"Jangan ke kampus hari ini!!" Aku mengerutkan kening membaca pesan singkat dari Lauren pagi itu ketika hendak bersiap-siap pergi kuliah. "Kenapa?" balasku. Lalu ia menulis lagi, “GAWAT DARURAT!” tulisnya dengan huruf besar-besar, biasanya itu pertanda kalau ia sedang histeris. Aku bisa membayangkan ekspresi Lauren saat ini.
"Banyak sekali wartawan yang berkumpul di depan gedung utama dan mereka semua terlihat seperti barracuda, pokoknya jangan datang kemari!!" tambahnya lagi.
"Benar-benar sial…” aku mengerang seraya membentur-benturkan kepala ke meja. Ingatanku kembali kepada insiden kemarin malam. Ketika Jason Marshall si brengsek itu mempermalukanku di depan para wartawan.
Kemarin aku dan Lauren sampai harus bersembunyi selama tiga jam di dalam toilet hanya untuk menunggu mereka semua membubarkan diri. Lalu kami mengendap-endap lewat pintu keluar darurat yang ada di belakang gedung dan baru bisa menumpang taksi setelah berjalan memutar cukup jauh.
Lauren terpaksa meninggalkan mobilnya di sana, dan menyuruh salah satu asisten pribadi ibunya untuk mengambilnya, karena dia takut mungkin ada wartawan yang masih mengintai di sekitar situ lalu mereka mungkin mengambil gambar plat nomornya kemudian menyebutnya dalam kolom berita.
Aku mencoba menelepon Lauren namun panggilanku langsung dialihkan. Ia mengirim pesan lagi, "Jangan menghubungiku, sedang sembunyi di luar fakultas. Beberapa wartawan yang entah bagaimana bisa masuk menanyai para mahasiswa yang lewat tentang identitas cewek misterius yang berciuman dengan Jason semalam!" Setelah itu ponselnya tidak aktif.
Aku menghembuskan napas keras kemudian menyentuh layar ponselku dan mencari-cari berita terbaru di internet. Lalu aku melihatnya, sebuah headline yang memuat foto Jason tengah memeluk seorang gadis berpakaian minim sambil menciumnya dengan mesra.
Tapi… dalam foto ini sepertinya wajahku tidak tampak jelas. Kalau tak terlalu diperhatikan mungkin saja tak ada yang mengenaliku. Tapi bagaimana kalau anak-anak kampus mengenali foto ini? Atau Mom? Dan Hemingway's, akankah mereka menyadarinya?
Lebih buruk lagi, bagaimana kalau mereka berubah pikiran tentang peranku dalam pementasan mereka? Aku memejamkan mata menghalau rasa pening yang mulai merayap di kepalaku. Artikel beritanya kebanyakan berisi tentang gadis misterius kekasih baru Jason Marshall serta sederet omong kosong lainnya.
Kemudian aku kembali mencari kolom berita yang lain namun semuanya sama.
CNN, BBC, CNet, mereka semua menjadikan foto terkutuk itu sebagai headline dan trending topik hari ini! Aku terisak sambil mengacak rambutku dengan frustasi.Aku akan membunuhnya!
Suara ketukan di pintu membuyarkan fantasiku tentang mencekik Jason Marshall. "Mia?" Itu suara ibuku. Hatiku langsung mencelos. Jangan-jangan dia sudah melihat beritanya?!
Pintu kamar dibuka perlahan. Aku menoleh dan mendapati ibuku berdiri di ambang pintu. Dandanannya sudah rapi, sepertinya ia hendak berangkat kerja. Dia menatapku dengan pandangan tajam sambil menelengkan kepalanya. Aku menahan nafas. Jantungku berdentam panik.
"Kau tidak pergi kuliah hari ini? " tanyanya. "Tidak ada kelas." aku berbohong tanpa berpikir. Dia mengangguk sekilas, "Aku ada pertemuan di GE bersama Gareth, mereka akan mengiklankan kompleks baru di Queens, mungkin aku akan pulang terlambat."
"Baiklah," sahutku cepat. Setelah itu ia berbalik pergi dari kamarku. Aku baru menghembuskan napas lega begitu ibuku sudah tak kelihatan lagi. Untuk sementara ini aman.
Aku mengelap meja konter restoran sambil melamun memandangi retakan pada sudutnya. Sulit sekali membayangkan bagaimana hidupku bisa jadi sekacau ini hanya dalam semalam.
Rupanya kekhawatiranku menjadi kenyataan. Hemingway's menelepon dan mereka bertanya padaku tentang artikel gosip itu. Meskipun namaku tidak dicantumkan, ternyata mereka mengenali wajahku.
Awalnya aku ingin berbohong pada mereka, tapi kukira jika pada akhirnya nanti mereka tahu maka itu akan semakin mencoreng nama baikku di mata mereka.
Hemingway's mengatakan bahwa mereka perlu mempertimbangkan ulang keputusannya merekrutku meski aku bilang itu hanya salah paham.
