Flashback
Juna teringat 2 minggu yang lalu. Hari Rabu tepatnya. Saat itu dirinya baru saja tiba dari kantor. Ketika ia berjalan memasuki rumah, terdengar suara kakek yang ia lihat sedang berteriak-teriak pada kedua orang tuanya yang duduk di seberang kursi tempat kakeknya duduk. Keduanya menunduk pasrah.
Teriakan kakek berhenti ketika melihat Juna berjalan ke arahnya hendak memberi salam. Belum juga lama berhenti berteriak-teriak, pria tua itu kembali berbicara dengan nada keras dan kencang."Nih dia calonnya sudah datang satu. Yang satunya mana?" tanyanya sambil melihat ke segala arah, mencari satu lagi cucunya yang bernama Baskara. Namun yang dicari belum juga muncul batang hidungnya.Juna mendudukkan dirinya di kursi sebelah sang kakek. Sambil melonggarkan ikatan dasinya, Juna menanyakan sebab si kakek berteriak-teriak ala tarzan di hutan. Tidak memberi jawaban atas pertanyaan yang diajukan Juna, kakek tua itu justru balik bertanya."Kamu, umur berapa? Udah 40 kan?" tanya Kakek sambil menebak yang dijawab sendiri dengan jawaban setengah memaksa."Enak aja 40, masih muda kek," jawab Juna tidak terima mendengar jawaban asal dari bibir sang kakek."Nah, kalau masih muda kenapa nggak nikah-nikah?" tanya kakek yang langsung menghujam jantung Juna, dan membuat pria itu kelabakan hingga terbatuk-batuk panjang.Ini orang tua kenapa sih mendadak membahas soal nikah-nikah begini, umpat Juna seraya melempar pandangannya kearah kedua orangtuanya yang hanya mengedikkan kedua bahu mereka ketika netra mereka bertemu."Kenapa diam? Nggak bisa jawab kan?"ujar sang kakek lagi menatap tajam cucu sulungnya itu."Kakek sebenarnya ada urusan apa kemari? Mau minta dianter kemana? Biar Juna temani," jawab Juna dengan nada selembut mungkin, mencoba bersabar menghadapi sang kakek yang kadang memang susah dimengerti keinginannya."Kakek ingin kamu atau Baskara menìkah dengan gadis pilihan kakek," jawab pria tua itu tegas, tidak menerima penolakan. Mendengar perkataan sang kakek, Juna memejamkan matanya dan mengetuk-ketukkan jari jemarinya di kursi yang ia duduki. Kakeknya ini suka sekali memaksakan kehendaknya. Untuk permintaan yang baru saja diucapkan, Juna tidak dapat menerimanya. Menurutnya, memilih pasangan adalah haknya, tidak ada seorangpun yang boleh ikut campur termasuk juga kakeknya."Kalau itu, maaf Juna tidak bisa, Kek," jawab Juna tegas, menatap sang kakek. "Baskara juga tidak bisa, Kek." Tiba-tiba seorang pemuda sepantaran Juna muncul dari teras. Semua mata memandang ke arah lelaki muda itu."Kalian memang cucu yang tidak berbakti!" Pria tua renta itu kembali murka. Ia memandang kecewa kedua cucunya. Kedua cucu yang sangat ia sayangi, hingga dirinya tidak rela bila kelak smendapatkan gadis yang tidak sepadan dengan mereka. "Baiklah, jika kalian tidak mau mengikuti keinginanku, aku lebih memilih mati ketimbang melihat cucu-cucu tidak berbakti seperti kalian!" ujar pria tua itu kecewa, berjalan meninggalkan ruang keluarga menuju ke luar rumah.Namun, tak lama berselang, semua orang menjadi panik. Kakek tua itu terjatuh setelah berjalan beberapa langkah meninggalkan ruang keluarga. Juna langsung menghubungi dokter pribadi mereka, sedangkan Baskara menggendong tubuh renta itu dan membawanya ke kamar tamu. Amelia sibuk membalurkan kaki-kaki tua itu dengan minyak kayu putih. Rahman sang menantu mondar-mandir di ruang tamu, menunggu kedatangan Dokter Budi, yang telah dihubungi oleh Juna. Kepanikan yang jarang terjadi di rumah besar ini.Dokter Budi turun dari motornya