Hari ini keberutungan agaknya singgah pada Mahira. Saat perempuan itu bangun, tubuhnya terasa lebih baik. Setidaknya, ia sudah bisa bangun dari ranjang, tanpa perlu dibantu Riga atau Lili. Hampir dua minggu lebih Mahira hanya bisa terbaring di ranjang. Hanya meninggalkan ranjang ketika harus buang air, bersih-bersih seadanya dan berganti pakaian. Karena sekarang ia merasa sudah kuat berjalan, perempuan itu pun meninggalkan kamarnya. Mahira turun ke lantai satu. Ia melihat sofa dan meja, kemudian pintu yang sepertinya adalah pintu utama. Dari ruang tamu, di sisi kiri, Mahira menemukan ada halaman hijau yang luas di samping rumah. Rasanya tidak buruk untuk mencari udara segar di sana. Selain halaman luas dengan rumput yang terawat, di sana ternyata ada bangku dan meja. Sepertinya tempat ini memang dirancang untuk bersantai. Mahira duduk di sana. Menghirup udara segar, membiarkan itu mengisi paru-parunya. Kemudian, perempuan itu termenung. Masih ada perasaan marah. Masih ada kecewa
Bila biasanya tidur adalah sesuatu yang paling mudah dilakukan sekaligus paling Mahira sukai, kali ini sepertinya hal itu tak demikian lagi. Semenjak diculik, perempuan itu jadi sulit tidur. Kalau pun bisa lelap, pastilah di atas jam dua belas malam. Lebih-lebih, sekarang ia harus rela tidur di satu ranjang yang sama dengan Riga. Walau pria itu cukup terkendali selama ini, tetap saja. Apa itu pantas? Tengah malam ini, Mahira baru saja kembali dari dapur. Membuat susu dan mengambil biskuit. Mahira pergi ke ruang tamu, duduk di lantai yang menghadap langsung ke arah taman berumput hijau di samping rumah. Setengah jam berlalu, saat Mahira akan pergi ke kamar, ia melihat Riga keluar dari kamar. Pria itu memegang kunci di tangan. Mahira tebak, si lelaki akan pergi. Langkah Riga berhenti saat menemukan sosok Mahira di sana. Lelaki itu berkacak pinggang dengan ekspresi malas. "Padahal, jika kau tidak keras kepala, kau sudah pulas di pelukanku sejak tadi," ucap Riga dengan nada mengejek.
"Kau benar. Mereka semua itu terlalu mendramatisir keadaan. Memang, apa lagi yang tersisa untuk bisa dihancurkan?" Mahira bangun dari posisi berbaring. Perempuan itu mengusapi wajah yang tertekuk. Kenapa? Kenapa kalimat itu terus-terusan terngiang? "Aku bisa mati penasaran jika tak mendapat cerita." Mahira turun dari ranjang. Ia sendirian, sebab Riga masih bersama Alex. Alex datang sore tadi. Ia tahu Alex dan Riga ada di halaman samping rumah. Maka, ia pun menuju ke sana. "Aku ingin bicara." Kalimat Mahira lebih dulu sampai daripada perempuan itu. Alex langsung bangkit dari kursi. Pria itu membuka jaket untuk kemudian memakaikannya pada Mahira. "Kenapa kau bangun? Di sini dingin, Sayang." Alex mengancingkan jaketnya. Memastikan Mahira tak terganggu dengan udara malam yang menusuk. "Aku ingin bicara." Mahira menatap lurus pada Riga. Riga menukikkan satu alis. "Aku tak suka mendengar kau bicara. Aku lebih suka mendengar kau mendesah." Pria itu melangkahkan kakinya ke arah Mahi
Warning! 18+ Mahira merasa dipermainkan. Emosinya diaduk. Dibuat naik dan turun oleh si gila Riga. Usai dibuat ketakutan karena dipaksa menjadi pelenyap, Mahira masih harus kebingungan oleh permintaan Riga untuk tak bicara pada Alex. Kemudian, perempuan itu dibuat berang karena Riga mendapat ide gila. Lelaki itu memborgol tangan mereka. Alasannya, agar Mahira tak bisa sembarangan bicara kepada Alex, tanpa izin. Dan setelah semua itu, ia masih harus bersedia mendengar Riga bercerita. Berbaring di ranjang, Mahira dipaksa menyamping. Riga bilang ingin memastikan kalau Mahira mendengar dan bukannya tidur. "Bertahun-tahun aku menunggu seorang anak," ucap Riga memulai ceritanya. "Kenapa? Kau sama sekali tak punya hati. Untuk apa anak?" Mahira menguap. Kantuk terasa makin parah. Riga melempar senyum setengah hati. "Iblis juga membutuhkan penerus," jawabnya dengan mimik puas di wajah. "Ya, itulah mengapa neraka masih ada." Membalas asal, Mahira tersentak saat pipinya dicubit. Perempu