Sebab mereka tak mau menerima pemain yang terlibat skandal dengan salah satu aktor muda yang hidupnya tengah menjadi sorotan saat ini. Tentu saja aku paham bagaimana kesan foto itu bagi orang yang melihatnya. Aku tak bisa menyalahkan bila Hemingway’s tak memercayaiku.
Semua gara-gara dia! Aku mengertakkan rahang dengan geram. Jason Marshall benar-benar telah mengacaukan hidupku!
"Hei, Mia!" Aku menoleh dan melihat Tim, pemilik Red Rooster sedang berdiri di ambang pintu ruangannya sambil melambai padaku. Aku meletakkan kain lap di tanganku kembali ke dalam laci konter kemudian bergegas menghampirinya. "Ada apa, bos?" Tim nyengir mendengar sapaanku.
Dia selalu bersikap seperti seorang kakak walau usianya terpaut hampir dua puluh tahun dariku. Tim memiliki darah Asia dari keluarga ayahnya yang berasal dari Vietnam. Namun mereka telah menetap cukup lama di New York sehingga telah membaur sama seperti penduduk asli.
"Begini, Kat barusan menelepon dia tak bisa datang malam ini, jadi aku mau minta tolong padamu untuk membantu band-nya—kalau kau tidak keberatan." imbuhnya. Mataku langsung berbinar senang. Dia bercanda? Mana mungkin aku keberatan.
"Oke," jawabku singkat sambil berusaha menyembunyikan ekspresiku. Tim langsung tersenyum lega. "Thanks Mia, bersiaplah bersama band-nya. " Aku mengangguk. Tim menepuk bahuku sebelum ia kembali masuk ke ruangannya.
Di restoran kami ada jam khusus untuk live music setiap malam. Biasanya akan ada band yang memainkan musik klasik pada pukul delapan, dan setelahnya akan ada vokalis yang akan bernyanyi. Para pengunjung bisa meminta lagu yang mereka inginkan di wishlist agar dibawakan oleh kelompok band.
Aku pernah ikut menyanyi bersama band-nya beberapa kali, Kat sang vokalis tahu kalau aku bisa bernyanyi dan kami sering membahas lagu-lagu lama yang ikonik. Selera kami hampir mirip.
Kemudian dia mulai mengajakku berduet, kami biasa menyanyikan lagu-lagu lama macam The Beatles atau Roxette. Aku suka lagu-lagu lama karena menurutku liriknya lebih artistik dan mendalam, sebuah karya seni sejati.
Aku menghampiri band yang sudah mulai mengecek suara alat musik mereka. Aku tersenyum pada Louis, sang pemimpin band yang memegang gitar.
"Halo cantik, apa kami akan mendapatkan kehormatan mengiringi aktris panggung menyanyi hari ini?" Aku mengangkat alis dengan heran menatapnya."Aku sudah dengar dari Kat soal audisi pertunjukan itu, katanya kau diterima," ujarnya semringah. "Oh yang itu," sahutku lesu. Louis mengerutkan kening melihat reaksiku, ia menungguku melanjutkan.
Aku menghela nafas lalu mengibaskan tangan di depan wajah, "Sudahlah, akan kupikirkan nanti." Aku berkata sambil menyesuaikan stand mic-nya. "Bagaimana kalau sekarang kita coba sesuatu yang baru?"
Aku mengusulkan salah satu lagu Bob Dylan. "Oke ayo kita coba. " Louis memainkan kunci G lalu mengangguk padaku. Kemudian akupun mulai bernyanyi.
Pernahkah kau bermimpi sedang terbang tinggi? Dan perasaanmu langsung ikut melambung bersamaan? Saat aku bernyanyi itulah yang kurasakan.
Seolah diriku sedang melayang dan berputar seperti helai bunga dandelion yang tertiup angin musim gugur. Rasanya begitu bebas dan menyenangkan. Setelah aku menyelesaikan bagian terakhir dari chorus, semua pengunjung yang ada bertepuk tangan riuh.
Aku suka melihat wajah-wajah gembira mereka. Itu juga sangat menghibur. Aku mengedarkan pandangan ke seisi pengunjung restoran sembari tersenyum sampai tatapanku berhenti pada sosok yang duduk di pojok restoran tepat di samping jendela kaca.
Laki-laki itu memakai kacamata hitam. Ia menutupi rambut pirangnya dengan topi bisbol. Badannya yang jangkung dan tegap serta dandanannya yang hypebeast membuatnya terlihat paling mencolok di antara para pengunjung yang lain.
Tidak mungkin, pikirku ngeri.