dengan tergesa-gesa. Tanpa bertanya ia langsung masuk ke kamar tamu, karena hanya kamar itu yang pintunya terbuka lebar. Ia langsung memeriksa denyut nadi pak tua. Kepalanya ia gelengkan ke kanan dan ke kiri menunjukkan sesuatu yang tidak bagus sedang terjadi, seraya terus menempelkan stetoskopnya di dada sang pria renta yang tergolek lemah. Semua yang berada di ruangan itu menahan nafas melihat perubahan ekspresi pada wajah dokter bersosok tambun yang merupakan teman nongkrong sang kakek. Meskipun lelaki tua itu sangat menjengkelkan, tetapi mereka belum siap untuk kehilangan sosok tua itu untuk saat sekarang.Dokter Budi lalu memasangkan selang infus yang sudah ia persiapkan sebelumnya, lalu ia mengajak semua yang ada di ruangan untuk berkumpul di ruang tamu."Jadi begini," Dokter Budi membetulkan letak kacamatanya dan mulai membuka pembicaraan ketika semua sudah duduk di kursi masing-masing, "Kondisi Pak Broto sudah sangat lemah, penyakit jantungnya sudah sedemikian parah sehingga umur beliau mungkin tidak akan lama," jelas pria berkaca mata dan bertubuh tambun itu.Semua orang terperanjat, tidak percaya dengan penuturan yang baru saja disampaikan sang dokter pribadi keluarga. Kakek tampak sehat-sehat saja selama ini. Tidak tampak bila beliau sedang mengalami atau menderita sakit serius terlebih penyakit jantung. Tubuh kakek itu juga kecil, dan sangat lincah bila dibandingkan dengan lansia seumurannya."Jadi, saran saya, bila ada keinginan beliau yang belum kalian turuti, mungkin, selagi masih ada waktu, bisa kalian pertimbangkan lagi," ujarnya sambil memasukkan kembali stetoskop dan perlengkapan pemeriksaan lainnya, berdiri dari duduknya dan melangkah meninggalkan rumah diikuti papa Juna. Rahman mengantar kepergian Dokter Budi hingga sosok dokter tambun itu menghilang dari pandangan. Ia kemudian kembali masuk ke kamar tempat mertuanya berbaring mengamati wajah keriput itu yang terlelap dengan nafas tertarik teratur. Apa sebenarnya motif ayah mertuanya ini, hingga sangat ingin menjodohkan anak-anaknya, Juna dan Baskara, dengan gadis pilihannya.Juna dan Baskara berdiam diri. Mereka sibuk dengan pikiran yang berputar-putar dalam otak mereka masing-masing. Juna dan Baskara, memilik dua sifat yang berbeda. Juna lebih rela berkorban untuk kepentingan keluarganya, ketimbang Baskara yang masih mementingkan kepentingannya sendiri. Sifat sebagai sulung yang ingin melindungi dan membuat nyaman orang-orang yang dekat dengannya lebih mendominasi Juna dibandingkan kesenangannya sendiri.Di sisi Baskara, ia lebih mengutamakan perasaan dan kenyamanan dirinya tanpa mau repot memikirkan perasaan orang lain. Sifat egoisnya lebih mendominasi. Baskara baru akan melakukan sesuatu bila Juna sudah mengeluarkan titahnya. Ia tidak berani berbuat macam-macam untuk melawan Juna. Baginya, Juna adalah penyelamat dan dewa pelindungnya. Tidak ada yang bisa melawan Baskara selain Juna, yang selalu membela dan membantunya ketika ia terlibat masalah.
Juna kembali terngiang-ngiang perkataan sang kakek. Haruskah ia menuruti permintaan lelaki tua renta yang ketika dirinya masih balita, selalu mengajaknya bermain saat kedua orang tuanya tengah sibuk bekerja? Apakah ia harus melepas masa lajangnya sekarang dan mulai berurusan dengan kaum yang kebanyakan maunya itu? Juna terus mengajukan berbagai pertanyaan pada dirinya sendiri. Ia benar-benar bingung. Di satu sisi ia masih belum siap untuk kehilangan sang kakek, sedangkan di sisi lain ia masih ingin menikmati masa lajangnya.
