Home / Romansa / Fake Marriage / Bab 3 - Flashback

Share

Bab 3 - Flashback

last update Last Updated: 2021-05-19 19:14:46

Flashback

Juna teringat 2 minggu yang lalu. Hari Rabu tepatnya. Saat itu dirinya baru saja tiba dari kantor. Ketika ia berjalan memasuki rumah, terdengar suara kakek yang ia lihat sedang  berteriak-teriak pada kedua orang tuanya yang duduk di seberang kursi tempat kakeknya duduk. Keduanya menunduk pasrah.

Teriakan kakek berhenti ketika melihat Juna berjalan ke arahnya hendak memberi salam. Belum juga lama  berhenti berteriak-teriak, pria tua itu kembali berbicara dengan nada keras dan kencang.

"Nih dia calonnya sudah datang satu. Yang satunya mana?" tanyanya sambil melihat ke segala arah, mencari satu lagi cucunya yang bernama Baskara.  Namun yang dicari belum juga muncul batang hidungnya.

Juna mendudukkan dirinya di kursi sebelah sang kakek. Sambil melonggarkan ikatan dasinya,  Juna menanyakan sebab si kakek berteriak-teriak ala tarzan di hutan. Tidak memberi jawaban atas pertanyaan yang diajukan Juna, kakek tua itu justru balik bertanya.

"Kamu, umur berapa? Udah 40 kan?" tanya Kakek sambil menebak yang dijawab sendiri dengan jawaban setengah memaksa.

"Enak aja 40, masih muda kek,"  jawab Juna tidak terima mendengar jawaban asal dari bibir sang kakek.

"Nah, kalau masih muda kenapa nggak nikah-nikah?"  tanya kakek yang langsung menghujam jantung Juna, dan membuat pria itu kelabakan hingga terbatuk-batuk panjang.

Ini orang tua kenapa sih mendadak membahas soal nikah-nikah begini, umpat Juna seraya melempar pandangannya kearah kedua orangtuanya yang hanya mengedikkan kedua bahu mereka ketika netra mereka bertemu.

"Kenapa diam? Nggak bisa jawab kan?"ujar sang kakek lagi menatap tajam cucu sulungnya itu.

"Kakek sebenarnya ada urusan apa kemari? Mau minta dianter kemana? Biar Juna temani," jawab Juna dengan nada selembut mungkin, mencoba bersabar  menghadapi sang kakek yang kadang memang susah dimengerti keinginannya.

"Kakek ingin kamu atau Baskara menìkah dengan gadis pilihan kakek," jawab pria tua itu tegas, tidak menerima penolakan. Mendengar perkataan sang kakek, Juna memejamkan matanya dan mengetuk-ketukkan jari jemarinya di kursi yang ia duduki. Kakeknya ini suka sekali memaksakan kehendaknya. Untuk permintaan yang baru saja diucapkan, Juna tidak dapat menerimanya. Menurutnya, memilih pasangan adalah haknya, tidak ada seorangpun yang boleh ikut campur termasuk juga kakeknya.

"Kalau itu, maaf Juna tidak bisa, Kek," jawab Juna tegas, menatap sang kakek. 

"Baskara juga tidak  bisa, Kek." Tiba-tiba seorang pemuda sepantaran Juna muncul dari teras. Semua mata memandang ke arah lelaki muda itu.

"Kalian memang cucu yang tidak berbakti!" Pria tua renta itu kembali murka. Ia memandang kecewa kedua cucunya. Kedua cucu yang sangat ia sayangi, hingga dirinya tidak rela bila kelak smendapatkan gadis yang tidak sepadan dengan mereka. 

"Baiklah, jika kalian tidak mau mengikuti keinginanku, aku lebih memilih mati ketimbang melihat cucu-cucu tidak berbakti seperti kalian!" ujar pria tua itu kecewa, berjalan  meninggalkan ruang keluarga menuju ke luar rumah.

Namun, tak lama berselang, semua orang menjadi panik. Kakek tua itu terjatuh setelah  berjalan  beberapa langkah  meninggalkan ruang keluarga. Juna langsung menghubungi dokter pribadi mereka, sedangkan Baskara menggendong tubuh renta itu  dan membawanya ke kamar tamu. Amelia sibuk membalurkan kaki-kaki tua itu dengan minyak kayu putih. Rahman sang menantu mondar-mandir di ruang tamu, menunggu kedatangan Dokter  Budi, yang telah dihubungi oleh Juna. Kepanikan yang jarang terjadi di rumah besar ini.

