrong sang kakek. Meskipun lelaki tua itu sangat menjengkelkan, tetapi mereka belum siap untuk kehilangan sosok tua itu untuk saat sekarang.

Dokter Budi lalu memasangkan selang infus yang sudah ia persiapkan sebelumnya, lalu ia mengajak semua yang ada di ruangan untuk berkumpul di ruang tamu.

"Jadi begini," Dokter Budi membetulkan letak kacamatanya dan  mulai membuka pembicaraan ketika semua sudah duduk di kursi masing-masing, 

"Kondisi Pak Broto sudah sangat lemah, penyakit jantungnya sudah sedemikian parah sehingga umur beliau mungkin tidak akan lama," jelas pria berkaca mata dan bertubuh tambun itu.

Semua orang terperanjat, tidak percaya dengan penuturan yang baru saja disampaikan sang dokter pribadi keluarga. Kakek tampak sehat-sehat saja selama ini. Tidak tampak bila beliau sedang mengalami atau menderita sakit serius terlebih penyakit jantung. Tubuh kakek itu juga kecil, dan sangat lincah bila dibandingkan dengan lansia seumurannya.

"Jadi, saran saya, bila ada keinginan beliau yang belum kalian turuti, mungkin, selagi masih ada waktu, bisa kalian pertimbangkan lagi," ujarnya sambil memasukkan kembali stetoskop dan perlengkapan pemeriksaan lainnya, berdiri dari duduknya dan melangkah meninggalkan rumah diikuti papa Juna. 

Rahman mengantar kepergian Dokter Budi hingga sosok dokter tambun itu menghilang dari pandangan. Ia kemudian kembali masuk ke kamar tempat mertuanya berbaring mengamati wajah keriput itu yang terlelap dengan nafas tertarik teratur. Apa sebenarnya motif ayah mertuanya ini, hingga sangat ingin menjodohkan anak-anaknya, Juna dan Baskara,  dengan gadis pilihannya.

Juna dan Baskara berdiam diri. Mereka sibuk dengan pikiran yang berputar-putar dalam otak mereka masing-masing. Juna dan Baskara, memilik dua sifat yang berbeda. Juna lebih rela berkorban untuk kepentingan keluarganya, ketimbang Baskara yang masih mementingkan kepentingannya sendiri. Sifat sebagai sulung yang  ingin melindungi dan membuat nyaman orang-orang yang dekat dengannya lebih mendominasi Juna dibandingkan kesenangannya sendiri.

Di sisi Baskara, ia lebih mengutamakan perasaan dan kenyamanan dirinya tanpa mau repot memikirkan perasaan orang lain. Sifat egoisnya lebih mendominasi. Baskara baru akan melakukan sesuatu bila Juna sudah mengeluarkan titahnya. Ia tidak berani berbuat macam-macam untuk melawan Juna. Baginya, Juna adalah penyelamat dan dewa pelindungnya. Tidak ada yang bisa melawan Baskara selain Juna, yang selalu membela dan membantunya ketika ia terlibat masalah. 

Juna kembali terngiang-ngiang perkataan sang kakek. Haruskah ia menuruti permintaan lelaki tua renta yang ketika dirinya masih balita, selalu mengajaknya bermain saat kedua orang tuanya tengah sibuk bekerja? Apakah ia harus melepas masa lajangnya sekarang dan mulai berurusan dengan kaum yang kebanyakan maunya itu? Juna terus mengajukan berbagai pertanyaan pada dirinya sendiri. Ia benar-benar bingung. Di satu sisi ia masih belum siap untuk kehilangan sang kakek, sedangkan di sisi lain ia masih ingin menikmati masa lajangnya.

Pikirannya melayang pada perkataan sang kakek, gadis pilihan kakek. Siapakah gerangan gadis yang dimaksud? Cucu teman kakek atau sekedar gadis yang kakek temui di jalan yang tiba-tiba menarik perhatiannya untuk dijadikan cucu menantu? Cantik kah? Cerdas secerdas dirinya? Jangan-jangan anak itu jauh dibawah standar kemampuan otaknya? Isi kepala Juna penuh dengan gambaran gadis yang akan dijodohkan dengannya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status