Pikirannya melayang pada perkataan sang kakek, gadis pilihan kakek. Siapakah gerangan gadis yang dimaksud? Cucu teman kakek atau sekedar gadis yang kakek temui di jalan yang tiba-tiba menarik perhatiannya untuk dijadikan cucu menantu? Cantik kah? Cerdas secerdas dirinya? Jangan-jangan anak itu jauh dibawah standar kemampuan otaknya? Isi kepala Juna penuh dengan gambaran gadis yang akan dijodohkan dengannya?Flasback 2Juna masih sibuk mewawancarai dirinya sendiri. Antara sang kakek dan egonya, mana yang akan ia pilih.Baskara beranjak dari tempat duduknya, ia menatap ke arah Juna lalu berbicara sesuatu yang membuat Juna merasa kesal bukan main."Karena aku adalah anak nomor dua, berarti kewajiban kakaklah untuk mengikuti keinginan kakek. Jangan sampai gadis pilihan kakek ditumbuhi lumut saking lamanya menunggu jawaban kakak atas permintaan terakhir kakek," ujar Baskara lalu meninggalkan ruangan itu.Adik durhaka. Dasar tak tahu terimakasih. Bila bukan dirinya yang mengorbankan diri untuk menggantikan sang papa mengelola perusahaan jasa konstruksi yang sudah dirintis sejak papanya masih muda, tentu Baskara tidak bisa sesantai ini. Tatapannya memandang nanar pintu yang baru saja dilalui Baskara.Setelah berpikir sekian lama, akhirnya ia memutuskan untuk melihat dulu seperti apa gadis yang hendak dinik
Pertanyaan Baskara Yang Mengejutkan Hari sudah menjelang petang, beberapa jam ke depan, sholat taraweh sudah akan dimulai. Pernikahan antara Lily dan Juna memang dilaksanakan satu hari sebelum memasuki bulan ramadan, dan saat ini, Lily sedang bersiap mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat maghrib. Sekeluarnya dari kamar mandi, ia mengambil sajadah lalu dibentangkannya sajadah itu dan mulai bersiap untuk sholat.Suara dehaman membuatnya urung mengangkat tangan untuk takbiratul ikram."Sudah bersuami itu ya harusnya sholat berjamaah bersama dengan suaminya, bukan malah sholat sendiri," ujar Juna, pria yang kini resmi menjadi suami Lily.Lily tertunduk. Bukan tertunduk malu melainkan tertunduk kesal, karena sindiran yang diucapkan Juna. Ia segera mengambil sajadah lagi untuk sang suami, ketimbang dirinya nanti kena sindir lagi.Juna yang baru saja selesai mengambil wudlu, segera mengenakan baju kok
Siapa Pria Itu? Semua yang berada di kamar itu terkejut. Terlebih Lily, ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Juna mengepalkan kedua tangannya. Ingin ia melayangkan bogem mentahnya ke wajah Baskara saat itu bila ia tidak ingat adiknya itu baru saja sadar dari pingsannya dan wajah itu masih terlihat lemah dan pucat. Mama Amelia yang tidak kalah terkejut dengan pertanyaan Baskara, berjalan mendekati Baskara dan duduk di pinggir kasur empuk itu. "Apakah kepalamu masih pusing? Belum makan sejak pagi?" Baskara terus di berondong Amelia terkait pertanyaan yang dianggap halusinasi Baskara sesaat karena dirinya baru saja sadar dari pingsannya. Pak Broto menghela nafas kasar. Ia tahu bahwa cucunya itu sedang menahan kecewa karena telah salah memilih langkah. Penyesalan selalu datang terlambat kan? Pak Broto langsung mengajak Pak Yono untuk mengantarkannya kembali beristirahat di kamarnya, tidak tega melihat wajah penu
Niat Lily dan Ingatan Baskara Baskara kembali memejamkan matanya. Obat yang baru saja ia minum mulai bereaksi. Pikirannya masih terbayang-bayang gadis yang tadi ia lihat di samping kakaknya. Lily, gumamnya lirih. Lupakah gadis itu padanya, tanyanya dalam hati. Diantara bayang-bayang Lily, Baskara akhirnya tertidur. Satu jam kemudian, Baskara terbangun dari tidurnya. Sakit kepala yang di deritanya mulai berangsur hilang, badannya kini lebih enteng dibanding sebelumnya. Pakaiannya basah karena keringat yang berhasil keluar dari pelipis dan sekujur tubuhnya. Baskara lantas bangun dari tidurnya secara perlahan. Ia berjalan ke kamar mandi, membasuh wajahnya dan bersikat gigi. Hari sudah subuh, ia bergegas menunaikan kewajibannya sebelum matahari meninggi, lalu keluar dari kamarnya. -0- Lily mengambil mushaf Alquran yang ada di lemari buku yang letaknya paling tinggi. Setelah sahur, ia menyegerakan diri untuk bersiap menunaikan sholat subuh, bukan di masjid, namun sendiri di kamarnya. Ju