Dokter Budi turun dari motornya dengan tergesa-gesa. Tanpa bertanya ia langsung masuk ke kamar tamu, karena hanya kamar itu yang pintunya terbuka lebar. Ia langsung memeriksa denyut nadi pak tua. Kepalanya ia gelengkan ke kanan dan ke kiri menunjukkan sesuatu yang tidak bagus sedang terjadi, seraya terus menempelkan stetoskopnya di dada sang pria renta yang tergolek lemah. 

Semua yang berada di ruangan itu  menahan nafas melihat perubahan ekspresi pada wajah dokter bersosok tambun yang merupakan teman nongkrong sang kakek. Meskipun lelaki tua itu sangat menjengkelkan, tetapi mereka belum siap untuk kehilangan sosok tua itu untuk saat sekarang.

Dokter Budi lalu memasangkan selang infus yang sudah ia persiapkan sebelumnya, lalu ia mengajak semua yang ada di ruangan untuk berkumpul di ruang tamu.

"Jadi begini," Dokter Budi membetulkan letak kacamatanya dan  mulai membuka pembicaraan ketika semua sudah duduk di kursi masing-masing, 

"Kondisi Pak Broto sudah sangat lemah, penyakit jantungnya sudah sedemikian parah sehingga umur beliau mungkin tidak akan lama," jelas pria berkaca mata dan bertubuh tambun itu.

Semua orang terperanjat, tidak percaya dengan penuturan yang baru saja disampaikan sang dokter pribadi keluarga. Kakek tampak sehat-sehat saja selama ini. Tidak tampak bila beliau sedang mengalami atau menderita sakit serius terlebih penyakit jantung. Tubuh kakek itu juga kecil, dan sangat lincah bila dibandingkan dengan lansia seumurannya.

"Jadi, saran saya, bila ada keinginan beliau yang belum kalian turuti, mungkin, selagi masih ada waktu, bisa kalian pertimbangkan lagi," ujarnya sambil memasukkan kembali stetoskop dan perlengkapan pemeriksaan lainnya, berdiri dari duduknya dan melangkah meninggalkan rumah diikuti papa Juna. 

Rahman mengantar kepergian Dokter Budi hingga sosok dokter tambun itu menghilang dari pandangan. Ia kemudian kembali masuk ke kamar tempat mertuanya berbaring mengamati wajah keriput itu yang terlelap dengan nafas tertarik teratur. Apa sebenarnya motif ayah mertuanya ini, hingga sangat ingin menjodohkan anak-anaknya, Juna dan Baskara,  dengan gadis pilihannya.

Juna dan Baskara berdiam diri. Mereka sibuk dengan pikiran yang berputar-putar dalam otak mereka masing-masing. Juna dan Baskara, memilik dua sifat yang berbeda. Juna lebih rela berkorban untuk kepentingan keluarganya, ketimbang Baskara yang masih mementingkan kepentingannya sendiri. Sifat sebagai sulung yang  ingin melindungi dan membuat nyaman orang-orang yang dekat dengannya lebih mendominasi Juna dibandingkan kesenangannya sendiri.

Di sisi Baskara, ia lebih mengutamakan perasaan dan kenyamanan dirinya tanpa mau repot memikirkan perasaan orang lain. Sifat egoisnya lebih mendominasi. Baskara baru akan melakukan sesuatu bila Juna sudah mengeluarkan titahnya. Ia tidak berani berbuat macam-macam untuk melawan Juna. Baginya, Juna adalah penyelamat dan dewa pelindungnya. Tidak ada yang bisa melawan Baskara selain Juna, yang selalu membela dan membantunya ketika ia terlibat masalah. 

Juna kembali terngiang-ngiang perkataan sang kakek. Haruskah ia menuruti permintaan lelaki tua renta yang ketika dirinya masih balita, selalu mengajaknya bermain saat kedua orang tuanya tengah sibuk bekerja? Apakah ia harus melepas masa lajangnya sekarang dan mulai berurusan dengan kaum yang kebanyakan maunya itu? Juna terus mengajukan berbagai pertanyaan pada dirinya sendiri. Ia benar-benar bingung. Di satu sisi ia masih belum siap untuk kehilangan sang kakek, sedangkan di sisi lain ia masih ingin menikmati masa lajangnya.