"Kau serius dengan ini?" Mahira protes saat Riga kembali memasangkan borgol di tangan kanannya. Mereka sudah bersiap untuk tidur. Setelah insiden kegilaan Mahira yang membiarkan Riga menyentuhnya. Mahira ingin segera tidur, berharap besok sudah lupa akan tingkah bodohnya tadi. Namun, Riga kembali memancing huru-hara. Untuk apa memasang borgol? Mahira ingin tidur, bukan kabur. "Kenapa kau selalu protes pada apa pun yang kulakukan?" Riga bergeming dengan keinginannya. Pria itu naik ke ranjang, berbaring di samping Mahira. "Semua yang kau lakukan gila," balas Mahira dengan ketus. Perempuan itu menarik napas dalam. Jangan sampai tekanan darahnya naik. "Mahira." "Apa?" "Mahira." "Diam, bajingan." "Kucongkel matamu kalau sampai kau tidur sebelum kuizinkan." Mata Mahira langsung membola. Ia melirik Riga dengan nyala amarah. Tangannya langsung terangkat dan memberi tepukan cukup keras di dada telanjang lelaki itu. Bukannya terlihat kesakitan atau terdengar mengumpat, Riga malah men
"Dia dibuang oleh keluaga besarnya." Pada kalimat Alex, Mahira mendengarkan dengan serius. Perempuan itu bahkan sudah menekuk kedua lututnya di atas sofa dan menghadapkan tubuh sepenuhnya pada Alex di ujung. "Karena apa?" Malam ini, Mahira kembali mengorek informasi dari sepupunya Riga itu. Sebenarnya, Mahira merasa lebih seru kalau mendengar langsung dari si empunya cerita. Namun, ia sangsi Riga akan mau berbagi lagi kali ini. "Mantan istrinya membuat fitnah kejam." Sudut- sudut bibir Alex jatuh. Pria itu tampak sendu. Melihat ekspresi demikian, Mahira menyipit curiga. "Kejam bagaimana? Dia sudah kejam. Apa ada yang bisa menyakiti iblis seperti dia?" Alex tersenyum girang. "Apa kau sungguh masih membencinya sebanyak itu, Sayang?" "Apa alasannya aku harus tak membencinya?" Mencoba menyelami dua mata coklat Mahira, Alex tersenyum getir. "Kau bukan pembohong yang baik, Sayang." Mahira membuang pandangan ke depan. "Jadi? Fitnah apa?" "Mantan istrinya itu mengadu pada semua oran
Mahira menoleh cepat ke arah pintu yang terbuka. Saat menemukan bahwa yang datang adalah Alex, air muka perempuan itu langsung berubah. Semakin keruh. Ini hari kelima. Dan Mahira masih belum melihat Riga. Si bajingan itu menghilang sejak Mahira di rumah sakit. "Bisakah tidak tunjukkan wajah sedih itu? Kau membuatku makin tak berdaya, Sayang." Alex menaruh buah-buahan yang dibawa ke atas meja. Mahira tak menjawab. Perempuan itu menunduk, menatapi jemarinya sendiri. Ia merutuki diri. Kenapa harus bersedih? Mahira juga tidak tahu. Saat terbangun dan mendapat berita dari Alex soal janinnya yang tak bisa terselamatkan, Mahira merasa ingin sekali menangis. Perempuan itu merasa bersalah dan kehilangan. Walau hadirnya janin itu lewat jalan yang tak pernah Mahira inginkan. Meski masa depan janin itu juga masih abu-abu. Namun, kehilangan ini sungguh melukai hati Mahira. Namun, Mahira tak bisa menangis sejak ia tersadar. Karena kebingungan. Tak ada Riga di sana. Di hari pertama, bahkan sa
Membuang napas kasar, Mahira menyungging ranselnya di bahu. Perempuan itu mulai melangkah. Namun, langkah itu seketika terhenti saat tiba-tiba saja tanah pijakan Mahira dihujani peluru. Terkejut, panik, tetapi Mahira hanya bisa mematung dengan mata tertutup. Napasnya menderu, tubuh perempuan itu gemetar hebat. Mahira menangis membayangkan kakinya akan segera putus akibat tembakan peluru-peluru itu. Tembakan-tembakan itu akhirnya berhenti. Mahira sesenggukkan ketika membuka mata untuk memeriksa kakinya. Tangisnya pecah saat mendapati kedua kaki masih utuh. Usai mengusapi kedua kaki, Mahira mendongak. Ia menengok ke arah belakang, ke arah datangnya peluru-peluru tadi. Lalu, tangisnya terjeda untuk beberapa saat. Pikir Mahira, yang melakukan hal kejam ini adalah penjahat yang masih mengincar dirinya. Namun, dugaan itu salah. Yang menembaki Mahira adalah Riga. Saat mata mereka bertemu, sama seperti ketika pertama kali pria itu menembak lengannya, Riga tampak luar biasa santai. Tak a