{Mia POV} Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru."Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya. Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar."Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem. Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobilchevy.Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip. "Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe. Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya. "Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub."Kukira dulu&n
Jason memejamkan matanya, terlihat gusar. Namun ketika ia membuka mata dan memandangku lagi, aku menangkap sorot geli di matanya, seolah ia mendapati diri sedang berada dalam situasi yang konyol dan tak terduga. “Tidak juga,” ujarnya. “Itu jawaban yang aneh,” gumamku bingung. “Lantas, untuk apa sebenarnya kunci yang ada di dalam kotak itu, aku tidak mengerti…” Ia merengkuh wajahku lalu menyandarkannya ke dadanya. “Jangan dipikirkan.” Ia menghembuskan napas panjang. “Ceritakan padaku tentang kontrak terbaru Blues, apa kau menerimanya?” Aku menggangguk pelan. “Dengan syarat-syarat seperti yang kau beritahukan kepadaku,” kataku teredam. “Siapa yang menyangka.” aku berkata lirih. Setelah pementasan teater Hemingway’s, lalu OST itu dan sekarang kontrak baru ini…” “Aku menyangkanya, kau yang terlalu memandang rendah dirimu sendiri.” Aku tersenyum di dadanya. “Bagaimana denganmu? Apa syutingnya berjalan lancar?” “Ya, sutradara
{Mia POV} “Kenapa aku tidak melihat ibuku dan Joe, atau Lauren malam ini?” aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling teater Delacorte selagi kami berjalan meninggalkan tribun. “Mereka pergi duluan.” Jason mengangguk kepada sopirnya yang menunggu, pria itu dengan cekatan segera membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk kami. “Aku ditunggu untuk makan malam bersama anggota yang lain,” kataku ketika Jason menggiringku masuk ke mobilnya. "Jean-Pierre mengadakan pesta untuk semua kru dan pemain di Forestier, aku wajib datang." aku mengingatkannya. "Kau tidak akan ke sana," sahut Jason ringan, ada jejak humor dalam suaranya. "Karena kau sedang diculik." *** Aku tertegun saat melihat di mana mobilnya berhenti. Jason tersenyum mengamati ekspresiku. "Kau menyukainya?" Dia membawa kami ke Montreal. Aku tertawa pelan lalu berpaling padanya. "Sepertinya kau
{Mia POV} Dua belas jam sebelum pertunjukan Delacorte “Kau ikut? Aku dan Joe ingin ke Forestier.” ibuku berhenti di ambang pintu kamar saat melihatku masih belum beranjak dari depan meja belajar. “Sebentar,” gumamku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Aku sedang menyelesaikan balasan email yang akan kukirimkan pada Blues Record. Setelah kontrak OST yang terakhir kali mereka mengajukan penawaran lain dan aku memerlukan beberapa detailnya sebelum memutuskan. Kemarin aku telah memberitahu Jason tetang prospek tersebut, dan dia mengusulkan beberapa hal dalam klausul kontraknya bila aku memang ingin kembali bekerja sama dengan label mereka. Jason sangat terperinci. Aku harus bersyukur atas pengalamannya berurusan dengan banyak agensi dan manajemen artis sejak kecil, kini itu membantuku. Sudah satu bulan sejak dia berangkat ke Prancis, dan alih-alih berbicara dan saling menan
{Mia POV} Aku memusatkan pikiran, berusaha menghapal dialog yang sudah kuulangi sekitar seratus kali di kepalaku. Mencoba meredam suara-suara di sekitarku dengan berpikir lebih keras meskipun itu tak terlalu berhasil. Aku masih bisa mendengar Jean-Pierre berseru dengan lantang pada para pemain lain serta kru agar bersiap untuk adegan selanjutnya.Adegan penutup yang menentukan. Ini adalah hari terakhir dari rangkaian pertunjukan teater Hemingway's, "The Winter Snow".Sudah empat hari ini mereka mengadakan pertunjukannya di Delacorte. Bahkan malam ini penonton yang datang semakin membludak. Melihat lagi ke belakang, kupikir ini seperti mukjizat. Sampai sebulan yang lalu, aku masih berada dalam perawatan. Dokter yang memeriksaku secara teratur mengatakan meskipun luka tembak yang kualami tidak mengenai bagian yang vital, tapi trauma lukanya membuat tubuhku sempat sulit merespon obat-obatan.Mereka harus melakukan
{Mia POV} “Aku belum memutuskan apapun.” Jason berkata tenang. Ia mengusap punggung tanganku yang digenggamnya dengan ibu jari. “Aku ingin memberitahumu lebih dulu.” Aku menelan ludah dengan sudah payah. ”Itu tidak ada bedanya, kau tetap harus pergi.” Jason mengalihkan pandangannya diriku, tatapannya menekuri jalinan tangan kami di atas selimut. “Sebenarnya aku memiliki beberapa prioritas.” ia berkata lalu menatapku penuh arti. “… dan kekasih yang memerlukan kehadiranku ada di daftar teratas.” Dia ragu karena aku. Untuk sesaat hatiku diliputi kebahagiaan. Sampai perkataannya tersebut membuatku berpikir ulang tentang banyak kemungkinan, dan apa jadinya bila dia mengabaikan kesempatan dalam hidupnya demi aku. Jason telah melakukan banyak hal untukku, bukan saja mendukung namun dia juga menciptakan kesempatan-kesempatan hingga impianku menjadi penyanyi terwujud. Kesal dan frustasi karena sadar tidak mungkin m