Pikirannya melayang pada perkataan sang kakek, gadis pilihan kakek. Siapakah gerangan gadis yang dimaksud? Cucu teman kakek atau sekedar gadis yang kakek temui di jalan yang tiba-tiba menarik perhatiannya untuk dijadikan cucu menantu? Cantik kah? Cerdas secerdas dirinya? Jangan-jangan anak itu jauh dibawah standar kemampuan otaknya? Isi kepala Juna penuh dengan gambaran gadis yang akan dijodohkan dengannya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Fake Marriage   Bab 75 - Akhir Cerita 2

    Suara itu begitu mengejutkan Juna dan Baskara. Mereka sama sekali tidak mengira sosok yang sedang mereka bicarakan, tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka. "Lily...!" seru kakak beradik itu bersamaan, menatap wanita muda yang menggendong seorang bayi mungil. "Kebetulan sekali kita bertemu di sini." Lily tersenyum sangat manis. Sangat bertolak belakang dengan apa yang ia rasakan saat ini. Juna terngaga. Apakah ini semua rencana Tuhan? Mendatangkan Lily ditengah-tengah mereka yang sedang bersiteru tentang dirinya? "Lily! Kamu mau kemana?" Baskara segera bangkit dari duduknya. Ia lantas menghampiri Lily. Rasa sayang terlihat jelas dari sikap dan tutur kata Baskara, memaksa Juna kembali merasa bersalah. "Tidak kemana-mana." Lily masih tersenyum. Namun, perubahan di kedua manik cokelatnya, segera diketahui Baskara. Mata yang mulai berair itu, membuat Baskara secara tidak sadar menarik Lily ke dalam dekapannya. Ia thu jika wanita itu sedang berpura-pura tegar. "Aku tidak apa-apa,

  • Fake Marriage   Bab 74- Akhir Cerita 1

    Juna bergeming, kembali menatap langit biru yang membentang bersih tanpa sedikit pun awan. Ia mengabaikan pertanyaan Baskara, yang menuntut penjelasan lebih atas pernyataan yang baru saja ia ucapkan. Bukan hal yang mudah bagi seorang Juna, untuk mengambil keputusan itu. Ia sudah menimbang jauh hari sebelumnya. Ya. Sebelum ia dan Lily, pada akhirnya menyepakati untuk melakukan gencatan senjata, membuat kesepakatan untuk menjalankan peran mereka masing-masing, sebagai pasangan suami-istri, selama satu tahun. Dan kini, sudah tiba waktunya untuk mereka berdua, duduk bersama kembali, membicarakan hubungan mereka untuk ke depan. Membayangkan perpisahannya dengan Lily, dan juga Arka, membuat Juna tersiksa. Tidak pernah ia merasakan kebimbangan yang sangat seperti sekarang ini. "Aku sudah berjanji, akan menceraikannya setelah satu tahun pernikahan kami." Sontak Baskara mengangkat kepalanya. Ia tidak mengira jika Juna masih mengingat hal itu. "Kak?" Juna menganggukkan kepalanya dengan t

  • Fake Marriage   Bab 73 - Keputusan Berat

    Tangan kiri Juna bergerak sebentar lalu kembali diam. Ia mendengar beberapa orang sedang berbicara di dekatnya tapi ia tidak bisa memahami apa yang mereka bicarakan. Pria itu sibuk mencari-cari sumber cahaya. Ia tidak bisa melihat apa pun di sekitarnya. Gerakan ini tanpa ia sadari, membuat kepalanya secara otomatis bergerak ke kanan dan ke kiri. Sayangnya, di ruangan itu sedang tidak ada seorang pun. Gelap. Juna tidak bisa melihat apa-apa. Ia mencoba mengangkat tangan kanannya, tapi mengapa terasa begitu berat. Digantinya dengan tangan kiri. Berhasil. Tangannya terangkat sempurna, tapi ia tidak bisa meraih apa pun. Dikerjapkannya berulang kali, namun kedua matanya tetap tidak bisa melihat apa pun. 'Apa yang terjadi?' batin Juna mulai panik. 'Buta. Apakah aku sekarang buta?' Kini, Juna menjadi benar-benar panik. Tiba-tiba perutnya terasa begitu lapar. Ia ingin memakan sesuatu. Apa saja yang bisa mengganjal perutnya sekarang ini. Bayangan semur daging melayang-layang di benakn