Kakek Tua Yang Menyebalkan Lily bangun pagi seperti biasa, namun bangun dengan perasaan yang luar biasa bahagia. Rona bahagia terlihat jelas sejak ia membuka matanya. Lili berjalan ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya mengusir rasa malas dan kantuk yang masih sedikit menggantung di pelupuk matanya dan dengan cepat keluar dari kamar hendak membantu menyiapkan santapan sahur. Tampak olehnya, pria yang hobbynya berkata pedas padanya masih terlelap tidur, membuat lily berjalan sedkit pelan agar tidak membangunkannya.Lily menyiapkan empat piring dan 4 mangkuk kecil sebagai wadah untuk menikmati sup jamur yang ia masak sendiri. Lily memasak sup jamur spesial untuk suaminya sebagai ungkapan terimakasih karena sudah mengijinkan dirinya untuk bekerja kembali. Ia menyiapkan semua itu dengan perasaan yang bahagia.Ia bersenandung kecil ketika menaiki tangga hendak membangunkan suaminya. Baru saja dirinya tiba di depan pi
Ada Apa Dengan Laki-laki itu Sepasang pengantin baru itu terdiam dalam perjalanan menuju kantor Lily. Lily yang awalnya sangat bersemangat menyambut hari ini, menjadi lemas ketika ia mendengar jawaban Juna atas pertanyaan yang ia ajukan saat melihat Juna mengenakan jaket dan meraih kontak mobil di atas meja riasnya, saat ia sudah bersiap untuk mengenakan tas selempangnya."Peraturan pertama, berangkat aku yang antar, pulang aku yang jemput. Tidak setuju tidak usah masuk kerja lagi," jawab Juna dengan nada tegas tak terbantahkan.Impiannya menikmati kebebasan berangkat kerja sendiri buyar seketika mendengar perkataan Juna itu.Ia berulang kali berdecih kesal mengungkapkan kekecewaannya, namun Juna bersikap acuh, tidak menanggapi kekesalan Lily.Lily terus diam menatap jalan. Lama kelamaan ia tidak tahan dengan keheranannya. Mengapa Juna bisa tahu letak kantornya padahal ia belum pernah ke sana, bahkan sewaktu berangkat tadipu
Tidakkah Kita Saling Mengenal Dulu? Ponsel Lily yang berada di atas mesin jahit tiba-tiba berbunyi. Jam dinding yang berada di ruangan itu sudah menunjukkan pukul 3 sore.Lily menggeser tombol berwarna hijau." Assalammu"alaikum.""Waalaikumsalam. Aku sudah di depan ruanganmu. Cepat buka!" Suara ketus Juna terdengar.Lily bersegera membukakan pintu ruangannya yang tadi ia tutup karena ia hendak melaksakan sholat ashar di ruangannya."Kenapa pakai ditutup segala sih pintunya," omel Juna saat melangkah masuk ruangan bernuansa hijau tosca itu. "Saya kan sedang sholat ashar suamiku sayang," ujar Lily tanpa menyadari sapaan yang baru saja terlontar dari bibirnya.Juna tercenung mendengar sapaan Lily barusan. Serius itu tadi yang mengucapkan Lily, istrinya si gadis aneh? Suamiku sayang? Rasa panas menjalar ke seluruh wajah Juna, ia mendadak gugup. Salah tingkah sendiri. Bila set
KenanganLily terkesiap, mendengar pertanyaan laki-laki di depannya. Pandangannya semakin dalam seakan mencari kebenaran ucapan laki-laki itu. Detik berikutnya, Lily semakin merasa tidak berdaya."Tidakkah kita saling mengenal dulu?" Ia mengulangi lagi pertanyaannya, sambil tersenyum menatap Lily yang hanya diam mematung menatapnya. Mata bulat penuh binar itu tidak berubah, tetap indah seperti dulu, Baskara menggumam dalam hati. Dirinya terus saja mengamati wajah gadis di depannya yang masih menatap dirinya dalam diam. Lily tersadar dari diamnya lalu berdeham, menghilangkan kekakuan yang tercipta di antara mereka. "Maaf..." ucapnya pelan, seakan takut suaranya akan terdengar oleh orang lain selain mereka berdua. Baskara menangkap sikap Lily yang canggung. Ia tidak menyalahkan Lily. Dirinya dulu pernah menemani Lily untuk beberapa saat tanpa status hubungan yang jelas. Baik dirinya maupun Lily menjalani semu