  • Fake Marriage   Bab 72 - Keajaiban

    Baskara tenggelam dalam tumpukan map-map yang nyaris menutupi dirinya. Ia tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan semua dokumen-dokumen itu. Tiga jam berlalu sejak kedatangannya ke ruangan Juna. Karena kondisi Juna, maka ia terpaksa mengambil alih semua pekerjaan sang kakak,untuk sementara waktu. Untung saja ia pernah memimpin anak cabang perusahaan itu, jadi ia tidak perlu belajar terlalu lama untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dikerjakan Juna sebelumnya. Ketukan yang sebenarnya tidak terlalu keras, membuyarkan konsentrasi Baskara. Ia nyaris terjungkal dari kursinya. Begitu wajah asisten Juna muncul dari balik pintu, Baskara sontak saja melayangkan satu pensil dan nyaris mengenai pelipis pria muda itu. "Aisssh, Kau ini! Tidak tahukah jika aku sedang sangat serius dengan pekerjaanku..." Tatapan kesal mengiringi langkah sang asisten. Ditutupnya dengan kasar, berkas yang berada di hadapannya "Maafkan saya, Pak. Tapi, ada telpon dari rumah sakit mengabarkan..." Belum juga kali

  • Fake Marriage   Bab 71 - Menanti Kabar Juna

    Lily bergeming. Ia tidak lagi berani membalas tatapan Baskara. Ia merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah oleh pemilik rumah. Otaknya dipaksa berputar, mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Baskara yang dirasa menyudutkan dirinya. "Ak-Akuu... Aku hanya... Yaaah, hanya... Kebetulan...Ya, aku hanya kebetulan berada di sini..." Entah apa yang dipikirkan Lily. Jawabannya justru memicing pertanyaan lanjutan Baskara. "Kamu di sini sendiri?" Tanpa bisa dicegahnya, kepala Lily dengan pasrah mengangguk. "Sendiri? Lalu di mana Arka? Kamu meninggalkannya sendirian?" Suara Baskara tanpa sadar meninggi, membuat Lily sontak membulatkan matanya. "Suaramu!" seru Lily tertahan. Baskara segera menarik tangan Lily, membawa wanita muda itu keluar dari ruang serba putih itu. Lily meringis kesakitan. Baru kali ini, ia merasakan kemarahan Baskara. Apakah yang ia lakukan sangat salah? "Bas. Sssa-kiit," keluh Lily berusaha melepaskan cengkeraman Baskara di pergelangan tangann

  • Fake Marriage   Bab 70 - Bilik ICU

    Pak Yono berjalan cepat keluar dari kamarnya, meraih kontak mobil yang tergeletak di atas nakasnya. Langkahnya terkesan buru-buru, sambil berbicara dengan seseorang dengan ponselnya. "Baik, Mbak. Saya segera berangkat. Perlukah saya menghubungi Mas Baskara?" *Tidak perlu. Biar aku sendiri saja yang memberitahunya. "Baik. Saya berangkat ke sana sekarang." Mobil sedan hitam Juna meluncur mulus meninggalkan pekarangan luas milik Pak Broto. Lily menelpon Pak Yono untuk menjemputnya pulang, karena hari ini adalah hari terakhirnya dan bayi mungil Arka berada di rumah sakit. -0- Lily baru saja selesai membereskan semua barang bawaannya, tanpa bantuan siapa pun. Baskara masih menyelesaikan urusan administrasi persalinan dan perawatannya. Ia berjalan keluar, melihat apakah Pak Yono, orang kepercayaan Pak Broto sudah tiba di sini atau belum. Ia sangat membutuhkan Pak Yono saat ini. Ada sesuatu yang harus ia lakukan, sebelum dirinya dan bayi mungil Arka meninggalkan tempat ini. Lima bela

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status